Han Cessa, What is Your Dream?
Title : Han Cessa, What is Your Dream?
Author : AnaSophie
Genre : Romance, Oneshot
Length : Oneshot
Rating : General
Main Cast : Xi Luhan, Han Cessa (OC)
Note : Han Cessa, who’s that girl? What kind of girl she is? One word, unique. Is that you? No honey, ofc not. I prefer to be junmeng’s gf than that kitty. Lol. Well, seriously, Han Cessa is not that kind of girl you think/? Trust me, it works. Wel…. It’s originally my idea. Happy read!
Summary : Passed midnight. I closed my eyes and sink inside the dream world enjoying every single second of it. It feels so tiring lately, including every slept I spend. Oh yes, it is. Damn, how can I enjoy the sleep while the dreams are only showed nightmare? Dear God, what’s wrong with me? I mean, this is disgusting. What disgusting? Keep thinking about what will happen to me if Luhan decided to leaving as Kris before?! Holy crap.
***
Jam menunjukkan pukul dua malam. Bel berdenting sebanyak dua kali, seakan memberikan bukti bahwa dalam satu jam lagi malam akan berganti menjadi pagi meskipun matahari masih akan terbit beberapa jam setelahnya.
Suasana didalam kamar terasa diam dan hening. Tak ada pergerakan sama sekali, tak ada yang bergerak. Tidak juga dengan Han Cessa yang sedang asyik tertidur diatas kasur tebalnya dan nyaman.
Helaan nafas bergantian dengan hembusan nafas pelan yang mengalir keluar dari hidung tajam gadis bermata cokelat trasparan itu. Han Cessa tertidur lelap, tak diragukan lagi.
Keheningan masih terjadi selama beberapa detik setelahnya, tepat ketika suara Bruno Mars yang mendentangkan bagian reffain dari lagu “If I Knew” memecah keheningan didalam kamar tersebut, berhasil membuat Han Cessa dengan kesal membuka kedua matanya dengan lebar, tak percaya bahwa penyanyi laki-laki pujaannya itu membangunkan Cessa dari mimpi indahnya.
Dengan lenguhan kecil yang terdengar cukup getir, gadis berambut sebahu itu menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, berusaha mencari ponsel sialan yang kini masih bordering dengan indah seakan tak ada hal salah mengenai dengkingan demi teriakan merdu milik Bruno Mars.
Oh, baiklah. Suara Bruno Mars tetap terdengar indah ditelinga Han Cessa, maksudnya—siapa sih orang bego yang akan menolak mendengar suara penyanyi pujaannya? Tak peduli waktu maupun tempat. Namun ini gila!
Han Cessa tahu dengan jelas bahwa itu bukan bunyi alarm, oh tentu, dia sangat yakin dan bisa memastikannya dengan benar. Satu hal lagi yang membuatnya sangat kesal bukanlah lengkingan tinggi milik Bruno Mars, namun…
“SIAPA ORANG GILA YANG MENELEPON PADA JAM SEPERTI INI?!?!”
Teriakan frustasi itu akhirnya mengalir keluar dari bibir tipis Cessa, depresi dengan fakta bahwa dia belum menemukan ponselnya hingga detik ini juga. Gadis itu hanya bisa diam ditempatnya dan menghela nafas berat, menghembuskannya perlahan, dengan maksud didalam hati untuk memusatkan konsentrasinya yang dipenuhi emosi demi mengetahui dimana persisnya ponsel sial itu berada.
Bawah kolong tempat tidur?
Ooh, Annejose pasti terjatuh tadi ketika Cessa tertidur. Dengan sigap dan cepat demi menghentikan suara Bruno Mars yang semakin menjadi-jadi, Han Cessa segera bangun dari tempat tidurnya dan menyambar iPhone 5 miliknya yang kini terbaring menyala-nyala diatas lantai.
“Apa—“
“Aku harus bertemu denganmu.” Satu kalimat singkat dari suara diujung sana membuat emosi Cessa semakin membuncah dengan hebat. Dia tak percaya ini. Laki-laki itu tak mungkin meneleponnya pada jam seperti ini! Tak peduli dengan suara bergetar itu serta bunyi desahan nafas yang terdengar kedinginan diujung sana.
“DEMI TUHAN XI LUHAN KAU PIKIR INI JAM BERAPA?!” bentak Cessa dengan volume suara yang semakin meninggi. Tidak, bukannya dia membenci Xi Luhan, tetapi apakah masuk akal jika laki-laki itu meneleponnya pada jam seperti ini hanya untuk mengatakan bahwa mereka harus bertemu?
Tidak, bagi Cessa, tidak. Hal itu bisa dilakukannya besok pagi, atau besok siang. Ya, itu adalah hal yang cukup lumrah.
“Aku tak punya waktu lagi. Kumohon dengarkan aku,” pinta suara itu lagi, kini terdengar sedikit putus asa dan sedikit bermohon. Han Cessa tahu, Luhan sudah sering bermohon dan terdengar putus asa, seperti saat ketika dia meminta Cessa untuk mulai mempelajari kebudayaan Cina dimulai dari cara memakai baju tradisional dan segala tetek bengek tentang budaya disana.
Cessa masih sangat ingat bagaimana menyebalkannya menggunakan baju tradisional Cina dilengkapi dengan make-up tebal serta hiasan kepala yang bisa membuatmu merasakan migrain selama lima hari berturut-turut.
Memang, terlihat sederhana dan kecil, tetapi tetap saja, beratnya? Minta ampun.
Atau mungkin itu karena Han Cessa melakukannya dengan ogah-ogahan? Tetap saja! Cara wanita cina yang menjadi guru sementara-nya saat itu memperlakukan rambutnya sungguh kasar hingga membuat hal itu mengambil tempat sebanyak lima puluh persen penyebab migrain tiada akhir saat itu. Ah ya, tak lupa dengan tusuk konde yang beberapa kali menancap kepalanya dengan criminal. Oh, demi Tuhan!
Dan ya, suara Luhan saat memintanya melakukan semua itu tidak se-putus asa sekarang. Laki-laki itu berbicara seakan dia takkan pernah lagi menatap wajah Cessa untuk yang kesekian kalinya, seakan dia takkan pernah lagi mendengar suara gadis yang sangat dicintainya itu dalam waktu dekat ini.
Situasi berubah drastis semenjak peninggalan Kris. Semenjak Kris meninggalkan EXO, meninggalkan Korea. Sementara Cessa tak bisa membohongi fakta bahwa Luhan juga sedikit berubah sejak saat itu.
Satu pertanyaan sederhana menghampiri pikiran gadis itu, satu pertanyaan yang membuat hatinya sedikit tergerak khawatir saat ini, satu pertanyaan yang sama sekali tak pernah terpikirkan oleh Han Cessa beberapa waktu lalu, satu pertanyaan singkat yang membuatnya sedikit takut jika Luhan menjawabnya dengan jawaban positif.
Apa dia akan mengikuti jejak Kris dan meninggalkan EXO?
Meninggalkan Korea?
Meninggalkan Han Cessa?
Ah, persetan dengan semua itu. Seharusnya Han Cessa sama sekali tidak mempedulikannya. Gadis itu masih terdiam cukup lama, rupanya cukup lama hingga Luhan harus memanggil namanya sebanyak beberapa kali hingga gadis itu tersadar dan kembali dalam alam sadarnya.
“Ya?” sahut Han Cessa heran, kini sedikit kebingungan.
“Bisa kau membukakan pintu didepan rumahmu? Diluar sini sangat dingin,” ujar Luhan dengan suara serak. Han Cessa tersadar begitu saja. Situasi kali ini terdengar cukup darurat melihat dari keadaan bahwa Xi Luhan kini berada didepan pintu rumahnya, menunggu gadis itu membukakan pintu.
“Kau… Kau berada diluar?”
“Ya, kumohon cepatlah. Aku tak bisa berlama-lama.”
Bodoh, Han Cessa bodoh menanyakan hal yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan lagi. Tentu saja Luhan berada diluar. Sebodoh apa Cessa hingga harus menanyakan hal itu sekali lagi?! Tapi… Tapi… Dia bisa saja berkhayal mendengar Luhan mengatakan hal seperti itu bukan? Tapi kini benar-benar jelas bahwa dia berada diluar.
Baiklah Han Cessa, sekarang kau harus turun dari atas tempat tidur King Size dengan seprai berwarna krem muda berbahan satin serta selimut warna senada berbahan panel, juga dua pasang bantal bulu angsa miliknya.
Oke, oke, cukup. Dia harus keluar dari dalam kamarnya yang dipenuhi semerbak aroma terapi dari tiga gelas lilin pewangi dibawah jendela tertutupkan gorden Nylon warna blush berjuntai indah, terlihat mahal.
Dengan berat hati, gadis itu melangkahkan kakinya keluar dari pintu kamarnya dan menuruni tangga kayu menuju ruang depan seiring lampu otomatis dirumah tersebut menyala disetiap satu langkah kaki yang diambilnya, demi membukakan pintu untuk Luhan.
___
Hening menyelimuti ruangan tengah didalam rumah besar yang dibangun dengan kaca dan kayu dilapisan luar menutupi bagian semen dibeberapa dinding. Rumah itu gelap, dan satu-satunya cahaya yang menjadi sumber penglihatan pada saat ini hanyalah lampu gantung diatas mereka.
Sungguh, suasana ini begitu mencekam dan dingin. Sangat tak biasa. Pada hari biasa—serta jam yang waras juga, Cessa biasanya menjejahi Luhan dengan berbagai pertanyaan serta komentar tidak jelas. Dan laki-laki itu hanya akan tersenyum manis, merespon—menjawab berbagai cecahan kalimat Cessa seadanya dan balas menggoda gadis itu.
Tetapi tidak dengan situasi saat ini.
Han Cessa tak tahu apa hal yang salah. Mungkin waktu berkunjung yang salah, atau mungkin wajah Luhan yang terlihat pucat. Atau bahkan cara laki-laki itu memandang Cessa saat ini, seakan menyimpan sebuah kerinduan yang sangat dalam, seakan tak ingin wajah itu menghilang saat ini juga, seakan Han Cessa bisa saja meledak sewaktu-waktu, seakan hal ini hanya imajinasi saja dan tidak nyata.
Ada sesuatu yang salah. Cessa tahu itu, namun memilih untuk tidak bertanya sama sekali.
“Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?” Suara parau yang berasal dari tenggorokan laki-laki Cina itu akhirnya keluar, menanyakan satu hal basa-basi, yang sesungguhnya tak perlu ditanyakan oleh Luhan.
Maksudnya—hampir setiap saat dia seharusnya mengirim pesan singkat untuk Cessa, meskipun itu hanya sekedar menanyakan kabar. Sayangnya. Xi Luhan memang terlalu sibuk untuk melakukan hal tersebut akhir-akhir ini. Tetapi, toh, tetap saja, disinilah dia sekarang, duduk bertatapan muka dengan gadis pujaannya, diselimuti cahaya remang-remang.
Han Cessa merintih pelan, sedikit kesal dengan pertanyaan Luhan barusan. Oh, ayolah, seharusnya hubungan dia dan Luhan bisa lebih baik dari ini. Seperti berlibur bersama di Paris dan menikmati seluruh gaya berbusana maupun suasana indah di La Rochelle? Ide yang sangat bagus.
Tidak, dia harus berkonsentrasi pada keadaan sekarang. Gadis itu menggelengkan kepalanya perlahan dan mencibir, masih kesal dengan perlakuan Luhan sepanjang malam—bahkan minggu ini.
“Keadaanku baik-baik saja,” jawab Han Cessa dengan cuek. Toh, dia menjawab jujur, keadaannya benar-benar baik. Setidaknya dia tidak terlibat masalah apapun, tidak sakit, tidak diculik oleh alien, dan dia berada disana dengan anggota tubuh yang lengkap, tak ada satu tanganpun yang hilang.
Oh baiklah, Han Cessa memang baik-baik saja.
Senyuman tipis terpatri begitu saja diwajah Luhan ketika gadis itu tetap bersikap seperti biasa, secuek Han Cessa yang biasa, dan polos seperti biasa. Keadaan seperti inilah yang dibutuhkan Luhan sebelum dia melepas semuanya secara resmi. Dia menginginkan sedikit hidup normal bersama gadis yang menguasai isi hatinya.
“Ya, aku bisa melihat kecantikanmu seperti biasa,” goda Xi Luhan sambil terkekeh bodoh. Tentu saja Cessa langsung mendelik kesal kearahnya. Mata cokelat transparan itu menyipit sadis kearah Luhan.
Siapa yang tidak kesal jika laki-laki berwajah binatang seperti Luhan tiba-tiba merusak suasana penuh haru? Well, baiklah. Tidak sepenuhnya haru karena kelakukan Cessa juga tak bisa disebut romantis.
Xi Luhan menarik nafas perlahan dan menghembuskannya. Sudah saatnya menghadapi kenyataan, kenyataan pahit yang mungkin takkan pernah mempertemukannya lagi dengan gadis itu. Ya, Xi Luhan harus menerima semuanya, tak peduli sesedih apapun itu.
“Han Cessa,” panggil laki-laki itu singkat dengan helaan nafas panjang, seketika berhasil mendapatkan perhatian Cessa didetik yang sama.
Suara Luhan terdengar menggelegar, bergema memantul diseluruh dinding disekitar mereka, menembus segala kekosongan yang hadir diantara mereka.
Oh tidak, oh tidak.
Nafas Han Cessa tercekat seketika. Tidak, tidak, tidak. Xi Luhan tak boleh memanggil namanya seperti itu. Xi Luhan tak bisa memanggil namanya dengan volume rendah sembari berbisik lirih diiringi hembusan nafas berat dan pelan. Dia tak bisa memanggil nama Cessa seperti itu! Tidak boleh!
Karena Han Cessa tahu pasti, ada hal besar yang akan dikatakan oleh Luhan setelah itu. Gadis bermata cokelat transparan itu menengadahkan kepalanya menatap Luhan dengan kerutan kecil terbentuk dijidatnya. Mata gadis itu menyipit kecil seakan meringis kesakitan demi menutupi rasa ganjal yang mengerubungi isi perutnya. This is not good.
“Han Cessa, apa impianmu?”
Seketika seluruh khayalan Cessa tentang dunia penuh emas dan permata hilang begitu saja. Pertanyaan Luhan berhasil membuatnya terdiam, kaku dengan mulut yang terkunci rapat.
Apa impiannya? Apa yang diinginkannya dalam hidup? Hidup kaya raya didalam satu rumah besar yang dipenuhi barang-barang mewah, ataupun antik buatan desainer terkenal? Dikelilingi dinding yang dirancang khusus oleh arsitek serta tatanan rumah yang ditata se-mewah mungkin oleh para ahli?
Mengenakan pakaian mahal dengan merk berkelas dunia yang berbeda setiap harinya? Tidak. Rasanya bukan itu yang dia inginkan.
Cessa menatap kedalam mata Luhan dan mengulas senyum tipis tanpa ada unsur sinis sama sekali. Dia tahu apa yang dia inginkan. Satu hal sederhana yang tak pernah dia dapatkan. Sebuah kehidupan ramah penuh rasa kekeluargaan didalam satu rumah kecil.
Ohya, tentu saja! Terkadang manusia bisa merasa lelah dengan kemewahan. Dan hal itu juga berlaku kepada Han Cessa.
“Aku ingin hidup didalam sebuah rumah sederhana dengan tiga kamar kecil masing-masing untuk dua anakku dan satu kamar utama untuk diriku sendiri. Aku tak butuh rumah sebesar kastil, tidak. Aku tidak membutuhkan kamar tidur sebesar taman bermain ataupun ruang tamu sebesar aula lantai dansa. Aku tidak membutuhkan rumah bertingkat ataupun jendela tinggi dengan ukiran rumit. Aku tidak membutuhkan tiang-tiang didalam rumah ataupun lantai marmer. Tidak. Impianku adalah hidup sejahtera membangun sebuah keluarga bahagia didalam satu rumah sederhana dengan jendela transaparan serta lampu murah tanpa tirai berbahan mewah hanya sebuah tirai tipis transparan dan gorden yang memiliki warna sepadan dengan cat dinding. Ya, Xi Luhan, aku hanya mengimpikan hal sederhana seperti itu.”
Hening beberapa lama. Tak ada mata yang memandang satu sama lain maupun suara yang terdengar selain helaan nafas panjang dari Han Cessa. Dia melakukannya. Dia melakukannya! Han Cessa akhirnya menyerukan semua pikiran serta impian sederhananya menjadi sebuah suara dan rentetan kalimat jujur.
Luhan tersenyum tipis seraya menengadahkan kepalanya keatas dan menatap Han Cessa dengan tatapan hangat yang selalu dia lakukan. Gadis itu, gadis impiannya, gadis yang sangat dicintainya. Jenis gadis yang ada satu dibandingkan dengan sepuluh ribu gadis lainnya yang hidup dan bernafas didunia ini.
Han Cessa.
Bunyi geseran kursi yang berderit kasar memecah keheningan malam diantara mereka berdua. Xi Luhan menggeserkan kursi yang ditempatinya kearah Cessa agar dia bisa menangkup kepala gadis berambut cokelat gelap itu kedalam dua tangan besarnya dan menatap kedalam mata cokelat transparan yang menatap mata hitam kelam milik Luhan bingung.
Oh, demi Tuhan! Han Cessa tak tahu kalimat apa yang harus diucapkannya dalam keadaan seperti sekarang. Gadis itu bukanlah tipikal gadis pecinta drama yang selalu menginginkan situasi seperti ini dalam kehidupan mereka.
Ew.
Dan kesimpulannya adalah, dia tak tahu harus merespon, bertingkah maupun mengatakan hal seperti apa dalam situasi ini.
Sungguh.
Hembusan nafas halus yang berhembus keluar dari bibir Luhan memantul diatas permukaan kulit wajah Han Cessa yang tipis, berhasil membuat tipikal gadis seperti Cessa terdiam.
Indera pendengarannya mendengarkan sesuatu yang aneh. Sebuah suara. Suara detakan dan getaran yang entah berasal dari mana. Deru jantungnya berpacu cepat seiring angin malam yang bertiup masuk melewati helai rambut halusnya. Nadinya berdenyut sangat cepat, memompa darah keseluruh sudut tubuhnya, hingga Cessa bisa merasakan kumpulan darah diwajahnya.
Senyum tipis terulas begitu saja dibibir Luhan. Gadis itu tak mengatakan apapun dan hal ini cukup baik untuknya. Meskipun memang tak diragukan lagi, laki-laki itu juga bisa merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat didalam sana.
Jam berdenting sebanyak tiga kali, memecah keheningan kecil diantara mereka. Dan Luhan tahu, saat ini waktu menunjukan pukul tiga. Waktu dimana orang menentukan hidup atau mati, saat ketika seluruh kepedihan dan rahasia kelam didalam hati akan terungkap tanpa perlu ada paksaan sama sekali. Dan itulah yang dipertaruhkan Luhan sekarang. Hidup atau mati.
Xi Luhan mendekatkan bibirnya pada wajah gadis didepannya dan mengecup jidat gadis itu dengan hangat dan cukup lama. Sesuatu yang mungkin belum pernah dilakukannya sebelum ini. Ya, belum pernah dia lakukan selama ini.
“Aku memutuskan kontrak dengan SM. Dengan kata lain, aku bukan lagi member EXO.”
Han Cessa terdiam. Hatinya mencelos mendengar pernyataan yang terungkap langsung dari bibir Luhan. Benar pemikirannya tadi, laki-laki itu akan mengikuti jejak Kris dengan alasan yang Han Cessa sendiri tak mengerti mengapa. Benar, dia akan meninggalkan gadis itu begitu saja.
“Aku akan meninggalkan Korea dan berusaha untuk membuat impianmu menjadi kenyataan. Rumah sederhana bukan? Aku tak perlu menjadi seorang pengusaha besar untuk mewujudkannya, kurasa,” jelas Luhan panjang lebar diiringi kekehan kecil dibelakangnya, kini menatap mata cokelat Han Cessa dalam diam, masih menangkup wajah cantik itu didalam kedua tangannya.
“Aku mencintaimu, Han Cessa. Dan tak peduli seberapa jauh kita terpisah, tak peduli aku memutuskan kontrak atau tidak, tak peduli aku member EXO atau bukan, aku akan tetap mencintaimu dan tak ada satupun yang bisa merubah fakta itu. Meski kita harus terpisah kali ini.”
Mata Cessa menyipit menatap Luhan, bibirnya mencibir kesal, kali ini gadis itu sudah mendapatkan kesadarannya kembali dan menyerang pinggang Luhan dengan mencubit laki-laki itu sangat kuat.
Apa yang baru saja dia katakan?
Oh astaga, Han Cessa ingin muntah saat ini juga. “Kau pikir Cina sejauh apa?” bentak gadis itu dengan nada tak percaya. Menggelikan. Cina bagaikan Negara seberang pulau untuk Han Cessa. Sungguh!
“Aku akan mewujudkan impianmu.”
Satu kalimat terakhir yang mengunci bibir Han Cessa rapat-rapat dan memilih untuk diam. Impiannya. Impian sederhana yang mungkin bisa diwujudkan oleh laki-laki didepannya ini.
“Percayalah,” pinta Xi Luhan berbisik dengan lirih dan segera menarik Han Cessa kedalam pelukannya. Mengunci tubuh itu didalam lengannya yang kuat serta dada bidang nan hangat dikelilingi hawa dingin merembes masuk kedalam ruangan.
Hari esok bisa menunggu.
Seluruh sidang dan semua hal di Cina bisa menunggu. Keluarganya bisa menunggu. Dunia bisa menunggu. Tapi hari esok, dia takkan lagi bisa menatap wajah gadis itu dan merasakan kehangatan tubuh Han Cessa didalam dekapannya.
Tidak.
***
AUTHOR NOTES : FUCK IT BABY!!!!!!!!! GILAAAA! Gue ngerjain ini berbulan-bulan karna nafsu nulis yang bener-bener payah selama beberapa bulan. Hasilnya? Setan, ancur. Dan thanks to Sophie Kinsella who inspired me to writing again.(well yea, we got the same name here, lol) YIPIIII!!!! And yes, ini ide dapet darimana? Pas gue jalan-jalan pulang ke kampung dan liat rumah-rumah disepanjang jalan yang dilewatin mobil gue itu semua sederhana tapi keliatan hangat. Kecil, super sederhana. Yaaa, lo semua pasti tau gimana sih rumah-rumah ala kampung. Yaaa, yang punya satu pintu satu jendela sederhana dengan tirai yang gak kalah simple dan ruang tamu dengan sofa murahan ditemani tv kecil ditempat yang sama. And yes, gaada yang bisa ngalahin kehangatan didalam rumah sederhana seperti itu. Like…. Gue bakal milih tinggal dirumah kayak begitu daripada tinggal didalam rumah super guede yang gaada kehangatan—or kekurangan rasa kekeluargaan. Dan yep, keluar ini. Kebetulan pas gue jalan-jalan ke kampung itu pas Luhan bikin keputusan buat keluar dari EXO. Gila, gue keren amat bisa kecipta macem beginian. Halaaaah, berapa bulan tuh gue nyeleseinnya? Ah, udahlah, nyepam amat ini author ngalay disini. Intinya, mungkin gue bakal balik ke dunia menulis. AMIN!
Love, kiss, and hug
AnaSophie, xoxo
Website: http://intoyourheaven.wordpress.com/
Twitter: @__AnaSophie
