Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

1994 (Chapter 1)

$
0
0

1994(3)

Title: 1994 (Chapter 1) | Subtitle: The Shades of Him

Author: Earlygreyxx

Cast: EXO’s Sehun, Kimberly Collins (OC)

Genre: Romance, Comedy (lil’ bit)| Length: Chaptered | Rated: PG-15

Disclaimer: Sehun and the rest of EXO’s members are belongs to God. I own the OC, the storyline, and idea.

.

She hates him.

Meanwhile,

He enjoys to tease her.

.

“Ini pesananmu. Satu vodka kesukaanmu,” ucap Jim sambil menyeringai ke arahku.

Aku mendeliknya tajam. Sungguh, aku membenci seringaiannya yang menganggapku rendah. “Hm, thanks.”

“Hari ini agak sedikit dingin dan mencekam. Atau hanya perasaanku saja?”

Aku berdecak meledeknya. Aku tahu dia sengaja menyindirku yang bersikap sangat dingin dan kurang ramah padanya. “Oh God,” gumamku. Yang lebih tepatnya mengumpat.

Ia terkikik geli. “Well, let’s say kalau kau ini temanku. Karena kau cukup sering kemari—“

“Aku tahu kau tak tulus mengatakan kata ‘teman’ padaku,” potongku yang membuatnya terkekeh.

“Aku tahu itu, Kim.”

Aku tersenyum kecut seraya menegak lagi vodka-ku.

Aku, Kimberly Collins, gadis brengsek yang sedang menghabiskan uang jajannya di sebuah klub elite di kota London. Jangan terkejut dengan kebiasaanku yang amat kurang tahu diri ini. Ayahku mencari uang, dan aku menghabiskannya. Sungguh kurang ajar.

Dan Jim, bartender yang cukup dekat denganku ini salah satu partner-in-crime ku. Dia cukup mengenalku dan sering menceramahi dengan segala upayanya agar aku sadar betapa mahal dan berharganya hidup ini.

“Kau tahu, Alvin takkan senang—dan mungkin menghajarku—jika ia tahu anak gadisnya menegak minuman keras,” katanya sambil terkekeh tak jelas.

Aku tergelak sendiri. Yang benar saja? Aku bahkan tak sanggup membayangkannya. Pria kepala 4 itu mana mungkin tahu kebiasaanku saat ini?

“Percayalah, Jim. Orang tua itu sedang ada di Manhattan. Mana mungkin kelakuanku akan tercium ke sana?”

“Dia punya kenalan orang MI6,” gumamnya yang terdengar sangat horror di telingaku.

Aku merasakan seseorang duduk di sebelahku. “Aku ingin segelas whiskey,” pintanya pada Jim dan aku sangat yakin kalau dia seorang pria.

Aku melirik ke arahnya hanya untuk memastikan kalau orang ini bukan pria hidung belang.

Dan ternyata memang bukan. Pria ini bisa dibilang sangat rapi dengan penampilannya. Ia memakai kemeja kotak-kota berwarna hitam dan merah lalu memakai celana jeans. Dia tinggi, agak sedikit lebih tinggi dari Jim, dan wajahnya terlihat seperti orang asia, dan lebih spesifik lagi orang Korea.

Aku tahu itu karena kakekku orang Korea yang memiliki campuran Inggris. Wajahnya putih pucat dan warna matanya… Aku sempat yakin itu hitam namun aku menjadi ragu karena terlalu banyak cahaya di sini.

“Apa lihat-lihat?” tanyanya dingin secara tiba-tiba dan seperti terganggu. Itu membuatku agak terkejut dan memutar kepalaku 90 derajat ke arah kiri untuk menghindari tatapannya yang mengintimidasi.

Aku merasa tak perlu membalas pertanyaannya dan memilih untuk diam dan menegak lagi minuman ku. Tapi pria ini sedikit tampan. Maksudku, dia terlihat sangat manly dan cool.

Aku menampar pipi-ku pelan untuk segera mengenyahkan pikiran itu. Seriously, it isn’t right. Pria itu sangatlah asing dan jangan sampai kau terjatuh dalam pesonanya, batinku.

“Ini dia,” ucap Jim sambil menyodorkan whiskey pesanan pria itu. “By the way, aku jarang melihatmu lagi, Hun.”

