Title: 1994 (Chapter 2) | Subtitle: Good Boy?
Author: Earlygreyxx
Cast: EXO’s Sehun, Kimberly Collins (OC)
Genre: Romance | Length: Chaptered | Rated: PG-15 (because its contain some harsh words)
Disclaimer: Sehun and the rest of EXO’s members are belongs to God. I own the OC, the storyline, and idea.
Chapter list:
.
He is extremely disturbing.
.
Aku benci ketika orang berasumsi atau mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang diriku.
Dia, Oh Sehun, baru saja mengatakan hal yang sangat aneh dan juga mengindikasikan kalau aku menyukainya. Sekiranya, aku tahu orang seperti apa dia. Pria itu jelas sekali sangat percaya diri, tipikal bad boy, troublemaker, arogan, dan apa lagi yang kulewatkan?
“Darimana kau tahu dia, Kim!”
Sejak satu jam yang lalu, Kai menjejalkan beratus-ratus pertanyaan tentang mengapa aku dan Sehun bisa mengetahui satu sama lain. Dan selama itu pula aku tenggelam dalam pikiranku.
“Lebih baik kau tidak tahu apa-apa,” jawabku sekenanya, dan pikiranku masih dimana-mana.
Kai mendesah frustasi dan bertanya untuk terakhir kalinya, “Damn it! Kim, entah bagaimanapun kau bisa mengenalnya, aku tak peduli lagi, ok?”
Aku mengangguk tanpa menatapnya.
“Yang jelas, jangan sampai mengenalnya terlalu dalam. Apalagi terlibat.”
Aku mengerutkan dahiku, meskipun aku tak berniat untuk menelan sarannya bulat-bulat. Dan setelah itu, Kai tidak mendesakku untuk menjawabnya. Dia tahu kalau aku benar-benar sedang tenggelam dalam pikiranku dan sedang tidak ingin terganggu.
Lagipula, siapa yang mau mengenalnya? Aku bahkan menyesal sempat terpikat dengannya tadi malam.
–
Sepulangnya diriku di rumah, aku disambut orang yang paling tidak ingin kutemui hari ini, Alvin dan istrinya.
Well, sebetulnya, mereka orangtuaku dan aku tidak mengakui mereka. Ha, Alvin bahkan pernah mengatakan kalau aku mulai berubah dan tertular Nathan yang sedikit alergi dengan ‘orangtua’.
“Hei, Kim. Kukira kau akan berlari dan memelukku,” gurau Alvin yang membuat Paige terkekeh.
“Kau lupa kalau aku bukan daddy’s little girl lagi,” kata ku agak sedikit menekankan kata daddy’s little girl.
Alvin tertawa kecil. “Kau selalu seperti itu, my dear. Sebenarnya aku rindu pelukanmu yang sudah lama tidak kurasakan sejak—“
“Sejak mom pergi dan kau tak peduli. Cerita selesai, dan sudah cukup basa-basinya,” potongku tak sabaran. Kulempar tas kecilku ke atas sofa di seberang tempat Alvin dan Paige duduk, terburu-buru ke dapur dan meneguk segelas air putih dingin.
Alvin melempar koran ‘siang’-nya ke atas meja dan melipat kedua tangannya. “Hey, Kim. Cepat duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Aku mendesah kesal dan frustasi dan juga marah, ketiga perasaan itu sudah bercampur aduk sekarang. “Ugh, please. Kenapa kau kembali begitu cepat?” tanyaku begitu putus-asa dan setengah berteriak.
Alvin terlihat sangat tenang, membuatku semakin takut akan apa yang ingin dia bicarakan. “First, have a seat.”
Aku menatapnya dengan sangat tidak percaya dan segera duduk. Alvin tersenyum—atau lebih tepatnya menyeringai dan Paige hanya tersenyum tipis. Dia tidak membuka mulutnya karena takut akan menyulut emosiku.
“Ini karena sesuatu, Kim.”
“Oh—apapun itu, aku tak mau tahu!”
“Kenapa kau jadi marah-marah seperti ini?!” Alvin hampir saja menggebrakan meja di depannya, jika Paige tidak menahannya dan menyuruhnya untuk tarik nafas. Saat nafasnya mulai stabil, ia segera melanjutkan, “Aku selalu tidak menyukai tingkahmu yang sangat tidak menghormatiku, Kim.”
Ironisnya, aku tergelak. “Apa kau pantas untuk dihormati?” tanyaku setengah berbisik.
Alvin segera menarik senyum. Sangat mengerikan, hingga aku hampir bergidik ngeri. “Aku yakin setelah malam ini berlalu—kau akan berlutut di depanku dan memohon agar semua itu tidak akan terjadi.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Sialan sekali pria tua ini. Dia memasang senyum kemenangannya, seakan dia sudah menang. “Kau bahkan belum menang tapi kau sudah menatapku seperti itu!”
“Karena aku selalu menang, Kim. Selalu.”
“Tidak juga,” koreksi ku dengan tak sabaran dan membuatnya tertawa.
“Benarkah?”
Aku mendesah frustasi lagi dan hampir menjambak rambutku. “BISAKAH KITA LANGSUNG SAJA KE INTINYA?”
“Untuk menjawab pertanyaanmu sebelumnya, aku dan Paige kembali ke mari karena ada suatu acara makan malam penting,” jawabnya secara misterius.
“Kenapa kau kembali hanya karena makan malam yang selalu menyedihkan itu?” protesku tak mengerti. “Sekarang apa maumu?”
Alvin melipat tangannya lagi dan tersenyum dengan sangat menyebalkan. “Apapun yang akan terjadi ke depannya, jangan pernah salahkan siapapun. Kuyakin ini semua sudah ditakdirkan oleh Tuhan.”
Aku tidak percaya mengatakan hal itu. “Kau tidak akan mati besok, kan? Apa ini wasiat mu?”
Alvin hanya diam dan sedetik kemudian ia tergelak. “Tidak, untungnya tidak. Tidak ada yang mengindikasi bahwa aku terserang penyakit mematikan atau kanker.”
“Tapi Tuhan bisa saja mencabut nyawamu detik ini, dad.”
“Bisakah kita kembali ke topic?” tanya Alvin merasa terganggu dengan opiniku, yang terang saja menamparnya. “Tolong jaga kelakuanmu, anakku. Jangan kira aku belum mendapat pemberitahuan tentang GPA mu.”
Aku mendesah malas. Pria tua ini memiliki mata di mana-mana. “Kau masih punya Nathan.”
“Tapi kau anak biologisku satu-satunya. Dan itu melahirkan sebuah fakta kalau kau adalah satu-satunya anak perempuan dari keluarga kita, yaitu Collins.”
Here he goes again, batinku. Aku memutar bola mataku dan menatapnya tajam. “Dad, aku takkan mewarisi perusahaanmu. Aku tak mau hal itu terjadi. Sudah kubilang, aku sangat tidak suka bisnis!”
“Maka aku takkan memberikan helicopter sesuai permintaanmu.”
Aku melotot padanya. “Oh dad! Itu permintaanku sekitar 4 tahun yang lalu!” protesku. Jadi dia mengungkit masalah itu lagi agar dia bisa menyogokku?
“Helicopter always work on you, dear.”
“Argh! Whatever!”
Alvin tertawa kemenangan. “Kelakuanmu itu, Kim. Kau harus bisa mengontrol dirimu untuk tidak mengumpat—“
“Kau pikir aku mendapatkan kebiasaan itu darimana?” potongku secara sarkastik.
“Apa kau sedang menyalahkanku?” tanyanya.
“Tidak juga. Anyway, kau akan makan malam dengan siapa?”
Alvin tersenyum misterius dan berdiri, begitu juga dengan Paige. “Siapapun itu, akan menjadi surprise.”
Aku meliriknya tajam hingga mereka menghilang masuk ke kamar.
–
“Kami akan kembali tengah malam—mungkin,” ucap Alvin yang segera mengapit tangan Paige.
“Lebih baik kau tak perlu kembali,” gerutuku kesal.
“Kami akan pulang cepat,” tutup Paige sebelum pintu segera tertutup.
Aku segera mengecek jam di tanganku. Sudah jam 8, tapi mereka baru berangkat. Dan sekarang aku sendiri di sini karena Nathan sedang menjalankan tugas ke Dublin. Ah menyedihkannya diriku.
Tring. Tring.
Ponselku berdering. Aku segera berlari untuk meraihnya dan melihat ID Callernya, Jim. Sebelum mengangkatnya aku memutar bola mataku. “Ada apa?”
“Oh come on. Aku tahu orangtuamu tidak ada.”
Aku mengerutkan keningku. Darimana Jim tahu? “Kau tahu? Dari siapa?”
“Anggap saja ada intel yang memberitahuku.”
“Oh, Jim!” jeritku pelan. “Jangan pernah bermain rahasia denganku!”
“Kuyakin kau sangat penasaran.”
“Tentu saja!”
“But, sorry, dear. Aku tak bisa memberitahumu.”
“Ya, ya. Jadi apa maumu?”
“Ingin kemari? Bar sedang sepi. Aku tak punya siapapun untuk mengobrol.”
Aku terkekeh. Pria ini. Aku jamin bar sedang ramai dan dia hanya ingin aku datang ke sana—karena dia rindu dengan keluh kesahku, mungkin. “On the way,” kata ku yang segera mengakhiri sambungan telfon ini.
Butuh sekitar 15 menit dari rumahku untuk menuju bar. Jim sudah berdiri di sana, tanpa ada seorangpun berada di dekatnya. Padahal, menurutku, bar cukup ramai hari ini. Aku melambaikan tanganku ke arahnya, dan begitu ia melihatnya ia segera menyuruhku ke sana.
“Kau pasti merindukanku,” ujarku.
Jim meresponnya dengan decakan pelan. “Aku lebih menyukai fakta kalau aku membencimu, Kim.”
“Aku takkan minum hari ini.”
“Yeah, I know. Alvin ada di London,” jawabnya mengangguk dan duduk di kursinya. “Kuharap rasa rindumu terhadapnya sudah terobati.”
Aku ingin sekali melemparnya dengan sesuatu karena dia mulai meracau lagi. “Bloody hell,” umpatku. “Tak ingat kapan terakhir kali aku merindukan pria tua itu.”
Jim menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum aneh. “You know exactly when, Kim. Itu sekitar 10 tahun yang lalu sebelum—“
“Ya, ya. Aku tahu dan jangan ingatkan aku,” potongku tak sabaran, takut Jim mengatakan yang selanjutnya. Jim hanya mengulas senyum kecil.
10 tahun yang lalu adalah tahun yang tidak ingin kuingat. Pernahkah aku menyebutkan kalau ibuku dan ayahku sudah bercerai? Tentu pernah.
Alvin dan Laura, kedua orangtuaku itu ‘korban’ dari perjodohan. Kedua kakekku tentu sangat kuno dan memikirkan kalau perjodohan adalah jalan yang benar. Well, anggapan itu bisa saja salah dan terjadi terhadap Alvin dan Laura.
Mereka tidak menyukai paksaan, mereka berdua sangatlah keras kepala. Namun, kakek menggunakan ancaman untuk mereka, agar mereka menikah dan memperkuat hubungan kedua belah pihak—dalam hal ini perusahaan.
Alvin mungkin setuju padaku ketika aku mengatakan kalau segala sesuatu yang didasari oleh perusahaan adalah hal yang buruk dan berujung pada sesuatu yang tidak baik—karena tidak ada keikhlasan dalam hal itu.
Pernikahan mereka bagaikan mimpi buruk. Walaupun setelah satu tahun pernikahan, mereka memiliki aku yang dianggap sebagai ‘kecelakaan’oleh mereka. Menyedihkan ketika mengetahui kalau kau sebetulnya sebuah kecelakaan dan orangtuamu enggan bahagia atas kelahiranmu. Aku mengetahui itu dari Laura, saat aku menemuinya di Paris.
Mereka sangat pintar dan brilian. Mereka pandai berakting di depanku, hingga aku menyangka bahwa mereka sangatlah true dan harmonis. Tapi tak selamanya sebuah topeng bertahan, bukan? Setelah 11 tahun aku hidup, mereka mulai menunjukan sesuatu padaku.
Keruntuhan.
Ketidakpercayaan.
Dan yang paling buruk—kebencian.
Aku sendiri tak tahan mendengar mereka selalu berargumen, bahkan untuk hal sekecil apapun seperti siapa yang akan mengantarku ke sekolah. Aku sendiri sangat lelah. Kupingku juga lelah mendengar pertengkaran itu.
Hingga suatu malam Alvin menampar Laura di depanku. Yeah, mungkin sejak saat itu aku tidak menyukai Alvin. Meskipun Laura jarang sekali menunjukan kasih sayangnya, tetap saja dia ibuku. Aku menyayanginya dan aku tahu dia juga menyayangiku.
Dan nyatanya, amarah pada Alvin masih berkobar dalam diriku.
“Kim? Kau sepertinya sangat tenggelam dalam… pikiranmu?” Suara Jim segera menamparku kembali ke kenyataan. Aku mengerjap pelan dan menatapnya.
“Ah, ya.”
Jim menyodorkan segelas air putih padaku dan secepat kilat aku menyambarnya dan menegaknya. Berpikir membuatku sangatlah kehausan. “Thanks.”
“Don’t mention it.”
Di tengah banyak sekali orang yang membenciku, namun Jim masih saja baik padaku. Itulah yang aku tak suka darinya. Dia mengenalku sebagai anak yang tak tahu diri, brengsek, asshole, dan lainnya. Tapi dia masih saja menyemangatiku ketika aku sedang kebingungan seperti saat ini.
“Uhm, Jim?”
“Ya?”
“Apa Oh Sehun seorang bad boy?”
Jim mengerjap dan terlihat shock dengan pertanyaanku. “Apa maksudmu?”
“Maksudku—“ aku berdehem sebentar dan melanjutkan, “—dia terlihat nakal juga playboy. Jadi…” Aku tidak melanjutkan kalimatku dan menatap Jim dengan harapan semoga ia mengerti apa yang kumaksud.
Jim tertawa kecil. “Hell, justru—apa maksudmu?” Dia masih tertawa. “Dia bukan anak yang nakal, Kim. Dia bukan.”
Aku mengerutkan dahiku dan menatapnya kebingungan. Bukan anak nakal? “Oh Sehun, Jim. Kau pasti tahu sekali dia. Tapi aku yakin kalau dia itu anak nakal. Maksudku, kecuali kepintarannya, dia terlihat seperti playboy dan Casanova, troublemaker…”
“Juga pecandu narkoba?” lanjut Jim ragu. Aku segera menunjuknya karena sebetulnya aku ingin mengatakan itu. Tapi Jim segera menggelengkan kepalanya. “Jangan bercanda, Kim. Tidak. Dia bukan salah satunya.”
Aku tergelak dalam ironi. “Kau yang sedang bercanda, Jim! Kau pasti sudah dibayar olehnya untuk tidak mengatakan apapun tentang dia!”
“For god’s sake, Kim! Sumpah, aku tidak berbohong. Dia sering datang kemari karena aku kenal dengan ayahnya, Greg.”
Aku sangat tercengang. Completely confused. Aku tidak tahu harus mengatakan apa karena ini sangatlah mengejutkan. “Kau… apa?”
“Aku kenal dengan ayahnya. Dia sering menanyakan apa saja yang dilakukan anaknya di sini. Dan luckily, dia tidak melakukan hal yang macam-macam kecuali minum 2 sloki whiskey di sini.”
“Tapi—tapi,” kata ku terbata-bata. “Tapi dari yang kudengar kemarin dia memiliki banyak wanita!”
“Apakah aku dan dia mengatakan hal yang seperti itu?” tanyanya dengan alis terangkat. “Tentu tidak, Kim. Aku hanya bercanda. Hanya bercanda tentang pertanyaanku yang—‘yang mana lagi wanita itu’. Dia hanya memiliki satu pacar, Kim.”
Aku belum bisa menutup mulutku. Aku masih tidak percaya. “Lalu? Kenapa dia memainkan helikopternya dan hampir menabrak gedung Collins Corporation?”
Jim tergelak. “Dia itu sedang banyak pikiran. Dia bisa saja agak pusing dan tiba-tiba kehilangan kendali dan hampir menabrak gedung. Tapi, tenang saja. Dia dan ayahnya sudah menyelesaikan hal itu dengan sebuah kontrak.”
Perhatianku segera teralih pada kata ‘kontrak’ yang disebutkan oleh Jim. “Speaking of which, kontrak apa itu?”
Jim menyeringai. Sialan. Dia pasti menyangka aku menyukai Sehun dan tertarik untuk mengetahui apapun yang menyangkut dirinya. “Well, aku juga belum tahu. Dia tidak mau menceritakannya.”
Aku segera diam tanpa melepaskan mataku dari Jim. Aku masih merasa shock dengan semua kebenaran yang ada di sini.
–
“Maafkan aku, Kai.”
Kai menghembuskan nafasnya pelan dan melihatku. “Kau tahu, Kim. Aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana kalian bisa mengenal satu-sama lain. Atau lebih tepatnya mengapa dia bisa mengenalmu?”
Aku menelan ludahku. Segera kuceritakan segala kejadian yang ada di bar, dan itu agak mengagetkan Kai. Setelah kututup cerita itu, Kai segera berkata, “Untung saja kau tidak jadi menyukainya.”
“Tentu saja tidak, idiot,” timpalku tak terima. “Untung aku masih memiliki akal sehat.”
Kai tertawa atas ucapanku dan kami berjalan menuju kelas Prof. Fletcher seperti biasa.
“Kai, apa yang dilakukan Ara di Paris?”
“Well, dia ada outing dengan kelas designing-nya. Dia bersama Soojung,” jawab Kai sedikit mengeluarkan kekesalannya. ”She’s an asshole, by the way.”
“Soojung pacar Sehun?” Kai mengangguk.
“Apa Ara berteman dengan…?”
Kai menggeleng tak sabaran. “Tentu saja tidak. Ara dan Soojung tidak dalam satu lingkup ‘pertemanan’.”
Aku hanya bisa tertawa. Masalah permusuhan dan pertemanan wanita memang selalu berkelit dan berlebihan. Well, aku juga wanita tapi aku hampir tidak memiliki teman wanita. Hanya Kai dan Suho dari jurusan psikologi yang mau menemaniku. Mereka sama gilanya denganku.
Kami datang ke kelas cukup awal, dan kondisi kelas masih cukup sepi. Aku dan Kai memutuskan untuk duduk di paling belakang dan paling pojok. Kami berdua sangat setuju kalau literature tentang bisnis yang diberikan Prof.Fletcher selalu membosankan.
Setelah kami duduk, aku bisa merasakan kalau ada orang yang duduk di sebelahku. Dan, ya siapa lagi selain Oh-jerk-Sehun. Dia duduk dengan cepat sebelum aku bisa melarangnya. Lord. Dari sekian banyak kursi yang tersisa, mengapa harus di sebelahku?
“Kalau kau tak keberatan, bisakah pindah ke kursi yang lain?” tanyaku dingin tanpa menatapnya.
“Aku keberatan, nona,” jawabnya cepat tanpa melihatku dan membuka sebuah buku—yang kujamin tebalnya 400 halaman lebih—dan segera mengabaikanku.
“Tapi aku terganggu dengan adanya kau,” ucapku sambil memberikan penekanan pada kata ‘kau’.
Aku mendengarnya tertawa kecil. “Well, tapi aku tidak terganggu.”
Kai segera melirik kami berdua dan merasa terganggu. Hell, siapa yang takkan terganggu dengan jawaban kurang ajarnya itu? Aku tiba-tiba teringat kata-kata Jim yang mengatakan kalau anak ini bukanlah anak yang nakal.
“Baiklah, aku yang pergi.” Aku meraih tasku dan berdiri. Namun, tangan yang dingin meraih pergelangan tangan kiriku dan menahanku agar tidak pergi. Dan aku sangat ingin menampar wajahnya itu, wajah Sehun.
“Tak perlu pergi karena sejujurnya aku ingin bicara.”
“Lepaskan dia dan biarkan dia pergi,” Kai memperingatkan.
“Aku tak memiliki urusan denganmu, Kai.” Sehun menyeringai, tapi tipis. Dan aku tahu sesuatu yang salah sedang terjadi di sini. Aku segera duduk lagi, dan tanpa menatapnya aku bertanya, “Apa yang kau mau?”
“Bagaimana? Kau sudah tahu banyak tentangku, bukan?”
Aku membulatkan mataku, dan badanku tiba-tiba sangatlah kaku. Dia mengagetkanku, sangat mengagetkanku. Dia tahu kalau aku datang ke Jim? Atau ini adalah perangkap?
“Apa maksudmu?”
“I’m not a bad boy, Miss Collins,” bisik Sehun. “I’m 100% good and clean.”
Aku merasa sangat terganggu dengan pria ini. “Apa Jim memberitahumu?”
Sehun terkekeh geli. “Apa aku juga harus memberitahumu soal itu?”
Aku memilih mengabaikannya. Kai melirikku dengan pandangan tak percaya. What’s going on? Kira-kira seperti itulah ekspresinya.
“Now tell me,” kata Sehun sambil membenarkan posisi duduknya, dan sekali lagi dia tidak menatapku.
“Apa yang harus aku tahu darimu?”
–
Sehun’s POV
Ekspresinya hanya terlihat shock dan berusaha untuk tidak melirikku.
Hm, dia sangatlah lucu dan menyenangkan untuk dijahili dan digoda. Kim berdehem sekali dan segera berkata, “Apapun yang ada di kehidupanku, kurasa itu tidaklah penting.”
“Kau tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Kau mendapatkan informasiku dari Jim—“
Dia melirikku tajam sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku. Namun, aku membalasnya dengan seringaian. Aku tahu dia akan terlihat ‘jijik’ karena seringaianku lalu memilih untuk mengalihkan matanya dariku.
“Dan kurasa, hal itu harus dibayar dengan sesuatu yang sepadan,” lanjutku setelah Kim mengalihkan pandangannya.
Well, dia terlihat amat terganggu. Ekspresinya agak melunak setelah Prof. Fletcher masuk dan aku tahu di dalam hatinya dia bersorak karena bisa terbebas dariku. Sialan sekali, padahal aku ingin mendengar sesuatu darinya.
“Bisakah kita buat kesepakatan tentang itu?” bisikku pelan padanya yang sedang sibuk memainkan pulpen di jemarinya. Dia berhenti namun tidak melihatku.
“Apa maksudmu?”
“Bayaran yang sepadan,” jawabku setengah berbisik dan membuatnya terlihat jengkel.
Lord, entah mengapa aku senang sekali bisa melihat kejengkelannya.
“I don’t care. Kau bisa googling tentangku. Aku malas membicarakan hal itu.”
Aku terkekeh pelan dan melirik ke depan untuk memastikan Prof. Fletcher tidak mendengarku. “You know what, informasi tentangmu tidak bisa kudapatkan dari google. Mereka mungkin menghapusnya atas perintah Alvin.”
Matanya melebar dan segera menatapku tajam. ”What?! Alvin menghapus semua dataku dari google?” bisiknya tak percaya. Aku menyeringai lagi padanya, dan dia segera sadar. Sadar kalau baru saja dia berinteraksi denganku dengan atas kemauannya.
Kim segera mengalihkan matanya ke depan. Ah sungguh menyenangkan untuk bisa menggoda wanita ini. Well, seperti saat membully orang, kau akan mendapatkan kesenangannya saat lawan mainmu menderita atau merasa tak tahan dengan itu semua.
“Kenapa kau mengalihkan pandanganmu?”
“Karena aku tidak mau melihatmu.”
“Kenapa? Apa aku membuatmu ‘terbang’?”
Sekali lagi, dia terlihat shock. “Bloody hell! Wajahmu dan seringaianmu itu sungguh memuakkan.”
Aku terkekeh. “Akui saja kalau kau takut terpukau dengan wajahku yang tampan, cool, dan manly ini.”
Kim tertawa remeh dan aku menatapnya aneh. Kenapa dia malah tertawa?
“Kau? Seriously? Di luar sana masih ada yang lebih darimu. Terlebih, kau ini tidak cool dan manly karena kau terlihat sangat bajingan dengan seringaianmu itu,” katanya masih setengah tertawa. “Kau hanya mencoba terlihat keren, manly, cool saja.”
Aku berdecak kesal. Apa-apaan ini? Apa baru saja dia meremehkan ku dan meragukanku? Well, aku tidak suka ini. Kenapa Kim sangat susah untuk—setidaknya—jatuh hati padaku?
Aku berkedip karena segera sadar. Wait. Kenapa aku mengharapkannya untuk jatuh padaku? Bukankah aku melakukan ini hanya untuk kontrak? Ingat baik-baik, aku memiliki Soojung, jadi tak ada alasan untukku berusaha membuatnya jatuh hati padaku.
Karena, pasti suatu saat nanti, dia yangakan merindukan seringaianku. Aku akui, menggoda dia dan menjahilinya sangatlah menyenangkan. Dia bukanlah tipe wanita yang sedikit murahan—yaitu wanita yang langsung jatuh hati ketika baru saja kuberi kedipan. Tidak, dia bukan.
Dia mungkin akan segera menyingkir dan memuntahkan isi perutnya jika aku mengedipkan mataku padanya.
Tak terasa, kelas pun selesai. Sepanjang kelas, aku tidak memperhatikan apa yang Fletcher katakan. Lagipula, aku bisa pastikan lulus dalam kelasnya.
Perhatianku teralih pada Kimberly yang memasukan bukunya secara kasar ke dalam tasnya. Aku terkekeh melihatnya berlari keluar segera setelah kelas kami selesai. Kai berusaha mengejarnya, namun ia segera berhenti di pintu dan memanggil nama Kim sekali lagi dengan keras. Well, lucu sekali tingkah wanita itu.
Kai segera beralih padaku, melangkah dengan amarahnya dan mengambil tasnya. “Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan, tapi stay out from Kim,” katanya tajam sambil menunjuk diriku.
Aku mengangkat sebelah alisku, tak megerti dengan apa yang dia bicarakan. “Aku tidak memiliki rencana apa-apa,” ucapku dan menyeringai padanya.
Kai mendesah frustasi dan tangannya terkepal kuat. “I know tipe pria seperti apa kau ini,” katanya. “Kau mendekatinya bukan tanpa alasan.”
Aku tergelak. “Wow? Kenapa tebakanmu tepat sekali?” balasku sambil berdiri dan memegang tasku. “Lagipula, kita sama-sama tahu kalau aku sudah memiliki seseorang.”
Kai mengatupkan giginya dan wajahnya mengeras. “Jangan dekati dia, mengerti?”
Aku melangkah ke arahnya sampai jarakku dan Kai tidak tersisa banyak. Aku memandangnya remeh dan tersenyum menyedihkan. “Hm, let’s see. Kau bahkan bukan siapa-siapanya melainkan teman. Apa yang dikatakan Ara jika dia mengetahui hal ini?”
Kai tersenyum miring, sedangkan aku mengerutkan dahiku. Kenapa? Aku benci ketika orang bisa-bisanya tersenyum padahal aku baru saja—secara tidak langsung—mengejeknya.
“Ini yang dilakukan seorang teman, kau tahu—Oh tentu, kau tidak tahu,” katanya secara dramatis dan melangkah keluar secara perlahan. Dia berhenti di ambang pintu dan memutar badannya untuk menghadapku. “Karena kau tidak memiliki teman.”
Aku mengatupkan kedua rahangku keras, dan merasakan badanku menegang. Sialan sekali dia. Bisa-bisanya dia menjatuhkan ku seperti ini?
-fin?-
Hi there!
How is it? Good or bad?
Please visit my website: sheisfreak.wordpress.com!
