Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Love’s Plan

$
0
0

CoverLovePlan

Title : Love’s Plan

Cast :

  • Park Chan Yeol
  • Kang Jang Mi

Genre :Romance, Life slide

Author : Lee Young

Lenght : Oneshot

Rate : G

Summary :

Ribuan malam, menatap bintang dan harapan. Dan….

Ribuan siang, menahan perih penantian.

Mungkin Tuhan ingin, kita sama-sama tuk mencari. Saling merindukan dalam doa-doa, mendekatkan jarak kita….

***

Park Chan Yeol tengah mengetik pekerjaannya di laptop ketika sebuah undangan mendarat di meja kerja. Laki-laki itu mendongak, menatap orang yang baru saja menginterupsi kegiatannya. Byun Baek Hyun, sahabat baik laki-laki itu meringis sebari menarik sebuah kursi. Dia berakhir duduk di hadapan Park Chan Yeol.

Chan Yeol membenarkan kacamatanya. Laki-laki itu meraih undangan dengan tangan kanan.

“Undangan?,” tanya Chan Yeol sebari mengangkat undangan ke udara. Baek Hyun terkekeh. Laki-laki berdagu lancip itu seakan ingin Chan Yeol menebak sendiri maksud undangan yang dia berikan. Karena semua memang sudah jelas.

“Oh,” Chan Yeol memekik ketika sadar jika dia sudah menjadi sangat menyebalkan di hadapan sahabatnya sendiri. “Maafkan aku, tapi… kau benar-benar akan menikah minggu depan?” tanya Chan Yeol. Mata bulatnya bertambah lebar. 

“Kau pikir, hal semacam itu bisa dibuat lelucon?,” tanya Baek Hyun retoris. “Tentu saja iya, Chan Yeol-a. Kami sudah seharusnya menikah. Aku dan calon istriku,” lanjut Baek Hyun. Dia tersenyum dengan binar kebahagiaan yang terpancar jelas dari kedua matanya.

Chan Yeol terkekeh¾menyadari kebodohannya. Bagaimana dia bisa lupa jika sahabatnya itu sudah serius dengan hubungan percintaannya? Ah, ini pasti gara-gara Chan Yeol yang terlalu sibuk bekerja. Tak heran, Chan Yeol tengah dalam usaha untuk mendapatkan promosi dari atasan mereka di kantor.

“Aigooo… maafkan aku hha-haa. Aku sama sekali tak sadar jika sahabatku ini sudah begitu siap membina sebuah rumah tangga,” tanggap Chan Yeol. Laki-laki itu menggeleng. Rasanya baru kemarin mereka bersahabat, sebagai seorang siswa SMA.

Baek Hyun menghela napas. Laki-laki berdagu lancip itu menerawang langit-langit kantor, “Iya, aku pun tak menyangka jika waktu akan berjalan secepat ini,” Baek Hyun terkekeh. Dia mengulurkan tangan untuk menepuk pundak Chan Yeol, “Dan seharusnya, kau pun juga sudah siap, Chan Yeol. Tak ada alasan untuk mengundurnya lagi,” kata Baek Hyun.

“Cari seorang kekasih, dan ajak dia menikah,” lanjut Baek Hyun.

Chan Yeol menghela napas. Tak semudah itu. Bahkan, Chan Yeol sudah mencoba. Laki-laki itu pun tak berniat mengundur untuk segera menikah.

Lagipula siapa yang tak ingin untuk segera menikah?

Park Chan Yeol pun ingin bertemu dengan seorang wanita yang pantas menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Tapi masalahnya, Chan Yeol selalu gagal. Gadis yang dikenalnya tak mampu membuat Chan Yeol jatuh cinta melebihi sekedar terlena oleh kemolekan fisik dan kecantikan wajah. Dan semua berakhir mengecewakan. Kalau Chan Yeol tidak diselingkuhi, laki-laki itu berakhir dicampakan dengan alasan Chan Yeol terlalu sibuk dengan pekerjaan. Menyedihkan.

“Mungkin…. suatu saat nanti, Baek Hyun,” balas Chan Yeol kemudian. Laki-laki itu tersenyum lebar lalu beralih untuk kembali melanjutkan pekerjaan. Chan Yeol sengaja mengalihkan pembicaraan. Karena dia tahu, semakin dia membicarakannya. Semakin Chan Yeol merasa jika gemuruh dalam dadanya tak bisa dihentikan.

Dia pun ingin dicintai. Ingin segera menemukan tulang rusuknya yang hilang. Puzzle kehidupannya.

***

“Jang Mi-yaa….,” suara manja Da Ran terdengar ketika Jang Mi tengah memasukkan hasil ulangan siswa-nya ke daftar nilai. Gadis itu menoleh, menatap Da Ran yang sudah duduk di kursi di sampingnya. Da Ran mengulurkan tangan, menyerahkan sebuah proposal dengan cover mika bening.

“Apa ini?,” tanya Jang Mi. Kening gadis itu berkerut, sebari menerima proposal dari tangan Da Ran.

“Proposal acara perpisahan kepala sekolah. Kau tahu? Beliau ingin kita¾para guru yang mengurusnya,” jelas Da Ran. Jang Mi melirik Da Ran sekilas, lalu membuka proposal yang sudah berada di tangannya. Susunan acara beserta rincian dana langsung terpampang jelas.

Jang Mi mendongak, “Tidak langsung ke EO saja?,” tanya Jang Mi.

“Ya! EO itu mahal, Jang Mi. Beliau ingin sesuatu yang murah. Lagipula, kau kan handal dalam urusan seperti ini. Terlebih urusan sponsorship,” Da Ran menyipitkan matanya penuh makna. Membuat Jang Mi terkekeh tak percaya jika dia masih belum sepenuhnya lepas dari kepercayaan ini.

Jang Mi menghela napas, sebelum akhirnya mengangguk samar.

“Jalhada. Itu baru temanku,” kata Da Ran. Gadis itu menyenggol lengan Jang Mi sekilas, hingga membuat keduanya terbahak bersama. “Kau tahu? Aku kadang tak mengerti kenapa begitu banyak orang yang percaya denganku jika berurusan dengan hal-hal ini,” kata Jang Mi. Wanita itu kembali meraih ulangan para siswanya, melihat nilainya, dan meng-input di Ms. Excel yang sudah terpampang di hadapannya.

Da Ran tersenyum, “Mungkin… kau memang ditakdirkan dalam urusan ini. Lagipula, wanita dengan kemampuan sepertimu itu luar biasa, Jang Mi. Oh ya, kau tahu, istri kakak sepupuku juga sepertimu. Dia mudah sekali mencari sponsor untuk acara yang diselenggarakan suaminya,” jelas Da Ran.

“Benar,kah?” tanya Jang Mi. Satu alisnya sudah terangkat. Kata ‘istri’ memang selalu sensitif di telinga Jang Mi.

Da Ran mengangguk. Gadis itu menatap Jang Mi riang, “Geurae…. dia hebat sekali. Kau pasti nanti juga akan menjadi istri yang hebat untuk suamimu,” goda Da Ran.

Jang Mi terkekeh. Kenapa Da Ran malah berakhir menggodanya? Toh Jang Mi merasa masih sangat jauh untuk melangkah ke jenjang itu. Pernikahan. Gadis itu hanya mampu menghela napas ketika membicarakan topik itu bersama sahabatnya.

“Kau ini apa-apaan? Kenapa malah berbicara tentang suami-istri, eoh? Melenceng jauh sekali…”

“Eiii… usia kita sudah pantas membicarakan masalah-masalah semacam itu. Lagipula, kau seharusnya sudah berpikir untuk kearah sana, Jang Mi. Kau tidak ingin seperti ini?” Da Ran memegang perutnya yang membuncit. Ya, Da Ran sudah menikah. Bahkan wanita itu sudah mengandung anak pertamanya.

Jang Mi tersenyum. Gadis itu mengelus perut Da Ran lembut, sebelum kembali mengurus nilai anak didiknya. “Mungkin… suatu saat nanti, Da Ran,”ucap Jang Mi sebari memasukkan nilai siswa. Gadis itu sesekali menoleh kearah Da Ran di sampingnya. Masih tersenyum.

Diam-diam, Jang Mi ingin sekali menghela napas. Dadanya terasa begitu sesak. Sesuatu seperti menggelitik perutnya. Topik satu itu memang selalu berhasil mengganggu ketenangannya. Menikah. Kang Jang Mi pun ingin segera menikah. Menyusul para sahabatnya. Tapi, entah kenapa semua itu sulit sekali Jang Mi capai. Sekali pun Jang Mi tak pernah merasa dirindukan. Tak sekalipun dia merasa jika dia diinginkan. Karena yang ada… hanya dia yang merindukan. Merindukan seseorang yang entah siapa. Merindukan sosok yang selalu Jang Mi harapkan menjadi kotak puzzle untuk potongan Jang Mi yang tersesat.

Jang Mi ingin menemukan pemilik rusuk tempatnya berlabuh.

***

Langit malam berwarna hitam tanpa bintang. Angin musim gugur berhembus kencang, menerbangkan dedaunan ke segala arah. Bahkan hampir-hampir balkon apartemen Chan Yeol kotor karena hembusannya.

Laki-laki itu tampak menumpukan tangannya di balkon kamar, menatap langit malam. Dia menghela napas. Gelap. Langit malam ini seakan tak lengkap tanpa kehadiran bulan dan bintang. Seperti hidupnya yang semakin lama terasa semakin tak lengkap.

Menikah.

Satu kata itu berhasil membuat dada Chan Yeol berdesir tak jelas. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ini gila,kan? Chan Yeol tidak sedang melihat seseorang yang disukainya, tapi kenapa rasanya seakan dia tengah terjebak di dalam sebuah kerinduan yang teramat sangat? Kenapa rasanya Chan Yeol merasa tak tenang jika memikirkan kata itu lagi dan lagi? Menikah. Satu kata tapi berjuta makna. Satu kata yang merujuk kepada sebuah keputusan agung untuk membawa dua insan mengarungi hidup bersama.

Chan Yeol memejamkan mata. Tangan kanannya bergerak mengelus dadanya sendiri. Ya Tuhan… kenapa dia bisa merasa seperti ini? Dia belum akan menikah. Dia belum menemukan seseorang yang pantas untuk diajak menikah. Tapi, entah kenapa, kerinduan ini malah semakin sering menghujam dadanya. Kerinduan tanpa syarat.

Chan Yeol menghembuskan napasnya melalui mulut. Oke, dia tidak boleh terlalu larut dalam perasaan aneh ini. Mungkin… jalan-jalan di sepanjang kota bisa membuat perasaannya teralihkan.

Chan Yeol menepuk pembatas balkon kamar sekali, sebelum akhirnya berbalik. Baiklah. Dia jalan-jalan saja malam ini.

***

Jang Mi tengah melihat papan informasi ketika angin musim gugur berhembus dengan sangat kencang. Daun dan rerumputan kering langsung menyeruak, berhamburan keatas. Membuat Jang Mi langsung menutup hidungnya. Begitu pula beberapa orang yang melintas.

Klotak Brag

Jang Mi segera menoleh ke belakang. Suara ribut itu terdengar sesaat setelah angin berlalu. Seorang laki-laki jangkung tampak membungkuk untuk mengambil kaleng bekas yang sudah penyok di pinggir jalan. Bibir laki-laki itu bergerak tak jelas. Mengomel. Jang Mi segera tahu jika laki-laki itu hampir terjungkal karena menginjak kaleng bekas soda yang terbawa angin.

Awalnya Jang Mi tak begitu peduli, tapi menyadari betapa berwibawanya laki-laki itu membuat Jang Mi segera memalingkan wajah. Wajah wanita itu sudah merah padam. Panas.

“Aish.. jeongmal… ,” suara itu terdengar tepat di samping Jang Mi¾dari arah barisan tong sampah organik-anorganik yang berada di samping papan informasi. Jang Mi pura-pura tak memperhatikan dan sibuk melihat informasi potongan harga yang tertempel. Laki-laki itu berakhir menjauh setelah membuang kaleng bekas ke tong sampah.

Jang Mi melirik sekilas. Wajahnya bertambah merah ketika melihat laki-laki itu menatapponselnya sekilas. Dan oh¾laki-laki itu menyingkirkan ranting yang mengotori trotoar, hingga berhenti di halte karena seseorang menghentikannya. Bertanya alamat. Laki-laki itu tampak menjelaskan sebari menunjuk ke segala arah. Wajah di balik kacamatanya begitu tenang. Tak ada keangkuhan. Lembut. Tam¾Jang Mi segera menggelengkan kepalanya kuat. Tidak! Jang Mi tak boleh seperti ini. Murahan sekali!

Gadis itu berakhir berdehem lalu melanjutkan membaca daftar harga. Dia harus menghafalkan daftar harga sebelum pergi ke supermarket, nanti.

***

Chan Yeol menyesap kopi panas sebari melihat ke sekeliling. Setelah hampir 30 menit berjalan di sepanjang trotoar, menginjak kaleng bekas, menendang ranting, hingga menjadi penunjuk arah, laki-laki itu akhirnya memutusnya untuk duduk di food courtsebuah supermarket terkenal kota.

Orang-orang sibuk melintas bergantian. Mendorong troley hingga menenteng plastik besar belanjaan. Chan Yeol tak begitu peduli, hingga suara kemelontang nampan jatuh mengalihkan perhatiannya. Seorang waitress tampak kelabakan berjongkok membersihkan makanan di lantai, dan seorang wanita yang berlari mendekat dengan tas belanjaan di tangan kirinya.

Chan Yeol tak tahu kenapa dia begitu ingin memperhatikan, tapi pemandangan monoton supermarket membuat laki-laki itu memilih melihat kejadian itu sebagai hiburan. Sebelum dia sadar jika jantungnya seperti berhenti berdetak ketika melihat wanita itu ikut membersihkan makanan yang berserakan.

“Tidak apa-apa.. toh ini makanan pesananku,” suara itu terdengar sayup di telinga Chan Yeol. Membuat laki-laki itu menelan ludah dan semakin intens menatap wajah wanita yang masih sibuk membantu membereskan makanan di lantai. Cantik? Tidak terlalu. Manis? Pipi Chan Yeol sudah bersemu merah ketika sadar jika sebuah aura tak terdefinisikan terpancar jelas dari sana. Chan Yeol segera memalingkan wajahnya. Oke, dimulai lagi. Chan Yeol tak ingin jika harus jatuh cinta karena wajah.

Chan Yeol berakhir menatap kearah lain. Tapi sial, gadis itu malah duduk di bangku yang ada di hadapannya. Gadis itu tampak merogoh tas belanjanya, dan mengeluarkan kardus teflon dari sana. Chan Yeol mengerutkan keningnya. Gadis itu membaca kardus sekilas, lalu mengangguk-angguk paham. Chan Yeol tak tahu apa yang dipikirkan gadis itu, tapi melihat bagaimana gadis itu tersenyum¾membuatnya mulai menebak jika mungkin dia baru saja mempelajari plus minus teflon.

Senyum Chan Yeol melengkung tanpa laki-laki itu sadari. Lucu juga. Tak biasanya wanita seusia itu senang karena teflon. Dan, eh, apa? Buku resep? Chan Yeol semakin ingin memperhatikan ketika melihat gadis itu membuka sebuah buku resep masakan tradisional Korea. Ternyata masih ada ya… orang yang peduli dengan masakan?

Chan Yeol menyeruput kopinya sebari terus menatap gadis itu lekat. Ketenangan yang luar biasa segera menguasai dada Park Chan Yeol. Tanpa laki-laki itu tahu penyebabnya.

***

Bagi banyak orang, mungkin cinta diartikan sebagai sesuatu yang rumit. Cinta selalu identik dengan airmata. Selalu diartikan pahit diantara manis, atau manis diantara pahit. Mungkin semua itu benar, jika selama ini cinta masih dalam penantian. Gemuruh perasaan dan kerinduan selalu menganggu ketenangan. Terlebih, ketika mata sudah menangkap sesosok tak terduga dalam satu kesempatan.

Jang Mi yang baru saja meletakkan teflon barunya ke meja, segera duduk di kursi ruang makan. Dadanya berdesir tak nyaman. Jantungnya berdegup dengan cara yang sama sekali tak normal. Bayangan laki-laki barusan semakin memperparah kegundahan hati Jang Mi malam ini.

Laki-laki itu bukan seorang metroseksual dengan penampilan keren yang berlebihan. Dia hanya seorang laki-laki jangkung berkacamata dengan baju kotak-kotak dan celana jins sederhana. Tapi sikapnya berhasil membuat wajah Jang Mi kembali memanas. Masih teringat betapa responsifnya laki-laki itu ketika membuang kaleng bekas ke tong sampah¾bukan menendangnya ke segala arah. Betapa pedulinya laki-laki itu ketika dia menyingkirkan ranting ke pinggir jalan hingga menolong orang yang bertanya arah.

Laki-laki barusan, membuat Jang Mi mengelus dadanya sendiri. Jang Mi memejamkan mata ketika dia sadar jika dia telah jatuh hati kepada seseorang yang sama sekali tak dikenal. Dan kini, saatnya Jang Mi meminta kepada Tuhan untuk memperjelas semuanya.

Jang Mi terus memejamkan mata. Tak ingin membukanya, sebelum dia selesai mengutarakan semua maksudnya.

Mungkin ini gila. Tapi, Jang Mi ingin menjadi bagian dari tulang rusuk laki-laki semacam itu. Ingin menjadi pelengkap setengah kehidupan laki-laki berwibawa yang begitu peduli kepada orang lain. Calon ayah untuk anak-anaknya. Ingin sekali.

Sementara di kejauhan, tak ada yang tahu jika Chan Yeol pun menerawang langit malam sekali lagi. Laki-laki itu sibuk mengatur jantungnya yang berdegup tak beraturan. Dadanya berdesir menggelikan.

Mengingat gadis tadi membuatnya ingat tentang nasihat ibunya. Ibu bilang, wanita yang baik adalah wanita yang pandai memasak. Wanita yang baik selalu peduli dengan segala hal yang dimakan suami dan anak-anaknya. Wanita yang baik… adalah wanita yang selalu peduli dan mendukung setiap langkah baik Chan Yeol dalam kehidupan. Dan wanita yang baik, adalah wanita yang selalu berhasil memberinya ketenangan.

Chan Yeol memejamkan mata. Gemuruh dalam dadanya semakin terasa tak terkendali. Membuatnya tak ingin membuka mata hingga dia selesai mengutarakan seluruh keinginannya. Langsung saja. Chan Yeol ingin mengetahui gadis itu lebih jauh lagi. Laki-laki itu ingin tahu apakah puzzle-nya yang hilang dibawa oleh gadis itu. Apakah separuh kehidupannya ada di tangan gadis itu. Apakah potongan tulang rusuknya yang hilang adalah gadis itu. Chan Yeol masih memejamkan mata. Sebari terus meminta kepada Tuhan, untuk menjawab ‘Iya’.

***

Ribuan malam, menatap bintang dan harapan. Dan….

Ribuan siang, menahan perih penantian.

Mungkin Tuhan ingin, kita sama-sama tuk mencari. Saling merindukan dalam doa-doa,mendekatkan jarak kita….

Sudah hampir dua bulan tidak ada perkembangan. Semua berjalan biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Chan Yeol tak bertemu dengan gadis itu, dan Jang Mi tak bertemu dengan laki-laki penginjak kaleng bekas dua bulan lalu. Kedua orang itu belum pernah bertemu setelah pertemuan tak langsung mereka dulu. Memang, rencana Tuhan tak akan pernah bisa ditebak. Rencana Tuhan tak bisa diraba walau sudah diminta setiap malam.

Tapi harapan keduanya masih kuat. Terlebih ketika dada masing-masing diantara mereka bergemuruh menanti jawaban doa yang setiap malam mereka ungkapkan. Doa yang setiap hari mereka lontarkan. Doa yang tanpa mereka sadari telah berpilin indah, menembus langit, dengan para malaikat yang tersenyum ketika melihat pilinan indah doa keduanya. Doa yang begitu mulia. Dipertemukan dengan cara paling terhormat.

Salju turun, bertumpuk di setiap sudut kota yang tak tertutup atap. Terhampar. Berhamburan. Terinjak. Termasuk oleh Jang Mi yang tengah berjalan sebari membaca sebuah buku yang dipinjamkan Da Ran kepadanya. Buku tentang wanita dan cinta.

Jang Mi terlalu asik membaca hingga tak menyadari jika para siswanya berlarian di sepanjang trotoar. Hingga, brugh! Jang Mi hampir terjungkal karena disenggol dari arah belakang. Tubuh gadis itu oleng, namun dia masih mampu menahan diri hingga hanya bukunya saja yang terlempar. Terlempar tepat di depan seorang laki-laki jangkung berkacamata yang tengah berjalan untuk menuju halte. Membuat laki-laki jangkung itu menghentikan langkahnya.

Park Chan Yeol, dengan payung di tangan kirinya membungkuk untuk mengambil buku yang tergeletak di trotoar. Wanita dan Cinta.

Inilah takdir Tuhan. Semua ada waktunya. Waktu yang paling indah. Termasuk ketika Jang Mi harus menahan napas disaat mendapati buku pinjamannya sudah berada di tangan laki-laki itu. Laki-laki yang selalu disebutnya dalam doa. Laki-laki tanpa nama yang selalu dia harapkan.

Inilah takdir Tuhan. Semua ada waktunya. Waktu yang paling indah. Termasuk juga ketika Chan Yeol semakin membulatkan mata disaat gadis itu muncul tepat di hadapannya. Gadis yang selalu dia sebutkan dalam doa. Gadis yang selalu diharapkan menjadi bidadari pelengkap separuh kehidupannya.

Hening.

Keduanya tak tahu harus berbuat apa, hingga Chan Yeol berusaha tersenyum kaku sebari mengulurkan tangan.

“Ini… bukumu,kan?”

Jang Mi mengangguk. Gadis itu berusaha keras mengimbangi sikap Chan Yeol dengan tersenyum dihadapannya. Tak kalah kaku. “Ye,” jawab Jang Mi¾hampir terbata. Pipinya sudah bersemu merah. Wajahnya panas.

Gadis itu mengulurkan tangan untuk meraih buku yang masih berada di genggaman Chan Yeol. Tapi, Chan Yeol malah mengeratkan genggamannya hingga membuat Jang Mi tak bisa menarik buku yang juga sudah digenggamnya. Kini, tangan keduanya berada di satu buku yang sama.

Mata Jang Mi membulat, sementara Chan Yeol malah tersenyum cerah. Kini, Tuhan mengijinkan keduanya untuk saling mengenal. Mengijinkan pilinan doa itu semakin menghujam langit dan menurunkan sebuah jawaban : ‘Iya’

“Maaf… tapi.. bolehkan aku tahu namamu?”

END

Hiyaaa…. apa-apaan ini? Hha-hha. Saya pun nggak tahu kenapa tiba-tiba terpikir untuk membuat fanfiksi semacam ini. Lagu-nya kang Abay – Halaqah Cinta membuat saya trenyuh dan berpikir jika pasti ada satu nama yang tertoreh di masa depan kita. Seperti nama Jang Mi untuk Chan Yeol, atau sebaliknya. Well, sepertinya ini efek author yang galau (?), tapi sebenarnya ff ini lebih banyak terinspirasi dari video klip Halaqah Cinta yang sederhana tapi ngena. So Sweet banget kisah cintanya. Diam tapi berkualitas. Dan lirik yang ada di atas adalah lirik yang saya comot dari lagu halaqah cintanya kang Abay.

Author harap siapapun yang membaca memberi tanggapan. Mau kasih tanggapan ke judulnya boleeh. Mau kasih tanggapan ke cast-nya terserah. Mau kasih tanggapan ke ceritanya apalagi… nah, kalau tanggapan ke authornya dipedesin aja malah nggak apa-apa *minta cabe 25 *geprek mode : hot… kekekeke.

Big Thanks. Lee Young. See You



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles