Tittle:
Last Love Story
Author:
Eufroshines
Cast:
Oh Sehun – Song Min Ha
Genres:
Romance, Fluff
Rating:
PG 15
Length:
One Shoot
Disclaimers:
Cast miliknya sendiri. Story punya author~ | Maaf posternya absurd lagi males edit jadi pake real pic~
Pernah di post di web pribadi (Last Love Story)
Summary:
Jika saat itu aku tak pernah mengenalmu dari sebuah perkenalan lucu yang kita buat. Apakah nanti kita tetap akan bertemu dan berbahagia?
oOo – HAPPY READINGS – oOo
He is the first. And always be the first
He is the last. And will be the last
But, he’s not the my first love story. He’s my last love story
― Last Love Story ―
Ketika aku berada di sebuah sekolah untuk pertama kalinya. Aku bertemu dengan seseorang yang entah mengapa begitu terngiang-ngiang di otakku, terutama hatiku. Aku tak pernah menyukainya –sama sekali, lalu mengapa ia selalu berada di fikiranku?
Aku ingat pertemuan pertama kita. Saat itu aku sedang menggambar sebuah motor harley davidson, kesukaanku. Dan saat itu kau memperhatikan gambaranku dengan antusias.
“Gambarmu bagus sekali. Bagaimana kau bisa menggambar itu?” tanya mu polos dengan wajah yang menggemaskan.
Aku melirik ke arahmu. Tepatnya ke belakang. Dengan nada ketus aku menjawabmu, “Tentu saja aku bisa! Aku menggambar ini setiap hari!”
Dengan bangga aku mengatakan itu. Lucu sekali rasanya ketika itu aku begitu sombong karena sebuah gambar motor yang kubuat.
Matamu terbelalak lagi, bahkan kau sampai menganga melihatnya. “Aku bahkan tak pernah bisa menggambar itu,” katamu.
Lalu kau mengguncang-guncang tubuhku dan membuat sebuah goresan kecil di gambar yang aku buat. “Ajari aku,” pintamu.
Saat itu, aku marah padamu karena kau telah merusak gambarku. “Kau merusak gambarku! Lihat coretan ini! Ini gara-gara kau! Aku membencimu, jangan ganggu aku!” ketusku lalu meninggalkanmu.
Kau tahu? Aku bahkan tak merasa bersalah sedikitpun. Karena di pikiranku, dirimulah yang salah.
Tapi aku senang, karena di hari itu. Aku mengetahui namamu. Oh Sehun. Anak tetangga dari keluarga Oh yang rumahnya tak begitu jauh dari rumahku.
Aku ingat, ketika kita masuk di sebuah jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari sebuah taman kanak-kanak. Kita berada di satu sekolah yang sama dan kelas yang sama. Aku begitu mengingat wajahmu yang telah merusak gambarku. Entah mengapa dendam itu masih tersimpan di hatiku. Padahal jika di fikir-fikir, gambar itu hanyalah sebuah coretan oleh anak gadis berumur lima tahun.
Kau datang menghampiriku dan tersenyum padaku. Saat itu aku sadar kau begitu ramah dan menggemaskan.
“Hai Song Min Ha. Aku bersyukur masih ada teman yang aku kenal,” katamu penuh dengan antusias seperti biasa.
Aku hanya tersenyum ketus. Ternyata dendam gambar itu masih terngiang-ngiang di otakku.
Kau menatapku dengan sedikit khawatir. Aku yakin saat itu kau tiba-tiba teringat insiden dimana aku marah besar padamu dan mengatakan bahwa aku membencimu.
“H-hei, Min Ha-ya. K-kau masih marah padaku?” tanyamu takut-takut.
Lucu sekali seorang anak lelaki kelas satu sekolah dasar dapat mengatakan hal seperti itu. Darimana ia tahu rasa bersalah? Ayolah dia juga manusia sama sepertimu.
Aku hanya mengangguk lalu pergi menatapmu kesal. Ya Tuhan, jika kau mengingat ini rasanya betapa bodohnya aku harus membencimu yang telah membuatku jatuh untuk mencintaimu.
Permusuhan yang aku mulai itu berakhir ketika tugas kelompok yang guru Han beri padaku. Tepatnya pada seluruh anak kelas. Dan betapa terkejutnya aku berada di sebuah kelompok yang sama denganmu.
Aku ingat, saat itu kau masih menjadi lelaki polos yang pemalu. Berbanding balik denganku yang sangat hiperaktif dan tomboy. Bahkan kau sendiri tak menyangka jika seorang Song Min Ha adalah maniak otomotif.
Pembagian kelompok itu terjadi di tahun ke-empat berada di sekolah dasar. Bayangkan selama empat tahun kurang aku tak pernah mau berbicara denganmu walaupun itu hanya meminjam sebuah buku atau pulpen. Berbeda denganmu yang selalu membujukku untuk mau berbicara denganmu walau berakhir akulah yang pergi meninggalkanmu. Lihat? Betapa bodohnya aku saat itu.
Tetapi aku menyadari sesuatu saat itu. Ketika kita berada di rumah Jo Hyun untuk mengerjakan tugas bersama. Aku melihatmu bercengkrama dengan Tae Kyung. Dan itu adalah kali pertama aku melihatmu tersenyum dan tertawa dengan begitu hangatnya.
Aku bersyukur mendapatkan kelompok yang sama denganmu. Dengan begitu aku dapat mengetahui bahwa kau adalah seorang lelaki manis dan juga tampan. Bahkan lebih tampan dari seorang Dani Pedrosa, pembalap GP favoritku.
Dan aku bersyukur dapat bertemu denganmu walaupun pertemuan pertama kita begitu konyol. Terutama lagi, kaulah yang paling dekat denganku selama dua tahun terakhir menemani masa sekolah dasarku. Aku sadar, aku menyukaimu saat itu.
Aku ingat, ketika aku mulai beranjak remaja dan memasuki sekolah menengah pertama. Aku tak menemukanmu berada di sekolah yang sama denganku. Saat itu aku benar-benar kesepian jika tak bersamamu.
Tiga tahun berada di sekolah yang berbeda denganmu membuatku rindu. Rumah kita berdekatan, tetapi rasanya tetap jauh denganmu. Mungkin saja jika aku memiliki niat mengejarmu seharusnya aku bisa mengunjungi rumahmu untuk sekedar basa-basi atau mungkin bermain denganmu. Tetapi aku tak bisa. Aku menyadari diriku yang mulai beranjak remaja dan tahu apa itu cinta.
Sedih rasanya jika aku mengingat bahwa kekasih pertamaku bukanlah dirimu. Tetapi aku tak pernah menyesal, karena aku yakin suatu hari kau akan menjadi yang terakhir untukku. Benarkan?
Dan kini aku masih ingat. Sebuah memori kecil yang terputar di otakku tentang semua yang kita lalui bersama walaupun hanya sementara.
Tapi aku bahagia, kau tahu? Kala itu aku bisa bersama denganmu lagi seperti saat kita kecil. Karena sebuah pertemuan tak terduga. Supermarket, barang belanjaan, dompet terjatuh dan sweater rajut milikmu yang tertinggal. Aku tahu saat itu kau juga merindukanku, benarkan?
Umurku sudah delapan belas tahun. Aku sudah menduduki bangku sekolah menengah atas di tahun ketiga. Tahun terakhirku. Aku memang tak bersekolah di tempat yang sama denganmu lagi, seperti dulu. Tapi sungguh, sejak pertemuan tak terduga itu. Aku percaya jika aku bisa menghabiskan banyak waktu denganmu setelahnya.
.
.
Aku menatap jalanan kosong yang tengah aku susuri. Terlalu dini untuk berangkat ke sebuah tempat riset penelitian yang guru Lee tugaskan untukku sebagai pengganti libur musim panas. Menyebalkan sekali bukan? Disaat orang-orang berlibur dengan keluarga mereka, aku hanya mendekam diri dengan sebuah penelitian suruhan guru Lee. Jika saja dia bukan guru yang begitu aku hormati, mungkin aku sudah mencabik-cabik habis dirinya.
Tunggu,
Apakah terdengar seperti seorang psiko? Ah siapa peduli.
Kala itu aku sedang menuju stasiun bawah tanah dengan berjalan kaki. Waktu masih menunjukkan pukul setengah lima pagi hari. Tidak terasa dingin karena sedang memasuki musim panas. Tapi sungguh betapa menyebalkannya liburan tahun ini harus ku habiskan dengan berbagai penelitian aneh itu.
Aku langsung berhambur menduduki kursi tunggu di stasiun. Sebenarnya menunggu bukanlah priotas utamaku, aku benci menunggu. Seperti aku menunggu Sehun kembali, dan itu menyebalkan. Ah bisa-bisanya aku memikirkan lelaki itu di saat seperti ini.
Tiba-tiba ponselku berdering. Siapa yang menelfonku di pagi hari seperti ini?
Jika saja aku sedang tidak di tugaskan dan masih tertidur lelap mungkin saja seketika aku akan bersumpah serapah pada orang yang mengganggu tidurku. Ah aku benci guru Lee!
“Halo? Ya…Oh kau, ada apa?…Eh aku?…Benarkah? Kapan?…Tanggal lima? Astaga Hyo Jin aku rasa aku tak bisa menemanimu, tak apa?…Sungguh maafkan aku Hyo Jin, ini semua gara-gara guru menyebalkan itu…Ya dia yang dulu sempat aku segani…Demi Tuhan aku tak pernah menyukainya! Gossip macam apa itu…Eh Hyo Jin…Aku sedikit bingung, mengapa kau menelfonku di pagi hari seperti ini?…Oh itu, maafkan aku. Lagi-lagi itu memang ulah guru menyebalkan itu ‘kan?…Ah terserah padamu…Maaf Hyo Jin-ah, aku harus segera pergi mengejar kereta, deadline sialan itu menungguku…Hmm, ya terimakasih, selamat liburan untukmu, dah.”
Aku mengutuk guru Lee seketika kala Hyo Jin –teman satu kelasku– pergi mengajakku untuk menemaninya berlibur di vila baru miliknya. Aku menyesal mengapa aku mau menjadi asisten guru Lee.
Kereta yang aku naiki sudah berjalan sekitar dua kilometer. Masih ada tiga belas kilometer lagi untuk sampai disana. Ya Tuhan, mengapa harus aku? Ah terserahlah.
Aku hanya duduk sambil memeluk tasku. Mataku mulai terasa berat, sedikit-sedikit aku melindur dan tertidur lalu terjaga kembali. Tidurku tak nyenyak dan tak nyaman. Bahkan aku kurang tidur karena memikirkan bahan riset, padahal hari ini adalah hari pertamaku menuju tempat penelitian. Ah ya Tuhan. Aku hanya ingin tidur.
Aku terjaga kembali cukup lama ketika aku mendapati ponselku kembali berdering, tetapi hanya sejenak, menandakan adanya pesan masuk. Awalnya aku tak ingin menggubrisnya dan berusaha untuk tidur sebentar saja. Tetapi rasanya tanganku gatal dan ingin meraih ponsel itu.
Ponsel pintar berwarna abu metal itu aku keluarkan dari saku jaketku. Sedikit kesulitan ketika mengambilnya karena posisiku sedang duduk. Tapi aku tetap berusaha mengambilnya.
Jika saja aku tak berada di dalam kereta. Sumpah, aku akan berteriak kencang sekali.
Selamat pagi, semoga harimu menyenangkan. Semangat untuk riset penelitianmu, Min Ha-ya.
Lelaki itu…
Mengirimiku sebuah pesan dan ya Tuhan. Aku benar-benar ingin berteriak!
Oh Sehun, dia, baik sekali…
Mengapa aku dulu membencinya ya?
Ah insiden gambar.
Aku menggaruk-garuk kepalaku sejenak, bingung memikirkan balasan apa yang harus aku kirimkan pada lelaki tampan itu.
Kemudian jari jemariku lancar mengetik di atas layar LCD ponselku.
Selamat pagi. Terimakasih. Kau baik sekali, wish you luck today~
Aku memeluk ponselku di dada. Bibirku mematri senyuman. Rasanya pipiku memanas. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku menyukainya seperti ini, ya?
Ponselku kembali berdering. Senyumku masih terpasang disana hingga aku mendapati apa yang aku baca. Dan seketika senyumku menghilang.
Hey, Song Min Ha. Kau dimana? Ini sudah pukul tujuh lewat empat menit dan kau belum sampai disini. Jangan katakan kau terlambat hari ini?!
Aku terpaku. Ah Guru Lee sialan lagi pula perjalanan ‘kan mas…
Tunggu.
Aku melirik ke penjuru jendela kereta. Tempat ini tak aku kenal. Apakah aku sudah melewatkan rutenya? Sudah berapa lama aku berada di kereta ini?
Aku berniat bertanya pada seorang wanita paruh baya di sebrangku. Nampaknya wanita itu memperhatikanku yang sedang kebingungan.
“P-permisi, nyonya. Apakah saya sudah melewatkan Incheon?”
Wanita itu menaikkan salah satu alisnya. “Kau sepertinya salah naik kereta nak. Ini adalah rute luar provinsi, kereta ini menuju Daejeon.”
Seketika pergelangan kakiku lemas. Demi Tuhan mengapa hari ini aku sial sekali.
.
.
Sudah sekitar dua minggu sejak terakhir aku menjadi asisten guru Lee. Dan hari ini aku di perbolehkan pulang lebih cepat. Ternyata risetnya sudah beres, jauh dari perkiraanku yang akan memakan waktu lebih dari sebulan.
Guru Lee sempat memarahiku habis-habisan karena aku salah naik kereta ketika kali pertama mendapati tugas riset tersebut. Tapi beruntung itu tak berpengaruh pada nilaiku. Sayangnya uang saku yang aku dapatkan dari hasil riset jadi terpotong dua puluh lima persen karenanya. Ah sial. Sudah terlambat, tak bisa berlibur, uang saku di potong pula.
Matahari menyoroti langkahku yang sedang berjalan menuju halte bus untuk kembali pulang. Suhu di luar saat ini adalah di atas tiga puluh derajat selsius. Bisa kau bayangkan betapa panasnya hari ini? Belum lagi waktu menunjukkan pukul satu siang, dimana matahari tepat berada di atas kepalaku.
Peluh mengucur dengan sukses dari berbagai tempat di wajahku. Aku hanya menyekanya sesekali dan terus berjalan menuju halte. Terkadang aku mengaduh, mengapa halte ini jauh sekali?
Tiba-tiba langkahku terhenti. Aku melihat sebuah toko es krim yang tidak terlalu ramai di sebrang sana. Dengan sangat optimis aku berlari menuju toko es krim itu. Setidaknya aku tidak akan mati kepanasan kali ini.
“Selamat siang, selamat datang nona. Silahkan pilih es krim sesukanya,” sapa pelayan toko itu ramah. Ini kafe es krim!
Aku tersenyum pada pelayan kafe itu dan langsung menuju tempat terpojok dekat jendela. Pelayan segera datang menanyaiku pesanan. Sambil menunggu pesananku datang, aku mengecek ponselku yang berada di dalam tas. Siapa tahu Sehun mengirimiku pesan atau sebuah line.
Tetapi hasilnya nihil.
Kosong.
Tak ada pemberitahuan apapun selain dari operator. Sampai kapan aku mengharapkan dirinya untuk menghubungiku terus menerus? Sehun pasti memiliki aktifitas sendiri.
Aku menangkup kedua pipiku di atas meja. Jari jemariku bermain di antara kulit pipiku yang hampir memerah karena panas. Sesekali aku melirik orang-orang yang sibuk berlalu lalang di hadapan kafe. Tak bisa aku bayangkan jika suatu saat dirikulah yang akan bekerja sekuat tenaga untuk menghidupi diri sendiri.
Pesananku datang, satu gelatoo sole mio dan satu ice cream matcha. Es krim khas Jepang yang rasanya agak pahit karena terbuat dari teh hijau. Setelah bermanis asam ria dengan gelatoo aku ingin menambalnya dengan yang agak pahit tetapi tetap enak di lidah. Dan tunggu, mengapa jadi membicarakan cita rasa es krim?
Sambil menyantap gelatoo, aku masih memperhatikan ponselku yang belum bergeming. Tidak berkedip, tidak menyala, tidak bergetar dan tidak berdering. Sungguh, menunggunya terus menerus malah membuatku semakin berharap pada lelaki jangkung berahang tegas itu. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku jatuh ke dalam perangkap cinta seorang Oh Sehun?
Kau sibuk, Oh Sehun?
Tanyaku akhirnya karena gemas. Betapa mengesalkannya menunggunya seperti ini.
Ponselku sudah kembali berdering. Secepat itukah ia membalas pesanku? Berarti dia sedang tidak sibuk, benarkan?
Tidak. Ada apa? Kau dimana? Mau makan siang bersama?
Aku mengatupkan mulutku menahan senyuman. Astaga dia mengajakku makan siang!
Tak apa hanya menyapa. Di Incheon, baru selesai riset. Benarkah?
Aku menatap tulisan hangul yang ada di layar ponselku. Merasa tak cocok dengan kata-kata yang baru saja aku ketik itu.
Tak apa. Di Incheon, baru selesai riset. Boleh, jemput aku di sini
Apa tidak terlalu manja? Ah aku kehabisan kata-kata. Aku menghapus kembali rentetan tulisan itu.
Hanya menyapa. Sedang di Incheon baru selesai riset. Kebetulan aku sedang berada di kafe es krim sekitar sini. Es krimnya sangat enak. Kau mau mencobanya? Setelah itu baru makan siang. Bagaimana?
Dan… SEND!
Aku menyantap lagi es krimku dengan pelan-pelan. Fikiranku melayang pada kencan hari ini bersama Sehun.
Kencan?
Apanya yang kencan, Min Ha bodoh?
Dia hanya mengajakmu makan siang bersama. Tak lebih dari itu. Berhentilah mengkhayal. Seperti saat Sehun berkata padamu untuk berhenti bermimpi menikahi KangTa.
‘Stop dreaming’, itu ‘kan yang selalu di katakannya padamu? Padahal jika ia tahu, dirinya lah yang sangat ingin kau nikahi.
Ah Oh Sehun kau semakin menggemaskan. Mengapa semakin besar kau semakin tinggi dan tampan?
Ponselku belum berdering kembali. Apa ada kata-kataku yang salah hingga membuat lelaki itu enggan membalas pesanku?
Aku melahap habis gelatoo-ku dan siap menyantap matcha. Baru ketika aku akan menyantap es krim itu aku mendengar sebuah suara yang familiar dengan gendang telingaku.
“Kau rakus sekali nona Song,” sahut seseorang.
Aku hanya bergeming –tak jadi menyantap es krim yang sudah siap memasuki mulutku yang tengah kepanasan.
Seorang lelaki –sepertinya, dengan balutan celana levis biru dongker dan kemeja putih merangkap dengan sweater rajut senada setengah lengan tengah berada di hadapanku. Aku belum melihat wajahnya karena tubuh orang ini jangkung sekali sampai-sampai aku hanya sejajar dengan perut bagian atas.
Aku mendongkak perlahan-lahan.
“OH SEHUN! K-kau bilang apa tadi? Aku rakus? Ini baru dua es krim, aku belum menghabiskan pasokan es krim di kafe ini. Ini bukan rakus, kau tahu?” sahutku sewot.
Aku tak sempat menanyakan kenapa dia berada disini karena panik dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Oh bukan. Sejak kapan dia datang kesini, bukankah dari Seoul menuju Incheon itu agak jauh?
Sehun menarik kursi yang berada di hadapanku lalu memanggil seorang pelayan dengan namanya. Sepertinya ia sudah mengenal pelayan itu.
“Bawakan aku eggless mocca ice cream dan ice cream sandwich med size. Jangan lupa taburi wijen di atasnya,” pesan Sehun.
Siapa dia? Enak sekali menyuruh-nyuruh pelayanan itu sesuai dengan keinginannya. Bahkan aku sendiri tak membaca dalam buku menu bahwa pelanggan boleh menambahkan es krim dengan tambahan apapun sesuai seleranya.
Aku tertegun sambil sibuk menyantap es krim ku terburu-buru dengan tatapan tak peduli, sebenarnya pura-pura tak peduli.
Sehun kembali menatapku sambil menyimpan kedua lengannya yang bertautan di atas meja. Ia tersenyum.
“Hei-hei, tenanglah. Aku bercanda tentang masalah rakus. Aku pun begitu jika sudah memakan es krim. Tak bisa di tolerir…Hei lihatlah es krim itu malah belepotan di bibirmu. Kau seperti anak kecil saja, tch, bodoh.” Sahut Sehun sambil berdecak lidah.
Eh apa dia bilang? Bodoh? Sialan. Sejak kapan ia berani memanggilku dengan panggilan menyebalkan seperti itu?
Sehun menjinjitkan kursinya untuk sampai pada tempatku. Perlahan-lahan ia menghapus sisa es krim yang berada di bibirku dengan jarinya.
Pipiku memanas ketika Sehun menyeka es krim itu di bibirku. Astaga Oh Sehun kau membuat perutku seperti kupu-kupu terbang. Dan itu membuatku sukses mematung.
Aku terdiam dan menatap lelaki itu intens. Perasaanku campur aduk. Oh Sehun yang ku kenal ketika umurku masih lima tahun adalah Oh Sehun yang antusias dan menggemaskan. Bukan Oh Sehun tukang membuat jantung berloncat-loncat.
Pesanan Sehun datang. Dan lelaki itu langsung menyantap es krimnya.
“Kau bilang risetmu sudah beres? Syukurlah. Berarti aku bisa menculikmu selama liburan musim panas tahun ini dari guru Lee yang meminjammu tanpa izin dariku,” ucap lelaki albino itu sambil menyantap es krimnya.
Lagi-lagi aku hanya diam. Perkataannya semakin membuat pipiku semakin memanas dan semakin memerah di tambah panasnya cuaca hari ini.
Kemudian aku mengangguk.
Kontrol dirimu, Song Min Ha.
“Memang kau ini siapa hingga guru Lee harus meminta izin padamu? Tch, percaya diri sekali kau.”
“Tentu harus! Kau ini ‘kan sahabatku.”
Perasaanku sedikit jatuh ketika Sehun mengatakan kata itu. Ah ya kau benar Oh Sehun. Sahabat. Kita hanya sahabat benar?
“Terserah. Eh aku ingin bertanya padamu,” sahutku seketika menyimpan sendok es krim.
Aku bersidekap dan menatapnya penuh selidik.
“Sejak kapan kau ada disini? Bukankah dari Seoul menuju Incheon itu jauh? Dan mengapa kau memanggil pelayan itu dengan namanya? Siapa namanya tadi? Oh ya, Ji Hyo. Dan kenapa kau bebas menambahkan hiasan di es krim itu sesukamu? Aku rasa di buku menu tak ada jasa itu.”
Aku masih menatapnya. Auraku memancar seperti seorang detektif yang ingin memecahkan sebuah kasus.
Ah kau mulai lagi, Min Ha. Stop dreaming.
Sehun berdeham, lalu ia mengambil satu sendok es krim ke dalam mulutnya.
“Aku memang berada di sini sejak tadi pagi, bodoh. Karena dia adalah karyawanku. Kafe es krim ini milik keluargaku, kau tahu? Sebenarnya memang tak tertulis di situ, tapi jika kau ingin kau bisa menambahkannya sesukamu. Minta saja pada pelayannya, mereka tak akan keberatan. Motto kafe kami adalah melayani pelanggan sesuai keinginan dan kepuasannya,” tutur Sehun panjang lebar.
Kemudian aku hanya ber-ooh ria. Jadi kafe es krim ini milik keluarganya. Enak sekali.
Eh?
MILIK KELUARGA OH SEHUN?!
“Kafe ini milikmu?!” pekikku tak sabaran.
Sehun mengangguk, “Jangan menatapku dengan tatapan seakan kau baru saja melihat seorang artis, ah ya aku memang artis, aku lupa.”
Aku menelan liurku paksa, astaga enak sekali menjadi keluarga Oh.
“Artis dalam mimpimu, bodoh. Kenapa kau tidak memberi tahuku? Tahu begitu aku bisa meminta diskon atau mungkin es krim gratis karena aku ini sahabatmu!”
Sehun mengangkat satu alisnya sambil memakan es krimnya itu. “Eh? Apa? Tidak-tidak, enak saja kau!”
Lelaki albino itu mengetuk dahiku dengan sendok es krimnya.
“Dengar ya…walaupun kau sahabatku tetap saja kau harus membayar. Kecuali jika kau mau menjadi bagian dari keluarga Oh.”
Lagi-lagi aku menelan air liurku dengan paksa. Mengapa sedari tadi Sehun seperti memancingku, memancing perasaanku untuk keluar. Sialan.
Dengan tatapan kesal aku memakan es krimku dengan lahap hingga habis. Kemudian aku bergegas pergi meninggalkan lelaki albino menyebalkan itu. Aku bahkan hampir lupa, jika terkadang Sehun begitu menyebalkan dan aku membenci itu.
Sehun melirikku dengan tatapan aneh ketika aku hendak berdiri meninggalkan meja. Kemudian ia menarik lenganku baru ketika aku akan pergi meninggalkannya.
“Mau kemana kau?”
“Ke rumah. Pulang.” Ketusku.
“Hei mengapa kau marah?” tanya lelaki itu sedikit bingung.
Benar juga, kenapa aku marah?
“A-aku, tidak! Aku tidak marah,” elakku sambil menarik lenganku jauh-jauh dari cengkraman Sehun.
Sehun menaikkan satu alisnya lagi, lagi-lagi ekspresi bingungnya benar-benar menggemaskan!
“Benarkah? Tapi kau mendadak ingin pulang dan ketus begitu. Bukankah kita ada janji makan siang bersama setelah ini? Kau sendiri ‘kan yang bilang.”
Iris mataku melirik ke sana kemari mencari alasan. Astaga aku lupa. Ini semua gara-gara perkataanmu itu, Oh Sehun bodoh!
Aku menepuk dahiku, berakting bahwa aku benar-benar lupa.
“Astaga aku lupa, maafkan aku.”
Sehun semakin menaikkan alisnya, “Demi Tuhan kau aneh sekali, Min Ha. Ada apa? Apa ada perkataanku yang menyinggungmu? Atau kau sedang errrr….PMS?”
Urat-uratku menegang. Ya Tuhan sempat-sempatnya lelaki albino itu menanyakan hal seperti itu di sebuah kafe.
“Aku tidak aneh, aku hanya demam. Ya demam, demam musim panas kau tahu?”
Sehun memegang dahiku. Merasakan suhu di tubuhku.
Lelaki ini…
Benar-benar membuatku panas!
“Tapi kau tidak hangat, mungkin memang panas. Tapi ini cuaca. Bahkan suhuku dan suhumu terasa sama.”
Aku menggigit bibirku, ya Tuhan mengapa aku mencintai seseorang yang pintar menebak kebodohanku?
“Mungkin hanya perasaanmu. Ah lupakan, aku baik-baik saja, sungguh. Jadi kita akan makan dimana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Kau aneh. Benar-benar aneh. Tadi kau bilang kau demam dan sekarang ka–”
“–cukup Oh Sehun bodoh.” selaku kesal. “Kau ingin makan dimana?”
Sehun diam menyikapi pernyataanku barusan.
Sementara aku hanya menyesali perkataanku.
Song Min Ha bodoh! Kau bisa-bisa membuatnya membencimu karena mengatainya ‘bodoh’, arrghhh.
“Seafood. Aku ingin seafood.” Timpal lelaki itu cepat.
Ada perasaan lega di dalam diriku ketika mendengarnya langsung mengatakan tujuannya. Itu berarti tak akan ada perdebatan bodoh dan gila karena ulahku.
“Ada tempat seafood enak yang aku ketahui. Kau mau kesana? Pemiliknya adalah teman ayahku,” tawarku.
Sehun mengangguk sebagai jawaban.
Kemudian kami pergi meninggalkan kafe es krim itu dan bergegas menuju kedai seafood milik Paman Hwang.
Baru ketika aku melangkahkan kaki keluar untuk menuju halte, lelaki itu lagi-lagi menyeretku.
“Hei! Ya! Ya! Oh Sehun bodoh! Mengapa kau menyeretku seperti ini? Hei sakit…argh,” pekikku ketika lelaki itu menggenggam lenganku erat.
“Diamlah, cerewet. Kau akan pergi menaiki bus? Lalu apa gunanya aku disini membawa motor agar lebih cepat sampai?” tanya lelaki itu tetap menyeretku sedikit kasar.
Aku menghela nafas seketika sampai di hadapan motor ducati milik Sehun. Sedikitnya aku tertegun melihat ia memasang helm full face dan menaiki motornya. Sepertinya Sehun yang dulu ku kenal kini sudah berubah. Berubah menjadi Oh Sehun yang dewasa dan keren. Bahkan ketika ia menaiki motornya, aku merasa ia bahkan tak kalah keren dengan Dani.
“Mau sampai kapan kau menatap motorku seperti itu, Min Ha-ya?” ucap Sehun menyadarkan.
Aku gelagapan lalu tersenyum masam ke arahnya. Sadar dari lamunan tentang lelaki albino di hadapanku.
“Oh ya aku hampir lupa jika kau maniak otomotif, pantas saja kau memperhatikannya tanpa berkedip.” Ceracau Sehun lagi.
“Kau mau naik atau tidak?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk lalu cepat-cepat menaiki jok belakang. Setelah aku duduk nyaman di jok belakang, tiba-tiba Sehun memberiku sebuah helm batok. Bodohnya aku menerimanya. Sekejap aku memperhatikan helm itu.
“H-helm apa ini?! Apa kau tak memiliki helm yang lebih bagus dari ini untuk seorang anak gadis, Sehun?” protesku sambil menyodorkan kembali helm itu.
Sehun tak menerima helm itu dan tangannya tetap berpegang pada setir motor, bersiap menyalakan mesin dan kupling bersamaan.
“Pakai saja itu, bodoh. Tak ada lagi yang lain, lagi pula apanya yang gadis darimu. Kau ini ‘kan tomboy. Wanita maniak otomotif yang awkward. Itu cocok untukmu,” bantah Sehun sambil menahan tawa ketika mengucapkan kata ‘cocok’ untukku.
Sialan kau Oh Sehun. Sudah berani menjahiliku rupanya.
Aku hanya mempoutkan bibirku sambil memakai helm usang itu.
“Fuck you, Oh Sehun!” umpatku.
Sehun masih menahan tawanya. Kemudian ia berteriak lantang.
“Pegangan!”
Dan dalam kecepatan angin Sehun melesat pergi membawaku yang belum merasa nyaman dengan helm pemberiannya. Mau tak mau, terpaksa atau tidak, senang atau kesal, aku memegang penuh pada jaket yang tengah Sehun kenakan.
Harum tubuhnya..
Cokelat dan kayu manis.
.
.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tahun ini adalah kelulusanku dari Seoul International High School.
Kebahagiaan menyelimuti setiap orang yang berada di aula sekolah megah itu. Begitu pun diriku. Tak terasa sudah tiga tahun berada di sekolah ini. Dan hari ini adalah hari terakhirku menginjakkan kaki di sekolah yang menyandang predikat internasional ini.
Senang, sedih dan terharu tentunya. Tetapi siapa peduli yang penting aku sudah dapat bebas dari beban tugas-tugas gila yang mengejarku setiap waktu.
Aku duduk di barisan para siswa dengan penuh semangat. Melirik ke kanan dan ke kiri mencari teman. Dan ketika itu aku menemukan sosok Jo Hyun di sana.
“Jo Hyun-ah!! Kemari!” panggilku sambil melambaikan tanganku padanya.
Jo Hyun mendengar panggilanku lalu tersenyum ketika melihatku berada di antara kerumunan siswa berseragam sama. Tidak ada topi toga atau pakaian wisuda seperti kuliah. Hanya pakaian seragam yang sering di kenakan untuk belajar di sekolah.
“Sesak sekali di sini. Aku sampai tak bisa menemukanmu, Min Ha-ya.” Jo Hyun lalu duduk di sampingku sambil berkicau ria mengenai suasana di dalam aula.
“Dimana orang tuamu?” tanya wanita berambut lurus panjang itu.
“Di belakang, mungkin~ entahlah aku tak tahu.” Aku mengangkat bahu tak peduli.
Jo Hyun menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku tak faham mengapa kau bisa sesantai itu di hari bahagiamu ini, Min Ha-ya.”
“Eh? Aku? Ini memang bahagia tapi hari bahagiaku ketika aku berada di pelaminan bersama dengan…”
Kata-kataku terhenti lalu aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan sebuah pesta pernikahan yang di dalamnya ada diriku dan Oh Sehun!
“Oh Sehun? Dia lagi?” tebak Jo Hyun.
“Tepat, Jo Hyun! Kau memang sahabatku yang paling hebat!” seruku.
“Sudah kuduga,” jawab wanita itu sambil menggulingkan bola matanya menatap ruangan aula yang hampir sesak dengan lautan manusia.
Han Jo Hyun.
Teman saat aku sekolah dasar. Teman satu kelompokku yang selalu di jadikan rumahnya sebagai tempat kami berkumpul. Dia adalah sahabatku sekarang, lebih tepatnya ketika kami sama-sama mengetahui akan memasuki sekolah yang sama.
Jo Hyun mencubit pahaku yang terbalut rok seragam.
“Ish, sakit.” Ringisku.
“Berhentilah mengkhayal. Upacara perpisahan akan segera di mulai.” peringatnya
“Laksanakan. Roger!” kataku sambil mengangkat tangan tanda hormat padanya. Jo Hyun hanya menepis tanganku agar turun. Dan kemudian aula hening.
Upacara di mulai!
.
.
Ketika penyematan dan upacara selesai. Aku langsung berhambur mencari kedua orang tuaku dan langsung memeluk mereka.
“Mama, Papa, terimakasih!” sahutku gembira.
Kemudian suasana menjadi haru biru. Senang rasanya memiliki orang tua sepengertian mereka.
“Ehm, apakah aku menganggu?” deham seseorang.
Aku memalingkan tubuhku menatap ke arah sumber suara.
Oh Sehun!
Dia…datang.
Aku segera menghapus genangan sungai di pipiku lalu tersenyum padanya. Sehun menatapku penuh dan membalas senyumku. Lalu kemudian berjabat tangan dengan kedua orang tuaku.
“Selamat atas kelulusan Min Ha, tuan Song, nyonya Kwon. Saya turut senang,” ucap Sehun berwibawa.
Demi Tuhan dia pantas menjadi seorang pemimpin!
Papa kemudian memeluk Sehun layaknya partnert kerja. “Terimakasih Sehun, terimakasih sudah datang di hari kelulusan Min Ha.”
Aku tersenyum menatap kedua lelaki itu. Entah mengapa rasanya aku telah di restui untuk menikah.
Apa maksud pikiran isengmu itu, Song Min Ha bodoh?
“Bukan masalah besar, tuan Song.” Ucap Sehun tersenyum lalu melepas pelukan Papa.
Sehun kemudian berjalan ke arahku yang berada di samping Mama.
“Selamat atas kelulusanmu, nona Song cerewet.” Sehun memberikan buket bunga mawar merah yang di hiasi mawar putih di sisinya kepadaku.
Pipiku memanas menerima buket itu. “Terimakasih, Sehun bodoh,” kataku sedikit ragu lalu tersenyum malu.
Kemudian Papa dan Mama menatap kami berdua dengan tatapan yang penuh dengan rasa jahil.
“Sepertinya kami harus meninggalkan yang muda yang bertindak, benarkan Ma?” sahut Papa.
Mama mengangguk mengiyakan lalu keduanya menghalau pergi dari pandanganku. Entah kemana.
“Orang tuamu gaul sekali,” kritik Sehun.
Aku mengangguk setuju. “Ya terkadang mereka selalu ingin tahu urusanku, seperti errr…cinta?” ucapku ragu.
Sehun tertawa. “Cinta? Benarkah?”
Aku mengangguk lagi. Aku gugup. Kupu-kupu di perutku mulai terbang bebas kesana kemari. Sialan.
“Oh Sehun!” panggilku ketika Sehun hendak pergi.
Sehun menoleh. Aku menggigit bibir bawahku sedikit keras hingga meninggalkan bercak darah di bibirku.
“Menikahlah denganku!” ucapku sedikit lantang.
Sehun terpaku. Hanya diam mematung menatapku sambil memasukkan satu lengannya ke dalam saku celananya. Isyarat matanya tak dapat aku baca sama sekali.
Ah sial. Mengapa aku harus mengatakan ini?
Kemudian lelaki itu berjalan ke arahku. Dan aku berjalan mundur, menjaga jarak.
Sehun yang melihat gerakanku langsung menggapai lenganku lalu memelukku erat.
Buket mawar pemberian Sehun jatuh.
Aku mematung.
Dan…
Terbang.
“Apa yang kau bicarakan bodoh? Kita ini bersahabat. Mengapa kau ingin menikahiku?” tanyanya sambil memelukku dan mengusap-ngusap kepalaku penuh sayang.
Seketika aku tak mengerti dengan sikapnya. Tetapi ia mengatakan kalau kita hanya ‘sahabat’. Ya. Sahabat.
Aku ingin me-na-ngis.
“Mengapa? Karena aku mencintaimu. Tentu saja, kau bodoh sekali.” Umpatku sambil menahan tawa dan tangis bersamaan. Malangnya diriku.
Sehun menyeringai. “Mencintaiku? Bukankah kau dulu membenciku?”
Aku mendongkakkan kepala lalu memukul dada bidangnya sedikit keras. Masih dalam pelukkannya.
“Itu dulu. Ayolah itu saat umurku lima tahun! Argh sialan kau Oh Sehun!”
Sehun tertawa. “Mengapa tidak?”
Apanya yang mengapa tidak? Mengapa tidak untuk mencintaiku atau membenciku atau apa? Atau mengapa tidak untuk menerima permintaan maafku? Apanya yang mengapa tidak?
“Eh?” tanyaku heran.
“Mengapa tidak? Mengapa tidak menerimamu menjadi sahabatku untuk selamanya. Bukan sekedar sahabat, tetapi istri, ibu dari anak-anakku dan tentunya sahabat hidupku, bodoh. Kau ini loading sekali!”
Aku terpaku. Benarkah Oh Sehun mengatakan ini?
Aku melepas pelukannya.
“K-kau serius?”
“Apakah wajahku terlihat main-main? Apakah pelukanku tadi terlihat main-main dan apakah–”
Sehun mencium puncak kepalaku perlahan dan mengacaknya.
“–ciumanku untukmu tadi terlihat…main-main bagimu, Song Min Ha?” tanya lelaki itu sedikit serius.
Aku menelan liurku secara paksa untuk kesekian kalinya pada suatu hal yang Sehun katakan padaku. Bagaimana bisa? Apakah ini mimpi? Mengapa rasanya aku berada di negeri dongeng?
“Aku berada di negeri dongeng? Pangeranku tengah menciumku,” lanturku.
Sehun menyentil dahiku.
“S-sakit, bodoh!”
“Sakit ‘kan? Kau tidak bermimpi, putriku. Dan seharusnya yang mengatakan itu aku, bukan kau. Yang melamarmu itu aku, bukan kau. Kau ini memang benar-benar tomboy, ya?” ceracau Sehun lalu tertawa.
Aku hanya diam sambil menggosok-gosok dahiku yang baru saja di sentil oleh lelaki albino itu.
“Jadi apa?” tanyaku masih heran.
“Apanya?”
“Yang tadi,” jelasku.
“Oh itu.” Sehun terdiam sejenak.
“Mengapa masih bertanya? Kau calon istriku! Mungkin tiga tahun lagi aku akan melamarmu, tunggu aku di altar tiga tahun lagi, Song Min Ha bodoh. Kau ingat dengan perkataanku di kafe es krim tahun lalu? ‘Kecuali jika kau menjadi bagian dari keluarga Oh’ kau memang akan menjadi bagian keluarga Oh, nona Song, tenanglah.” lanjutnya.
Sedetik kemudian aku memukul lengan berotot Sehun sambil tersenyum tersipu, pipiku memanas dan semakin panas. Tetapi lelaki itu tak bergeming dan malah menarikku ke dalam rangkulannya dan menyeretku pergi.
“Bisa tidak sedikitnya kau mengajakku terlebih dahulu di banding harus menyeretku paksa seperti ini, hah?” protesku.
“Jika aku bilang kau pasti menolak!”
“Bagaimana bisa aku menolak permintaan calon suamiku ini, bodoh.”
Sehun tertegun sejenak sambil menatapku heran, kemudian ia mengeluarkan senyumnya merekah.
“Benarkah? Jika begitu, ikut aku ke rumah dan aku akan menjatuhkanmu langsung di atas ranjang!”
Aku melongo. Demi Tuhan ini bukan Oh Sehun yang ku kenal.
“Oh Sehun k-kau mesum!!”
FIN~
A/N : Absurd ya? Iya yaudah tau kok haha:v