Hun? Aku hampir tergelak dengan keras jika saja aku tidak peduli dengan harga diriku. What a ridiculous name. Dan celakanya aku membayangkan pria ini memakai kostum kelinci di hari paskah. Konyol sekali.

Well, ada urusan. Kebetulan ayahku sedang merenggangkan pengawasannya terhadapku. Jadi aku langsung kabur kemari.”

Aku mendengar Jim terkekeh. “Kau tahu? Aku sekarang sedang dihadapkan dengan dua anak tak tahu malu dan kurang ajar.

Aku—yang merasa disinggung—memicingkan mata karena aku tahu apa maksudnya. Aku hendak menuntutnya amun kuurungkan niatku dan memilih bungkam.

“Aku tak peduli,Jim,” sergahnya cepat. “Saat ini aku sedang kacau. Kemarin Soojung melempar jam tangan Tag Heuer-ku ke kolam renang.”

“Tunggu-tunggu. Yang mana lagi wanita itu?”

Pria bernama Hun ini menatap Jim kesal dan tak percaya. “Oh Ayolah, Jim. Jangan berpura-pura tak tahun. You know exactly who.”

Jim tergelak sendiri. Sementara aku yang berusaha menutup telingaku sedari tadi merasa kebingungan. Apa pria ini seorang playboy?

Menurutku, dia cukup ok. Karena aku bisa menebak dia adalah anak orang kaya raya dan wajah tampannya. Bisa saja, kan, dia menjadi seorang playboy karena itu?

Lagi lagi batinku berteriak. Kenapa kau harus peduli? Siapa dia dan siapa kau? Tak ada yang perlu kau repotkan tetang apapun mengenai pria itu.

“Tapi aku yakin itu bukan satu-satunya alasan kau merasa kacau hari ini, ya kan?”

Ujung mataku menangkap pria itu mengangguk setuju. “Betul sekali. Tahu helicopter kesayanganku?”

Hampir saja rahang bawahku hampir copot saking terkejutnya. Apa-apaan pria ini? Aku tahu aku sangat kaya tapi dia punya helicopter pribadi? Aku hampir mencakar wajahku karena pria ini. Astaga. Aku pernah meminta helicopter pada ayahku saat ulang tahun yang ke 17 tapi ia menolak.

“Ah, ya. Ada apa dengan itu?” respon Jim dengan suara yang sangat tenang dan normal. Dia bahkan tidak terkejut seakan ia sudah biasa dan seakan itu adalah santapannya sehari-hari.

Pria itu mendengus kesal dan terdengar sangat kesal. “Mereka menyitanya—ayahku dan polisi menyitanya. Mereka menyita izin penerbanganku dan aku takkan bisa mengendarainya jika aku tak menandatangani sebuah kontrak dengan ayahku.”

“Kenapa mereka menyitanya?”

“Aku hampir menabrak gedung Collins Corporation.”

Mataku membulat sempurna. Itu gedung yang dimiliki perusahaan ayahku. Dan kujamin, Nathan tahu soal ini. Nathan adalah kakakku, yang sekarang bekerja di perusahaan ayah kami sebagai wakil dan penasehatnya.

Speaking of which, kontrak apa itu?”

“Kontrak—“ Belum selesai pria itu bicara, suara panggilan masuk di ponselnya. Ugh, aku makin penasaran dengan jalan pembicaraan ini.

Pria itu menggumamkan kata permisi dan pergi menjauh ke tempat yang tidak terlalu ramai dan berisik. Jim melirikku yang sedang memperhatikan pria itu. Dan saat ia kembali, Jim berbisik, “Namanya Oh Sehun—kalau kau ingin sekali tahu.”

Aku ingin sekali melempar gelas kaca di genggamanku ke arah wajah jahilnya. Tapi menurutku, aku harusnya berterimakasih pada Jim karena telah memberitahukan nama pria itu. Namanya tidak terlalu konyol, tidak seperti panggilan Jim padanya.

Oh Sehun kembali duduk dengan gelagat yang sangat gelisah dan khawatir.

“Kimberly. Kurasa kau harus pulang,” ujar Jim yang mengecek jam tangan sialannya, membuat Sehun melirikku.

“Tidak. Setidaknya sampai jam 12 nanti,” jawabku tenang dan menegak vodka-ku hingga habis.

Jim menggeleng pelan. “Apa semua Collins yang aku tahu sangatlah keras kepala?” Aku meliriknya tajam. Kenapa dia sangat senang menyebutkan nama keluargaku?

Sehun mengerluarkan beberapa lembar uang pound dan memberikannya pada Jim. Jim meliriknya aneh. “Sudah lagi?”

“Ya. Ingat kontrak yang harus ku tanda tangani? Nah, kebetulan sekali dia memanggilku. Bye,” tutupnya yang terlihat sangat cool dengan melambaikan tangannya ketika ia sudah memunggungi kami.

Aku terperangah. Bayangkan saja wajahku yang sudah memerah karena sepertinya aku terperangkap dalam pesonanya.

Jim terkekeh melihatku. “Kau akan sangat sangat menyukainya, Kim.”

Masih mengikuti bayangannya yang sekarang sudah hilang, aku merespon, “Katakan bahwa sekarang aku sudah mabuk.”

Aku mengoleskan selai coklat ke atas roti panggangku. Aku berulang kali melirik ke arah tangga, berharap setidaknya Nathan menunjukan batang hidungnya. Well, Nathan adalah kakakku namun berbeda ayah dan juga ibu.

Ibunya menikah dengan ayahku seminggu setelah perceraian kedua orang tuaku selesai. Ibuku memilih tinggal di Edinburgh bersama keluarga besarnya. Dia jarang sekali menghubungiku, apalagi bertemu. Itu membuatku makin merindukannya.

Nathan lumayan tinggi. Dia sangat pintar namun dingin. Dia agak kurang bersosialisasi denganku. Tapi anehnya di luaran sana ia memiliki banyak sekali teman. Dan terkadang aku sangat marah dan cemburu karena dia sangat baik dan perhatian pada orang lain tapi tidak denganku.

Pria itu tidak pernah berbicara padaku di rumah kecuali jika itu sesuatu yang penting. Dan yang lebih parahnya, walaupun kampusku searah dengan kantornya, dia tak mau mengantarku. Dan hari ini aku akan menjahilinya. Aku akan memintanya untuk mengantarku.

Aku terkekeh geli membayangkannya.

“Akan kutelfon psikiater sekarang. Kurasa otak dan mentalmu bermasalah.” Nathan menganggetkanku sambil menarik kursinya.

Aku segera bungkam dan begitu juga Nathan. Dia bukan tipikal kakak yang senang bertanya tentang sekolah atau teman-temanku, dan pada dasarnya dia memang tak peduli. Menurutku itu lebih baik daripada ia menjejaliku pertanyaan basa-basi busuk.

Dia mengambil satu helai roti panggang dan mengolesinya dengan selai jeruk. Aku memperhatikannya dan menggeleng tak percaya. Aku sangat tidak mengerti. Dari jutaan jenis makanan yang lezat di dunia ini, selai jeruk adalah hal yang paling disukai Nathan.

“Nate,” panggilku. Aku tahu dia sangat tidak suka aku memanggilnya Nate. Dia menoleh malas dan mengangkat sebelah alisnya.

“Aku ingin kau mengantarku ke kampus.”

Nathan menatapku cukup lama, dalam, dan serius. Akhirnya dia membuka mulutnya, “Kenapa?”

“Karena… Apa salahnya? Kau bisa mengulur waktu sedikit agar tidak terlalu bosan di kantor,” jawabku santai.

Nathan mengerjap sebentar. “Habiskan sarapanmu. Segera.”

Aku tersenyum lebar dan bersorak dalam kesunyian.

Aku turun dari mobil dan berjalan gontai menuju kampus. Aku mendesah pelan, karena aku sudah sangat malas menginjakan kaki ku di sini. Hari ini aku tak mungkin membolos lagi karena nilai GPA ku lumayan buruk sehingga kalau Alvin mengetahui aku masih membolos dia bisa saja memecatku sebagai anak.

Seseorang menyentuh pundakku secara tiba-tiba dan membuatku terlonjak kaget. Aku menggerutu dan menoleh untuk melihat siapa dalang dari hal ini.

“Kai!” pekikku agak marah dengan candaannya. Namun dia malah tertawa dan menunjuk wajahku.

“Astaga, kau harus lihat betapa konyolnya wajahmu sekarang, Kim.” Dia mengelap air matanya dan melanjutkan tawanya.

Aku tergagap sedikit dan segera melangkah dengan penuh amarah menuju kelas. Dia tidak tahu betapa keterlaluan candaanya itu! Untung saja aku tidak terkena serangan jantung. Aku menggerutu tak jelas sementara Kai meminta maaf sepanjang langkahku.

Kai berhenti dan segera merangkul pundakku, membuatku berhenti dan hendak menampar wajah konyolnya itu. “You have Ara. Jangan sampai orang-orang menggo—“

“Ssh. Kim, itu tidaklah penting. Kau sahabatku dan kuyakin Ara tidak keberatan, sama sekali tidak. Lagipula dia aka nada di Paris untuk 2 minggu ke depan.”

Aku hanya diam tak merespon dan menimang-nimang apakah aku harus memaafkan pria ini atau tidak. Tapi tahu-tahu kami sudah berada di depan kelas, berpas-pasan dengan waktu dosen yang mengajar jurusan bisnis hari ini, Prof. Fletcher, sampai di depan kelas.

Dia tersenyum tipis menyambut kami dan menyingkapkan lengan kemeja panjangnya untuk melihat jam. “Lucky you. Kalian tidak akan diusir, lagi.”

Aku mendengus pelan ke arahnya dan segerea duduk di kursi yang posisinya berada di tengah. Kai mengikutiku seperti anak ayam dan duduk di samping kiri.

Hello, class. Aku akan lebih senang jika kalian bersemangat sedikit,” guraunya yang mendapatkan respon cukup besar dan itu sangat aneh. Aku memperhatikan setiap anak yang terlihat sangat senang dengan kelas Prof. Fletcher ini dan juga Kai.

“Ada apa ini? Kenapa pria botak itu mendapat sambutan yang bagus?” bisik Kai padaku tanpa mengalihkan tatapan anehnya dari Prof. Fletcher.

Aku terkekeh. “Anak-anak di sini memiliki tujuan yang berbeda dengan kita, Kai.”

Itu benar. Aku dan Kai memang dituntut masuk jurusan ini karena ayah kami gemar mendiktator anak-anaknya agar bisa meneruskan atau paling tidak mengikuti jejak mereka.

Prof. Fletcher menepukan kedua tangannya satu kali dan berkata, “Er, hari ini kita kedatangan murid baru dari Manchester Business School.”

Aku berdecak kagum. Kudengar sekolah itu hebat dan kebetulan ayahku juga pernah bersekolah di sana sebelum pindah ke Oxford. Dan entah mengapa aku jadi teringat dengan pria itu, Oh Sehun. Dia juga bersekolah di sana—menurut Jim. Aku merasa khawatir. Bagaimana jika dia…

Lord.

Rahang bawahku hampir saja copot saking kagetnya. Aku menelan ludahku susah payah dan menggigit bagian bawah bibirku. Dia, Oh Sehun, berjalan masuk ke mari membuat banyak pasang mata tertuju padanya.

Mendadak kesunyian menyelimuti ruangan yang dingin ini. Aku bisa merasakan jantungku hampir copot. Ini perasaan yang sekiranya antara bahagia bisa melihatnya lagi atau merasa terganggu dengan tatapan yang mengintimidasi itu.

Namun aku yakin bahwa aku tidak menyukai kehadirannya di sini. Aku takut jika dia bisa saja membocorkan rahasiaku, yang sering pergi ke bar dan bersenang-senang, pada orang-orang. Tentu saja itu membuat citra keluarga Collins menjadi rusak. Dan aku akan berurusan dengan Alvin jika itu terjadi.

“Namaku Oh Sehun. Aku pindah kemari karena aku sudah bosan sekolah di sana,” ucapnya yang membuatku menatapnya aneh. Seriously? Kau pindah karena kau bosan? Beruntungnya kau, karena aku pernah bilang pada Alvin kalau aku sudah bosan sekolah dan ingin keluar. Alhasil? Aku dicerca hingga kupingku panas mendengarkan amarahnya.

