Title : It’s Okay, It’s Prince(Chapter 15)
괜찮아, 황자님이야
Cast :
Park Chan Yeol (EXO)
Kim Joon Myeon – Su Ho (EXO)
Jung Se Jung (OC)
Byun Baek Hyun (EXO)
Kim Jong In (EXO)
Nam Bo Ra (OC)
Seo Mi Rae (OC)
Other
Genre : Romance, Angst, Life Slide
Author : Lee Young
Length : Multichapter
PG-17
(Chapter 15)
Kilatan cahaya lampu jalan yang memantul di kaca jendela mobil menjadi satu-satunya pemandangan yang tertangkap oleh mata Chan Yeol malam ini. Dia sudah memutuskan semuanya. Dia harus tetap pergi ke Gyeongsang. Walau pun Chan Yeol tahu, jika dia akan kesulitan mencari jejak Jung Se Jung, tapi setidaknya dia harus berusaha.
Jong In yang mengemudi sesekali melirik. Laki-laki berkulit gelap itu menghela napas ketika Chan Yeol pada akhirnya memilih pergi ke Gyeongsang ketimbang tetap tinggal di Seoul. Chan Yeol pada akhirnya memilih untuk mencari Se Jung daripada tetap pada cinta lamanya, Nam Bo Ra. Sebuah pilihan yang penuh dengan konsekuensi. Jong In tahu akan hal itu.
Diam. Keduanya sama sekali tak terlibat pembicaraan walau hanya seputar topik-topik ringan. Walau keduanya sama-sama tahu jika mungkin mereka akan tiba di Gyeongsang ketika sudah larut malam. Hening. Hanya suara musik yang terdengar di dalam mobil.
***
Se Jung segera mengusap airmatanya. Ibu yang melihat, mengerutkan kening, “Kenapa kau menangis?,” tanya ibunya. Membuat semua orang langsung menoleh kearah Se Jung. Termasuk Su Ho.
Se Jung terkekeh. Gadis itu tersenyum malu, “Aku hanya…. terharu. Masakan Su Ho, enak sekali,” kata Se Jung. Mengalihkan pembicaraan. Bahkan Se Jung langsung memasukkan satu sendok makanan ke dalam mulut, ketika satu lagi bulir airmata berhasil lolos dari matanya.
Semuanya terbahak. Gadis itu berhasil membuat suasana kembali mencair dalam sekejap. Terlebih, Se Jung hebat dalam berakting. Gadis itu menyantap makanan Su Ho, sebelum kembali mengusap airmata. Su Ho takjub melihatnya, “Seenak itu?”
Se Jung mengangguk. Gadis itu menyesap hidungnya sekali lagi. “Aku malu dengan kemampuanku sendiri,” jawab Se Jung.
“Makanya, kau harus rajin belajar,” ibu menanggapi. Se Jung meringis.
Sementara itu, Baek Hyun yang duduk di ujung meja hanya menatap sebari mengigit ujung sumpitnya. Laki-laki berdagu lancip itu menjadi satu-satunya orang yang tak tertarik untuk ikut terbahak. Karena dia tahu, apa yang tengah terjadi dengan Jung Se Jung. Sangat tahu.
Baek Hyun berakhir menatap Se Jung yang berwajah sembab dengan pandangan bersalah sebari terus menggigiti sumpitnya.
***
“Apa tidak apa-apa jika Su Ho mengantarkan kami pulang?,” ibu bertanya sebari membantu Se Jung membereskan piring dan gelas kotor. Wanita paruh baya itu ingin bertanya hal selain pertanyaan itu sebenarnya, tapi momentumnya kurang tepat.
Se Jung yang tengah mengelap piring tersenyum. Gadis itu menoleh sekilas, “Kalau kau menolak pun, kau tidak akan bisa. Aku sering seperti itu,” jawab Se Jung. Ibunya mengerutkan kening, “Maksudmu, dia tipe pemaksa?”
Se Jung terkekeh. Gadis itu masih sibuk mengelap piring ketika ibu sudah fokus menatapnya, “Dia hanya terlalu baik, eomma,” jawab Se Jung dengan menggunakan istilah lain yang sedikit lebih halus dari istilah ibunya. Karena sebenarnya, Su Ho memang termasuk tipe pemaksa. Ya, memaksa dengan cara halus yang akan sulit untuk ditolak.
Ibu masih mengerutkan kening, walau sekarang beliau tampak mengangguk samar. Se Jung menghela napas, lalu menatap ibunya, “Jangan kaget, tapi CEO perusahaan yang menjadi tempatku bekerja adalah Su Ho” kata Se Jung ringan. Lebih tepatnya, berusaha ringan. Karena gadis itu tahu, jika semua ini sulit untuk dipercaya.
“Apa?”
Se Jung mengangguk, tak berniat menjawab. “CEO? Jadi kau….”
“…..kau membuat atasanmu memasak dan menjemput kami? Aigoooo…” Ibu Se Jung berakhir membulatkan mata tak percaya. Sebelum tiba-tiba menjitak kepala Se Jung tanpa ampun. “Inom! Bagaimana bisa kau bersikap dengan begitu tak sopan, eoh? Siapa yang mengajarimu seperti itu?! Rasakan ini! Rasakan ini!!”
“Ah, eomma apayo, jinjja…!! Eommaaaa wae geuuuraaaee??? Eomma… aih, eomma!!!”
“Dasar kau tidak sopan!! Tidak sopan!”
Kini suasana berubah. Ibu Se Jung memilih meluapkan ketidakpercayaannya dengan menjitak kepala Se Jung tanpa ampun. Walau jauh di lubuk hati wanita itu, dia begitu khawatir. CEO bukan tandingan orang seperti mereka. Layaknya bumi dan langit. Ibu Se Jung mulai takut jika anak sulungnya terluka. Takut sekali.
***
“Awalnya kami mengira bahwa Pr.C bisa bekerja dengan baik, tapi ternyata ekspektasi kami terlalu tinggi. Kami kecewa,” kalimat itu segera menggantung di langit-langit kantor Pr.C. Tidak ada basa-basi. Tidak ada prolog. Tidak ada pengantar. Kalimat itu meluncur bak roket berkecepatan tinggi. Menghantam fondasi Pr.C yang sebelumnya telah berdiri kokoh dengan kepercayaan tinggi. Mi Rae bahkan sampai harus mengeratkan genggaman tangannya di lengan kursi. Tidak percaya.
Manajer Yong yang duduk di dekat Mi Rae berdehem. Pria itu membenarkan posisi duduk, sebelum tersenyum hormat. “Jwesonghamnida, tapi bisakah kita selesaikan ini dengan professional? Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk pembangunan mall itu, tuan”
“Profesional? Bagaimana kami bisa menanggapi dengan professional, jika Pr.C pun tak bisa bekerja dengan professional?Tidak ada asuransi, tidak ada kualitas, dan tidak ada presisi. Bagian mana yang anda sebut professional?,” sanggah klien.
Manajer Yong menghela napas. Pria itu melirik Mi Rae di sampingnya. Seo Mi Rae mati-matian menahan diri untuk tetap bersikap tenang.
“Pr.C, tidak pernah mengalami hal sekacau itu, tuan”
“Tapi ini terjadi. Pada mall yang saya serahkan sepenuhnya kepada Pr.C. Tidak ada yang bisa mengelak. Sekarang, kita selesaikan masalah ini disini, atau saya memilih jalur hukum?”
Mi Rae memejamkan mata sekilas. Wanita itu menarik sebuah napas panjang, “Gyojangnim…” suara Mi Rae terdengar tajam. Membuat semua orang langsung menoleh, menatap wanita yang sejak tadi hanya terdiam di kursinya. Akhirnya, pemilik Pr.C angkat bicara. “….dengan tanpa mengurangi rasa hormat, saya minta untuk tidak mengambil jalur hukum. Karena kami tahu, kami tidak akan bisa mengelak atau pun membela diri. Maka dari itu, saya sebagai CEO Pr.C mempersilakan anda menyampaikan segala keinginan terkait dengan kelanjutan proyek ini. Semuanya,” lanjutnya.
“Mi Rae gyojangnim..”
Hening. Banyak diantara pihak Pr.C yang menelan ludah sebari saling tatap satu sama lain, sementara pihak klien mulai mengangkat alis sebari berbisik kanan-kiri. Cukup menarik.
“Semuanya? Anda serius dengan pernyataan anda?”
“Dengan tanpa mengurangi rasa hormat,” tegas Mi Rae. Klien Pr.C menghela napas, lalu mengaitkan kedua jemarinya. “Baiklah, sudah kami putuskan. Kami ingin menghentikan kerjasama ini, sekarang. Dan meminta ganti rugi biaya yang telah kami percayakan kepada Pr.C. 100 %”
Mi Rae menelan ludah. Wanita itu hampir tak mampu untuk sekedar menganggukkan kepala. Kerugian Pr.C semakin terasa besar. Kepercayaan klien telah rontok dalam sekejap. Tapi, Mi Rae sudah tak bisa melakukan apa pun. Wanita itu pada akhirnya mengangguk dengan segala kecambuk yang menyerang dadanya. Melepaskan proyek yang menjadi incaran Pr.C sejak beberapa bulan lalu, adalah mimpi buruk Pr.C sejak perusahaan ini didirikan.
Detak jarum jam menjadi satu diantara beberapa suara yang terdengar di dalam ruangan. Pertanda jika waktu akan terus berjalan, tanpa bisa dihentikan. Sedetikpun tidak bisa. Membiarkan matahari secara perlahan tenggelam, meninggalkan cakrawala.
Malam secara perlahan menyambut kota. Mengiringi keheningan pertemuan antara Pr.C dengan pihak mall 6 lantai, dan juga mengiringi mobil Jong In yang hampir sampai di perbatasan provinsi Gyeongsang, dengan Park Chan Yeol yang semakin gusar menatap jalan.
***
Waktu berjalan super cepat semenjak malam menyelimuti Korea. Kini, Se Jung sudah bersiap untuk berangkat ke kantornya di Gyeongsang.
Setelah kemarin diberi petunjuk oleh Su Ho tentang letak kantor barunya, gadis itu memutuskan untuk berangkat sendirian. Karena sebenarnya, Su Ho berniat menginap di rumah Se Jung satu malam lagi. Sebelum akhirnya Se Jung menolak keras, dan mengancam tak memperbolehkan Su Ho berkunjung jika laki-laki itu tetap keras kepala.
“Kau bisa berangkat sendiri, kan noona?,” suara Baek Hyun terdengar ketika Se Jung mengeratkan pakaian hangatnya. Gadis itu menoleh, menatap Baek Hyun yang tengah memakai sepatu di sofa.
“Eoh. Tentu saja aku bisa, Baek Hyun-a. Kau sedang bicara dengan Jung Se Jung. Aku tahu semua jalan,” sombong Se Jung. Gadis itu menyahut payung yang berada di dekat pintu sebelum membuka pintu keluar rumah. Baek Hyun berdesis mendengarnya. “Percaya diri sekali. Aku bertanya karena khawatir, noona”
“Kenapa harus khawatir?”
“Tentu saja aku khawatir. Sekarang bayangkan, kalau kau hilang… siapa yang akan mengurusku disini? Bagaimana pun juga, aku ini maknae. Aku adikmu. Toh aku kan tengah berlibur. Lucu sekali jika acara liburanku malah terganggu karena mencarimu yang hilang ketika berangkat kerja,” kata Baek Hyun.
Se Jung langsung memutar bola matanya. As usual, Byun Baek Hyun. “Jadi intinya aku harus berhati-hati karena aku baby sitter-mu?”
“Geurae,” jawab Baek Hyun ringan.
“Dasar anak ini! Ya! Yang ada kau yang bisa hilang. Kau ini lagaknya saja sok keren, tapi pengetahuan navigasimu payah. Siapa yang kemarin tersesat ketika pergi ke supermarket?”
“Aku -__- ” wajah Baek Hyun berubah datar. Laki-laki itu mengerucutkan bibirnya, “Iya, iya noona. Aku yang payah!”
“Maja…”
“Noona, aku serius. Aku khawatir. Kau belum terlalu paham daerah Gyeongsang,” Baek Hyun kembali serius dengan kekhawatirannya. Membuat Se Jung menghela napas. Gadis itu menatap adik sepupunya, “Byun Baek Hyun, kau ingat kejadian empat tahun lalu?,” tanya Se Jung lembut. Baek Hyun mengangguk. Dia tidak akan pernah bisa melupakannya.
“Dan kau ingat apa yang terjadi denganku waktu itu?”
“Mana mungkin aku lupa? Kau pingsan ketika menolongku karena kram perutmu kambuh”
Se Jung tersenyum, “Tapi sekarang aku masih hidup,kan? Aku masih berdiri disini, di depanmu,” kata Se Jung. Baek Hyun mengangguk sekali lagi. “Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Baek Hyun-a. Aku lebih kuat dari yang kau duga. Percayalah,” lanjut Se Jung.
Baek Hyun menghela napas, “Geurae.. kalau begitu kau sebaiknya segera berangkat ke kantor saja, noona. Sudah siang,” Baek Hyun malah beralih memerintah. Membuat Se Jung terkekeh geli, lalu mengacak-acak rambut adik sepupunya. Gemas. “Aigooo… tadi siapa yang khawatir, eoh?!”
“E..eh…. noona, aku kan sudah tampan…”
“Aigooo… kasihan sekali adik tampanku ini,” Se Jung semakin brutal mengacak rambut Baek Hyun. Gadis itu semakin terbahak.
“Ya sudah, aku berangkat. Kau pun harus hati-hati ketika jalan-jalan ke kota. Nikmati libur musim dinginmu sebaik mungkin. Na galge…”
Baek Hyun masih cemberut. Laki-laki itu membenarkan tatanan rambut ketika Se Jung terkikik sebari keluar rumah.
“Jalgaaaaa nooonaaaa,” teriak Baek Hyun sesaat kemudian.
“Neeee”
***
Baek Hyun bersiul ketika berjalan di sepanjang jalan sepi provinsi Gyeongsang. Hanya ada beberapa mobil yang melintas, tak seperti Seoul yang selalu bising dan padat akan aktivitas.
Laki-laki berdagu lancip itu merasa jika liburan musim dinginnya kali ini terasa paling bermutu. Bagaimana tidak, jika biasanya ketika liburan Baek Hyun dipaksa ayahnya untuk menjaga toko plus menjadi kuli angkut dadakan. Tapi, tidak dengan libur musim dingin kali ini. Mengantarkan Jung Se Jung ke Gyeongsang menjadi alasan paling ampuh bagi seorang Baek Hyun agar bisa keluar rumah.
Baek Hyun berniat masuk ke dalam kedai oleh-oleh dan souvenir Gyeongsang ketika seorang laki-laki dengan postur sedang keluar dari dalam sebari membawa dongkrak. Kening Baek Hyun berkerut keheranan. Bisa-bisanya ada orang yang masuk ke dalam toko souvenir tapi keluarnya membawa dongkrak? Memang souvenir khas Gyeongsang itu dongkrak? Pikiran Baek Hyun kadang memang terlalu mengada-ada. Imajinasinya begitu kuat.
Baek Hyun berakhir mengurungkan niat, hanya untuk mengikutkan pandangannya kearah laki-laki barusan. Sebentar…. sebentar.… kok Baek Hyun seperti kenal wajahnya ya? Tapi dimana? Baek Hyun berakhir berkacak pinggang, dengan kening yang semakin terlipat.
Hingga sesaat kemudian, seorang laki-laki jangkung yang begitu familiar muncul dari balik mobil yang berhenti di pinggir sebuah rumah. Laki-laki itu membungkuk, ikut memperhatikan temannya yang tengah menaikkan dongkrak hingga membuat mobil bagian belakang terangkat perlahan. Tapi kini, bukan mobil yang menjadi fokus utama Baek Hyun, melainkan laki-laki jangkung yang sekarang sibuk mengambil ban cadangan yang sudah tergeletak di belakang sejak awal.
Park Chan Yeol!
Baek Hyun sudah berniat menghindar ketika tiba-tiba Chan Yeol menoleh kearahnya. Chan Yeol seketika menghentikan segala aktivitas. Laki-laki itu terdiam. Park Chan Yeol berakhir menatap Baek Hyun yang sudah berkacak pinggang¾tidak tahu harus berbuat apa.
“Mana ban-nya Chan Yeol? Kau¾,” kalimat Jong In terpotong ketika tangannya yang terulur tak segera ditanggapi oleh Chan Yeol. Jong In mendongak, dan mendapati Chan Yeol sudah terdiam menatap kearah yang berlainan. Membuat Kim Jong In ikut menatap kearah yang sama.
Jong In menghela napas ketika melihat seorang laki-laki berdagu lancip berkacak pinggang di depan toko souvenir. Bingung harus melakukan apa.Bahkan laki-laki itu sesekali tampak memalingkan wajah, menghindari tatapan tajam Chan Yeol yang semakin menghujamnya. Meminta penjelasan.
Oke, ternyata prediksi Jong In salah. Urusan ini, akan berjalan lebih cepat dari dugaannya. Cepat, namun sedikit berantakan.
***
“Wae?,” Baek Hyun bertanya tajam. Sekarang, mereka sudah berada di titik yang sama. Saling berhadapan. Hanya Jong In yang tampak bersandar di badan mobil sebari melipat tangan di depan dada. Memperhatikan.
Wajah Chan Yeol mengeras. Laki-laki itu ingin meninju Baek Hyun yang terlalu bertele-tele dalam memberikan informasi terkait keberadaan Se Jung di Gyeongsang. Chan Yeol merasa menjadi sesuatu yang harus dihindari oleh semua orang, hingga membuat Baek Hyun besikeras dalam melarangnya menemui Jung Se Jung. Ya, Chan Yeol mengartikan sikap Baek Hyun demikian.
“Kenapa?! Kau masih bertanya kenapa untuk permintaanku yang sudah jelas, Baek Hyun?,” tanya Chan Yeol sebari berusahauntuk tetap bersikap tenang.
Baek Hyun terkekeh. Laki-laki itu menatap Chan Yeol dengan pandangan meremehkan, “Sudah jelas, kau bilang?,” Baek Hyun mendesis, “Hyeong… pernahkah kau berpikir jika permintaanmu bisa membuat kakakku terluka? Bukankah aku sudah memintamu untuk menyerah? Se Jung noona baik-baik saja tanpa dirimu, hyeong”
“Apa katamu?”
“Se Jung noona… tidak pernah menangis sebanyak setelah dia mengenalmu. Dia adalah gadis yang kuat sejauh aku mengenalnya, tapi kau membuatnya terlihat lemah, hyeong. Jadi, bukankah lebih baik jika kau biarkan saja Se Jung noona menjalani kehidupannya sendiri? Biarkan dia memilih jalannya sendiri,”kata Baek Hyun. Laki-laki itu serius dengan ucapannya.
Chan Yeol mengepalkan tangannya di samping jahitan. Wajah laki-laki itu sudah mengeras. Kalimat Baek Hyun terdengar begitu mengada-ada di telinganya.
Memang siapa Baek Hyun hingga dengan begitu mudah berkata seperti itu?
Baek Hyun bukan dirinya, bukan pula Jung Se Jung. Baek Hyun bukan orang yang merasakan betapa sakit dan sesaknya hati Chan Yeol ketika tahu Se Jung meninggalkannya. Karena tidak ada yang tahu perasaan mereka. Sama sekali.
“Kau…” tangan Chan Yeol sudah bergetar. Mata laki-laki itu berkilat lain.
“Lagipula, orang sepertimu tak sepantasnya ada untuk Se Jung noona. Tidak seka¾”
Chan Yeol memotong kalimat Baek Hyun dengan mengangkat kepalan tangannya ke udara. Bersiap melayangkan bogem mentah ke wajah laki-laki sok tahu yang kini tengah berdiri di hadapannya. Tapi, Jong In bergerak sigap. Laki-laki itu segera berlari dan menghalangi tangan Chan Yeol hingga tak mendarat di wajah Baek Hyun yang sudah menyipitkan mata.
“Park Chan Yeol!!! Kau pikir apa yang akan kau lakukan, eoh?! Park Chan Yeol!!!”
“Lepaskan! Aku harus memberinya pelajaran. Aku harus….”
“Park Chan Yeol, jongsincharyo!!!!”
Rusuh. Baek Hyun mundur beberapa langkah. Laki-laki itu membulatkan mata. Tak percaya jika reaksi Chan Yeol akan seperti ini.
Jong In yang masih sibuk menahan Chan Yeol sesekali menoleh ke belakang, “Ya!!! Pergilah dari sini. Biar aku yang urus laki-laki ini… aissh…. ”
“Kim Jong In!! Lepaskan aku!!!”
“Park Chan Yeol, kuasai dirimu sendiri!!!”
Baek Hyun belum mampu untuk menghindar. Baek Hyun malah menatap Chan Yeol yang kini sudah berwajah merah di hadapannya. Laki-laki jangkung itu masih memberontak, namun Baek Hyun bisa melihat jika kekuatannya semakin lama semakin melemah.
“Aku harus memberinya pelajaran Jong In!! Anak itu…. anak itu sama sekali tidak tahu apa yang terjadi, Jong In. Aku harus menghajarnya!!! Harus!,” Chan Yeol masih berteriak sebari terus memberontak. Laki-laki itu selalu berusaha mencari celah untuk meraih tubuh Baek Hyun, berniat menghajarnya.
Jong In menggelengkan kepala singkat. Tak habis pikir, “Kau pikir Se Jung akan langsung kembali setelah kau menghajarnya, eoh?!!!!” Jong In mengertak semakin keras. Suara laki-laki berkulit gelap itu bahkan menggema di jalanan kota. Menghantam tepat ke telinga Chan Yeol yang masih memberontak. Tajam. Baek Hyun yang mendengar pun semakin membulatkan mata.
Hening.
Chan Yeol seketika menghentikan gerakannya. Jong In segera mendorong tubuh Chan Yeol agar menjauh. Laki-laki itu terengah, dengan wajahnya yang sempurna merah. Chan Yeol semakin menjauhkan tubuhnya. Tangannya menyibak anak rambut hingga ke belakang. Sementara Jong In, tampak mendongak. Dia pun terengah setelah menahan tingkah gegabah Chan Yeol.
Kondisi lengang tiba-tiba.
Baek Hyun menelan ludah. Laki-laki itu bisa melihat jika Chan Yeol tampak begitu frustasi setelah adu mulut barusan. Bahkan laki-laki jangkung itu berjalan memutar sebari berkacak pinggang. Hingga tiba-tiba, Bugh! Chan Yeol menghantamkan kepalan tangannya ke pagar beton pekarangan rumah. Keras.
Tidak ada yang berani bersuara. Bahkan Jong In hanya menghela napas sebari menatap sahabatnya dengan tatapan mengiba. Park Chan Yeol tampak seperti orang gila. Benar-benar gila.
“Ini semua salahku…,” Chan Yeol bersuara lirih. Pundak laki-laki itu bergerak naik-turun, “Ini semua salahku!!!!,” Chan Yeol berteriak. Sebelum sempurna menempelkan separuh tubuhnya ke pagar beton rumah. Laki-laki itu berlanjut memukuli pagar rumah berulang kali, bersamaan dengan isakannya yang terdengar memilukan. Chan Yeol sudah tidak peduli lagi. Hatinya terasa sakit sekali. Sudah cukup rasanya bertahan tanpa melihat gadis itu.
“Inisemua…salahku…” Chan Yeol berakhir menenggelamkan wajahnya diantara lengannya yang bertumpu pada badan pagar beton. Laki-laki itu terisak sekeras yang dia bisa. Menyesali kesalahpahaman yang sempat terjadi diantara mereka. Menyesali perasaan yang terlambat diakuinya. Jika dia tak membutuhkan dan tak menginginkan orang lain selain Jung Se Jung. Se Jung-nya yang begitu berharga.
Baek Hyun menghela napas melihatnya. Jika seperti ini, apa yang harus dia lakukan?
***
Se Jung tersenyum ketika melewati seniornya yang tengah bekerja di bilik sederhana kantor sebuah pabrik selai Gyeongsang. Kantor baru Se Jung memang tak semegah hotel Incheon, tapi suasana disini benar-benar di luar dugaan.
Se Jung pikir bekerja di Gyeongsang adalah sesuatu yang buruk. Tapi ternyata fasilitas Gyeongsang tak kalah dengan fasilitas hotel Incheon. Hanya saja, dalam versi kualitas rendah. Dan gadis itu pun dengan cepat bisa menyesuaikan diri. Walau pekerjaannya hari ini hanya sebatas membantu seniornya menyelesaikan laporan pemasaran satu minggu terakhir.
Se Jung tengah bersiap memfotokopi dokumen perusahaan, ketika ponsel di saku blazernya bergetar. Pesan masuk.
Noona, ayah menyuruhku untuk segera pulang. Jadi siang ini aku langsung pulang ke Seoul saja, ya? Maaf tidak pamitan secara langsung. Aku sudah di jalan.
From : Byun Dulbari
Se Jung mengerutkan keningnya heran. Baek Hyun pulang? Kenapa tiba-tiba sekali? Bukankah laki-laki itu berniat menginap hingga lusa? Se Jung mengacuhkan dokumen yang harus difotokopi, sesaat. Jemari gadis itu bergerak cepat membalas pesan singkat Baek Hyun.
Tidak jadi menginap hingga lusa?
To : Byun Dulbari
Triiing
Aku kan sudah bilang jika aku di jalan -_-
From : Byun Dulbari
Se Jung berdehem ketika membaca balasan pesan singkat Baek Hyun. Iya, tadi Baek Hyun sudah bilang seperti itu. Se Jung jadi malu sendiri.
Geurae.. hati-hati di jalan. Sampaikan salamku kepada paman dan bibi
To : Byun Dulbari
Triing
Terimakasih, noona :*
From : Byun Dulbari
Se Jung menghela napas setelah memutuskan untuk tidak membalas pesan singkat Baek Hyun lagi. Baginya sudah cukup untuk tahu jika Baek Hyun sudah dalam perjalanan pulang ke Seoul. Setidaknya adik sepupunya itu berpamitan.
Se Jung menjejalkan kembali ponselnya ke saku blazer, sebelum akhirnya gadis itu disibukkan dengan dokumen dan mesin fotokopi di hadapannya.
Sementara di kejauhan, Su Ho tengah mengadakan kunjungan ke mallyang berada di bawah naungan perusahaan Kim. Manajer membawa Su Ho berkeliling mall. Melihat setiap sudut mall besar yang menampilkan segala bentuk kemewahan. Deretan baju, sepatu, hingga perhiasan mahal menjadi pemandangan yang tampak sejauh mata memandang.
Su Ho sibuk mengedarkan pandangannya ketika manajer mall menjelaskan kerjasama yang bagus antara pihak penyedia barang dengan pihak mall. Sesuatu yang berkilau, menarik perhatian Su Ho.
Su Ho menghentikan langkah. Laki-laki itu menoleh kearah estalase sebuah stand perhiasan. Sebuah cincin warna putih dengan taburan permata di bagian tengah tampak berkilau diantara cincin lain yang dipajang disana. Sebuah cincin yang berbeda. Sederhana, namun menarik perhatian. Seperti, Jung Se Jung.
“Bulan depan, kami berniat mengadakan sebuah event yang melibatkan….”
Su Ho tersenyum samar. Laki-laki itu kembali memperhatikan manajer mall yang masih menggebu menjelaskan agenda mall dalam waktu terdekat. Baiklah… dia akan kembali ke stand perhiasan itu sesaat setelah kunjungan kerja ini selesai.
***
4Men &Davichi – Can I Love Again?
Se Jung memijat bahunya ketika gadis itu berjalan memasuki gerbang rumah. Sekarang sudah pukul 6 sore, dan pekerjaan di hari pertamanya sudah cukup membuat gadis itu pegal-pegal.Se Jung tengah merogoh ke dalam tas, mencari kunci rumah ketika seseorang berjalanmemasuki pekarangan rumahnya.
Park Chan Yeol, dengan langkah pelan melangkah masuk sebari menatap punggung Se Jung lekat. Laki-laki itu menghentikan langkah, tepat 3 meter di belakang Se Jung.
Se Jung menelan ludah. Dia merasa jika seseorang tengah berdiri di belakangnya. Hembusan angin yang sempat terasa beberapa saat lalu, kini seperti terhalang oleh sesuatu. Se Jung merasa jika dia tidak sendirian.
Gadis itu mengeratkan genggaman tangannya ke kunci yang sudah menempel di pintu, sebari perlahan menoleh ke belakang. Merasa was-was.
Tapi, Se Jung segera merasa jika jantungnya mencelos seketika. Matanya membulat tak percaya. Tubuhnya menegang. Se Jung tak tahu harus melakukan apa selain menatap laki-laki itu dengan mata yang berbinar. Park Chan Yeol, muncul di Gyeongsang. Tepat di depan matanya.
Waktu terhenti seketika. Membiarkan keduanya hanya saling menatap untuk beberapa detik pertama. Merasakan angin yang berputar diantara mereka, dengan berjuta perasaan yang segera buncah keluar. Keduanya berakhir terdiam, membiarkan angin sepoi yang bercerita. Membiarkan mata berbinar Se Jung mulai mengabur. Berkaca.
Chan Yeol berusaha tersenyum ketika wajahnya mulai memanas. Kaku. Satu bulir airmata segera menetes ketika laki-laki itu melengkungkan bibirnya ke atas. Sebelum akhirnya, Chan Yeol tak kuasa menahan kerinduan yang sudah begitu menyesakkan dadanya.
Laki-laki itu segera beringsut mendekat. Meraih tubuh kecil Jung Se Jung. Merengkuhnya. Mendekapnya dengan begitu erat. Park Chan Yeol, berakhir memeluk Jung Se Jung dengan begitu erat. Laki-laki itu seakan ingin menenggelamkan tubuh Se Jung ke pelukannya. Ingin memasukkan Se Jung ke dalam hati terdalamnya.
“Kau pikir apa yang kau lakukan, eoh? Pergi dariku dengan cara seperti ini….,” lirih Chan Yeol diantara isakannya. Tepat di samping telinga Se Jung.
Se Jung membulatkan matanya. Masih tak percaya jika sikap Chan Yeol bisa berubah dengan begitu drastis sore ini. Gadis itu masih belum membalas pelukan Chan Yeol.
Chan Yeol melepaskan pelukannya. Laki-laki itu memegang erat lengan Se Jung. Menatapnya lekat. “Kau pikir…. aku baik-baik saja jika kau tinggalkan seperti ini? Kau pikir aku baik-baik saja, eoh?” nada bicara Chan Yeol meninggi di ujung kalimat. Bahkan laki-laki itu menggoyangkan tubuh Se Jung dengan lumayan keras.
Satu bulir airmata meluncur dari mata kanan Jung Se Jung. Gadis itu masih terdiam, hingga membuat Chan Yeol mendongakkan kepalanya sesaat. Tak menyangka jika respon gadis ini begitu lambat. Jelas-jelas, Park Chan Yeol menyatakan perasaannya. Perasaannya yang tak pernah bisa jauh dari Jung Se Jung.
Chan Yeol sudah tidak bisa berpikir panjang lagi. Laki-laki itu meraih wajah Se Jung, dan mengecupnya begitu saja. Membuat Se Jung semakin membulatkan mata tak percaya. Bahkan Chan Yeol sempat memejamkan mata, dengan satu bulir airmata yang menetes secara tiba-tiba.
Tidak ada yang bisa Se Jung lakukan. Gadis itu berakhir terdiam. Membiarkan Chan Yeol melakukan hal yang sama sekali tak pernah gadis itu bayangkan.
Chan Yeol melepaskan kecupannya. Laki-laki itu menatap Se Jung tepat di manik mata, dengan wajahnya yang masih sembab, “Aku pun…. begitu mencintaimu Jung Se Jung,” suara Chan Yeol terdengar bergetar. “….sangat mencintaimu…” lanjut laki-laki itu.
Se Jung ternganga tak percaya, ketika sekali lagi, Park Chan Yeol mendekapnya dengan begitu erat. Membiarkan Se Jung merasakan detak jantungnya yang tak normal. Membiarkan gadis itu tahu jika perasaan mereka sama. Jika sudah semestinya mereka bersama.
Angin musim dingin kembali berhembus kencang. Menerbangkan dedaunan kering yang terjatuh ke pekarangan rumah. Membuatnya berputar di udara, sebelum mendarat di dekat kaki Jung Se Jung. Gadis itu… secara perlahan menggerakkan tangannya. Membalas pelukan Chan Yeol, dengan begitu erat. Sangat erat. Jung Se Jung pun tak ingin ditinggalkan oleh Park Chan Yeol sekali lagi. Sama sekali tak ingin.
***
Baek Hyun menghela napas ketika gerak semu pepohonan terlihat semakin cepat tampak di luar jendela.
Laki-laki berdagu lancip itu tidak tahu kenapa dia bisa dengan cepat berubah pikiran ketika melihat Chan Yeol bertingkah layaknya orang gila hanya karena kakak sepupunya. Ya, Baek Hyun berakhir membiarkan Chan Yeol tahu keberadaan Jung Se Jung. Dengan kata lain, Baek Hyun siap jika pada akhirnya sebuah pertikaian yang lebih parah akan meledak akibat cinta segi-banyak yang terjadi di kehidupan kakaknya.
Jong In yang mengemudi, melirik Baek Hyun melalui kaca spion. Hari ini adalah pertemuan keduanya dengan Byun Baek Hyun setelah pertemuan pertama mereka beberapa bulan lalu. Kim Jong In terkekeh. Melihat wajah masam Baek Hyun membuatnya tahu jika tak sepenuhnya Baek Hyun rela Park Chan Yeol menemui kakak sepupunya.
“Kau menyesal telah membiarkannya tahu?” tanya Jong In tiba-tiba. Baek Hyun menoleh ke depan sekilas, sebelum kembali menatap jalan.
Baek Hyun menghela napas sekali lagi, “Menurutmu… apa aku rela? Membiarkan kakakku memperpanjang penderitaannya sendiri?,” Baek Hyun terkekeh hambar, “Aish… aku tak berani membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini,” lanjut Baek Hyun.
Jong In melipat keningnya. Memang apa yang terjadi? Bukankah kisah paling kompleks ada pada pihak Chan Yeol? Jong In menoleh sekilas, ingin mendengar versi lengkap kisah Se Jung-Chan Yeol dari sudut pandang yang berbeda.
“Memang apa yang akan terjadi? Mereka akan baik-baik saja, Baek Hyun-ssi,” Jong In memancing.
“Ya, mereka akan baik-baik saja sejauh orang itutidak tahu tentang pertemuan noona, hyeong”
“Orang itu?”
Rahang Baek Hyun mengeras, “Orang yang akan melakukan apapun demi Se Jung noona. Orang yang tak ingin kehilangan noona karena Park Chan Yeol…” suara Baek Hyun terdengar begitu dingin. Membuat Jong In semakin mengerutkan keningnya.
“Orang yang membuat Se Jung noona pergi ke Gyeongsang,” lanjut Baek Hyun.
Hening.
Jong In sudah tak ingin menanggapi lagi. Kini, Jong In tahu. Ada pihak lain diantara Chan Yeol dan Jung Se Jung. Laki-laki itu menghela napas diam-diam. Tak menyangka jika kisah itu lebih rumit dari perkiraannya. Rumit sekali.
***
Kim Bo Kyung – 그대 하나로Ost. Pinocchio
Temaram lampu di ruang tengah Se Jung menjadi satu-satunya cahaya yang memancar malam ini. Menerpa wajah kedua orang yang kini sudah duduk bersanding di sofa, sebari menatap lurus kearah televisi yang sama sekali tak dihidupkan. Keheningan menjadi satu-satunya yang terdengar, diantara gemuruh perasaan keduanya. Tidak banyak yang mereka lakukan. Hanya duduk berdampingan, dengan lengan Chan Yeol yang melingkar di tubuh kecil Jung Se Jung. Mendekap gadis itu dengan begitu erat.
Se Jung tampak menempelkan kepalanya di dada bidang Park Chan Yeol. Merasakan hembusan napas hangat Chan Yeol di puncak kepalanya. Merasakan kecupan Chan Yeol yang sesekali terasa di puncak kepalanya. Malam ini mereka melepaskan kerinduan yang sama. Di ruang tengah rumah Se Jung.
Chan Yeol tersenyum ketika melirik gadis itu di pelukannya. Laki-laki itu menatap langit-langit rumah sekilas, merasakan ketenangan yang luar biasa. “Kau tahu kenapa aku merasa begitu marah?,” suara Chan Yeol terdengar lirih.
Se Jung tak menjawab. Gadis itu sibuk membuat bulatan-bulatan kecil di telapak tangan kiri Chan Yeol yang masih bebas. Se Jung tahu, Chan Yeol akan menjelaskannya.
“Karena aku merasa tak seharusnya kau bersama orang lain,” lanjut Chan Yeol. Laki-laki itu menatap Se Jung yang berada di dekapannya. “Dan tahu kah kenapa aku ikut bersama dengan gadis lain setelah melihatmu pergi bersamanya?” Chan Yeol bertanya tajam. Membuat Se Jung mendongak, membalas tatapan Chan Yeol.
“Karena aku berpikir… aku harus menghilangkan perasaan ini,” lanjut Chan Yeol lirih. Se Jung tersenyum, lalu melepaskan pandangannya dari Chan Yeol. Gadis itu berakhir semakin mengeratkan tubuhnya ke tubuh Chan Yeol.
“Memang kenapa?,” tanya Se Jung kemudian.
“Karena itu kau,” jawab Chan Yeol. “Kau, membuatku membutuhkanmu. Kau, Jung Se Jung. Bukan orang lain. Itulah kenapa ketika kau menyatakan perasaanmu kemarin, aku merasa semakin terluka,” lanjut Chan Yeol.
Se Jung kembali menatap Chan Yeol. Laki-laki itu masih menatapnya lekat, “Aku terluka karena tak mampu menyadari perasaanku secepat kau menyadarinya,” mata Chan Yeol berbinar. Laki-laki itu berakhir terdiam, menatap mata Jung Se Jung yang masih menatapnya.
Hingga satu detik kemudian, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Se Jung. “Aku mencintaimu, Jung Se Jung,” bisik Chan Yeol diantara keheningan ruang tengah. Laki-laki itu segera memejamkan mata, ketika bibirnya lagi-lagi mendarat untuk mengecup Se Jung di dekapannya.
Bersamaan dengan seseorang yang tanpa sengaja melihat semuanya melalui jendela rumah yang belum ditutup sepenuhnya. Kim Joon Myeon menyaksikan kehadiran Park Chan Yeol di kehidupan Jung Se Jung sekali lagi.
Laki-laki berwajah lembut itu berakhir terdiam di luar rumah, sebarimengepalkan tangan di samping jahitan. Seakan ingin menghancurkan kotak warna merah muda yang sejak awal sudah berada di genggaman tangannya.
Cincin untuk Jung Se Jung.
Su Ho segera berbalik untuk kembali masuk ke dalam mobilnya dengan langkah kasar. Bahkan laki-laki itu menginjak gas dengan begitu dalam. Kecewa.
***
Drrt… Drrrt
Drrrt…Drrtt
Ponsel Chan Yeol bergetar. Memutar perlahan di permukaan meja, hingga bergeser beberapa sentimeter dari posisi awal.
Drrt… Drrrt
Drrrt…Drrrttt
Layar ponsel berkedip. Berirama. Menampilkan julukan Seo Mi Rae bagi Chan Yeol sebagai penelepon malamini ‘엄마’. Tapi, laki-laki itu masih sibuk melepaskan kerinduan. Chan Yeol masih bersama Jung Se Jung, menyelam ke dalam dunia yang hanya dimiliki mereka berdua. Tidak pantas diceritakan, walau pun mereka tak sampai melakukan sejauh yang diduga. Tapi hal itu cukup membuat Chan Yeol mengacuhkanponselnya.
Drrt… Drrrt
Drrrt…Drrtt
Sekali lagi, ponsel masih bergetar. Hingga satu detik kemudian, layar ponsel segera menghitam sebelum akhirnya menyala terang untuk sesaat. 4 miscalls.
***
Mi Rae menjauhkan ponsel dari telinga sebari menghela napas. Chan Yeol sama sekali tak mengangkat panggilannya. Dan, anak itu pun belum pulang setelah kemarin berpamitan pergi ke rumah Jong In.
Sebenarnya bukan masalah besar bagi Mi Rae jika Chan Yeol belum juga pulang hingga saat ini. Toh, Chan Yeol sudah menuruti segala keinginannya, termasuk sekolah ke Amerika. Tapi, malamini Mi Rae butuh sebuah ketenangan dan sesuatu yang mengalihkan perhatiannya. Dia ingin mendengar suara Chan Yeol yang mulai menuruti perkataannya. Atau setidaknya, dia ingin mendengarkan suara Chan Yeol ketika berkata ‘Ye, eomma. Akan aku usahakan sebaik yang aku bisa’.
Mi Rae membutuhkan Park Chan Yeol saat ini. Wanita itu gusar.
Mi Rae mencoba menghubungi nomor anaknya sekali lagi. Menekan icon dial. Menempelkan ponsel ke telinga. Menunggu. Dan lagi-lagi, tidak ada jawaban. Park Chan Yeol tak mengangkat panggilannya. Lagi.
Mi Rae segera bersandar ke sandaran kursi, ketika suara ketukan terdengar dari luar.
“Masuk,” kata Mi Rae datar. Pintu ruangan terbuka, menampilkan sosok sekretaris Im yang menanggukkan kepala sopan. Mi Rae kembali menegakkan tubuhnya.
“Seseorang ingin menemui anda, gyojangnim,”kata sekretaris Im sopan.
Mi Rae diam-diam menghela napas. Dia tengah tak ingin menemui siapa pun. Tapi, profesionalitas wanita itu membuatnya berakhir mengangguk samar. Sekretaris Im menganggukkan kepala hormat sekali lagi, sebelum bergeser untuk membiarkan ‘tamu’ Mi Rae menampakkan dirinya.
Nam Bo Ra muncul dengan sebuah surat putih di tangan kanan. Gadis itu membungkuk singkat.
“Ternyata kau, Nam Bo Ra. Aku pikir siapa,” Mi Rae menanggapi ringan. Melihat kemunculan Bo Ra, membuat wanita itu sedikit mengendurkan tubuhnya. Bo Ra sudah Mi Rae anggap layaknya keluarga semenjak hubungan gadis itu dengan Park Chan Yeol terungkap. “Anjayo,” lanjut Mi Rae.
Bo Ra tersenyum. Gadis itu melangkah mendekat, lalu menyodorkan amplop dengan menggesernya melalui permukaan meja. Mencoba bersikap sesopan yang dia bisa. Mi Rae mengerutkan kening, “Apa ini?,” tanyanya sangsi.
Bo Ra tersenyum sekali lagi, “Terimakasih atas kebaikan anda selama ini, gyojangnim. Saya mengundurkan diri,” kata Bo Ra. Tanpa basa-basi. Membuat Mi Rae membulatkan mata tak percaya. Nam Bo Ra mengundurkan diri?
“Kau mengundurkan diri?” Mi Rae bertanya retoris. Bo Ra mengangguk sekali, tak ingin membuat ini terlihat lebih dramatis dari yang seharusnya. Karena gadis itu hanya berniat keluar dari Pr.C setelah semua yang diam-diam dia lakukan. Bo Ra harus segera menghilangkan jejak, sebelum aroma amisnya tercium oleh pihak Pr.C. Ya, Nam Bo Ra memang licik. Sejak awal.
Mi Rae terkekeh tak percaya. Wanita itu meraih amplop Bo Ra, membukanya, lalu melihatnya sekilas. Benar. Ini surat pengunduran diri. “Apa yang menyebabkanmu mengundurkan diri, Nam Bo Ra?,” tanya Mi Rae masih dengan suara normal.
“Saya merasa, sudah seharusnya saya keluar gyojangnim. Pr.C tidak cocok untuk gadis seperti saya. Saya merasa tidak bisa melakukan apapun untuk Pr.C,” kata Bo Ra.
“Maldo andwe…” Mi Rae berkata lirih. Wanita itu meletakkan surat pengunduran Bo Ra yang sudah terbuka ke meja. Sudut-sudut kertasnya tampak begitu tajam menghujam ke udara, seakan mengisyaratkan jika Mi Rae tengah ditusuk dari belakang¾tanpa wanita itu sadari.
“Alasan macam apa itu, eoh? Dan apa tadi? Kau tidak melakukan apapun? Sungguh, Nam Bo Ra. Bahkan kau adalah staff yang kukenal paling mampu untuk membuat Pr.C lebih maju,” kata Mi Rae sedikit kecewa.
Bo Ra tersenyum. Ya, dia memang mampu membuat Pr.C menjadi lebih maju. Setidaknya, sebelum Mi Rae sadar jika kemajuan Pr.C adalah kemajuan terkait kehancurannya.
“Animnida, gyojangnim. Saya rasa, saya sudah mengambil keputusan yang tepat. Sekali lagi, terimakasih,” Bo Ra segera membungkuk lalu berbalik untuk keluar ruangan.
Mi Rae menghela napas. Wanita itu sedikit membenarkan posisi duduknya, “Kenapa kau memilih keluar ketika Pr.C bermasalah? Kenapa tidak menunggu hingga semua ini kembali normal, Nam Bo Ra?,” tanya Mi Rae tajam.
Bo Ra menghentikan langkah. Gadis itu tersenyum sinis dengan hembusan napas yang untungnya terdengar tak terlalu keras, sebelum akhirnyadia berbalik sebari mengubah ekspresi wajah. “Saya tidak pernah memilih untuk keluar ketika Pr.C bermasalah, gyojangnim. Rencana ini sudah terpikir jauh sebelum saya menemani Park Chan Yeol ke Jeju beberapa hari lalu. Saya harap, anda mengerti.”
“Chan Yeol?” Mi Rae terkekeh, “sekarang kau menyebut namanya. Apa kau juga akan tetap keluar walau Chan Yeol tak menginginkannya? Kau ingat jika aku berjanji mendukung hubungan kalian?”
Sayangnya, kondisi mereka tidak. Park Chan Yeol sendiri yang memperparah sikap Nam Bo Ra terhadap Pr.C. Laki-laki itu sudah lebih dari sekedar menyakitinya.
Bo Ra tersenyum, “Kami sama sekali tidak membawa Pr.C ke tengah hubungan yang kami jalani, gyojangnim. Dan untuk dukungan anda, saya ucapkan terimakasih. Park Chan Yeol lebih tahu kebenaran hubungan ini. Permisi,” Bo Ra membungkuk sekali lagi, lalu segera melangkah cepat untuk keluar ruangan. Meninggalkan Mi Rae yang ternganga tak percaya.
Kenapa semua malah terasa kacau seperti ini? Dan apa tadi? Park Chan Yeol lebih tahu tentang hubungan mereka?
Mi Rae mengurut keningnya sendiri. Kepalanya berdenyut memikirkan segala kemungkinan buruk yang mungkin akan menyusul, nanti. Termasuk kemungkinan Chan Yeol yang kembali membangkang akibat perginya Nam Bo Ra dari kehidupan mereka. Mi Rae sungguh tak bisa membayangkan lagi. Semua ini terlalu mengerikan. Sangat mengerikan.
“Aigooo jeongmal….,” keluh Mi Rae diantara keheningan kamarnya yang menegangkan. Wanita itu mencoba menghubungi Park Chan Yeol sekali lagi. Tetap saja. Tidak ada jawaban.
***
Bo Ra menatap lurus kearah jalan di depan halte kota Seoul dengan tatapan kosong ketika sebuah mobil sedan hitam mewah berhenti tepat di hadapannya.Jendela bagian depanmobil terbuka, perlahan. Menampilkan wajah Yoo Jae Sang yang tersenyum penuh makna.
“Keponakanku,” ucap Yoo Jae Sang. Bo Ra beralih menatap pamannya, lalu mengangguk sopan. Wajah gadis itu tampak begitu datar. Tidak ada kebahagiaan atau pun kepuasan yang tersorot dari wajah Bo Ra¾tak seperti Jae Sang yang penuh lengkung kebahagiaan. Otak keduanya, sudah bercabang kearah yang berbeda. Bo Ra terlanjur menganggap aksinya ke Pr.C kali ini sebagai balasan untuk perasaan kecewanya terhadap Park Chan Yeol.
“Deureoga,” ucap Jae Sang sebari menggerakkan dagunya. Mempersilakan Bo Ra untuk membuka pintu bagian belakang.
Bo Ra menuruti, dan ketika gadis itu sudah sepenuhnya membuka pintu belakang, sosok pria lain membuat Bo Ra mengangguk sopan sekali lagi. Mantan klien Pr.C terkait pembangunan mall 6 lantai di Daegu beberapa waktu lalu, tampak tersenyum lebar kepada Nam Bo Ra.
Mengejutkan.
“Tuan Choo memutuskan untuk bergabung dengan YB Contruction, Nam Bo Ra. Sebuah kebetulan yang luar biasa,kan?,” kata Jae Sang sesaat setelah Bo Ra menutup pintunya. Pria itu menolehkan kepala, “Bukankah sebelumnya kalian sudah pernah bertemu? Kau yang membuatnya yakin jika Pr.C bisa melakukanya dengan baik, tapi ternyata….” Jae Sang terkekeh meremehkan, “…mereka tak lebih dari sekedar lalat,” lanjut Jae Sang. Ekspresi wajahnya mengeras sesaat, sebelum tersenyum menatap spion yang menampilkan wajah tuan Choo.
Bo Ra menelan ludah. Konspirasi ini jelas sangat mengerikan. Seorang penyedia jasa yang bersekongkol dengan klien perusahaan demi menghancurkan rival mereka adalah kejahatan terbesar yang pernah Bo Ra lakukan. Gadis itu berakhir tersenyum, menatap tuan Choo. “Ye, gyojangnim. Saya harap, YB Contruction bisa menjalankan proyek anda. Perkenalkan, saya Nam Bo Ra”
“Hhaaa-hha-haa… itu yang seharusnya aku lakukan untuk sahabatku, Bo Ra-ssi. Yoo Jae Sang, sudah seperti keluargaku sendiri,” tanggap tuan Choo.
Bo Ra tersenyum. Tak ingin menanggapi lagi.
***
Chan Yeol keluar dari rumah Se Jung untuk menerima panggilan beruntun dari Jong In ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Laki-laki itu tak peduli jika udara terasa begitu dingin menyambut setiap jengkal kulitnya. Dia hanya tak ingin mengusik Jung Se Jung yang sudah terpejam di sofa. Ya, lagi-lagi mereka tertidur di sofa dengan saling bergenggaman tangan.
“Bisakah kau sedikit bersabar? Aku tahu kau menelepon, Jong In,” omel Chan Yeol.
“Kau tahu, katamu? Ya! Lihat berapa banyak panggilan tak terjawab yang ada di ponselmu, Chan Yeol. Aigoo… aku tak menyangka jika bertemu dengan Jung Se Jung membuatmu lupa segalanya. Kau tidak tengah¾ehem…maksudku, kalian berdua tidak lupa diri,kan?” Jong In mengubah haluan kalimat. Chan Yeol mendengus. Memang apa yang bisa Chan Yeol lakukan kepada Se Jung sejauh dia belum ber-hak?
“Lupa diri apanya? Aku hanya duduk di sofa, tak melakukan apapun. Sekarang, kenapa kau meneleponku?,” tanya Chan Yeol, ingin segera mengalihkan pembicaraan.
Hening. Sebelum sesaat kemudian, terdengar suara helaan napas panjang. “Aku tengah berada di perjalanan menuju ke Gyeongsang. Menjemputmu”
“Ne?” Chan Yeol terpekik. “Ya! Apa yang kau lakukan? Aku bisa pulang sendiri, Jong In! Lagipula, ” Chan Yeol melihat jam tangannya. Laki-laki itu menggelengkan kepala tak percaya, “..ini sudah lewat tengah malam. Kau gila,” lanjut Chan Yeol.
“Kau yang gila! Kau tahu? Ibumu sakit!,” kalimat pendek Jong In berhasil membuat Chan Yeol membulatkan mata. Apa? Ibunya sakit?
“Ap…apa?”
“Ibumu masuk ke rumah sakit ayahku. Apa aku kurang jelas? Sekarang kau baru sadar jika kau yang gila?!,” Jong In mengertak.
“Rumah sakit? Wae?” Chan Yeol masih tidak ingin percaya. Lagi-lagi suara helaan napas terdengar dari seberang. “Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Chan Yeol. Apa yang tengah Pr.C alami hingga bibi bisa jatuh sakit seperti ini. Tapi yang pasti, kau yang belum pulang menjadi salah satu alasannya. Kau ini satu-satunya harapan beliau”
Chan Yeol menelan ludah. Laki-laki itu menyibak anak rambutnya ke belakang. Wajahnya tampak begitu gusar. Khawatir. “Pr.C…. mengalami masalah serius Jong In,” jelas Chan Yeol lirih.
“Aish… terserahlah. Yang terpenting, beri tahu aku alamat rumah Jung Se Jung. Aku harus menjemputmu”
Chan Yeol menarik napas dalam, lalu mulai menjelaskan alamat rumah Se Jung ketika Jung Se Jung tampak berdiri di ambang pintu keluar rumah. Gadis itu mendengar semua yang Chan Yeol katakan.
Chan Yeol menutup teleponnya. Dia menghela napas, sebari menatap langit malam sekilas. Laki-laki itu memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah. Dia berbalik, namun harus sedikit terlonjak ketika mendapati Se Jung sudah menatapnya dengan pandangan mengiba.
“Se Jung-a?”
“Ibumu sakit?,” tanya Se Jung tiba-tiba. Chan Yeol terdiam. Mencerna pertanyaan Se Jung barusan. Bagaimana Se Jung bisa tahu? Dia menguping?
Laki-laki itu akhirnya mengangguk samar. Wajah Se Jung langsung tampak kecewa. Gadis itu merasa bersalah karena membuat Chan Yeol tinggal malam ini. Tapi Chan Yeol menanggapi lain. Laki-laki itu tak ingin jika Se Jung merasa tak nyaman.
“Aigo, geogjongma. Ibuku wanita yang kuat. Dia baik-baik saja,” Chan Yeol berusaha menenangkan. Tapi, Se Jung menggeleng kuat. “Ani. Sekuat apapun ibumu, tapi dia tetap sakit jika tak mendapatimu berada di sampingnya. Maafkan aku. Tak seharusnya aku membuatmu tinggal disini,” kata Se Jung.
Chan Yeol tersenyum, lalu mendekatkan tubuhnya. Laki-laki itu sedikit membungkuk, menatap wajah Se Jung yang tampak begitu kecewa.
Chan Yeol membuat wajah pura-pura tak suka, sebari menyentuh pipi Se Jung dengan persendian jari tangan kanannya. “Aigoo… museuneolguriya?Jal motsaenggyeothae (Wajah macam apa ini? Jelek sekali),” goda Chan Yeol.
Tapi Se Jung tak menanggapi. Gadis itu hanya menatap Chan Yeol dengan tatapan bersalah. “Gwenchanna. Gwenchannayo,” lanjut Chan Yeol.
“Semoga ibumu, cepat sembuh,” kata Se Jung lirih. Chan Yeol mengangguk mengiyakan. Laki-laki itu kembali menegakkan posisi tubuhnya sebari mengacak rambut Se Jung lembut. Sebelum akhirnya Chan Yeol merentangkan tangan, meminta Se Jung menyambut pelukannya sekali lagi. Hangat sekali.
***
Detak jarum jam terdengar nyaring menggema memenuhi kamar Su Ho malamini. Pukul 2 dini hari. Dan Su Ho masih duduk di kursi sebari menatap sebuah benda berkilau di bawah temaram lampu duduk kamar.
Cincin yang akan diberikannya kepada Jung Se Jung tampak begitu berkilau. Menusuk mata Su Ho yang menatap nanar.
Laki-laki itu tak melakukan apapun selain hanya memainkan cincin putih. Membolak-baliknya. Memutarnya. Memperhatikan coraknya. Cantik. Tapi, entah kenapa hati Su Ho malah terasa begitu ngilu. Su Ho mendongak, menahan airmata yang sudah berkumpul di pelupuk mata. Ternyata, membuat Se Jung berada di sisinya tak semudah membuat gadis itu pindah ke Gyeongsang.
Semua ini jelas menampar Su Ho begitu keras. Membuatnya sadar jika meraih hati gadis itu tak semudah meraih hati sembarangan. Segala hal yang Su Ho berikan, seakan tak berarti apa-apa. Bahkan ancaman sekalipun, langsung menguap ketika Park Chan Yeol muncul lagi di hadapan Jung Se Jung.
Su Ho, bukan apa-apa.
Su Ho memutuskan memasukkan kembali cincin Se Jung ke dalam kotak merah muda dengan tutup transparan yang tergeletak di hadapannya. Laki-laki itu menyesap hidungnya, menimbulkan suara nyaring yang mengimbangi suara kecil hantaman antar penutup kotak cincin. Su Ho menatap benda itu sekali lagi.
Sungguh, dia sudah tak tahu harus berbuat apa. Dia sudah tak tahu harus melakukan hal apa untuk membuat Jung Se Jung benar-benar melihatnya.
Satu helaan napas panjang menjadi pengantar Su Ho untuk beranjak dari kursi. Laki-laki meraih blazer yang tergantung di dekat pintu. Malam ini, dia tidak ingin tidur.
***
Baek Hyun menguap lebar ketika menempelkan ponsel ke telinganya. Benda itu terus berdering, membuat Baek Hyun terpaksa meraihnya malas.
“Yoboseyo…” sapa Baek Hyun serampangan. Laki-laki itu sama sekali tak melihat siapa yang menelepon, hingga dengan tanpa sopan santun, Baek Hyun terus saja menguap sebari menggaruk-garuk tengkuk. Lagipula, siapa yang bisa bertingkah normal ketika mengangkat telepon pada pukul 3 dini hari?
“Baek Hyun…” suara di seberang terdengar tak jelas. Ketara sekali jika sang penelepon tengah mabuk berat. Tapi, apa peduli Baek Hyun?
“Hmm?”
“Aku….…kau tahu kenapa aku meneleponmu?,” suara di seberang malah terdengar merancau tak jelas. Baek Hyun mendengus. Siapa sih yang menelepon dengan begitu bertele-tele malam-malam begini? Baek Hyun berakhir mengerutkan wajahnya kesal, lalu menjauhkan ponsel sesaat untuk melihat siapa yang meneleponnya. Dan mata Baek Hyun langsung terbuka lebar. Su Ho.
“Hyeong?” pekik Baek Hyun. Kini, laki-laki itu tak merasa mengantuk sama sekali. Suara cegukan diantara kekehan terdengar dari seberang. Parah, Su Ho mabuk.
“Ya!! Kau baru sadar jika ini aku? Aigoo cham….” Su Ho memekik tak jelas.
“Ma..maafkan aku.. aku…”
“Baek Hyun-a…”Su Ho memotong. Laki-laki itu terkekeh sekali lagi, “…apa…aku begitu jelek? Ah… anni… aku tampan,kan?”
Baek Hyun mengerutkan keningnya. Jangan bilang jika semua sudah meledak tak terkendalikan?
Su Ho terbahak di seberang, “Atau….. aku masih kurang kaya? Eoh? Aigooo…bahkan aku CEO Kim Groups. Sekarang…apa yang kurang dariku?,”suara tarikan napas terdengar dari seberang. Disusul suara dentingan gelas yang menghantam meja konter, “Apa yang kurang dariku??!!!! Eoh?!!,” Su Ho berakhir berteriak.
Baek Hyun menghela napas, “Hyeong, kuasai dirimu..”
Hening sesaat. Sebelum terdengar suara tepukan yang begitu keras. Baek Hyun tahu, Su Ho tengah menepuk dirinya sendiri.
“Aku….merasa menjadi sampah diantara mereka, Baek Hyun. Aku…” Su Ho mulai terisak, “..aku begitu mencintainya tapi dia mencintai orang lain. Kakak sepupumu… apa yang harus aku lakukan, Baek Hyun? Apa yang harus aku lakukan?”
Baek Hyun tak menjawab. Dia sibuk mendengarkan isakan Su Ho. Napas laki-laki itu pun terdengar terengah, “Apa mungkin… mungkin aku bisa memindahkan Se Jung lagi, eoh? Atau…. Park Chan Yeol? Apa aku harus menyingkirkannya? Iya?,” Su Ho seperti kerasukan Nada bicaranya berubah seketika.
Baek Hyun memejamkan mata sekilas. Parah. “Su Ho hyeong…. Tenangkan dirimu dulu”
“Tenangkan diriku?,” Su Ho mendesis. Suara kemelotak keras terdengar dari seberang, bersamaan dengan telepon yang terputus secara sepihak.
Sementara itu di sebuah bar ternama Seoul, Su Ho sudah menjatuhkan dirinya ke meja konter. Ponselnya tergeletak di lantai. Wajah Su Ho sudah sempurna merah. Laki-laki itu terisak keras, lalu memukul-mukul permukaan meja konter sendirian. Hatinya terasa begitu sakit. Sakit sekali.
“Jung Se Jung… apa yang harus aku lakukan….”
To Be Continued
Preview :
Maaf, preview yang anda cari… tidak tercantum lol :D kekekeke
Karena next-part adalah part terakhir, maka saya nggak mencantumkan preview. Tunggu chapter selanjutnya ya… eh, maksud saya, chapter endingnya yaaa
