Senja di Timur : See You Again (Chap. 6)
Title : Senja di Timur (See You Again)
Author : Empty Glass
Main Cast : Senja (OC), Oh Se Hun (EXO), Park Chan Yeol (EXO)
Casts : Oh Family (OCs), Kim Jong In (EXO), etc.
Genre : Romance, Family, Friendship, Adventure, Comedy
Rating : PG-15
Disclaimer : Asli karya imajinasi otak sendiri. Tolong kasihani, jangan dibajak.
Hm… halo. This is the 6th chapter of Senja’s adventure, which the last chapter was posted last year. Not sure if there is somebody gonna know or even read this, so here is the previous chapters’ links:
Wish to see your comments, happy reading! /peyuk elat/
[][][][][]
How ever, I have to live my life
Let’s set everything
Like Ohs don’t exist
With Parks support
I make my fisrt step
And
SHIT.
[][][][][]
Chan Yeol menatap keluar jendela kelas dan menghela napas lega saat Senja kembali ke bangku panjang tak jauh dari kelasnya. Senja melamun menatap kosong sepatu lusuhnya. Tangannya memainkan permen kapas di atas pangkuan.
Ia terlihat sedang berpikir keras. Kenapa?
“Baiklah, cukup untuk hari ini. Park Chan Yeol, tolong kumpulkan semua kuisioner teman-temanmu. Aku tunggu di ruanganku. Terima kasih.”
Ah, sial.
Chan Yeol buru-buru menarik kertas dari tangan teman-temannya yang berteriak memprotes, kemudian secepat kilat mengumpulkan kuisioner ke meja dosennya. Ia mengabaikan dosen yang telah membuka mulut untuk berceramah itu, langsung membungkuk dan berlari menemui Senja.
“Hai, kau memakan permennya.” Sapa Chan Yeol dengan napas memburu, terseyum senang.
“Eh? Iya.”
Chan Yeol mengangguk dan duduk di samping Senja.
“Kenapa berlari?” Tanya Senja, menatap bingung laki-laki di sampingnya.
“hah? Kenapa ya? Aku takut kau hilang.”
Senja mendecih, memutar bola matanya.
“Hei, kau sedang memikirkan apa? Sepertinya kau melamun tadi. Apa begitu bosan menungguku?”
“Bukan urusanmu.” Jawab Senja, kembali ke kepribadian dinginnya. “Ayo, sekarang carikan aku charger.”
“Hm, oke tapi kita ke kantin dulu ya? Aku haus.”
“Hm, terserah.”
“Hai bibi,” Sapa Chan Yeol pada salah satu penjual di kantin sesampainya mereka di sana.
“Bibi lihat Se Hun Ahjusshi? Beliau bilang beliau ada di sini tadi.”
Telinga Senja berdiri.
“Iya, tadi Hunnie kemari. Lalu langsung pergi setelah mencium pipiku secara tiba-tiba.”
What? Ew.
Chan Yeol terkekeh, “Ya ampun. Dia pasti benar-benar suka pada bibi.” Kemudian laki-laki tinggi itu tersenyum lebar dan mengedipkan matanya. “Karena aku sudah mendekatkan bibi pada Ahjusshi itu, bisakah aku mendapat air gratis?”
“Tidak.”
“Yah, bibi aku…”
Senja melangkah gontai meninggalkan Chan Yeol dan penjual kantin. Pasti ada ratusan orang di Korea yang bernama Se Hun, kan? Bahkan bisa saja nama Se Hun sama umumnya dengan Budi di Indonesia. Oh Se Hun yang Senja maksud bukan Se Hun yang baru saja mencium pipi seorang paruh baya dan disebut ‘ahjusshi’ dengan penuh hormat oleh Chan Yeol, kan? Tapi… orang yang memeluknya… kalau itu memang Se Hun…
Lalu apa?
“Arrghh!!” Senja mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Ya, kau kenapa?”
Senja terdiam, lalu tertawa. Tawa yang tidak mencapai matanya. “Hahah. Hah. Ada berapa ratus orang yang bernama Budi di Korea? Hah? Hah? Haaahh???”
“Lupakan. Ayo jalan.”
“Eh? Oke.” Dengan bingung Chan Yeol menyusul Senja terlihat sedang gila.
Kemudian laki-laki berkaki panjang itu berpikir. Aku tak pernah mendengar orang yang bernama Budi.
[][][][][]
“Sudah sampai.” Seru Chan Yeol agak keras.
Senja membuka matanya dan mengerang. Ia melirik jam digital di atas kaca spion tengah mobil Chan Yeol, 10 p.m.
“Ini,” Chan Yeol mengulurkan sebuah ponsel berwarna putih. “aku sudah memindahkan semua data dari ponsel lamamu.”
“Hah? Kemana ponselku?”
“Ini.”
“Bukan, maksudku ponselku. Aku tak mau ponsel baru. Sudah kubilang.”
“Aku membuangnya.” Ujar Chan Yeol polos. “Untuk apa? Lagi pula data-data dari situ sudah kupindahkan ke ponsel ini.”
“APA? SEENAKNYA SAJA KAU—“
Ponsel yang diulurkan Chan Yeol berdering, layarnya menampilkan nama “Ibu” dalam tulisan latin.
“Wah, ada yang menelpon. Ini ibumu, kan? Aku sudah memberitahunya nomermu yang baru tadi.”
“Apa?”
“Ini, angkatlah. Ia sangat khawatir padamu tadi.”
“Kau berbicara dengannya?”
“Angkat saja.” Chan Yeol menarik hidung Senja.
Senja menepis keras tangan Chan Yeol dengan muka beruang, mengambil ponsel dari tangan Chan Yeol, lalu beranjak keluar mobil dan melangkah ke arah taman belakang.
“Enyahlah.” Desis Senja pada Chan Yeol yang mengikutinya.
“O—Oke, aku tunggu di ruang makan.”
[][][][][]
Jemari Senja menyapu-nyapu layar datar ponsel barunya. Tatapannya kosong. Ia tak mengerti. Kenapa? Kenapa ibu terdengar begitu marah pada Oh Sang Myun, hanya karena Se Hun menelantarkannya? Yah, semua ibu mungkin akan begitu jika putri semata wayangnya ditelantarkan. Sekalipun anak perempuannya berpenampilan layaknya yakuza.
Oke, yakuza terlalu bagus. Preman.
“Lama sekali. Memangnya kau tidak kedinginan?” Ujar Chan Yeol yang tiba-tiba duduk di bangku di sampingnya. “Ibu bilang jangan mengganggumu dulu. Tapi sudah satu jam, nuna juga mulai khawatir. Kau belum mengantuk?”
Senja menggeleng pelan. “Di Indonesia masih jam sembilan.”
“Hm…” Chan Yeol mengangguk-angguk.
“Kenapa melamun? Rindu Indonesia?”
Senja terdiam.
“Aku tidak melamun.”
“Benarkah? Oh iya, kau tidak jadi membanting ponselnya? Kau bilang akan membantingnya kalau kubeli.”
Suasana taman kembali sepi.
“Chan Yeol…” Lirih Senja. “Maaf.”
“Apa?”
“Seharusnya aku tidak semarah itu padamu. Kau sudah sangat sangat baik padaku, ponselku, Jumbo dan Mbolok. Kau baik sekali. Aku kira semua orang Korea se… sudahlah. Mengingatnya saja aku muak. Pokoknya aku bersyukur ‘jatuh’ ke keluarga ini.”
Chan Yeol tersenyum mendengarnya.
“Eosseu bisa berkata semanis itu juga, ya. Imut.” Ucap laki-laki itu sembari menatap Senja.
Senja menatap Chan Yeol jijik. “Aaa—“
“Berhenti memanggilku dengan nama itu. Itu bukan namaku.”
“Eh? Kau tidak memukulku? Fyuuuh.” Chan Yeol meluruskan kaki yang baru saja dipeluknhya. Ia berdehem. “Tidak bolehkah, Eosseu-ya? Itu panggilan spesialku.”
“Cih. Memangnya kau siapa?”
“Pendekarmu.”
BUAKK.
Senja menendang tulang kering Chan Yeol.
“AAARGH. Baru kuselamatkan kaki ini. Ampun, Eosseu-ya.”
BUAKK.
Senja meninjak kaki Chan Yeol. “Terserahlah, mungkin kau memang suka jika tulang keringmu hancur.”
Chan Yeol hanya membalasnya dengan cengiran.
“Ibumu sudah tidur?”
“Belum. Kenapa?”
“Hm, tidak.” Senja terdiam. “Menurutmu di mana universitas yang terbaik arsitekturnya?”
“Hm? Aku tak tahu. Aku belum pernah melihat arsitektur kampus lain.”
“Maksudku arsitektur jurusan. Kelas. Pendidikan. Bukan penerapan pada gedung kampus.”
“Oh…” Chan Yeol mengangguk-angguk mengerti. “TUNGGU. Maksudmu… kau berminat kuliah di sini, di Korea?”
“Menurutmu untuk apa aku datang ke negara yang tidak pernah menarik minatku sama sekali ini?”
“BENARKAH? KAU BENAR-BENAR—“ Chan Yeol membelalakkan matanya, mencengkram kedua lengan Senja.
“NO TOUCHING!” Senja menendang tulang kering Chan Yeol (lagi).
“Eh, maaf.” Chan Yeol terkekeh. “Kau… benar?”
“Yah,” Senja menghela napas. “Sayang kan visa empat setengah tahunku kalau aku tidak jadi kuliah di sini? Lagi pula kudengar arsitektur dan desain interior di Korea sedang berkembang.”
“Dan… Well, aku pernah melihat drama Korea, yah, bagus. Arsitekturnya bagus. Aku suka desain interiornya terutama.”
“DRAMA APA?” Tanya Chan Yeol semangat.
“Huh? Aku tak tahu.”
“Kau sudah berkeliling kampusku, kan? Kau suka arsitekturnya?”
“Biasa-biasa saja. Tapi aku tak tahu, masalahnya aku baru berjalan-jalan di luarnya saja karena setelah itu…” Senja bergidik ngeri. “Lupakan.”
“Kenapa?”
“Aku ingin berbicara dengan ibumu.”
“Hah? Eh, ayo.”
[][][][][]
“IBU! TERNYATA EOSEU DATANG KE KOREA UNTUK KULIAH! DIA INGIN KULIAH!” Teriak Chan Yeol heboh, membukakan pintu halaman belakang yang menuju dapur untuk Senja.
“APA?”
“Eoseu ingin kuliah arsitektur di sini!” Ulang Chan Yeol saat mereka menginjak ruang keluarga.
Park Yoo Ra dan ibunya membelalakkan mata. “BENARKAH, SEU-YA?”
Senja mengangguk ragu. “Kalau ada yang bagus.”
“Tempat kuliah Chan Yeol yang terbaik di Korea!” Seru Yoo Ra.
“JINJJA?!” Chan Yeol berteriak girang. “KAU TAHU DARI MANA, NUNA?”
Yoo Ra tersipu. “Seseorang.”
“Wah, bu. Nuna… nuna sudah punya pacar!”
“Kena—“ Yoo Ra berteriak tertahan. “Belum, bu. Eh, maksudku—bukan!”
“Kenapa? Bertepuk sebelah tangan?”
“YA! DIAM KAU!” Yoo Ra bangkit dari sofa dan mulai memukuli Chan Yeol dengan bantal.
“Ya, NUNA! AMPUN! AMPUN!”
Ya ampun, keluarga ini ga aus apa teriak-teriak terus? Ini bukan hutan kan? Senja mengelap wajahnya pasrah.
“DIAAAAAAAAAAAAAAM!”
Mata keempat orang di ruang keluarga menoleh ke sumber suara yang menggoyang-goyangkan kepalanya selagi berteriak. Kedua lengan laki-laki yang beberapa helai rambutnya telah beruban itu terentang, juga bergoyang.
Senja menepuk dahi. “Siapa lagi tarzan yang satu ini?” Gumamnya.
“Sedang membicarakan apa?” Tanya orang itu dalam posisi tegap dan normal. Matanya membulat polos seolah yang barusan berteriak seperti Godzila bukanlah dirinya.
“Wah, Eoseuleum sudah bangun?” Laki-laki itu meletakkan tangan keriputnya di atas kepala Senja, mengacak-acak rambutnya. “Kau lucu sekali.”
“Sudah bangun? Maksudnya sejak Chan Yeol membawaku kemari? Ya ampun.” Gumam Senja, menepuk dahinya.
“Eoseuleum ternyata ke Korea untuk kuliah. Dia suka arsitektur, yeobo.” Ujar Nyonya Park, membuka ikatan dasi suaminya.
“Dia ayahmu?” Bisik Senja yang duduk di samping Chan Yeol.
“Iya. Tapi tidak setampan aku, ya.” Balas Chan Yeol.
“Kuliah? Di sini? Arsitektur? Wah, kudengar di kampus Chan Yeol bagus.”
“Wah, nuna juga bilang begitu.”
“Kalau begitu kau mencoba daftar saja, Eoseu-ya.” Ujar Tuan Park.
“I—iya.”
“Chan Yeol yang akan mengantarmu besok.” Titah Nyonya Park.
“My pleasure,” Chan Yeol membungkuk hormat ke arah Senja.
“I—iya, terima kasih banyak. Aku… besok… bagaimana… mengantarku…” Senja berdehem. “Bisakah kau mengantarku mencari apartemen yang murah juga besok?”
“Apartemen?” Ucap Nyonya dan Tuan Park bersamaan.
“Hm… iya.”
“Apa? Tapi—kenapa tidak tinggal di sini saja?” Ujar Yoo Ra lirih, wajahnya seperti anak kecil yang tangisannya siap meledak dan memekakkan telinga siapa saja.
“Ehm tidak, eonnie, kalian sudah membantuku terlalu banyak. Aku merasa tidak enak.”
“Tapi kami enak-enak saja. Benarkan bu? Yah? Nuna?”
“Tentu saja.” Jawab ketiga orang dewasa itu kompak.
“Aku sudah menganggapmu adik.” Kata Yoo Ra, masih memasang wajah memelasnya.
“Adik ipar?” Tukas Chan Yeol. “Argh! Kau menendang tulang keringku lagi!”
“Oh! Benarkah?” Senja membelalak sekaligus melotot ke arah Chan Yeol.
“Ti… tidak.” Jawab Chan Yeol bergidik.
“Aku… tidak bisa. Aku benar-benar merasa tidak enak. Kalian sudah membuatku merasa memiliki keluarga di Korea.” Senja termangu. “Kalian menolongku. Aku tak bisa merepotkan kalian lebih banyak lagi.”
“Tidak, kau tidak—“
“Aku tidak akan memutuskan hubungan dengan kalian. Beruntung kalau aku mendapat apartemen murah tak jauh dari sini.”
“Ya, tapi… itu berbeda. Lebih baik kau tinggal di sini. Kau kan belum terlalu mengenal Seoul.” Lirih Yoo Ra yang terlihat sangat sedih.
“Aku akan belajar mengenalnya dengan cepat.” Senja menepuk-nepuk tangan Yoo Ra yang memegangi kakinya khawatir.
“Yah, orang Indonesia. Mereka ramah dan sungkan. Sepertinya keputusanmu tidak dapat digoyahkan lagi. Lagi pula kau terlihat kuat dan mandiri. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Tegas Tuan Park.
“Apa? Yeobo—“
“Tidak apa, yeobo, aku percaya padanya.” Tuan Park dan Senja saling menatap dan tersenyum yakin.
Senja menunduk. Tuan Park membuatnya merindukan ayahnya. Ayah yang selalu percaya dan melepas Senja. Ayah yang selalu mendukung Senja. Ayah yang tak dapat digapainya sekarang untuk meminta pertimbangan. Ayah yang sangat bijaksana.
“Tapi kau harus sering kemari. Minimal tiga kali seminggu. Telpon eomonim jika butuh atau terjadi sesuatu.” Nyonya Park beranjak dari sofanya ke belakang Senja, memegang kedua bahunya menguatkan.
Senja mengelus tangan berkeriput halus itu. “Pasti.”
Yoo Ra memeluk Senja. “Aku kakakmu. Ingat itu.”
“Aku—Aaargh. Oke, aku tidak akan memelukmu.” Erang Chan Yeol menarik kembali lengannya sembari mengelus tulang keringnya.
“Te… terima kasih semuanya.” Senja merasakan matanya mulai panas.
Gila. Korea bikin gue kayak cilok. Lembek-lembek gimana gitu.
Tapi cilok enak.
[][][][][]
Senja memandang wajah mulus Yoo Ra yang tertidur di sampingnya. Perlahan ia bangkit dari ranjang dan beranjak ke balkon kecil yang ada di kamar Yoo Ra. Ia berdiri di sana, menghirup dalam udara dingin musim gugur yang akan datang sebentar lagi.
Di Indonesia… suhu malam hari juga mulai turun. Hampir memasuki bulan Oktober, mulainya musim hujan. Senja penasaran, apa yang sedang ibunya lakukan? Menelpon keluarga dan teman-temannya agar bisa mengirimkan uang untuk Senja?
Ya, Senja masih belum percaya kalau ibunya punya banyak tabungan sehingga bisa menyekolahkan Senja di sini sampai selesai. Seberapa keras pun ibu mencoba meyakinkannya, ia tak percaya. Ibunya pasti mengatakan itu semua hanya supaya Senja menjadi tenang bersekolah di sini.
Tapi Senja tidak tenang. Ia menerima tawaran ke Korea karena beasiswa. Karena Keluarga Oh. Kalau pada akhirnya ibu memaksa menyekolahkan Senja dengan usahanya sendiri, ia lebih baik tidak berangkat dan bekerja saja.
Well, Senja akan mencari kerja sambilan. Ia akan meminta tolong Keluarga Park. Lagi.
Senja mengembuskan napasnya, “Keluarga Park…”
Bagaimana bisa keluarga ini menganggap Senja sebagai bagian dari keluarga begitu saja? Chan Yeol memungutnya. Mereka tidak tahu banyak tentang Senja. Mereka tidak mempertanyakan atau curiga, padahal Chan Yeol menemukannya di pagi buta.
Senja tersenyum. Keluarga ini tidak seperti… ah, entahlah. Senja tak bisa memvonis Keluarga Oh jahat. Bisa jadi Oh Sang Myun terus berusaha menghubunginya. Siapa yang tahu? Pasalnya nomer Indonesia Senja telah hilang.
Tidak, Senja yakin Keluarga Oh tidak jahat. Senja yakin… Oh Se Hun tidak jahat. Pasti ada alasan yang membuatnya membuang Senja seperti itu.
Senja memeluk badannya yang menggigil, teringat laki-laki yang memeluknya siang tadi. Senja tidak tahu siapa orang itu, tapi… ada sesuatu. Wangi maskulin itu… kemeja putih dan rambut putih yang melambai tertiup angin…
Omaygat. Gue harus main FTV. Ekspresi gue pasti melankolis banget sekarang.
Senja bergidik ngeri terhadap pikirannya yang tiba-tiba puitis. “Hiiy.”
[][][][][]
“Ya, apa yang terjadi? Kenapa dengan tanganmu?” Tanya Kyung Soo.
“Buruk. Ini buruk. Ini buruk.” Se Hun menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap kedua lengannya horor.
“Kenapa? Kau baru saja memeluk si penjaga kantin itu? Siapa namanya?”
“Kim Ahjumma!” Timpal Lay yang sedang mengelap pianonya.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Tatapan horor Se Hun berpindah pada Chen.
“Apa? Benar? Kau baru memeluk Kim Ahjumma? AKU BENAR?” Tanya Chen, memastikan.
“YA, TIDAK!” Teriak Se Hun. “AKU MEMANG BARU MEMELUK…”
Kata-kata Se Hun bergaung di ruangan yang tiba-tiba menjadi hening itu.
“Tapi bukan Kim Ahjumma.” Lanjutnya pelan.
“Argh.” Erang Se Hun menyesal.
“WAAAAAH BENARKAH?”
“KALAU BEGITU SIAPA?”
“PEREMPUAN ATAU LAKI-LAKI?”
“LEBIH MUDA ATAU LEBIH TUA DARI KIM AHJUMMA?”
“HANGAT TIDAK?”
“PELUK AKU!”
“AKU JUGA MAU!”
“YAYAYA! PIKYEO!”
BUAKK.
Se Hun sempoyongan memerima keroyokan peluk dari teman-temannya. Mereka menepuk-nepuk bahu Se Hun, memberi selamat.
“Sekarang kau bisa melakukan skinship dengan manusia. Hebat!”
“Tidak. Tidak lagi. Aku. Tidak. Akan. Mengulanginya. Lagi. Kalian juga. Tak ada pegang-pegang lagi.”
“Yah, kau payah.”
“Jadi… perempuan atau laki-laki?” Tanya Kyung Soo, matanya makin membulat penuh penasaran.
Ruangan kembali hening menunggu jawaban Se Hun.
“Tidak tahu. Tidak jelas. Aku tidak sengaja. Aku menyesalinya. Aku tidak akan mengulanginya. Aku tak akan membahasnya lagi. Aku pulang.”
Tanpa menunggu respon teman-temannya Se Hun merenggut jaketnya dan melangkah keluar ruangan.
Se Hun menggeleng pasrah, kembali termangu menatap lengannya. Ya, dia tak akan mengulanginya lagi. Efek samping pelukan itu tidak bagus. Jantungnya berdetak tak karuan sekarang. Ia merasa suhu tubuhnya meningkat drastis. Se Hun tidak suka skinship.
Se Hun menginjak pedal gas audi kuningnya dalam.
Bagaimana bisa Senja berada di kampusnya? Ini gawat. Besok ia tak akan membawa Jong In ke kampus lagi. Besok ia akan menyimpan baik-baik audi kuning ini. Kalau dipikir, ia sudah beraksi dengan baik dengan memeluk perempuan itu dalam rangka menghalanginya dari Jong In. Ya, hanya dengan begitu ia tak akan melihat Senja lagi.
Tapi… bagaimana dengan Senja? Maksudnya, kenapa dia tidak kembali ke Indonesia? Apakah dia akan baik-baik saja? Apakah akhirnya dia akan ditemukan atau menemukan Keluarga Oh?
Se Hun berharap gadis itu segera menghilang dari hidupnya.
Se Hun tersenyum. Bagaimana ekspresi bocah itu tadi ya?
Tunggu. Siapa peduli?
Ah, tentu saja aku peduli. Aku puas sekali begitu melemparnya tadi. Andai aku melihat ekspresinya, atau… andai tidak ada yang menangkapnya tadi aku pasti akan lebih senang dari ini!
[][][][][]
“Aku pulang.” Gumam Se Hun, mendorong daun pintu besar rumahnya. Seringainya yang masih menempel di wajah akibat membayangkan bagaimana menderitanya Senja langsung menguap.
Se Hun mendapati kedua orang tuanya duduk berdampingan di sofa ruang tamu yang luas. Ups. Sepertinya ada yang salah. Jangan-jangan… Jong In…
“Jong In dan timnya belum mendapat kabar tentang Senja.”
Fyuuuh. Pelayan baik.
“Iya, aku juga belum menemukannya.”
“Hm. Besok aku dan ibumu harus pergi. Inspeksi tahunan. Tiga minggu. Tapi kami tidak melepas kasus Senja begitu saja. Kami serahkan padamu. Jika Senja belum ada saat kami kembali…”
“Bayangkan sendiri jawabannya. Bukan kau saja yang mendapat masalah, bisa jadi perusahaan kita terkena getahnya jika ada orang yang tahu.” Timpal Nyonya Oh.
Se Hun mendengus pasrah. “Kenapa kalian tidak mengajakku berkeliling ke cabang-cabang perusahaan di seluruh benua saja? Aku… aku ingin belajar” dan menghindar dari bocah tengil itu.
“Belum. Belum saatnya, Hunnie. Sekarang kembalilah ke kamarmu.” Ujar Nyonya Oh lembut.
“Hm, tapi… o—oke.” Jawab Se Hun akhirnya, saat mendapat tatapan tajam ibunya.
Well, jadi usahaku menyembunyikan Senja sia-sia? Bagaimana pun, ia akan kemari. Sekali pun ia kembali ke negaranya, ia akan tetap dibawa kemari. Menyusahkan saja.
Se Hun melemparkan dirinya ke atas ranjang.
“Oke, just let it flow.” Se Hun tak akan berusaha mencari Senja. Tidak akan. Biarkan Jong In dan kawan-kawan yang menemukannya. Se Hun juga tak akan menyembunyikan Senja lagi. Ia akan pikirkan cara menghindar dari—jika benar—perjodohan atau apa pun itu dengan Senja nanti.
Lagi pula ia ingin melihat Senja lagi. Mendengarkan ocehannya, melihat kunciran pendeknya yang bergoyang-goyang, menghirup wangi sabun yang khas, memeluknya…
“APA?! TIDAK.” Se Hun bergidik, menutup kepalanya dengan bantal dan jatuh tertidur.
[][][][][]
“Maaf aku tidak bisa ikut, Seu-ya.”
“Huh? Oh, tidak apa-apa, eonnie-ya. Chan Yeol menj—“
“Menjagamu dengan baik?” Sambung Yoo Ra, meloncat dari ranjangnya ke arah Senja yang sedang mengepak kopernya, Jumbo.
“Benarkah? Dia menjagamu dengan baik?” Ulang Yoo Ra, menatap Senja penuh penasaran.
“Eh? Eum, ya. Mungkin. Eh, maksudku… sepertinya.”
Yoo Ra menopang dagu dengan kedua tangannya, menatap Senja dengan tatapan menggoda. “Kau gugup?”
Senja menoleh, membelalakkan matanya. “Apa? Gugup apa?”
“Saat bersama Chan Yeol. Kau gugup?”
Senja menggaruk lehernya dengan jari telunjuk, “Tidak.”
Tok tok tok…
“Nuna, buka pintunya. Aku ingin mengembalikan sweater-nya. Aku tidak suka.” Teriak Chan Yeol dari balik pintu.
Sial. Panjang umur amat sih tu cowok? Kaget gue.
“Benarkah?” Yoo Ra balas berteriak. “Kalau gitu taruh saja di depan pintu.”
“Kau tak bisa membuka pintunya?” Timpal Chan Yeol, masih berteriak. “Memangnya kau dan Eoseu sedang apa di dalam?”
“Eonnie, kalian sungguh berisik.” Ujar Senja datar, beranjak ke arah pintu.
“JANGAN DIBUKA!”
“Eh? Eoseu?” Chan Yeol memandangi Senja dari atas ke bawah. “EOSEU-SSHI!! O—OMO! OMO! NUNA! NUNAAAA! WAH, NUNA, AKU SUKA SWEATERNYA!! SARANGHAE, NUNA!”
Senja melotot memandang Chan Yeol yang melompat-lompat kegirangan. Dia… mengenakan sweater yang sama dengan yang sedang dipakainya sekarang. Sweater berwarna hijau toska dan coklat yang terpaksa Senja pakai karena merasa tidak enak dengan Park Yoo Ra.
“BERISIK.”
BUAKK
Senja membanting tertutup pintu kamar Park Yoo Ra.
“Sudah kubilang…” Ujar Yoo Ra pasrah.
“Ya! Kau tidak berniat menggantinya kan?” Sergah Yoo Ra saat Senja melangkah ke arah kamar mandi.
“TERIMA KASIH NUNAAAA!” Teriak Chan Yeol lagi, kemudian menghilang tanda-tanda keberadaannya di balik pintu.
Senja mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia mendesah pasrah.
“Jebal… sekali iniii saja. Aku ingin melihat kau memakai pakaian berwarna cerah sekali iniii saja. Dan… tanpa eyeliner. Kumohooon. Yayaya?”
Senja menutup matanya kesal, berkata pelan dengan bibir bawah yang digigit, “Kay.”
Yoo Ra baru akan berteriak berselebrasi saat Senja menyergah, “Tapi aku akan tetap memakai eyeliner. Tipis.”
“OKE! TIDAK MASALAH!” Kemudian Yoo Ra memeluk Senja erat dan penuh kebahagiaan.
[][][][][]
“Kau ini ada-ada saja, Yoo Ra-ya. Kasihan Senja.” Komentar Tuan Park yang telah rapi dengan setelan jasnya.
“Tidak apa, yeobo. Bukankah mereka manis?”
Tuan Park hanya menggeleng tak mengerti.
“Ya, ayah betul. Kasihan Eoseu. Eoseu-ya, kau merasa tersiksa tidak mengenakan pakaian yang sama dengan Chan Yeol?”
“Tidak. Ya kan, Eoseu-sshi?”
Senja menatap sinis Chan Yeol. “Gwenchana, Eonnie.”
Toh Chan Yeol udah nolongin gue. Ternyata gue seneng juga ngeliat dia kegirangan begini.
“Eum, baiklah, semuanya. Maafkan aku. Aku banyak merepotkan Keluarga Park. Dan… terima kasih. Terima kasih banyak telah menerimaku.”
“Sudahlah, jangan mengucapkan kata-kata semacam itu lagi. Kesannya kau akan pergi jauh dan tidak kembali. Aku tak suka. Nanti malam kau harus datang kemari, oke?” Tukas Nyonya Park.
Senja tersenyum, “Oke.”
“Nah, hati-hati. Chan Yeol, jadilah laki-laki dewasa untuknya. Jaga dia baik-baik.”
“Pasti, bu.” Chan Yeol membungkuk formal, seolah ia adalah seorang pangeran yang mendapat mandat dari ibunya. “Nah, Nona Senja Gunawan, mari masuk kereta kencana anda.”
“Cih.” Senja masuk melalui pintu mobil yang dibukakan Chan Yeol.
Kemudian Senja memandangi Chan Yeol yang memutari mobil menuju pintu bagian kemudi. Chan Yeol terlihat senang dan tulus menolong Senja. Sejak awal. Bagaimana bisa ada orang sepertinya di dunia ini?
Dia berbeda sama sekali dengan Oh Se Hun.
“Chan Yeol-sshi.”
“Hm?” Chan Yeol menoleh sebentar, kemudian kembali fokus menyetir.
Senja tak tahu ingin mengatakan apa. Terlalu banyak yang ingin ia sampaikan dan tanyakan pada laki-laki ini.
“Kenapa kau selalu memanggilku dengan formal? Kenapa selalu dengan ‘sshi’? Aku kan lebih muda darimu.”
[][][][][]
“Chan Yeol-sshi.”
Apa? Ya ampun. Apa Senja baru saja memanggil namanya? Dengan intonasi selembut itu? Chan Yeol merinding, pipinya memanas. Ia mencengkram roda setir lebih kuat.
“Kenapa kau selalu memanggilku dengan formal? Kenapa selalu dengan ‘sshi’? Aku kan lebih muda darimu.”
Telinga Chan Yeol seperti tersengat listrik. Jantungnya berdentum keras.
Karena aku menghargaimu.
“Hei. Jawab.”
“Ah? Hm, kenapa ya?” Chan Yeol menggaruk tengkuknya. “Memangnya kenapa? Kau keberatan?”
Suara Chan Yeol menggantung di keheningan mobil sampai mereka tiba di kampus laki-laki bergigi rapi itu.
Chan Yeol menghela napas berat. Jantungnya masih belum bisa berdetak normal. Senja yang mengenakan pakaian berwarna cerah merusak jantungnya lebih parah dari biasanya.
“Ayo.” Kali ini Senja yang mengajak. Bukan Chan Yeol.
“Eh? Ehem. I—iya. Ayo.”
Keduanya keluar dari mobil dan mulai berjalan memasuki Gedung Fakultas Arsitektur. Chan Yeol—yang biasanya tidak sungkan menatap Senja—memandangi Senja yang tersenyum lebar melalui ekor matanya.
Senyuman yang manis.
Chan Yeol ikut tersenyum lebar.
[][][][][]
“Wah, wah. Beruntung kita datang hari ini. Hari terakhir pendaftaran! Huh, aku tak bisa membayangkan kalau kita baru datang besok.” Ujar Chan Yeol, berjalan di samping Senja. Mereka memutuskan untuk berkeliling kampus sebentar sebelum melanjutkan mencari apartemen.
“Hm. Aku juga lega sekali.” Senja tersenyum, mengigit bibir bawahnya.
“Tapi seleksinya dua minggu lagi. Kupikir murid-murid asing juga ikut suneung. Ternyata tidak. Enak juga ya.”
Senja hanya diam, menatap gedung-gedung di sekelilingnya dengan penuh haru sampai pandangannya berhenti dan menangkap seseorang yang berjalan tak jauh darinya dan Chan Yeol. Seorang laki-laki berambut putih yang mengenakan kemeja berwarna sama. Berjalan santai, melihat sekeliling. Kemudian tatapan laki-laki itu berhenti. Terpaku ke arah Senja.
“YA! SE HUN AHJUSSHI!” Senja membeku di tempatnya saat Chan Yeol berteriak dan melambai ke arah laki-laki itu.
[][][][][]
Here it is, Senja di Timur Chapter 6. I started again, after almost a year disappearance. Wdyt? Should I continue to the next chapter? I need 20 comments and 5 likes. Hehehe.
So… sayonara?
