Title : Post Hoc, Propter Hoc (Chapter 13)
Author : Hyuuga Ace (@sosiyeology)
Genre : Drama, Hurt, Comfort, Romance, School Life, Family
Length : Multichapter
Rate : PG-15
Web : cynicalace.wordpress.com
Main Cast :
- Park Gaemi (OC)
- Oh Sehun (EXO)
- Kim Junmyun / Suho (OC)
Other Cast :
- EXO
- Oh Senna, Yang Chiya, Lee Heyoung, Im Jaelim, Hong Pulip, Yang Choyun, Baek Regi (OC)
Disclaimer : OC and the plot of story are mine and pure from my idea. Don’t plagiarism. Thank you.
Author’s note : Annyeong!! Maap kalo FF ini lama sekali updatenya.. sebenernya di wp pribadi author udah tamat.. baru sempet ngirim ke EXO FF sekarang hehee.. mungkin udah pada lupa ceritanya, bagi yg lupa bisa baca dl ini yah : https://cynicalace.wordpress.com/2014/12/21/post-hoc-propter-hoc-chapter-1-12-synopsis/ OK!! Last, gomawo bwt admin exo ff yg udah ngepost~
Summary :
“Masa lalu adalah sesuatu yang membentuk dirimu saat ini. Masa lalu terjadi lebih dahulu dibanding hari ini, sehingga hari ini ada karena disebabkan masa lalu. Post Hoc, Propter Hoc. Tapi hanya orang- orang yang memiliki keberanian untuk menatap masa depanlah yang berani untuk melepaskan masa lalu. Dan hidup karena hari ini, dan masa depan.”
Recommended Song : Westife –Fragile Heart , Westlife – The Rose
***
(Author’s PoV)
Tidak ada pembicaraan yang terjadi hampir selama 20 menit, seorang namja yang berada di balik kemudi menghela napasnya entah yang ke berapa kali dalam kurun waktu semenit terakhir. Namja itu Suho.
“Gaemi-ya, aku tahu kau marah padaku. Tapi setidaknya aku memiliki sebuah alasan mengapa aku pergi begitu saja.”
Gaemi merengut. Tapi dia tetap bergeming. Dia benar- benar kesal pada namja di sebelahnya ini.
“Jebal, maafkan aku di hari ini Gaemi-ya. Hari ini saja. Setelah itu kau boleh marah lagi padaku di hari esok atau di masa depan.” Sekali lagi Suho membujuk Gaemi.
“JA! Baiklah kalau begitu, kuanggap kau sudah memaafkanku. Jadi kau punya usul kemana kita akan pergi hari ini?”
Gaemi melirik tajam ke arah samping, namun tetap tidak ingin berbicara. Sementara Suho hanya bisa menghela napasnya.
“Baiklah, biasanya kau senang pergi ke tempat seperti apa ketika berkencan?”
“MWO? Aku tidak mau berkencan denganmu!”
Suho tersenyum menang. “Akhirnya kau membuka mulutmu juga. Well, aku lupa kalau kau sudah memiliki Oh Sehun sebagai satu- satunya namja yang boleh mengajakmu berkencan.” Namja itu terdiam sesaat untuk berkonsentrasi membelokan mobilnya ke kanan sebelum melanjutkan perkataannya. “Baiklah, bagaimana kalau tempat yang biasanya dikunjungi oleh sepasang kakak-beradik?”
“Mwo?” Gaemi kini sepenuhnya menatap Suho. “Kakak- beradik?”
“Bukankah hubungan kita adalah hubungan kakak-beradik?”
“Sejak kapan?!” Tantang Gaemi. “Yang kutahu kau hanyalah seorang yang menyebalkan yang meninggalkanku dalam kebingungan. Dan karena itu aku jadi tidak mau mengenalmu lagi!”
“Serius? Nanti kau akan lebih merindukanku, adik kecil.”
“Kim Suho, neo jinjja! Kenapa kau jadi memanggilku seperti itu?!”
Suho tersenyum, Gaemi bisa melihat senyum indahnya. Tapi sayangnya, Gaemi tidak melihat kalau Suho tidaklah benar- benar tersenyum. Matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam yang akan ia tanggung untuk dirinya sendiri. Selamanya.
“Jadi?”
Gaemi bersedekap. Baiklah, berhubung Suho sudah berada disini. Dan sepertinya namja chingunya yang menjadi dalang di balik semua ini –yang berarti namja yang sebenarnya sangat protektif padanya itu memperbolehkannya menghabiskan hari bersama Kim Suho- Gaemi menyerah. Untuk pertama kalinya ia tersenyum setelah melihat Suho.
“Bisa kau antar aku ke pantai?”
“Pantai?”
Anggukan Gaemi menandakan bahwa Suho tidak salah dengar. “Geurrae, pantai terdekat. Aku tiba- tiba ingin menenggelamkan kakiku di dalam pasir, makan lobster besar, lalu membeli asesoris pantai, lalu kalau beruntung bisa bertemu namja asing yang tinggi, tampan, dan ber-abs.”
“Ya! Akan kulaporkan permintaan beserta keinginanmu ini pada namja chingumu. Ternyata kau suka juga dengan namja- namja tipe seperti itu.”
Gaemi melotot. “WAE? Aku juga yeoja normal! Memangnya kau tidak suka yeoja asing dengan kulit mulus dan dada besar?”
“Well, walaupun aku suka sekalipun. Aku tetap lebih menginginkan dirimu.”
Merasa hanya sebuah candaan, Gaemi mendengus. “Maaf. Aku sudah punya namja chingu. Kau kutolak, Suho oppa.”
“Hahahahaha.” Suho terbahak mendengar reaksi Gaemi yang menurutnya sangat lucu.
“Kadang- kadang aku curiga, apakah kau pernah menyukaiku di sekali waktu?”
“Bagaimana ya?” Suho kelihatan berpikir, ia bahkan menempelkan tangannya di bawah dagunya. “Aku sangat menyukaimu sebenarnya.”
“Serius?” Gaemi kelihatan kaget. Dan sebelum dia berhasil mengekspresikan kesedihannya karena berarti dia benar- benar harus menolak Suho, Suho kembali bersuara.
“Tapi di cara yang berbeda dengan yang kau pikirkan.”
HUFFFFT
Syukurlah.
Tanpa sadar Gaemi mengelus dadanya. Dia bisa bernapas lega sekarang.
“Aku juga menyukaimu Kim Suho, sangat menyayangimu bahkan. Sebagai seorang kakak. Aku berandai- andai, bagaimana jika kau benar- benar kakak kandungku? Pasti akan sempurna.”
Suho merasa tercekat di tenggorokannya mendengar penuturan polos Park Gaemi yang menyayat hatinya lebih daripada apapun. “Wae? Apa yang membuatnya sempurna?”
Entah bagaimana, tapi sepertinya hari ini seorang Park Gaemi kehilangan kemamampuan kepekaannya, karena lagi- lagi ia tidak bisa melihat ada sesuatu yang salah di balik suara Suho yang sedikit bergetar.
“Kau pintar, dan walau sedikit menyebalkan –apalagi belakangan hari ini- kau adalah orang yang bisa diandalkan, kau dapat melindungi orang lain. Aku tidak tahu darimana asalnya firasatku ini, tapi aku merasa kau pandai berkelahi.”
“Sok tahu.” Gumam Suho.
“Serius, oppa! Lalu.. lalu kau juga tampan. Seseorang yang bisa seorang adik banggakan di hadapan teman- temannya karena memiliki oppa yang tampan. Andai saja kau benar- benar oppaku. Pasti sangat menyenangkan.”
Suho terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia sungguh takut apabila, sesuatu keluar dari mulutnya. Semuanya akan berantakan. Bagaimana jika Suho tiba- tiba mengatakan, ‘Gaemi-ya, sebenarnya kau memanglah adik kandungku.’ Dan Gaemi akan menanyakan alasannya dan itu berarti ia harus menceritakan semuanya. Semuanya yang dapat menghancurkan yeoja itu.
“Tapi ada satu hal yang membuatku mengurungkan niat membayangkanmu menjadi oppa kandungku.” Gaemi menghela napasnya. “Kau suka menghilang tanpa sebab dan membuatku khawatir.” Nada murung Gaemi membuat Suho semakin menderita. Andai saja ia tahu kalau alasan kepergiannya adalah untuk melindungi dirinya.
“Kau mau es krim? Di depan ada supermarket, mau mampir sebentar?”
“ES KRIM!!!”
Suho tersenyum kecil, ia berhasil mengubah arah pembicaraan tanpa sepengetahuan yeoja itu.
“Kau harus menraktirku, oppa. Kau banyak dosa padaku.”
***
“Kenapa kau membawaku kesini?”
Sehun tersenyum kecut. “Kau tidak mau mengulang masa bahagia bersamaku?”
Senna memejamkan matanya, mencoba menahan memorinya untuk tidak merembes keluar dari tempatnya dikunci. Dia tidak boleh lagi mengingat kenangan- kenangan itu, untuk kebaikannya sendiri.
“Sekarang kau yang akan mengajariku bagaimana caranya bermain ice skating di tahap profesional, hanya itu perbedaaannya dari masa lalu.”
Yeoja yang jauh lebih kecil fisiknya dibandingkan Sehun itu turun ke lapangan es dan mulai bergerak ke tengah. Gerakannya lincah dan sangat ringan, sementara Sehun mengikutinya di belakangnya dengan senyuman kecil. “Kau benar- benar atlit profesional, Oh Senna.”
“Sehun oppa, kenapa kau tiba- tiba baik padaku?” Masih dengan posisi yang sama – yaitu Senna yang memunggungi Sehun sambil terus berjalan maju- Senna bertanya. Dia sengaja tidak berbicara dengan melihat langsung mata Oh Sehun karena itu akan menunjukan rautnya yang begitu kesakitan sekarang.
Kenapa di kala ia ingin berhenti menyukai Oh Sehun, namja itu harus hadir kembali dengan sosoknya yang lama. Riang dan hangat.
“Karena aku terlalu banyak menyakitimu, Senna-ya. Sebagai kakak aku selalu merasa aku telah gagal dalam menjaga dan menyayangimu. Aku ingin menebusnya selama aku bisa.”
Aku ingin sekali mengatakannya padamu, aku menyukaimu oppa. Aku menyukaimu sebagaimana seorang yeoja menyukai seorang namja. Tapi aku tahu jika aku mengatakannya, aku akan kembali menjadi Oh Senna yang dulu, Oh Senna yang hanya bisa mengharap punggungmu akan berbalik padaku suatu saat. And its feels like hell. Menyakitkan.
“Selamanya, aku adalah adikmu bukan?”
“Tentu saja. Kau satu- satunya adikku, Oh Senna. Dan aku belajar banyak dari seseorang. Bahwa keberadaan saudara adalah sesuatu yang penting dan berharga. Selama kau bisa membahagiakan mereka, kau harus melakukannya.” Namja bermarga sama dengan Senna itu tersenyum pahit.
Apakah Gaemi sudah bahagia sekarang? Dia bisa bertemu lagi dengan oppanya.
“Bisakah kau memaafkan segala yang kulakukan padamu selama ini, Oh Senna?”
Senna berhenti, lalu ia berbalik. “Bagaimana kalau kita jalani saja hari ini? Lalu aku akan memberitahumu apakah aku bisa memaafkanmu atau tidak.”
Apakah aku bisa bersamamu tanpa berharap lebih? Jika aku bisa mungkin aku akan memaafkanmu dan membiarkanmu hadir di hidupku sebagai kakakku. Tapi apabila kenyataan berkata sebaliknya, aku hanya ingin menarik garis jarak sejauh mungkin darimu, Oh Sehun.
***
(Gaemi’s PoV)
“Kim Suho, bersiaplah! Aku akan menguras kantungmu.” Aku menoleh sekilas pada namja yang sedari tadi setia berdiri di sampingku. Ia hanya menyeringai menyebalkan.
“Tenang saja, kekayaanku tidak akan kau sangka- sangka. Aku tidak akan bankrut hanya karena menraktirmu es krim.”
Aku mengambil es krim dengan ukuran super besar. Rasa Vanila-Oreo yang sangat kusukai. Aku hendak beranjak ke counter selanjutnya untuk membeli wafer teman makan es krim ketika melihat mangkuk besar es krim rasa green tea atau matcha. Tanpa pikir panjang, aku pun meraih es krim dengan tampilan berwarna hijau itu. “Aku akan membeli semua rasa eskrim yang kusuka!”
Suho tertawa, dan aku bingung apa yang lucu sehingga ia tertawa. Mengabaikannya, aku mengambil rasa lainnya yang kusukai. Rencana awalku untuk membeli satu varian rasa pun musnah. Aku juga ingin membeli rasa Taro, Chocohip, dan Strawberry untuk mengisi kulkas di rumahku. Sementara kedua favouriteku –Vanila-Oreo dan Matcha- akan kuhabiskan di pantai.
“Sepertinya cuman kau satu- satunya orang yang memakan 2 mangkuk besar es krim sembari mengubur kakinya di bawah pasir. Bukankah es krim akan mudah meleleh di bawah sorotan matahari pantai, Nona Park?” Komentar Suho oppa membuatku mendengus.
“Aku akan menghabiskannya sebelum meleleh.” Lalu aku mulai berjalan meninggalkan counter es krim. Suho oppa seperti penguntitku berdiri tidak jauh di belakangku.
Sambil berjalan, aku menunduk untuk memeriksa keranjang tanganku. Ada 5 varian es krim di dalam sana, dan membawanya saja aku sudah mulai keberatan. Lalu tiba- tiba –
Aku tidak menyadari apa yang terjadi dengan sekelilingku, sampai sebuah tangan menarikku mundur dan punggungku menabrak dadanya.
“AWAS!!” lalu sebuah hardikan bergema di telingaku, ketika sesuatu hampir menabrak tubuh bagian depanku apabila tangan itu tidak menarikku mundur.
Aku terhenyak, dan menoleh ke belakang untuk mendapati Suho oppa memicingkan matanya ke sesuatu di belakang kepalaku.
“Adik kecil, kau hampir saja menabrak Nona ini dengan trolimu.”
“M-Mianhae.. aku sudah mencoba untuk berhenti ketika melihat – HUEEEEEEE!!!!!!!!!”
Lalu aku terbelalak melihat seorang anak usia kisaran 5 tahun menangis meraung- raung di depanku. Masih merasa bingung, aku bertanya. “Apa yang terjadi oppa?”
“Ketika kau menunduk untuk melihat keranjangmu. Anak itu berlari- lari sambil mendorong trolinya dari arah depan dan hampir saja akan menabrakmu walau aku tahu dia berusaha menahan laju gerak trolinya saat melihatmu.”
Kuhela napasku. Sepertinya kita juga tidak bisa untuk menyalahkan adik kecil ini. Aku pun cukup teledor disini karena tidak memperhatikan sekelilingku.
Kulepas genggaman tangan Suho di tanganku, menyimpan keranjangku di dekat kakiku dan berjalan ke arah adik kecil ini. Tidak mengatakan apapun, aku hanya membawanya –yang masih menangis kencang- ke pelukanku.
“NOONA!! KENAPA KAU MALAH MEMELUKU???!!!! AKU HAMPIR MEMBUNUHMU!” Jeritnya histeris dan mengundang banyak perhatian dari orang- orang yang sedang berbelanja di sekitar kami.
“Kau tidak akan membunuhku sama sekali, kau tidak berniat begitu kan? Noona tahu kok, kau sedang memiliki mainan baru. Troli itu terlihat seperti mobil- mobilan bagimu bukan?”
Tidak menjawab pertanyaanku, dia malah semakin menangis. Aku menepuk- nepuk pungungnya, berusaha menenangkannya.
“Siapa namamu, adik kecil?”
“Kenapa.. Hiksss… Kenapa kau ingin tahu namaku? HIKSS..”
“Supaya aku bisa menghiburmu sambil memanggil namamu, tentu saja.”
“Nam Sehun.”
Aku menelan tawaku yang hampir lolos dari bibirku ketika mendengar namanya. “Sehun-ah, uljima. Noona tidak apa- apa. Jangan merasa bersalah.”
“Tapi orang itu memarahiku.” Ujarnya polos sambil menunjuk ke arah Suho.
“Dia tidak memarahimu, dia hanya melindungi Noona dan dirimu.”
“MWOYA?! Kenapa dia melindungiku juga?”
Kulepas pelukanku padanya dan menatap tepat di matanya. “Dia memperingatimu agar kau tidak melakukan hal yang sama lagi dan berakhir benar- benar melukai orang lain. Itu termasuk ke dalam melindungimu bukan? Supaya Sehunnie tidak dimarahi oleh eomma karena berbuat kenakalan.”
“Sehun tidak mau lagi lari- lari di sini sambil membawa mobil itu.” Telunjuknya terarah pada troli yang ukurannya 2 kali lipat lebih besar darinya itu.
“Anak pintar. Sekarang di mana eommamu?”
“Eomma sedang bekerja dan menitipkanku di rumah sebelah. Tapi aku bosan, karena di sana mainannya itu- itu saja. Lalu aku kabur ke tempat ini ketika melihat mobil ini. Mobil ini mainan yang keren.”
Aku menoleh ke belakang, di mana Suho masih memperhatikan kami berdua dengan raut yang lebih tenang. “Di rumah sebelah itu tempat apa?”
“Entahlah, tapi jika aku tidak salah lihat ketika mengemudi. Mungkin tempat penitipan anak.”
Aku merengut memikirkan bagaimana bisa anak ini kabur dari tempat penitipan anak? Apa tidak ada orang dewasa yang khusus memperhatikannya di sana? Hhh…
“Oppa, kaja! Kita kembalikan Sehunnie ke tempat itu. Dan ingatkan aku untuk memarahi pengurus di sana karena keteledorannya.” Suho oppa tersenyum menanggapi ucapanku dan beralih mengambil kantung kerajangku sementara aku menggenggam tangan kecil Sehunnie.
Setelah membayar semua es krim yang tadi kupilih –sayangnya aku jadi lupa membeli wafer dan teman makan es krim. Aku bersama Suho oppa mengantar Sehunnie kembali ke penitipan anak. Mobil Suho mulai beranjak ketika anak kecil itu berbicara.
“Apa kita akan kembali ke penitipan anak?” nadanya terdengar murung dan bohong jika aku tidak mengerti perasaannya.
Saat kecil, aku selalu ditinggal orang tuaku untuk urusan bisnis mereka. Terkadang aku dititipkan ke tetangga bahkan ke tempat penitipan anak seperti yang dirasakan anak yang sedang duduk di bangku belakang itu.
Rasanya sepi dan kosong. Seakan- akan aku ditinggalkan dan tidak urus. Bahkan pernah sekali waktu aku merasa begitu sedih sampai menangis karena perasaan itu. Setelah menjadi dewasa aku mengerti bahwa semua yang dilakukan orang tuaku kepadaku memiliki alasannya sendiri. Dan setidaknya aku harus bersyukur karena mereka masih sangat menyayangiku. Setidaknya aku tidak di buang di tempat sampah setelah dilahirkan pun seharusnya aku sudah mensyukurinya.
“Apa yang kau pikirkan, Park Gaemi?” Suara Suho oppa terdengar penasaran dan menarikku kembali ke masa ini.
“Hanya teringat beberapa hal.” Aku tersenyum kecil dan mengalihkan perhatianku pada Sehun yang menunggu jawabanku. “Geurrae, kita harus tetap kembali ke sana, Sehunnie. Mereka akan mencarimu.”
Nam Sehun kelihatan ingin menangis tapi kurasa ia sedang mencoba menahannya. “Bi… Bisakah kalian jangan langsung meninggalkanku sesampainya kita di tempat itu? Bisakah kalian bermain sebentar denganku?”
“Memangnya, Sehunnie tidak mau bermain bersama teman- teman di sana?”
“SHIREO!” aku tersentak dengan jawaban tegasnya. “Mereka jahat padaku. Aku selalu mereka jahati karena kulit pucatku. Mereka bilang aku alien.”
Barulah ketika ia menyinggung keadaan kulitnya, aku memperhatikan kulitnya dengan saksama. Memang dia memiliki warna kulit yang putih dan pucat, tapi anak itu tidak bisa menjadi alasan kenapa mereka mendiskriminasi Sehunnie!
Dasar anak kecil!
“ Tenang saja Sehunnie, mereka hanya iri dengan keindahan kulitmu.”
Mata Sehun membulat dan menatapku antusias. “Menurutmu kulitku indah, noona?”
“Geurae. Kulitmu sangat bersih dan putih. Orang kedua dengan kulit terbagus yang pernah kulihat.”
“Jinjja? Lalu siapa yang pertama.”
“Namjachingu Noona.”
Nam Sehun terlihat ragu lalu melirik Suho yang masih fokus menyetir lamat – lamat. “Ada apa?” Tanyaku penasaran kenapa ia memperhatikan Suho sampai sebegitunya.
“Kulitnya tidak begitu bagus.” Ia menunjuk kulit tangan Suho dan aku hampir terbahak.
“Dia bukan namjachinguku.”
“AH? Lalu siapa dia?”
Aku melirik jahil Kim Suho. “Hanya sebatas supir saja kok.”
“YA!!!” Suho kelihatan kesal dengan perkataanku dan kelihatannya ingin menjitak kepalaku dengan tangannya yang mulai diturunkan dari setir. Tapi ketika tangannya hampir menyentuh kepalaku, Sehun kembali bersuara.
“Safety drive, supir! Kau hanya boleh fokus ke jalanan, arrachi?!” suaranya terdengar lucu dan aku benar- benar terbahak dibuatnya.
Jinjja! Anak ini lucu sekali. Dia benar- benar seperti miniatur Oh Sehun. Walaupun wajahnya tidak mirip sih.
***
(Author’s PoV)
Chiya mengetukan jarinya ke meja di hadapannya entah sudah ke berapa kalinya saat ini. Dia benar- benar bosan, kesal, dan ingin mencabik- cabik tubuh seseorang.
Ya! Seseorang itu adalah Kai aka Kim Jongin aka Si Sialan yang membuatnya menunggu lebih dari 1 jam.
Satu hal, dia tidak suka menunggu!
Semua tragedi ini berawal dari sebuah keputusan yang menjadi malapetaka baginya ketika guru matematika mereka menyuruh Kai dan Chiya menjadi satu tim untuk melakukan projek tugas matriks. Tidak menyenangkan di awal, dan terasa lebih memuakan ketika Kai dengan menyebalkannya meminta Chiya untuk mengerjakan projek matriks di sebuah Mall.
Alibinya adalah bahwa ia sering mengerjakan tugas bersama teman- temannya di foodcourt. Apa ia gila?! Bagaimana ia bisa berkonsentrasi di tempat bising seperti ini?
Gerutu Chiya dalam hati. Lalu kenapa Chiya menyetujui ide gila ini? Karena tawaran lainnya adalah mengerjakan tugas di rumah namja itu, yang berarti Chiya harus menghabiskan sepanjang hari BERDUA saja dengan Kim Jongin karena namja itu bilang bahwa ia tidak pernah menemukan siapapun di rumahnya setiap hari Sabtu. Karena semua orang sibuk dengan urusan masing- masing.
Oh God! Foodcourt looks better now.
Sayang sekali, Chiya tidak bisa membiarkan rumahnya diinjak oleh teman- temannya sehingga rumahnya tidak akan pernah menjadi pilihan.
“Wow, dari wajahmu aku mengambil kesimpulan kau sudah benar- benar siap untuk menerkamku!”
“KAI!” Chiya terlonjak mundur bersama kursinya ketika ia melihat Kai yang sudah berada di depannya, di sisi sebrang meja yang sedari ia diami. Kai terlihat cukup tampan dengan T-Shirt dan kemeja yang tidak ia kancing di bagian luar. Aishhhh… kenapa aku jadi memikirkan kalau style Kai di luar sekolah benar- benar keren! Kau sudah gila karena kelamaan menunggu, Yang Chiya.
Sementara Kai terkekeh melihat reaksi Chiya dan itu benar- benar membuat Chiya semakin muak. Setelah ia menenangkan jantungnyaa yang berpacu gila karena kaget, ia buru- buru menyemburkan segala unek- unek dalam hatinya –mengabaikan bahwa ia sempat beberapa detik terpana pada Kai.
“Kenapa baru datang sekarang?! Dari mana saja kau? Kau benar- benar gila karena sudah berhasil membuatku menunggu selama lebih dari 1 jam! Dan lihat, kau kelihatannya tidak membawa apapun. Di mana buku yang kuminta untuk kau sediakan untuk membantu mengerjakan projek ini? Ya! Aku benar- benar membencimu! Aku harus menuntut Jang Songsaengnim karena ia telah membuatku berkubu denganmu! Sialan, ini merupakan kejahatan.”
“Sudah selesai, nona?”
Chiya memelototi Kai sementara ia mengambil nafasnya yang putus- putus karena ia baru saja ‘ngerap’ beberapa saat yang lalu.
“Sudah.” Akunya polos, Kai tertawa melihat yeoja di hadapannya. Mungkin refleks tapi Kai tidak menyadarinya ketika tangannya terulur untuk mencubit pipi yeoja itu. Chiya sempat menganga tidak percaya dengan perbuatan Kai, tapi pada akhirnya ia mendesis. “Aku tidak suka disentuh olehmu.”
“Oh.. Mian.” Tandas Kai singkat, dari posturnya ia mempersiapkan diri untuk berdiri. “Baiklah karena kau sudah selesai menggerutu, sekarang kau temani aku bermain.”
“B..BERMAIN KATAMU?!” Acuh dengan amukkan Chiya, Kai malah menarik tangan Chiya yang sedang tergopoh- gopoh berjalan di belakang namja itu.
“Jujur saja aku sedang sangat malas untuk mengerjakan tugas. Jadi begini saja, bagaimana kalau kita bertaruh. Kau kalahkan aku dalam bermain pump dan aku akan menuruti semua kemauanmu, termasuk mencari buku yang pernah kau sebut di toko buku. Tapi kalau aku yang menang kita akan terus bermain pump sampai kau mengalahkan score ku.” Tutur Kai santai seraya menarik tangan Chiya dan memasuki lift. Sengaja ia melirik ke samping untuk mendapati raut yeoja itu yang menurutnya begitu lucu saat ini. Namun kekesalan pada raut wajahnya bertahan hanya sebentar.
Diluar dugaan Kai, Chiya justru menyeringai. Chiya menghentikan kekesalannya sesaat untuk membalas dendam pada namja ini. Ia bersumpah ia akan mempermalukan namja bernama lengkap Kim Jongin ini.
“Baiklah, kita akan bermain pump sebentar. Hanya saja ada tambahan syarat, jika aku menang. Kau akan mengerjakan semua tugas projek matriks, sendirian. Sementara aku akan langsung pulang ke rumah dan mendapat jatah tidur siangku di hari libur. Hari Senin aku akan menagih semua tugas itu dan semuanya sudah harus selesai. Call?”
Kai mendengus. “Kau meremehkanku. Baik, call.”
“Baiklah, kau sudah berjanji layaknya pria dan kalau kau melanggarnya kau bukan lagi Kim Jongin tapi Kim Jungah!”
TING!
Pintu lift terbuka dan mereka sudah siap menyambar mesin pump di lantai 3.
Lihat saja Kai, kau kira kau bisa membuatku kesal lagi. Aku juga bisa.
Akhirnya yeoja ini terpancing juga. Orang gila mana yang memilih mengerjakan tugas di banding mempunyai kesempatan untuk berkencan.
***
“Bagaimana kalau kalian menjaga Sehun sebentar?”
“N-ne?” Gaemi menatap bingung ke arah seorang ahjumma yang kelihatannya sibuk sekali dengan beberapa berkas file di kedua tangannya.
“Hari ini aku harus bergegas ke kantor sipil untuk mengurus akta tanah tempat ini, anak- anak yang lain sudah kupulangkan. Tapi begitu menyadari bahwa Sehun hilang aku sempat berpikir bahwa ia sudah dijemput eommanya tanpa sepengetahuanku. Nyatanya dia malah kabur ke Supermarket sebelah. Untung saja kalian menemukannya, kalau tidak aku pasti terkena masalah. Dan karena aku tidak punya waktu lebih untuk menghubungi eommanya, bagaimana jika kau temani Sehun di sini sebentar. Aku akan kembali dalam sejam.” Lalu dengan langkah terburu- buru ahjumma yang Gaemi pun tidak ketahui namanya menghilang di balik pintu masuk tempat ini, meninggalkan Gaemi speechless di tempat.
“Tempat penitipan anak ini benar- benar memiliki sistem yang sangat buruk.” Komentar Suho yang mengawasi Gaemi sedari tadi.
“Geurrae, oppa. Lagipula kenapa ia percaya sekali kalau kita bukan orang jahat?” Gaemi berbalik dan mendapati Suho yang tengah menyandar di badan sofa.
“Mungkin gara- gara itu.” Telunjuknya bergerak menunjuk beberapa CCTV yang terpasang di sudut- sudut ruangan.
“Matamu jeli sekali, oppa.” Gaemi menggelengkan kepalanya, lalu berjalan ke sisi Suho dan Sehun yang sedari tadi berdiam diri sambil memakan salah satu es krim yang dia ambil dari kantung plastik belanjaan Gaemi di mobil.
“Ketika aku punya anak nanti, sesibuk apapun aku dan suamiku kelak. Aku tidak akan pernah menitipkan anakku ke penitipan anak apalagi panti asuhan. Aku pernah merasakan bagaimana sepinya penitipan anak dan walaupun cuman lewat mimpi aku sering memimpikan keadaan panti asuhan. Terasa kosong dan hampa walaupun banyak orang yang menyayangi kita di tempat- tempat itu.”
Sekujur tubuh Suho menegang, “Kau bilang, kau pernah memimpikan panti asuhan?”
Gaemi masih belum menyadari perubahan raut wajah Suho karena sedari tadi matanya hanya jatuh pada satu titik, Sehun yang tengah lahap memakan es krimnya. “Eoh. Bahkan aku merasa seakan- akan aku pernah tinggal di sana. Mungkin di masa kecilku. Masa- masa di mana aku belum bisa mengingat apapun lewat memoriku, melainkan perasaanku saja.”
“Aniyo. Orang tuamu sangat menyayangimu, Gaemi-ya. Mereka tidak akan mungkin tega meninggalkanmu di panti asuhan.” Kilah Suho untuk dirinya sendiri. “Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya.” Namun untuk pernyataan ini, Suho benar- benar tulus dari hatinya.
“Oppa, terkadang aku penasaran.” Ungkap Gaemi jujur, matanya terlihat cerah.
“Hmm?”
“Aku penasaran dengan orang tuamu. Bolehkah, kalau sekali- kali aku bertemu dengan mereka?”
Suho benar- benar bungkam. Ia terdiam sangat lama, sampai Gaemi kelihatan merengut karena pertanyaannya tidak disambut baik. Tapi sesungguhnya Gaemi hanya tidak tahu saja apa yang dirasa Suho karena pertanyaannya.
“Oppa?”
“Kenapa kau ingin bertemu dengannya?”
Dengannya? Kini giliran Gaemi yang terdiam. Mengapa Suho tidak menggunakan kata ganti orang mereka? Apakah orang tua Suho oppa salah satunya telah tiada? Aigoo, pantas saja wajahnya jadi berubah sedih! Kesimpulan itu membuat Gaemi merasa begitu bersalah.
“Mianhae, oppa. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu sedih. Awalnya aku hanya ingin mengatakan bahwa orang tuamu membuatku penasaran, kenapa? Karena mereka telah berhasil membesarkan anak seperti dirimu.”
“Dari caramu berbicara, kau memandangku dengan kacamata super, Gaemi-ya?”
“Setidaknya kau harus tahu bahwa aku benar- benar mengagumimu oppa. Kau orang paling baik hati yang pernah kutemui.”
Suho tersenyum getir. Pembicaraan ini tidak bisa dilanjutkan.
“Sehun-ah, mau bermain dengan Hyung?”
“Main apa?” Fokus anak kecil ini berubah dari es krimnya ke wajah yang sebenarnya sedari tadi ia takuti karena pernah membentaknya.
“Apa hal yang paling kau inginkan yang tidak pernah kau lakukan?”
Sehun terlihat tertarik dan menaruh es krim dan sendoknya di lantai ia berjalan ke arah Suho yang sudah membungkuk ke arahnya. “Aku ingin kau menggendongku di punggungmu, lalu kita main kuda- kudaan, Hyung!!” Soraknya semangat. “Aku sering melihatnya di drama yang suka di tonton eomma setiap malam. Lalu ketika aku meminta appa melakukannya untukku, dia pasti menolaknya. Huh! Payah.”
Suho terkekeh, “KAJA!”
“WAAAA!!!!”
Gaemi tersenyum kecil melihat keakraban yang tiba- tiba terjadi antara Suho dan Sehun kecil. Namun di sudut hatinya, ia masih merasa sedikit tidak enak karena mungkin tadi pertanyaannya membuat Suho sedih bahkan tersinggung.
“Noona, kenapa diam saja?”
“Apa yang kau ingin aku lakukan, eoh? Ikut memintanya menggendongku juga? Dia bisa remuk karena berat badanku.” Gaemi tertawa melihat Suho yang menatap horor dirinya.
“Aniyooo~ suapi aku es krimnya lagi. Aaaa~ aaaa~” Sehun membuka mulutnya, lucu sekali!
Merasa ingin menjahili Park Gaemi, Suho dengan sengaja mengencangkan pegangan Nam Sehun di lehernya dan berjalan lebih cepat memutari ruang tengah penitipan anak itu ketika Gaemi juga ikut menyusul kecepatan Suho untuk menyuapi Sehun es krim di tangannya.
“Jinjja! Kim Suho, berhenti. Dia ingin es krim!”
“Dia juga ingin aku menjadi kuda yang cepat.. Tangkap aku, kalau kau bisa Gaemi-ya!”
“YAAAA!!!!” Suho tersenyum lebar, dia benar- benar suka saat ini. Ketika dia bisa mengisi waktunya dengan kebahagiaan. Gaemi membawa kebahagiaan yang sangat besar untuknya.
“Noona, aku mau es krim!!” Seakan- akan menjadi satu tim dengan Kim Suho, Nam Sehun ikut menjahili Gaemi dengan merengek es krim di kala Suho membawanya mengitari ruangan dengan cepat. Suho melirik untuk melihat Gaemi sudah bisa mengejarnya, tapi belum mampu menyuapi Sehun karena tinggi badannya yang sedikit lebih pendek darinya.
“Sehunnie, aaaaa~”
Gaemi melompat kecil untuk mengarahkan sendok es krimnya ke mulut Sehun ketika tangannya malah membawa sendok itu untuk mengenai hidung Suho.
“BAHAHAHAHAHAAAAAAAA!!!! RASAKANNNN!!!!!”
Tanpa diharapkan, Sehun yang berada dalam gendongannya pun tengah tertawa keras. Ya! Semenit yang lalu dia ada di kubunya, dan sekarang? Suho merengut dan hendak membalas Gaemi ketika yeoja itu sekali lagi mengenai es krim ke wajahnya. Kini dengan jarinya.
“Ah! Dingin!”
“Sehun, ayo bantu noona!” Bersinergi, Sehun dan Gaemi mengambil es krim dari embernya dan mengenai wajah dan juga rambut Suho.
“Issh! Aku baru keramas- YA!!!”
Suho tidak mau tinggal diam, dia menurunkan Sehun dari gendongannya dan mengambil ember es krim lainnya -rasa green tea. Dan membalaskan dendamnya pada kedua makhluk di hadapannya yang kini sedang ber-high five ria.
“Rasakan pembalasanku!!!”
“ANDWAEEEEE!!!!”
Lalu terjadilah tragedi kekanakan di ruang tengah yang luas itu di mana Suho vs Sehun-Gaemi sebagai judulnya dan perang es krim sebagai temanya. Tidak biasanya Suho bertingkah bodoh seperti ini, tapi hari ini dia mau melakukan apapun agar bisa menghadirkan tawa di wajah adik kesayangannya.
Matanya yang tertutup jika ia tertawa, sebuah lesung yang muncul ketika bibirnya melengkungkan senyum. Ia berharap bisa merekam ini selamanya dan menyimpannya dalam memori sebagai masa- masa di mana ia pernah bahagia.
Andai saja, hari ini bisa menjadi selamanya. Ia akan berdoa untuk hal itu.
***
“Mwohae?” Oh Sehun tersenyum kecil mendengar suara Gaemi di sambungan teleponnya. Ia belum berbicara apalagi bertemu dengan Gaeminya hari ini dan itu membuatnya kesal karena rindunya sendiri.
“Kau terdengar tidak senang aku menelponmu. Apa yang sedang kau lakukan?”
Gaemi terkekeh sedetik sebelum menjawab pertanyaan namjachingunya. “Aku baru saja ingin masuk ke kamar mandi. Badanku lengket semua! Aku juga perlu untuk keramas karena rambutku sudah berubah warna menjadi antara hijau dan… Pink?”
Sehun mengerinyit. Apa yang dilakukan pacarnya sampai terdengar mengenaskan? “Suho?”
“Suho, oppa sedang mandi juga di kamar mandi lainnya bersama Sehun.” Namja bermarga Oh ini mendengar tawa Gaemi dan ia masih tetap merasa kebingungan total.
Sehun siapa yang sedang mandi bersama Suho?
“Aku bingung Park Gaemi. Bisa kau jelaskan? Tapi pertama- tama di mana kau sekarang? Jangan jawab, di kamar mandi, mengerti?” Sehun melihat Senna yang sedang membawa nampan berisi makanan ke arah meja mereka. Kini mereka sedang berada di sebuah restoran ayam dan Sehun memang meminta Senna memesankannya makanan beberapa saat yang lalu ketika ia mencoba untuk menghubungi Gaemi. “Aku sedang bersama Oh Senna, tidak apa- apa kan?”
“Tentu saja! Memangnya apa masalahnya? Kkkk.. Aku sedang berada di salah satu tempat penitipan anak di Seoul. Aku akan menceritakan semua yang terjadi hari ini nanti. Yang pasti kau bisa menjamin satu hal, Sehunnie. Aku sangat senang hari ini. Nomu nomu nomuuuuu haengbokhae!!”
Sehun tersenyum. Dari suaranya saja ia sudah tahu Gaemi sedang sangat senang, bahkan ia sampai menjerit- jerit kecil untuk melampiaskan kebahagiaannya. Sehun ikut bahagia mendengar yeoja chingunya bahagia. Tapi sayangnya… Ia takut kebahagiaan itu hanyalah sekejap saja.
“Sehun, kututup dulu yah. Aku benar- benar tidak tahan dengan lengket es krim di sekujur tubuhku. Annyeong!”
“Hmmm.. Jangan menyanyi di kamar mandi, jika Suho Hyung mendengarnya kau bisa membuatku malu.”
“Ya! Memangnya kau pernah mendengarku-“
“Saranghae.”
Gaemi terdiam, suara lembut Sehun yang mengatakan bahwa ia mencintainya membuat jantungnya berdebar keras.
“Nado saranghae.”
BIP
Sehun menutup panggilan teleponnya dan bersiap untuk meraih fried chicken dalam ember di depan wajahnya. Namun ketika ia hampir meraih ayam- ayam kesukaannya itu, tangan Senna ‘menampar’ tangannya.
“Cuci tangan dulu! Jorok sekali kau, oppa.“
“Ahh, matta. Tapi tidak perlulah. Aku sudah lapar.”
Senna melotot dan mendengus kesal. “OPPA!! Aku tidak mau makan di ember ayam kalau kau menularkan kuman dari tanganmu di tempat yang sama!”
Sehun tertawa kecil, tangannya meraih rambut Senna dan mengacak- acaknya. “Kutularkan kumannya di rambutmu saja yah?”
“AISH JINJJA! Kenapa sih oppaku setolol ini?!”
“Y-YA! Kau orang pertama yang mengatakan aku tolol!” Sehun benar- benar merasa tidak terima sekarang.
“Tapi aku lebih suka kau yang tolol seperti sekarang di bandingkan kau yang sok dingin seperti beberapa tahun ke belakang. Jangan berubah lagi yah, oppa?” Tatapan Senna melembut dan di detik di mana ia melihat Sehun tersenyum tulus ke arahnya. Jantungnya berhenti berdetak, sesaat. Bukan karena rasa sukanya pada Sehun. Tapi senyuman itu mengingatkannya akan senyuman anak kecil yang menjaganya di masa kecilnya. Senyumannya masih sangat sama walaupun ia sudah tumbuh besar sekarang.
“Errrr.. Adik yang berisik. Sama seperti dulu.” Lalu sekali lagi Sehun mengacak rambut Senna dengan tangannya dan melangkah pergi meninggalkan meja mereka. Tujuannya adalah wastafel untuk memuaskan Senna yang akan komplen lagi kalau ia sekali lagi berusaha mengambil ayam tanpa cuci tangan.
“Oppa.” Namun Senna menahannya dengan panggilannya. “Apakah kau sangat mencintai Gaemi eonni?“
Sehun sekali lagi tersenyum. Pertanyaan ini begitu retoris, tapi ia akan menjawabnya dengan cara yang lain. “Cinta selalu bisa mengubah seseorang.”
Benar, Sehun berubah karena cintanya untuk yeoja chingunya. Sehun bisa berubah kembali pada dirinya yang dulu karena itu. Sehun oppa bukan saja mencintai Park Gaemi, kata cinta saja tidak cukup untuk mewakili perasaan itu.
Senna tersenyum tulus. Dia sekarang bisa kembali menjadi yeodongsaeng dari seorang Oh Sehun. Tentu saja, setelah ia bisa membuktikannya sendiri kalau Sehun benar- benar mencintai yeoja itu.
“Oppa, aku akan kembali menjadi adik kecilmu mulai saat ini…” Gumam Senna lega, Sehun sudah berada di balik wastafel ketika ia menggumamkan sebuah kalimat yang bisa membuat beban di hatinya perlahan- lahan menguap. Dan pada akhirnya ia benar- benar bisa merasa tenang ketika Sehun ada di sekelilingnya.
Menjadi seorang adik dari Oh Sehun adalah satu- satunya cara untuk menemukan jalan pulang dari perasaannya yang sudah terlalu lama tersesat.
***
“Hosshhhh.. Hossshhh.. Yang Chiya, geumanhae! Aku mengaku kalah…”
Dengan peluh keringat yang bukan hanya muncul dari keningnya, melainkan sekujur tubuhnya. Kim Jongin akhirnya mengaku kalah. Sebuah kalimat yang benar- benar ditunggu- tunggu oleh lawan mainnya, Yang Chiya.
Setelah bermain pump selama 4 jam dan membuat kaki mereka berdua ingin putus rasanya. Akhirnya kesepakatan itu diraih. Kai akhirnya mau mengaku kalah. Walaupun hatinya begitu dongkol!
Bagaimana bisa seorang Yang Chiya yang terlihat begitu dingin dan tenang itu bisa mengalahkan dirinya dalam hal yang berbau dance? Ckkkkk..
“Kau bisa menari, eoh?” Suara Kai masih terdengar begitu lelah. Sama halnya dengan Chiya yang terduduk lelah bersandar pada mesin pump. Mereka sudah terlalu gila bermain hanya untuk kata ‘Aku kalah’.
“Tidak ada yang tahu kecuali mesim pump kalau aku suka menari, puas?” Chiya berusaha meraih botol minum di tasnya ketika tangan Kai secara mendadak meraih tas Chiya terlebih dahulu dan mencari botol itu di sana.
GLEKKK
“Kau apa- apaan!!”
“Aku haus.”
“Kenapa kau minum dari botolku?!” Kai menyisakan setengah dari isi botol itu dan menyerahkannya pada Chiya yang kelihatan siap mengamuk lagi. “Kau haus.”
“Shireo!” Chiya merinding membayangkan dirinya meminum air dari botol yang sama dengan Kai. Tapi ia sangat haus… Sampai rasanya urat- urat di lehernya bisa putus karena terlalu kering. Oke, analogi yang aneh. Tapi otaknya lebih aneh lagi ketika ia memerintahkan tangannya untuk meraih botol minum itu dan ikut menegak air segar dari situ.
“Kita seperti berciuman saja yah?”
“UHUKKKK!!!!”
Chiya menyemburkan air di mulutnya ketika komentar Kai benar- benar mengagetkannya. Ketika ia menoleh ke samping ia mendapati Kai yang sedang menertawakannya. Dia ingin sekali marah, atau mencekik namja itu. Tapi dia malah hanyut dan mengamati betapa indahnya wajah Kai ketika ia tertawa. Matanya tertutup sempurna dan menyisakan lengkungan bulan sabit, bibir penuhnya-
YA!! APA- APAAN, YANG CHIYA! KAU SUDAH BENAR- BENAR GILA HARI INI!!!
“Aku pulang. Selesaikan tugas matriks sesuai janjimu. Senin aku akan menagihnya.” Bukan Yang Chiya namanya kalau ia tidak bisa menutupi kehisterisannya dengan wajah dinginnya. Lalu dengan gerakan santai, ia berdiri dan walaupun kakinya masih terasa ingin putus ia pergi meninggalkan Kai yang masih terdiam di tempat. Tapi sebelum ia benar- benar pergi, ia mendengar suara Kai yang anehnya membuat jantungnya berdebar tidak karuan.
“Oh ya, selain mesim pump. Aku adalah orang pertama yang mengetahui bahwa kau suka menari, Yang Chiya.”
DEG
DEG DEG
Ya, Tuhan….
***
Park Gaemi menatap keluar jendela mobil dengan tatapan sedih. Sayang sekali hari ini ia jadi tidak bisa pergi ke pantai. Padahal ia ingin sekali. Jam sudah menunjukan pukul 17.25 dan sebentar lagi matahari akan terbenam. Apakah masih mungkin ia melihat sunset di pantai?
Tapi ia merasa malu untuk mengatakan keinginannya. Karena Suho oppa pasti sudah sangat lelah setelah menemani Nam Sehun bermain seharian.
Setelah mandi, Sehun masih ingin ditemani bermain puzzle dan butuh beberapa jam sampai akhirnya ia tepar di atas sofa dan ketika itulah ahjumma datang -bodoh sekali Gaemi mempercayai ahjumma itu ketika ia bilang akan kembali dalam waktu sejam- dan mengurus Sehun. Katanya, eommanya akan menjemputnya sebentar lagi. Sehingga sudah saatnya bagi Gaemi dan Suho berpisah dengan anak lucu itu. Sedih juga mengingat mereka meninggalkan Sehun begitu saja ketika namja kecil itu tertidur.
“Oppa?”
“Hmmm?”
“Sekarang kita mau ke mana lagi?”
“Kau masih mau melihat sunset di pantai, kan?”
Gaemi terkejut dan menoleh ke samping. “Jinjjayo?!” Matanya membiaskan perasaan excited yang meluap- luap.
“Semoga kita tidak terlambat.”
Setelah beberapa menit, di sinilah mereka sekarang. Pantai eurwangni yang terkenal dengan kerang di pasir putihnya. Pantai yang dekat dengan Seoul dan Incheon yang menjadi favourite saat liburan musim panas.
Pemandangan pohon pinus dan bebatuan yang indah menyapa indra Gaemi dan dia tersenyum lagi -entah yang ke berapa kali hari ini.
“Kau senang?”
“Tentu saja!”
Suho mendudukan dirinya di kap depan mobilnya, disusul dengan Gaemi yang kini tengah takjub melihat matahari yang perlahan- lahan turun dari peraduannya. Timing Suho benar- benar tepat. Pemandangan yang begituuuu.. Indah. Membuat hatinya menghangat.
“Oppa?” Masih dengan fokus mata yang sama, Gaemi ingin sekali menanyakan sebuah pertanyaan yang terus menerus menganggunya sepanjang hari. “Apakah kau akan pergi lagi?”
Suho terdiam cukup lama sampai menemukan keberanian itu. Dia masih belum berani menoleh ke samping dan membiarkan matanya hanya menangkap view dari matahari yang perlahan- lahan mulai lenyap. “Eoh.”
“Seberapa lama?”
“Aku tidak tahu.”
“Kau akan kembali?”
“Aku… Aku juga tidak tahu.”
“Apakah mungkin aku bisa melihatmu lagi di masa depan?”
Suho menutup matanya, tidak sanggup lagi menahan seluruh perasaan yang ia rasakan. Perlahan air matanya turun dari pelupuk matanya, ia menggigit bibir bawahnya agar isakan tidak keluar dari mulutnya, dan tangan kanannya terarah ke hatinya tempat di mana ia merasa begitu kesakitan. Dia sudah tidak peduli lagi bagaimana pendapat Gaemi tentang seorang namja yang menangis. Ia hanya tidak sanggup lagi menahan semuanya tanpa tangisan.
“Gae… Gaemi-ya. A.. Ak.. Aku tidak tahu.” Suaranya benar- benar terdengar menyakitkan bahkan untuk dirinya sendiri.
Tubuhnya bergetar hebat dan saat itulah sebuah tangan kecil menyentuh pundaknya dan membawanya dalam pelukan. Suho mengubur wajahnya di pundak Gaemi ketika yeoja itu menepuk punggungnya lembut.
“Gaemi-ya.. Aku sangat menyayangimu.”
Gaemi hanya bisa terdiam mendengar isakan tangisan dari seorang Kim Suho. Matahari sudah tidak menunjukan cahayanya lagi dan langit menjadi benar- benar gelap. Tidak ada yang bisa melihat Suho menangis selain dirinya.
Dirinya yang hanya bisa bertanya- tanya, kenapa Suho menangis? Apa yang ia rasakan? Apa yang ia alami hingga seperti ini? Kenapa ia harus pergi meninggalkannya?
Tapi lidahnya tidak mampu mengatakan pertanyaannya. Ia hanya bisa mengatakan bahwa…
“Oppa, aku juga sangat menyayangimu.”
Ia sangat menyayangi seorang Kim Suho.
“Katakan, Gaemi-ya. Apa yang ingin kau katakan padaku?”
Gaemi menelan bongkahan pahit di lehernya yang bisa menimbulkan air matanya. Ia tidak boleh menangis di saat namja itu menangis.
“Aku.. Aku hanya ingin kau hidup sehat dan bahagia. Walaupun aku tidak akan bertemu lagi denganmu, kuharap kau tidak melupakanku. Karena aku pun tidak akan melupakanmu. Kau adalah salah satu orang yang paling kusyukuri pernah kutemui di hidupku. Kau orang baik yang sangat kusayangi. Aku hanya ingin kau mengingat hal ini oppa.”
Sakit, rasanya begitu menyakitkan. Gaemi tidak tahu apa alasannya, kenapa ia bisa merasakan emosi yang begitu besar pada sosok Kim Suho. Sementara Kim Suho di sisi lain, tahu dengan pasti apa yang mendasari perasaannya ini.
Karena Gaemi adalah adiknya. Ada ikatan darah yang membuat mereka terikat akan emosi yang dalam. Emosi yang dapat membuat mereka sama- sama tersenyum atau menangis.
Karena sekarang, walaupun Gaemi tidak menginginkannya. Ia juga menangis bersama Kim Suho.
“Oppa? Bolehkah aku meminta satu hal saja padamu?”
“Katakan..” Jika aku bisa, aku akan mewujudkannya. Selama aku bisa melakukannya.
“Jika aku menikah dengan Sehun di masa depan, aku ingin kau datang ke pernikahanku.”
Suho terdiam. Begitu pun dengan Park Gaemi. Sampai Gaemi mengatakan hal terindah yang pernah Suho dengar.
“Aku ingin kakakku merestui pernikahanku nanti.”
TBC