Para gadis di sini dan yang lainnya menyambutnya dengan semangat. Oh, apakah tak ada yang berpihak padaku? Aku melirik Kai yang menepuk tangannya dengan malas. Well, setidaknya dia masih berpihak padaku.

Saat aku kembali memfokuskan pandangan ke depan, mata kami bertemu. Dia menatapku lumayan tajam dan dingin. Sangat mengintimidasi dan membuatku tak nyaman. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan berharap pria itu segera menghilang.

Kai segera bertanya padaku ada apa. Aku hanya menggeleng dan berusaha terlihat biasa saja.

“Baiklah. Tidak ada lagi yang ingin dikatakan? Ok, silahkan duduk di kursi kosong—oh, kukira satu-satunya kursi kosong berada di sebelah nona Collins.”

Crap. Aku mengumpat pelan dan segera menurunkan tanganku gugup. Aku bisa melihatnya duduk di kursi sebelah dan dengan santai membuka buku catatannya yang tipis.

Aku meringis pelan. Pria ini perlahan membunuhku.

Pelajaran selesai—dan aku sangat berterima kasih pada Prof. Fletcher yang telah mengakhiri jam kuliah yang sangat membosankan ini. Aku masih ada kelas, beberapa sama dengan Kai. Aku berdiri dan berjalan keluar bersama Kai, berusaha menghindari Sehun sebisanya.

Namun, sial, tangannya meraih pergelangan tanganku saat aku dan Kai sudah berada di ambang pintu. Aku berusaha tenang dan meliriknya tajam. Kai berhenti dan memperhatikan kami, seakan terkejut mengapa kami bisa mengetahui satu-sama lain.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku sambil berusaha melepas tanganku. Namun dia tidak melepasnya.

“Jadi kau Kimberly Collins?” tanyanya sambil tertawa remeh lalu melepas tanganku kasar.

Aku tetap memandangnya datar dan mengusap pergelangan tanganku yang lumayan sakit. “Ada apa?”

“Ada berapa anak perempuan di keluargamu?”

What?” bisik Kai tak percaya dan kebingungan.

“Maksudku ada berapa banyak anak perempuan yang dimiliki keluarga Collins?”

Aku memicingkan mataku waspada. Pria ini baru saja mengetahui namaku tadi malam dan sekarang dia menahanku hanya untuk bertanya hal yang tidak penting ini? “Apa itu penting?”

Aku segera meninggalkannya sambil menarik Kai. Namun sebelum aku terlalu jauh, dia berkata, “Denyut nadimu meningkat, omong-omong.” Seringaian nakal menghiasi wajah datarnya.

Aku memutar mataku dan berbalik menghadapnya. “Jadi yang sedang ingin kau katakan adalah—aku menyukaimu?” Aku menggesturkan telunjukku untuk menunjuk diriku lalu dirinya.

Jelas aku tahu maksudnya. Dia meraba denyut nadiku, jadi dia mengindikasi aku sangat senang dan salah tingkah melihatnya di sini? Konyol sekali.

“Well, kalau bukan? Apa itu artinya?”

“Artinya aku melihatmu seperti aku melihat hantu. Jadi aku kaget dan hampir saja jantungku copot,” jawabku dengan nada sarkastik dan berbalik lagi. Aku benar-benar harus meninggalkan pria sakit jiwa ini. Oh dan aku ingin sekali menarik kata-kata ku tadi malam yang mengatakan kalau dia cool, manly, berkharisma dan tampan.

Dia terkekeh pelan. “Hm, Collins? See you. Very soon.”

Aku tak menghiraukan ucapannya. Aku tak peduli karena pria ini sangat mengganggu. Kuharap aku takkan bertemu dengannya lagi.

Takkan pernah.

-Fin?-

Hai!

Terima kasih sudah membaca:)

I’m so happy setelah nyelesain chapter ini. So, how?

FF ini mengambil latar di London, Inggris di tahun 2015.

Kenapa judulnya 1994? Karena itu tahun kelahiran Sehun dan si OC di sini.

I hope you guys like this ff and so I can continue to write the next chapter:)

Tell me what’s in your mind in the comment’s field!

See you later!

Earlygreyxx.

 



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles