Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Vow of the Pureblood : Two Souls (1/2)

$
0
0

A Storyline Present by @diantrf

 

Vow of The Pureblood: Two Souls

(Seonsaengnim’s Reveal of Story)

Main Cast:

Xiao Luhan, Park Chanyeol, Kim Junmyeon/Suho (EXO) | Park Cheonsa (OC)

Other Cast:

Oh Sehun, Kim Jongdae/Chen, Kim Minseok/Xiumin, Zhang Yixing/Lay, Wu Yifan/Kris (EXO) | Kim Myungsoo/L (Infinite) | Jung Jinyoung (B1A4) | Lee Gikwang (Beast) | Kang Jihyun/Soyou (Sistar)

Genre: Fantasy, Romance, Mystery, School-life | Rating: PG-17 | Length: Chaptered

Prev:

Part-1 | Part-2 | Part-3 | Part-4 | Part-5 | Part-6 | Part-7 | Part-8 | Part-9 | The Princess of Darkness (Teaser) | Intro Charas | The Princess of Darkness (1) | The Princess of Darkness (2) | Part-10 | Part-11 | Part-12 | Two Souls (Teaser)

0o0

Angin sore menerbangkan serbuk sari dari beberapa bunga, membuat harum khas taman istana menggoda sang putri untuk berdiam diri di sana. Duduk memandangi langit mungkin menjadi terapi kejiwaan yang cukup baik, mengingat ia yang stres dan kondisinya selalu menurun dari hari ke hari.

Jemari lentiknya bergerak teratur, menyentuh perutnya yang tentunya tidak sama lagi seperti delapan bulan yang lalu. Telah ada kehidupan yang berkembang di dalamnya, dan înger tentunya sangat bahagia dengan hadiah yang Tuhan berikan padanya.

Mungkin menikah dengan orang yang dicintainya adalah cita-cita terbesarnya dulu. Namun mengingat bagaimana latar belakang ia bisa menikah, kini hal itu bukanlah perkara yang penting lagi. Cinta itu tumbuh dengan sendirinya, menghasilkan sebuah kehidupan yang mungkin înger akan sangat bersyukur jika masih bisa melihatnya walaupun kematian sangat dekat di depan mata.

“Jangan membicarakan kematian di depan anak kita.” Suara pelan itu datang bersamaan dengan lengan yang memeluknya dari belakang. înger hanya tertawa kecil karena merasa ketahuan. Bahkan ia tidak memiliki ruang privasi apa pun karena Anhel dapat dengan mudah membaca pikirannya.

Anhel memutari bangku taman, duduk di sebelah înger dan menatapnya dengan lembut. “Jangan pernah mengungkit kematian lagi, mengerti?”

Hanya anggukan yang menjadi jawabannya. înger lebih memilih bersandar pada bahu Anhel, dengan tangan pria itu yang merangkul pinggangnya. înger terlalu lelah untuk melakukan apa pun. Ia terlalu lelah untuk merasakan sakit lagi.

“Terakhir kali Sheol datang adalah ketika kandunganku berusia lima bulan.” Matanya masih terpejam, namun înger merasa ia perlu membicarakannya.

Anhel hanya terdiam, wajahnya tanpa ekspresi. “Kau merindukan Sheol?”

“Anhel, ini tidak lucu. Kita tak akan pernah tahu apa yang Sheol rencanakan untuk membuat kita terpisah.” înger menegakkan tubuhnya, menatap Anhel dengan keseriusan.

Selama menikah, belum pernah Anhel melihat tatapan serius seorang înger. Hanya eye-smile atau wajah merajuk yang menggemaskan yang selama ini selalu înger tunjukkan di hadapan Anhel. Tidak untuk ekspresi yang satu ini.

înger mengalihkan pandangannya pada pepohonan di arah timur, menghindari tatapan Anhel yang mencoba menggali pikirannya. Ini tidak adil. înger hanya ingin hidup bahagia. Sudah cukup kehilangan kedua orangtua dan ibu tirinya, belum lagi Diavol yang tiba-tiba menghilang dari istana.

“Maaf, aku hanya terlalu lelah,” bisik înger pada angin, yang tentu saja masih bisa didengar oleh Anhel.

Ia bangkit dari duduknya, masih enggan menatap langsung mata suaminya. Sepertinya kondisi kehamilan ini membuatnya hampir gila karena kelelahan dan banyaknya beban pikiran. Oh, bahkan berjalan saja terasa sulit baginya.

Dengan langkah pendek, înger berjalan menuju istana. Anhel terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya menyusul langkah sang istri dan langsung meraih tubuh itu dalam gendongannya.

“Anhel!”

“Si kecil meminta agar Ayah membantu Bunda berjalan ke kamar,” ucap Anhel singkat, lalu sedetik kemudian mereka telah sampai di depan ranjang mereka.

Terkadang înger terlalu larut dalam dunianya sendiri hingga tak menyadari siapa suaminya sebenarnya, dan makhluk jenis apa dirinya sekarang. Hingga kini Anhel membaringkan înger di ranjang, istrinya itu masih terdiam menatap matanya, dengan pikiran kosong.

Take a rest, sweetheart.”

Anhel menciumnya, namun bibir cherry itu terasa dingin dan berbeda dari biasanya, dan Anhel tahu pasti ada yang tidak beres dengan înger. Apa mungkin…

“Sheol menemuimu lagi?!” Anhel tak bisa menahan nada suaranya, membuat înger hanya terdiam karena takut. Takut membuat Anhel khawatir, juga sangat takut dengan apa yang Sheol katakan padanya beberapa hari lalu.

“înger jawab aku!”

Masih terdiam, înger bahkan mencoba menahan air matanya yang terancam akan segera melesak dari kelopaknya. Ini melelahkan, segalanya terasa sulit bahkan sebelum ia menjalaninya. Tinggal satu bulan lagi, apakah înger masih sanggup bertahan?

Alih-alih menjawab, înger malah memeluk Anhel, terdiam dalam tubuh suaminya untuk beberapa saat. Mungkin yang înger butuhkan saat ini hanyalah kehadiran Anhel di sampingnya, menjaganya selama ia tidur atau apa pun itu namanya.

“Anhel, temani aku tidur. Ini semua melelahkan…”

Anhel cukup tersentak. Selama delapan bulan terakhir ini ia memang telah terbiasa dengan perubahan mood înger yang mendadak karena faktor kehamilan. Namun yang kali ini berbeda. Sebuah kepasrahan, hampir merujuk pada putus asa, dan Anhel semakin merasakan ada sesuatu yang salah dengan înger.

Ini aneh, mengapa pikirannya kosong sedang ia terlihat memiliki beban yang sangat berat?

 

Hingga akhirnya Anhel melepaskan pelukan înger, memutari ranjang dan membaringkan tubuhnya di samping sang istri. Perasaannya mengatakan sesuatu yang lain. Suatu hal yang akan terjadi hingga membuatnya akan memohon untuk tidak pernah merasakan hal itu. Sesuatu yang menyakitkan.

“înger—“

I just wanna sleep, now. Night.”

Begitulah akhir dari percakapan mereka. Meninggalkan keanehan serta rasa penasaran yang sangat membuncah dalam pikiran Anhel. înger memang masih bisa tidur atau melakukan hal manusiawi lainnya karena ia bukan seorang darah murni. Namun dalam kasus ini, Anhel tidak bisa istirahat dengan tenang karena memikirkan segalanya.

Ia mengusap rambut înger sembari menatap sinar bulan melalui jendela kamar. Suhu tubuh yang cukup aneh ia rasakan pada tubuh înger. Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan înger, dan Anhel harus mencari tahu apa itu.

Maka dari itu ia bangkit perlahan dari ranjang, mencium kening înger sesaat dan berlalu menuju pintu. Di lorong, ia masih memikirkan kiranya apa yang mengganjal dalam diri înger sambil mengancingi kemejanya yang tadi terbuka.

Ia memasuki perpustakaan pribadinya, sekaligus sebagai ruang kerjanya. Jangan lupakan fakta bahwa Anhel ialah seorang raja. Ia duduk di kursinya, mulai memikirkan apa yang sebaiknya ia lakukan lebih dulu.

“Apa aku harus memeriksa buku itu? Tapi ada beberapa hal di sana yang tidak sesuai dengan kenyataan.”

Anhel masih terus bergumam sendiri sambil menelisik rak bukunya yang menjulang tinggi. Hingga akhirnya ia memilih satu buku yang terletak agak tinggi di rak kedua samping jendela. Buku itu melayang ke arahnya dan ia kembali duduk.

Historical of Vampire, buku yang menerangkan segala hal tentang vampir. Anhel terus membuka tiap lembarnya, sampai apa yang ia dapat berhasil tertangkap oleh matanya.

Historical of Vampire, Chapter 47 Section 9 Row 78

Kegelapan datang beriring dengan sebuah cahaya kecil yang ia kalahkan kehadirannya. Tetesan merah jatuh di atasnya hingga lengkung senyuman itu terus terkembang dengan fana. Kehadirannya tak dapat dipungkiri, bahkan sang waktu pun memohon untuk mengembalikan dirinya kala tak sanggup dengan itu semua.

 

Ia terduduk dalam diam, melihat kilauan merah menguncinya hingga tak bisa pergi. Ingin kembali, namun rasanya segala hal terlukis dengan tinta tak berwarna. Transparan namun tidak terang, gelap namun berbayang silau.

 

Hingga sebuah berita tersiar padanya, dan hanya penyesalan atas semua itu yang menjadi kunci masuk menuju gerbang sebuah cerita. Karena penyesalan selalu ditakdirkan untuk menjadi penutup yang manis dalam sebuah dongeng. Cukup lihat dan waspada, jangan sampai penyesalan itu menyapa di kemudian hari dan hanya ada kekecewaan di dalamnya.

 

Ia memerhatikanmu bahkan sebelum kau hadir di dunia ini. Karena Ia menandaimu sebagai miliknya. Untuk selamanya.

Anhel berusaha memahami itu dan mengingatnya dalam ingatan fotografinya. Kini ia kembali berdiri dan menghampiri rak, memikirkan buku lainnya yang mungkin berguna. Hingga sebuah buku itu melayang lagi dan Anhel kembali membuka tiap halamannya.

Represalii Dragoste Vampiri, dalam bagian terlarang dan hanya sang penulis serta beberapa vampir saja yang bisa melihatnya.

Pada beberapa halaman terakhir, terdapat lembar kosong yang tidak terdapat apa pun di dalamnya. Bahkan bagian percetakan di tiap generasi mengira bahwa ada kesalahan cetak tiap kali buku itu dimuat.

Namun kenyataannya tidak. Diavol menulis sesuatu di sana, dan sayangnya itu bersifat sangat rahasia sehingga tak ada siapapun yang bisa membukanya.

Anhel sudah berhubungan baik dengan Diavol bahkan saat pria itu masih serupa anak kecil. Sejak Diavol memanggilnya Paman sampai sekarang mereka menjadi akrab, dan Anhel tentunya berhasil mengorek sebuah informasi penting. Tentang isi dari buku yang ia tulis.

Sebuah ramalan masa depan yang cukup akurat, merupakan kelebihan Diavol bahkan sejak ia belum dilahirkan. Anhel membuka halaman itu, dan memang benar tak ada apa pun yang tertulis di sana.

Sial, Anhel tak memiliki pengetahuan apa pun tentang buku ini. Seandainya saja Arsyelan ada di sini untuk membantunya memecahkan itu…

“Bodoh, mengapa tidak terpikir sejak tadi?!”

Wajahnya berubah penuh harap, membuka lembaran itu hingga ia menemukan bagian yang dicarinya. Pembahasan khusus tentang “Seorang Malaikat”.

Represalii Dragoste Vampiri, Chapter 83 Row 132

Terkadang melukis pelangi tidaklah mudah, karena sejauh mata memandang hanya merah yang dapat kulihat. Malaikat kecil itu selalu bisa melakukan segalanya, dan aku selalu bersyukur dapat menjaganya.

 

Walaupun semua orang tahu hidup adalah sebuah akhir yang panjang, namun semua itu terasa mustahil sekarang, mengingat kata ‘akhir’ tak akan pernah bisa kuhirup sama sekali.

 

Maka dari itu, aku selalu membuat segala hal memiliki sisi rahasia di dalamnya. Hingga aku memutuskan untuk merahasiakan keberadaan malaikat kecilku. Aku menguncinya dalam spektrum warna yang sempit, namun akan menjadi luar biasa saat kau menemukan kombinasi yang benar terhadapnya.

 

Tolong jaga ia, Păzitor. Segalanya kupercayakan padamu.

Matanya membulat, Anhel benar-benar agak kesulitan menangkap ini semua. Apa pula itu? Mengapa terdapat nama Păzitor dalam tulisan itu? Mungkinkah ada sesuatu yang Diavol sembunyikan bersama dengan pengawal înger itu?

“Anhel?”

Sontak ia mengalihkan pandangannya pada suara itu, yang ternyata adalah înger yang sedang berdiri di ambang pintu. Ia agak kesulitan berjalan, sampai Anhel melesat ke arahnya dan merangkulnya agar pelan-pelan melangkah.

“Sayang, mengapa terbangun? Apakah ada sesuatu?” Kini Anhel mendudukan înger di kursi kerjanya, dengan ia yang berlutut dan menatap dalam mata istrinya.

înger dengan mata sayunya menatap Anhel, tangannya bergerak mengusap pipi Anhel dengan lembut. Ia merasa tak enak karena membuat orang lain susah seperti ini hanya karena memikirkannya. înger paling benci perasaan kasihan yang ditujukan padanya.

“Perlu bantuan?” tanyanya lembut pada Anhel, sampai ia mengambil buku itu dan membaca perlahan tiap katanya.

Tentunya înger mungkin sudah berulang kali membaca buku itu, karena itulah ia sedikit banyak tahu tentang segala hal berbau vampir bahkan sebelum ia mengenal apa itu yang namanya vampir dan apa saja yang dapat vampir lakukan.

Ia mengambil buku itu dan meletakkannya dalam pangkuan, membuat Anhel dapat melihatnya namun bingung apa yang akan ia lakukan.

“Di bagian ini, kata kunci cerita ini adalah tentang sebuah pelangi. Diavol membahas tentang sebuah, eum, atau beberapa warna?” înger tersenyun kecil sebelum melanjutkan, “Aku jadi ingat ketika dulu Diavol membantuku melukis untuk tugas sekolah. Kalau tidak salah, ia telah menjadi vampir saat itu. Mungkin itulah sebab mengapa hanya merah yang dapat ia lihat?” tanya înger, mungkin lebih kepada dirinya sendiri.

Hebat, bahkan Anhel tidak dapat memikirkan apa pun ketika melihat tulisan itu, namun înger dapat dengan mudah merangkainya perlahan dan menyangkut-pautkan dengan pengalaman terdahulu.

Lalu înger menunjuk paragraf kedua, “Seperti di tiap kalimatnya yang lain, kalimat ini mengungkapkan kekecewaan dan rasa tak sukanya atas takdir yang menimpanya. Diavol sampai saat ini mungkin masih menyesali dirinya yang berubah menjadi vampir, apalagi itu karena rencana keji Sheol.”

Ia bahkan tak menyadari bahwa ada setitik air mata yang menggenang di kelopak matanya. înger seakan dapat merasakan bagaimana kekecewaan itu meliputi diri kakaknya seumur hidup. Anhel hanya bisa menatap istrinya dalam diam, mungkin nanti ia akan menenangkannya.

“Diavol selalu memanggilku dengan sebutan malaikat kecil. Karena namaku înger (malaikat), jadi ia hanya tinggal menambahkan kata kecil di depannya. Aku selalu senang ketika Diavol memanggilku seperti itu, mengingatkanku pada Ayah.”

înger tersenyum kecil, lalu mulai membaca kalimat dalam buku lagi, tak menyadari tatapan mata Anhel yang benar-benar sendu melihatnya. Menikah dengan înger memang bukanlah keputusan yang membuatnya menyesal. Justru ia sangat bersyukur akan hal itu.

Aku menguncinya dalam spektrum warna yang sempit, namun akan menjadi luar biasa saat kau menemukan kombinasi yang benar terhadapnya. Mungkin benar jika ada beberapa warna yang sedang…”

înger terdiam sesaat, mencoba mengingat sesuatu dalam memorinya. Ia ingat sesuatu, namun itu hampir tak terjangkau oleh tangannya sampai ketika ia membulatkan matanya tiba-tiba.

“Primer! Anhel, yang Kakak maksud ialah warna primer!” înger menggenggam tangan Anhel, merasa senang karena ia mengingat sesuatu yang memang seharusnya ia ingat.

“Sayang, bagaimana kau tahu?” Kini justru Anhel yang bingung. Probabilitas kemungkinan menyatakan ada tujuh warna pelangi, dan tidak ada petunjuk yang menyebutkan ada tiga warna yang harus diketahui. Bagaimana bisa înger tahu jika bahkan kemungkinannya bisa mencapai angka ribuan?

“Kalimat ini membicarakan tentang kombinasi. Mengenai warna yang dikombinasikan mungkin menjadi sembilan puluh persen kemungkinan bahwa itu akan menjadi warna primer. Lagi pula, aku ingat dulu pernah menanyakan bagaimana bisa terdapat begitu banyak warna di dunia ini. Lalu Kakak menjawab, bahwa itulah kuasa dari ketiga warna primer.”

Sekarang Anhel mengerti. Pantas saja ia tidak terlalu mengerti dengan apa yang Diavol tulis. Pria itu menulis dengan hati dan ingatannya, tidak hanya dengan kecerdasannya merangkai kata. Akan menjadi percuma jika kau mengerti tentang sastra namun tak mengetahui apa yang Diavol pikirkan saat menulis semua ini.

Tapi sedetik kemudian, Anhel mulai mengerutkan keningnya. “Baiklah, anggap saja jawaban dari ini semua adalah tiga warna primer; merah, kuning, biru. Lalu apa hubungannya tiga warna itu dengan halaman kosong yang dimantrai ini?”

“Entah? Aku masih belum bisa mengetahui apa itu.” înger terdiam sesaat, hingga ia kembali memikirkan sesuatu yang tiba-tiba lewat di kepalanya. “Oh, Anhel, apakah kau punya buku Historical of Vampire?” tanya înger cukup antusias, membuat Anhel cukup kaget.

“Ada. Tentu,” jawabnya pelan, lalu menyihir buku yang semula telah ia kembalikan ke dalam rak kini berada di atas meja. înger dengan semangat membuka tiap lembarnya, hingga berhenti di sebuah halaman. Ia menunjukkannya pada Anhel.

Tuhan, ini adalah salah satu hal luar biasa yang Anhel percayai sebagai takdir. “Chapter 47 Section 9 Row 78, seingatku ini tentang sebuah cerita di mana darah selalu mendominasi tiap part bahkan endingnya.”

Anhel pun sangat ingat, penulis buku Historical of Vampire adalah Trantula Sanders, ayah dari Sheol. Namun saat itu dunia masih damai, jadilah pria itu masih dapat berpikir jernih untuk memulai peradaban vampir dengan baik dan cukup benar.

înger masih fokus membaca barisan kalimat itu, bahkan sampai keningnya berkerut karena agak sulit menemukan sebuah jerami dalam tumpukan jarum itu. înger menyentuh deret kalimat itu perlahan, merasakan sebuah sihir hitam kuat yang menyelubunginya.

Matanya berubah kosong dalam sekejap, agak aneh. “Anhel, kurasa kau tidak perlu mengetahui apa isi dari lembaran kosong itu,” ucap înger pelan. Ia langsung menutup buku itu dan hendak berdiri, namun Anhel menahan tangannya.

“Ada apa? Apa yang kau rasakan?” Anhel menatap dalam mata înger, mencari sesuatu di sana. Namun înger mengunci pikirannya. Kosong, tak ada apa pun.

Bersikeras terus melangkahkan kakinya, înger ingin kembali ke kamar dan memikirkan semuanya sendiri. “înger, ada apa?”

“Anhel, kumohon jangan pernah berusaha untuk membuka lembaran itu. Kumohon…” lirihnya pelan, sebelum akhirnya înger ambruk jika saja Anhel tak menahan tubuhnya. Ia pingsan, dengan wajah pucat yang tak wajar juga hawa tubuhnya yang berubah menjadi sangat dingin. Akhirnya Anhel menggendong înger menuju kamar mereka.

Ini semakin membingungkan. Mengapa înger melarangnya untuk mengetahui semua itu? Apa yang tertulis dalam lembaran itu sehingga Diavol harus merahasiakannya?

Mereka sampai dalam kamar dan Anhel segera menidurkan tubuh sang istri, menyelimutinya dengan nyaman. Ia duduk di pinggir ranjang, mengusap kepala înger dan menyingkirkan poni di keningnya. Tiba-tiba Anhel teringat, kapan terakhir kali înger mendapat asupan darah?

“Selalu saja tak ingin merepotkan,” keluh Anhel pelan, lalu ia menancapkan taringnya di nadi pergelangan tangannya, mengisap darahnya sendiri.

Setelah dirasa cukup, ia mendekatkan wajahnya pada înger, mencium bibir istrinya dan mengalirkan darahnya dalam mulut înger. Wanita itu selalu saja tak pernah meminta darahnya. Selalu Anhel yang menawarkan terlebih dahulu, atau akan seperti ini. Anhel memberikan darahnya pada înger diam-diam.

Selesai. Anhel beralih memainkan jemari înger, memikirkan sekali lagi segala hal yang terjadi malam ini. Segala hal aneh, dan apa yang ingin înger sembunyikan dari Anhel. Cukup aneh karena ini jauh di luar konteks hal-hal yang sewajarnya terjadi.

Ia menjatuhkan keningnya di atas tangan mereka yang masih tertaut satu sama lain. Memejamkan mata sejenak, Anhel berusaha memikirkan segala kemungkinan yang menyebabkan înger sangat menentang Anhel untuk mengetahui apa yang tertulis dalam lembaran terakhir itu.

“Darah… Ah, pasti ada hubungannya dengan para Theosis itu dan—” Anhel menghentikan gumamannya, mulai memakai otaknya yang sepertinya telah menemukan secerca cahaya.

Dengan cepat Anhel meraih coat hitamnya dengan panjang hampir menyentuh lutut. Mencium kening înger sekilas, dan setelahnya ia berjalan pelan menuju pintu, sebelum akhirnya menghilang begitu saja bersama dengan angin malam yang bahkan tak sanggup menahan kepergiannya.

Karena Anhel sudah masuk terlalu jauh dalam semua ini.

0o0

“Bagaimana keadaanmu? Sudah agak sehat? Apakah lukanya tidak bertambah parah?”

 

Hai. Aku baik-baik saja, dan sehat tentunya. Terima kasih telah bertanya.

“Eum, soal Cheonsa yang pingsan tadi itu…”

 

Iya, aku yang salah. Mungkin masih terlalu dini untuk membiarkan Cheonsa mengingat semuanya dengan telak. Seperti yang selalu ia katakan, bahwa ia hanyalah gadis enam belas tahun yang tersiksa menjalani hidupnya yang rumit seperti ini.

“Hei, jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Cheonsa yang mendengar semua itu dengan tidak sengaja. Tidak ada pihak yang bersalah di sini.”

 

Tentu saja ada. Aku yang bersalah karena membuatnya menjalani peluruhan. Jika saja aku tidak terlalu egois untuk melindunginya, mungkin ia tidak perlu mengalami reinkarnasi dan masih hidup dengan normal sampai saat ini. Masih menyimpan ingatannya dengan baik dan merawat Sehun layaknya seorang ibu yang—you know, normally, menjaga anaknya.

Membuatnya mati sama saja menyiksanya. Kau lihat, kan? Bahkan memorinya sendiri pun tengah mempermainkannya, belum lagi Luhan yang selalu berusaha mengacaukan segalanya. Aku lelah, dan tak bisa lagi membayangkan betapa Cheonsa merasakan hal yang lebih melelahkan dari ini semua.

“Bicara soal Sehun. Aku sangat tertarik dengan fakta bahwa anakmu itu sebenarnya tidak selamat dalam proses melahirkan, dan Luhan memanfaatkan kesempatan itu untuk, ya, you know.”

 

Apakah hal itu terdengar sangat menarik? Karena menurutku semua itu terasa sangat menyebalkan. Bagaimana rasanya jika kau harus melihat darah dagingmu sendiri membalut sebuah jiwa jahat di dalamnya, hanya untuk kepentingan pribadi iblis sialan itu.

Satu bulan terakhir dalam kehamilan Cheonsa itu aku berusaha untuk menemukan cara bagaimana bisa membuka lembaran ramalan yang Junmyeon tulis. Namun ternyata Cheonsa sudah mengetahui apa isi ramalan itu bahkan hanya dengan menyentuh lembaran buku Historical. Mungkin ada semacam sihir tertentu yang membuatnya dapat melihat itu semua.

Hingga aku berhasil memecahkan mantra itu, aku sungguh menyesal mengetaui segalanya. Aku benar-benar ambruk di tempat melihat barisan kalimat itu yang dengan angkuhnya melihatku, membuatku merasa bahwa lain kali aku harus benar-benar mendengarkan nasihat orang lain dan tidak terlalu keras kepala.

“Memangnya apa isi dari ramalan itu?”

 

Huh, haruskah kuceritakan di saat aku kini terbaring lemah di ranjang dan mengkhawatirkan Cheonsa yang bahkan sampai sekarang belum sadarkan diri?

“Hehe, apa salahnya bercerita sambil membunuh waktu? Aku akan dengan senang hati mendengarkan semuanya.”

 

Baiklah, kau memang pintar merayu. Aku terlalu malas mengingat setiap katanya, namun intinya adalah Junmyeon merasakan hawa kelam akan menyelimuti seseorang yang masih berada dalam ikatan darahnya.

Karena pada waktu itu hanya Cheonsa selaku adiknya yang memiliki ikatan darah dengannya, Junmyeon tidak merujuk perasaan itu pada Cheonsa. Namun setelah kami menikah dan setelahnya Cheonsa tengah mengandung, barulah Junmyeon memberiku sedikit kode yang saat itu belum kuketahui apa artinya.

Bahwa aku harus terus menjaga Cheonsa dan calon anak kami. Bahwa aku hampir tidak boleh meninggalkannya sendirian. Namun karena masih belum mengerti, aku dengan tenang meninggalkan Cheonsa di istana sendiri saat melaksanakan tugas kerajaan bersama dengan pengawal lain.

Dan ternyata aku baru mengetahui bahwa Luhan beberapa kali datang menemui Cheonsa. Ia tak pernah mau menceritakan padaku apa yang Luhan lakukan saat menemuinya. Aku berusaha membaca pikirannya, namun selalu kosong. Aku merutuki bahwa Cheonsa adalah Ergasist dari Luhan sehingga iblis itu bisa dengan mudah mengatur hidup Cheonsa.

Luhan membatasi pikiran dan memori Cheonsa tentang segala yang ia lakukan saat bersama Cheonsa, sehingga bagaimanapun aku mencoba membaca pikirannya, nihil selalu menjadi hasilnya.

“Dan kau bilang tadi berhasil memecahkan teka-teki tentang mantra itu? Bagaimana caranya?”

 

Aku selalu bersyukur karena memiliki ingatan fotografi yang kuat. Aku hanya perlu menemui Jongdae karena kuingat namanya tertulis dalam sastra milik Junmyeon, dan dengan senang hati Jinyoung akan membantuku berkat bujukan dari Jongdae.

Lalu setelah berhasil mendapatkan kunci itu, ternyata kami tak bisa bekerja sendiri. Jinyoung berusaha meyakinkan Kris untuk ikut andil dalam semua ini, dengan dalih mempertaruhkan harga diri sebagai seorang Theosis. Juga, kami kedatangan seorang tamu cantik yang dengan senang hati ikut membantu.

Sesuai dengan buku itu. Karena Junmyeon menguncinya dalam spektrum warna yang sempit, namun ini semua menjadi hal yang luar biasa saat kami menemukan kombinasi yang benar terhadapnya. Katakan hai pada kilauan mata merah, biru dan kuning keemasan yang saling menatap. Oh, dan jangan lupakan darah yang bersatu untuk dapat membuka gerbang menuju ramalan petaka itu.

Karena kunci dari semua keganjilan ini ialah tentang bayi tak berdosa yang harus merasakan kematian yang tragis, dan rasa sakit yang tak seharusnya ia alami karena kesalahan fatal ayahnya.

TBC



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles