Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Ten Years Forwarded (Chapter 8)

$
0
0

Ten Years Forwarded

Ten Years Forwarded

A fanfiction by marceryn

Rating : PG-15

Length : Multichapter

Genre : AU, Soft-romance, fantasy, married-life

Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs

Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.

fanfiksi ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi

~ ten years forwarded~

 

Chanyeol tidak tahu pasti berapa lama ia mematung di sana, sampai Jinhye berkata dengan tampang geli, “Ada yang salah? Apakah kau melihat hantu?”

Chanyeol membuka mulut, tapi tidak tahu apa yang ingin dikatakannya, lantas menutupnya lagi. Memang persis seperti itulah perasaannya sekarang. Seperti baru melihat hantu, maksudnya.

“Jadi, apa kabar?” tanya Jinhye.

Yeah,” jawab Chanyeol bodoh.

Jinhye tertawa pelan. “Apakah kau tidak akan masuk dan duduk?”

Chanyeol berdeham dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas seperti, “Em, gah.”

“Atau kita bisa keluar dan minum kopi,” Jinhye menawarkan. “Kalau kau tidak sibuk, tentu saja.”

“Tidak, aku tidak sibuk,” akhirnya Chanyeol bisa mengatakan kalimat lengkap.

“Kalau begitu, ayolah.”

Jinhye meraih tas tangannya dari kursi sebelahnya dan melangkah dengan bunyi ketuk-ketuk yang dihasilkan hak runcing sepatunya. Chanyeol merapatkan punggungnya ke pintu untuk membiarkan Jinhye lewat lebih dulu. Aroma parfum gadis itu menyerbu penciumannya dan Chanyeol nyaris yakin kakinya meleleh ketika bahu Jinhye menyentuh bahunya.

Hanya karena seorang perempuan, otaknya mendadak kehilangan koneksi dengan dunia. Memang, ini bukan perempuan biasa. Ini Baek Jinhye. Tapi tetap saja. Chanyeol seharusnya tidak segugup ini.

“Kau masih suka americano, kan?” tanya Jinhye ketika mereka membuat pesanan di kafe. Tapi Jinhye sepertinya tidak menunggu jawaban, karena gadis itu sudah memesan dua cangkir americano untuk mereka berdua.

“Bukankah kau tidak suka kopi?” Chanyeol bertanya refleks.

Sudut mulut Jinhye terangkat tinggi. “Aku terkesan kau masih ingat itu. Tapi selera orang kan bisa berubah.”

Yeah, benar,” Chanyeol menyahut bodoh.

Mereka duduk di meja yang sama dengan yang Chanyeol tempati dengan Kyungsoo ketika sahabatnya itu muncul di Manhattan. Namun berbeda dengan sebelumnya, saat ini ia duduk dalam keheningan selama menunggu pesanan. Chanyeol tidak tahu apa yang harus ia katakan. Otaknya lambat beradaptasi dengan kejutan ini.

“Kau tidak banyak berubah selama sepuluh tahun terakhir,” Jinhye akhirnya membuka pembicaraan. Nada bicaranya terdengar seolah mereka baru berpisah tadi malam, bukannya bertahun-tahun yang lalu. Dan bagi Chanyeol yang berumur dua puluh tiga tahun dan terbangun sebagai pria tiga puluhan, memang seperti itulah rasanya.

“Kau juga,” Chanyeol menanggapi kaku.

“Aku hampir mengira kau sudah melupakanku,” gurau Jinhye. “Kau sepertinya bingung ketika melihatku tadi.”

Chanyeol tertawa canggung. “Tidak. Tidak juga. Aku hanya terkejut. Aku tidak menyangka… bisa melihatmu lagi.”

Senyum di wajah Jinhye terlihat aneh ketika ia berkata pelan, “Kuharap aku tidak membuatmu merasa tidak nyaman. Kau tahu, karena muncul tiba-tiba setelah begitu lama.”

Chanyeol bersyukur pelayan memilih saat itu untuk mengantar pesanan mereka dan memberinya jeda untuk menenangkan diri—juga melepaskannya dari keharusan menjawab. Mereka berdua duduk dalam keheningan lagi, dengan tangan memegang cangkir, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Chanyeol tidak akan bisa menghadapi yang satu ini. Ia tidak akan bisa duduk di hadapan Baek Jinhye dan memperlakukan gadis itu sebagai teman biasa sementara seluruh sel tubuhnya menjerit untuk memeluknya. Ini lebih dari yang dapat ia tanggung. Kehadiran Jinhye di hadapannya hari ini membuat berita kehamilan Danbi jadi tidak ada apa-apanya.

Saat itulah dada Chanyeol mencelus. Ryu Danbi! Apa yang harus ia lakukan pada gadis itu sekarang?

Kemudian Jinhye membuyarkan lamunannya dengan meletakkan cangkirnya ke atas meja dan berkata, “Senang bertemu denganmu lagi.”

Chanyeol melakukan kesalahan dengan menatap lurus sepasang iris Jinhye. Mata itu membuat dadanya berdenyut lebih keras dan menerbangkan seluruh pikiran dari kepalanya ke jalan aspal New York.

Dalam keadaan demikian, apalagi yang bisa ia katakan selain, “Aku juga”?

 

***

 

Danbi membuka pintu apartemen dengan riang. Kantong kertas dalam pelukannya gembung dengan spaghetti, botol saus tomat, daging, keju, rosemary kering, dan bahan-bahan untuk membuat pasta. Perutnya masih berulah, tapi ia merasa cukup sehat sore ini untuk pergi belanja dan memasak makan malam.

Oke, Danbi memang bukan jenius di dapur, tapi ia bisa belajar dengan cepat kalau memang mau. Hanya butuh panduan koki di acara memasak, buku resep, dan mungkin sedikit improvisasi.

Terserahlah. Kalau hasilnya tidak bagus, Danbi akan mengajak Chanyeol makan di luar saja.

Dengan pemikiran menggembirakan itu, Danbi memakai celemek dan mulai menyiapkan bahan-bahan. Ia memotong bawang—berhasil lolos tanpa menangis—dan merebus air dengan sedikit minyak untuk spaghetti-nya. Sambil bekerja, Danbi menyenandungkan lagi Party In The USA. Lagu terakhir yang didengarnya sebelum hal-hal luar biasa ini terjadi padanya.

Danbi benar-benar merasa ceria saat itu, apalagi ketika ia mendengar panel tombol berbunyi dan pintu apartemen dibuka. Kemudian, laki-laki yang ditunggunya menampakkan batang hidungnya yang tinggi.

“Kau pulang lebih awal,” kata Danbi dengan nada sesantai mungkin. “Apa kau sudah makan malam? Aku sedang memasak pasta.”

“Tidak. Maksudku, belum.”

“Kalau begitu duduklah, sebentar lagi aku selesai.” Danbi menunjuk meja makan dengan penjepit di tangan kanannya. “Atau kau bisa cuci muka dulu, karena wajahmu kelihatan kusut,” komentarnya begitu melirik Chanyeol.

Chanyeol sepertinya tidak mendengarkan. Laki-laki itu hanya menarik kursi dengan patuh dan duduk dengan mata tertuju pada permukaan meja makan, seolah meja itu sudah melakukan keajaiban atau apa.

Ya, Park Chanyeol,” Danbi memanggilnya.

Chanyeol mengangkat wajah dengan canggung. “Apa?”

“Kau tidak sakit, kan?”

Chanyeol menggeleng. “Aku baik-baik saja.”

“Apa ada masalah di tempat kerjamu?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Saat kau berbohong, cuping hidungmu melebar hampir sebesar daun telingamu, tahu tidak?”

“Aku tidak begitu.”

Danbi mengangkat bahu menyerah dan kembali pada masakannya. Hasil akhirnya ternyata lumayan. Ia hanya berharap rasanya seenak baunya.

“Ini.” Danbi meletakkan dua piring pasta yang sudah jadi di atas meja, satu untuk Chanyeol dan satu untuknya. Tapi sebelum itu, ia memperingatkan dengan jenaka, “Karena ini pertama kalinya aku memasak, simpan saja semua komentar buruk dalam hati.”

Chanyeol hanya tersenyum setengah hati, kemudian meraih garpu dan mengunyah makan malamnya dalam diam.

“Bagaimana?” Danbi bertanya ingin tahu.

“Enak.”

“Baguslah.” Senyum di wajah Danbi melebar. Ia baru akan mengangkat garpunya sendiri ketika tiba-tiba Chanyeol memanggilnya.

“Danbi-ya.”

“Apa?”

Chanyeol menatapnya lurus. Setelah keraguan mengambang di udara selama sedetik, ia berkata, pelan dan dalam, “Aku bertemu Baek Jinhye.”

Tanpa sadar, mereka sama-sama menahan napas. Chanyeol tidak bisa menebak pikiran Danbi dari wajahnya. Gadis itu tampak sedikit terkejut, tapi selain itu tidak ada apa-apa.

“Tadi?” tanya Danbi.

Chanyeol mengangguk.

“Di Manhattan sini?”

Chanyeol mengangguk lagi.

“Apa yang dia lakukan di sini?”

“Aku tidak tahu,” jawab Chanyeol. “Dia datang ke tempat kerjaku tadi siang, lalu kami sempat mengobrol sebentar.”

Danbi tidak menunjukkan ekspresi terganggu atau semacamnya. Ia hanya meletakkan garpunya kembali ke piring, bersedekap, lalu berkata dengan nada bergurau, “Pantas saja kau terlihat seperti baru divonis hukuman mati.”

Chanyeol tidak mengatakan apa-apa. Ia kehilangan selera bercanda.

Setelah keheningan yang membekukan beberapa saat, Danbi akhirnya memecah suasana canggung itu. “Aku agak capek. Kupikir aku mau istirahat dulu. Habiskan makananmu,” katanya, kemudian berdiri dari kursinya.

Chanyeol menatap nanar punggung Danbi sampai menghilang, dan tiba-tiba saja merasa jauh lebih kesepian dari yang pernah dirasakannya.

 

***

 

Danbi tidak yakin jam berapa tepatnya ia jatuh tertidur, yang jelas ketika ia bangun pagi ini, tempat tidurnya masih sama lengangnya, yang berarti Chanyeol menghabiskan malam di sofa yang keras lagi. Bukannya ia peduli.

Tapi Danbi juga tidak menemukannya di ruang tengah, atau di mana pun di dalam apartemen. Mungkin Chanyeol tidur dengan Baek Jinhye. Apa pedulinya. Laki-laki itu bebas ke mana saja dengan siapa saja dan kapan saja, itu bukan urusannya.

Benar sekali. Jadi, kenapa Danbi merasa napasnya berat?

Ia kembali ke kamar, menghempaskan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur, tenggelam di antara barikade runtuhnya.

Park Chanyeol memang membuatnya tertawa, menemaninya berjalan-jalan, juga mengajaknya berkencan, tapi Park Chanyeol yang sama juga menyukai Baek Jinhye. Danbi membiarkan dirinya menikmati keadaan semu yang dimilikinya saat ini sampai melupakan hal penting itu.

Bukan Ryu Danbi yang diharapkan ada di sini sejak awal, melainkan Baek Jinhye. Chanyeol mungkin mencoba membiasakan diri, tapi bukan menerima. Ada perbedaan antara kedua hal itu. Danbi tahu, tapi ia mengabaikannya. Sekarang ia harus bangun dari mimpi indah dan menghadapi kenyataan yang tertawa puas di depannya.

Dan rasanya tidak mudah.

Chanyeol muncul setengah jam kemudian dengan jaket tipis, kaus, celana training hitam, sepatu olahraga, dan wajah yang berpeluh. “Kau sudah bangun?” tanyanya ketika melihat Danbi keluar dari kamar.

Dada Danbi sesak, tapi ia tersenyum seperti biasa. Seperti tidak ada apa-apa.

Sudah waktunya berhenti berimajinasi dan kembali ke dunia nyata. Ia bukan anak kecil. Bertingkah seperti pihak yang terluka dan merengek minta perhatian tidak akan mengubah apa-apa.

“Habis dari mana?” Danbi bertanya. Ia terdengar riang, persis seperti yang diinginkannya.

Jogging,” jawab Chanyeol canggung. Sepertinya ia berpikir Danbi akan kembali seperti semula—menjauh darinya dan bersikap menyebalkan lagi—tapi ternyata tidak.

“Mandi sana, kau tercium seperti jalanan. Aku akan membuat roti panggang.”

Setengah jam berikutnya, mereka duduk berhadapan di meja makan. Mereka bercakap-cakap ringan—tentang cuaca dan sebagainya—dan keadaan mulai menyantai, namun kemudian ponsel Chanyeol di atas meja bergetar.

Chanyeol meraih ponselnya cepat, tapi Danbi sempat melirik nama Baek Jinhye yang muncul di layarnya.

“Aku—”

“Angkat saja,” sela Danbi dan menggigit pinggiran rotinya dengan serius.

Chanyeol ragu sejenak, lalu menyentuh ikon jawab dan menempelkan benda itu ke telinganya. “Yeoboseyo.”

“Chan-ah,” suara lembut Jinhye menyapa dari seberang sana. “Apakah aku mengganggu?”

“Tidak,” Chanyeol menjawab sambil menoleh ke arah lain. “Tidak juga. Ada apa?”

“Aku hanya ingin tahu apakah kau mau menemaniku keluar siang ini. Ini pertama kalinya aku ke New York dan aku tidak tahu banyak, sedangkan kau sudah tinggal cukup lama di sini, jadi…” Jinhye tertawa pelan, malu-malu. “Tapi kalau kau tidak sibuk, tentu saja.”

Danbi mengangkat gelas dan meminum susunya, tapi ia terlalu buru-buru menelan sehingga tersedak kecil. Chanyeol mendapati dirinya tersentak untuk berdiri, tapi Danbi lebih cepat. Ia meninggalkan kursinya dan mengambil tisu dapur.

“Chan-ah? Halo? Kau masih di sana?”

“Y-ya,” sahut Chanyeol, sejenak lupa teleponnya masih tersambung. “Aku di sini.”

“Jadi, apa kau bisa?”

“Aku… aku tidak yakin,” Chanyeol mendapati bibirnya menjawab begitu meski suara di kepalanya berkata ‘ya’. “Aku akan meneleponmu lagi nanti.”

“Baiklah. Gomawo, Chan-ah.”

Chanyeol menurunkan ponsel setelah sambungan berakhir. Saat itu Danbi kembali duduk. “Kau baik-baik saja?”

Danbi mengangguk cepat dan berkata, “Pergi saja.”

Chanyeol mengerjap-ngerjap. “Apa?”

“Dia mengajakmu bertemu, kan? Pergilah. Dia tidak punya teman lain di sini.” Danbi sedikit terkesan karena tidak ada kesinisan dalam suaranya.

Mereka bertatapan. Danbi mengira Chanyeol akan merasa tidak enak padanya—mungkin juga merasa bersalah—dan ia tidak akan menyukai Chanyeol yang seperti itu. Kepura-puraan seperti ini menyakitinya, tapi ia akan terbiasa. Pada akhirnya, ia selalu terbiasa.

 

***

 

Mereka berdua bertemu siang harinya di kafe yang sama dengan kemarin.

“Apa yang ingin kau lakukan hari ini?”

Dahi Jinhye berkerut sedikit ketika mendengar pertanyaan Chanyeol, tapi bibirnya tersenyum. “Agak aneh mendengarmu bertanya begitu setelah terbiasa dengan kalimat ‘aku ingin ke sini, ke sini, dan ke sini’.”

Gadis itu tertawa kecil, dan Chanyeol tersenyum setengah. “Aku tidak yakin harus mengajakmu ke mana. Kau yang ingin pergi.”

“Hmm… aku ingin melihat-lihat 7th Avenue. Teman-temanku bilang banyak toko tas yang bagus di sana.”

Chanyeol mengangkat bahu. “Oke.”

“Kau pernah ke sana?”

“Tidak.”

“Kau tinggal di New York dan belum pernah ke 7th Avenue?” Jinhye terdengar heran.

“Tidak,” jawab Chanyeol. “Aku cukup sibuk, lagipula Danbi tidak suka belanja.”

Jinhye mengerjap-ngerjap. Selama sedetik, Chanyeol merasa air muka gadis itu berubah, tapi mungkin itu hanya perasaannya saja, karena detik berikutnya Jinhye tersenyum lebar. “Jadi apa yang kalian lakukan di waktu senggang?”

Bertengkar mungkin bukan jawaban yang bagus, jadi Chanyeol berpikir sebentar dan berkata, “Kami tinggal di rumah, menonton televisi. Atau keluar ke taman.”

“Manis sekali,” kata Jinhye sambil tertawa renyah. “Kalau begitu kita bisa melakukannya juga. Kau tahu, akan lebih nyaman bagimu melakukan apa yang biasa kau lakukan, kan?”

Jadi Chanyeol sekali lagi mengunjungi Central Park. Tapi segalanya terasa jauh berbeda dari saat itu. Maksudnya, segalanya.

Mereka menyusuri jalan setapak melewati Teater Delacorte yang kosong karena sedang tidak ada pertunjukkan, dan tahu-tahu suara Danbi berkelebat di telinga Chanyeol, “Aku ingin nonton pertunjukan teater.

“Ada apa?” tanya Jinhye ketika Chanyeol tiba-tiba berhenti.

Chanyeol mengerjap-ngerjap, tersadar dan kembali melangkah. “Bukan apa-apa.”

Mereka melewati melewati sepasang orang tua yang duduk di bangku dekat pagar menikmati sandwich dan bagel masing-masing, kemudian sekumpulan anak-anak yang mengantri di kios berjalan, dan Jinhye tiba-tiba berkata, “Kau banyak berubah.”

Chanyeol menatapnya sekilas. “Geurae?”

“Kau tahu, tidak? Belakangan ini, aku sering memikirkanmu. Dirimu yang lama, maksudku. Yang cerewet dan tidak bisa diam. Kau begitu mengganggu, tapi tidak bisa disingkirkan. Persis seperti permen karet.”

Jinhye sering memanggilnya begitu dulu, di awal-awal masa pacaran mereka. Bahkan, nama kontak Chanyeol di ponselnya adalah ‘Permen Karet’. Mungkin maksudnya adalah ejekan, tapi bagi Chanyeol—saat itu—kedengarannya seperti panggilan sayang.

“Tapi kau sudah tidak seperti itu lagi sekarang. Kau sudah dewasa.” Jinhye menyilangkan tangan di dada dan mendesah pelan dengan wajah terdongak ke atas. Angin meniup rambutnya dan ia, tidak bisa dipungkiri, benar-benar cantik. “Ah, sudah hampir musim gugur. Waktu cepat sekali berlalu, ya?”

Eo,” Chanyeol menjawab dengan nada melamun.

Jinhye menghentikan langkahnya dan menghadap Chanyeol. “Boleh aku bertanya sesuatu?”

Chanyeol ikut berhenti dan membalas tatapannya. “Katakan saja.”

“Apa kau sudah memaafkanku?”

Mereka bertatapan selama waktu yang terasa bagai selamanya. Sementara itu, di dalam kepala Chanyeol berkecamuk banyak pertanyaan. Apa yang Jinhye bicarakan? Apa yang sudah atau belum ia maafkan darinya? Apa yang terjadi?

Sayangnya Chanyeol tidak sempat mengatakan apa-apa karena ia melihat pesepeda melaju ke arahnya dan Jinhye. Secara refleks ia mundur seraya menyambar bahu Jinhye dan menariknya mendekat untuk menghindar. Sayangnya, gerakan Chanyeol terlalu mengejutkan, sehingga hak sepatu Jinhye tergelincir di atas aspal. Gadis itu pasti jatuh kalau tidak menyandar sepenuhnya di dada Chanyeol.

Sorry!” si pesepeda berseru tanpa berhenti.

Gwaenchana?” Chanyeol bertanya pada Jinhye.

Wajah Jinhye sedikit pucat karena terkejut, tapi ia mengangguk. “Hampir saja,” katanya, menegakkan diri dan merapikan rambutnya dengan salah tingkah. “Gomawo.”

Setelah memastikan semua baik-baik saja, mereka kembali berjalan, tapi kali ini, entah Jinhye sadar atau tidak, ia meletakkan satu tangannya di siku mantel Chanyeol. Chanyeol, sebaliknya, sadar sepenuhnya, tapi tidak berusaha melepaskannya.

 

***

 

Chanyeol tiba di apartemen sekitar pukul tujuh. Ketika ia masuk, Danbi ada di ruang tengah, sedang menonton televisi. Ia tidak tahu apakah harus merasa lega atau tidak nyaman karena gadis itu ada di sana.

“Sudah pulang?” Danbi menyapa dengan tatapan menempel pada layar televisi.

Eo,” jawab Chanyeol. “Kau sudah makan malam?”

Danbi mengangguk. “Bagaimana harimu?”

Chanyeol merasa sesuatu menohok dadanya. “L-lumayan,” jawabnya singkat.

“Baguslah,” kata Danbi tulus, lantas mematikan televisi dan berdiri. “Aku agak capek. Selamat tidur.”

Eo. Selamat malam.”

Setelah Danbi beranjak ke dalam kamar, Chanyeol mendudukkan dirinya di tengah sofa dalam keheningan dan membiarkan kepalanya terdongak menatap langit-langit apartemen. Ia menghela napas. Dadanya dipenuhi perasaan bersalah, seakan-akan Danbi tahu apa yang terjadi hari ini dengan Jinhye. Padahal semua itu bukan apa-apa, dan lagi Danbi terlihat baik-baik saja, jadi seharusnya Chanyeol tidak perlu merasa begitu, kan?

Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya bisa berada di persimpangan seperti ini. Padahal, kenapa ia harus ragu? Antara Baek Jinhye dan Ryu Danbi, sudah jelas pilihan apa yang akan dibuatnya, kan?

Tentu saja. Lalu kenapa masalah ini jadi sulit?

Sebenarnya, Chanyeol tahu jawabannya. Tapi hipotesisnya begitu gila sampai ia sendiri kesulitan meyakininya.

 

***

 

Siapa, katamu?”

Sepasang mata besar Kyungsoo membulat menyeramkan ketika Chanyeol menyebut nama itu. Mereka baru selesai membicarakan masalah promosi albumnya ketika ponsel Chanyeol berbunyi, dan karena Chanyeol menjawabnya dengan wajah menderita, Kyungsoo merasa perlu bertanya siapa yang menelepon. Tapi ia tidak menduga ternyata gadis itu yang menelepon.

“Baek Jinhye,” Chanyeol mengulang jawabannya.

Kyungsoo masih tampak terkejut. “Sejak kapan kau berhubungan lagi dengannya?”

“Sejak dia muncul di sini minggu lalu.”

Di sini? Apa yang dia lakukan di sini?”

Dahi Chanyeol berkerut tipis. “Ya, mengingat Jinhye adalah calon kakak iparmu, kurasa tidak pada tempatnya kau bertanya dengan nada menuduh seperti itu.”

“Kakak ipar atau bukan tidak ada urusannya,” balas Kyungsoo. “Apa yang dia inginkan?”

Pertanyaan itu membuat Chanyeol tertawa hambar. “Inginkan? Tidak ada. Kami hanya bertemu sesekali sebagai teman lama, apa itu salah?”

“Tidak, seandainya kau belum menikah dan tidak punya masalah dengan maju-sepuluh-tahun itu,” jawab Kyungsoo. “Kau… tidak memberitahunya tentang hal itu, kan?”

Chanyeol mendengus. “Tentu saja tidak. Kalaupun iya, dia tidak akan percaya.”

Kyungsoo meragukan hal itu. Ia lebih merasa Jinhye akan senang mendengar bahwa Chanyeol mengalami gangguan ingatan dan kembali di masa mereka masih bersama. Bisa saja Jinhye malah akan menganggap itu anugerah. Maksudnya, mengingat bagaimana gadis itu muncul tiba-tiba di Manhattan—di hadapan Chanyeol—tidak mungkin ini sekadar bertemu kawan lama.

“Jangan menemuinya lagi.”

Chanyeol mengangkat wajah dari berkas di atas meja. Ia baru membuka mulutnya, tapi Kyungsoo menyela cepat.

“Aku tahu apa yang mau kaukatakan. Aku tidak mencoba mengaturmu. Aku hanya mengingatkanmu sebagai teman. Dengar, apa pun yang terjadi antara kau dan Jinhye sudah berlalu. Saat ini kau sudah menikah, tidak peduli apa yang terjadi padamu dan Ryu Danbi.”

Chanyeol menutup mulutnya lagi, lantas mendengus. “Apa yang kau bicarakan?”

“Aku serius,” tegas Kyungsoo. “Bayangkan jika keadaannya terbalik, Danbi yang bertemu lagi dengan cinta pertamanya dan dia keluar dengan laki-laki itu di depan matamu. Apa kau tidak akan sakit hati?”

Tentu saja, Chanyeol berseru dalam hati. Bahkan detik ini, ia merasakan dorongan untuk meninju pria imajiner yang berani-beraninya menemui Danbi dalam kepalanya. Tapi, tunggu dulu. Ada hal lain yang menarik perhatiannya.

Chanyeol menautkan alis. “Apa yang membuatmu berpikir—”

“Bahwa dia mencintaimu?” sambung Kyungsoo, mendengus. “Kau tidak bisa menemukannya dengan berpikir. Kau harus melihatnya.”

 

***

 

Entah sudah berapa lama Chanyeol berdiri di depan pintu apartemennya tanpa melakukan apa-apa, ia sendiri tidak sadar. Akhirnya ia menghela napas dan menekan kombinasi angka apartemennya yang belum diganti sejak diatur ulang oleh petugas waktu itu. Ketika membuka pintu, hanya ada keheningan menyambutnya.

Danbi tertidur menyamping di sofa, tangannya tergantung memegangi ponsel yang tersambung dengan earphone.

Chanyeol berdecak. “Dia ini benar-benar…”

Ia berjalan mendekatinya, tadinya dengan niat menggendongnya ke tempat tidur, tapi malah tertarik untuk menekuk lutut di dekat wajah gadis itu dan mengamatinya.

Chanyeol memang merasa hubungannya dan Danbi telah membaik, dan kadang kala—misalnya ketika ia tanpa alasan mengecup bibir gadis itu diam-diam—ia berpikir bahwa mungkin suatu saat, ada kemungkinan mereka bisa menjadi lebih dari sekadar teman. Tapi, cinta? Memang, Danbi pernah mengakui bahwa gadis itu menyukainya. Tapi gadis itu juga bilang bahwa masa itu sudah berlalu.

Chanyeol tidak pandai membaca perasaan perempuan. Ia juga tidak suka menebak-nebak seperti ini.

Tahu-tahu tangan Danbi bergerak. Chanyeol mundur dan tidak sengaja terpeleset sehingga terduduk dengan tulang ekornya membentur lantai.

Ya!” Danbi sontak menegakkan punggung ketika mendengar suara mengaduh Chanyeol. Ia merapikan rambutnya dengan kedua tangan (yang justru lebih membuat berantakan daripada merapikan) dan mengerjap-ngerjap mengantuk. “Kapan kau pulang?”

“Baru saja.”

“Oh.” Danbi menguap dan menutup mulutnya dengan satu tangan. “Jam berapa sekarang? Aku ketiduran…”

Danbi berdiri dari sofa. Chanyeol tidak tahu apa yang merasukinya, tapi kejap berikutnya ia menemukan dirinya praktis melompat dari lantai dan menyambar pergelangan tangan gadis itu.

Danbi berhenti dan menatapnya bingung. “Ada apa?”

Kau tidak bisa menemukannya dengan berpikir. Kau harus melihatnya.

Well, Chanyeol tidak bisa melihatnya. Jadi sebaiknya ia langsung saja. “Apakah kau mencintaiku?”

 

=to be continued=

 

Haaaai ._.)/

Pertama-tama, aku tahu chapter ini pendek. Tapi apa boleh buat, otakku mulai rewel di tengah jalan(?) jadi daripada nanti absurd makin makin, aku cut di sini dulu. Hahaha. Dan, yeah, aku udah tau seperti apa ff ini akan diakhiri (?). Kuharap semua bersabar sedikit lagi. Haha. Oke, itu saja. Masih menerima kritik dan saran~ *berasa customer service*

XOXO!



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles