|| Title : The Conqueror [Section 1] || Author : Momochi ||
|| Cast : Kim Jongin [EXO-K] and Song Airi [OC] ||
|| Support Cast : Other EXO members, Nattasha Kim, and Airi’s Friends ||
||Genre : Family, Romance, and Friendship || Rating : G ||
|| Length : Series ||
For soundtrack, please download here!
![351288969]()
.
.
Bunyi sebuah alarm clock menyadarkan seorang gadis yang masih berkutat dengan mimpinya. Ketika gadis itu terbangun di pagi hari, cahaya surya menyusup melalui jendela-jendela tinggi dan menyebar ke lantai kamarnya yang tersusun dari kayu pinus. Di bawah cahaya itu, butiran debu berputar-putar dalam tarian yang temponya cepat. Si gadis menggerakkan tubuhnya ke posisi duduk, kemudian menggosok-gosokan kedua tangan ke matanya, berusaha untuk menyesuaikan penglihatan.
Ia pun menyadari bahwa kamar ini begitu asing dilihatnya. Tentu saja, karena baru tiga hari yang lalu, ia bersama kedua kakaknya memutuskan pindah ke Seoul, Korea Selatan.
Gadis bernama Song Airi ini melihat benda-benda disekeliling kamar yang menjadi miliknya. Bibirnya tersenyum kecil. Siapapun yang mendekorasi kamarnya, orang itu telah melakukannya dengan memperhatikan calon penghuninya. Sebuah kamar khas anak gadis remaja dengan furniture putih dan wallpaper bercorak polkadot. Di meja rias berwarna putih, terdapat laci-laci bergambar bunga. Dan sebuah meja yang anggun, dengan kaki-kaki melengkung dirapatkan ke dinding di samping tempat tidur.
Airi meregangkan badan dan merasakan seprai menjadi kusut dibawah kulitnya. Suara kesibukkan saudaranya di dapur membuatnya beranjak dari ranjang empuk. Ia membungkus tubuhnya dengan selendang kasmir agar tetap hangat, dan turun ke lantai bawah tanpa alas kaki. Di dapur, gadis pemilik kulit porselen ini mencium aroma roti panggang dan kopi yang menggugah selera. Gadis itu menekuk jari kaki, merasakan lembutnya lantai kayu. Ia bahkan tidak perduli ketika dalam kondisi separuh sadar, jari kakinya membentur lemari es. Ia meringis kecil ketika merasakan rasa nyeri itu.
“Good afternoon, Airi.” Olok kakak perempuannya, Natt—sambil menyodorkan secangkir teh yang masih mengepul. Airi memegangnya terlalu lama sebelum ia letakkan di atas meja, sehingga jarinya kepanasan.
Airi menyesap tehnya perlahan dan tersenyum kepada kakaknya. Ekspresi wajah gadis itu jernih. Kemudian Natt mengambil sekotak sereal dan mempelajari labelnya. “Kau mau apa? Roti panggang atau sereal madu?”
“Aku tidak mau sereal.” Jawab Airi sambil mengernyitkan hidung.
Tak lama, datang kakak laki-lakinya. Kris. Ia duduk di samping meja, mengolesi roti dengan mentega. Airi mengawasinya memotong roti menjadi kotak-kotak kecil, membaurkannya di atas piring, kemudian menyusunnya seperti potongan-potongan jigsaw. Airi beranjak untuk duduk disebelahnya, menghirup aroma freesia yang sepertinya selalu tercium dari tubuhnya.
“You look a little pale,” ucap Kris dengan ketenangan seperti biasa. Pria dengan tinggi hampir dua meter ini menawarkan diri sendiri untuk berperan sebagai ayah dalam keluarga kecil mereka.
“Aku baik-baik saja,” jawab gadis itu dengan tenang dan ragu-ragu sebelum menambahkan. “Cuma mimpi buruk.” Airi melihat kedua kakaknya sedikit khawatir dan saling berpandangan dengan sorot mata prihatin.
Belakangan ini, Airi sering mengalami mimpi buruk. Itu berawal dari peristiwa yang terjadi pada keluarga mereka satu tahun lalu. Itulah yang menjadi alasan kedua kakaknya memutuskan membawa Airi ke dalam lingkungan baru. Berfikir bahwa itu bisa membuat adiknya melupakan kejadian kelam dirumah sebelumnya.
Kris beranjak dari tempatnya untuk mengamati wajah Airi. Ia mengangkat dagu gadis kecil itu dengan ujung jarinya. Airi bisa melihat kerutan khawatir didahi Kris, sambil membayangi ketampanannya.
“Forget’em, Airi.” Sarannya dengan nada bicara seorang kakak yang sekarang sudah tidak asing lagi bagi Airi. “Usahakan jangan lagi mengingat mereka. Meskipun itu sulit bagimu, ingatlah bahwa kami akan selalu melindungimu, Airi. Tenang, kita sudah bukan di Canada lagi. Mereka tidak akan menemukan kita disini…” melihat ekspresi Airi yang menegang, Kris langsung menghentikan ucapannya. Dan nada suaranya menjadi lebih ringan sekarang ketika ia melanjutkan kembali, “Well, it’s school time.”
.
.
Hari itu mereka akan memulai kegiatan sekolah. Airi sebagai siswi di Hannyong High School, sedangkan Kris menjadi mahasiswa di KyungHee Cyber University. Natt tidak terlalu menyukai sekolah, karena sejak dulu mereka mengambil program Home Schooling. Jadi, mereka sepakat Natt untuk bekerja.
Mereka memang dilahirkan dari keluarga yang berada. Tapi, menyangkut suatu masalah yang membuat mereka kehilangan semua hartanya. Beruntung, Kris berhasil menjual mobil mewahnya dan membeli rumah di Korea. Walaupun sederhana, tetapi setidaknya aman bagi Airi. Itulah yang dipikirkan Kris dan Natt.
“Oh, ini akan sangat menyenangkan!” kata Airi yang mungkin terlalu antusias.
“Yeah, it must be fun. But remember, be careful. okay?” kata Kris mengingat.
Airi tersenyum mengangguk.
“Pada dasarnya, Kami membawamu kesini untuk pemulihan diri,” Kata Natt dengan nada membujuk. “Jangan khawatir tentang Airi, Kris. Ia akan baik-baik saja.”
“Prioritas utama kita adalah membuatmu bahagia dan aman. Singkatnya, Kita disini bukan untuk bermain-main atau.. berpacaran.” Lanjut Kris. Sekarang Airi merasa tersinggung. Adik kecilnya itu memang sangat mudah dibual.
“Baiklah, “ Kata Airi jengkel. “Tapi setidaknya aku masih boleh menyukai seorang guru tampan di sekolahku, kan?”
Kris melotot. Airi menunggunya menangkap lelucon itu, tetapi mata Kris tetap serius. Airi menghela nafas. Kadang-kadang Kris tidak memiliki selera humor sama sekali. Meski begitu Airi sangat menyayanginya.
“Jangan cemas, aku akan baik-baik saja. I promise.”
“Pengendalian diri adalah yang terpenting.” Kata Natt.
Airi mengela nafas lagi. Ia tahu, dirinyalah satu-satunya yang harus cemas soal pengendalian diri. Kris dan Natt mempunyai kepribadian yang lebih mantap jika dibandingkan dengannya. Boleh jadi, mereka berdua cocok mendapat julukan Raja dan Ratu Es. Tidak ada yang membuat mereka pusing atau resah. Dan yang terpenting, tidak ada yang membuat mereka marah. Mereka seperti actor kawakan yang sudah hafal semua dialog. Berbeda dengan Airi. Kehidupan lamanyalah yang membuatnya sering menutup diri dan mudah percaya kepada orang lain.
Namun saat ini, Airi merasa seperti burung yang dilepas dari sangkarnya. Kemudian terbang jauh menembus awan putih dan jatuh ditempat yang tak kasat mata. Ia merasa bebas.
Natt beranjak dari tempatnya untuk mengambilkan seragam Airi dan setelan kemeja dengan jeans belel hitam untuk Kris. Airi bersimpati ketika melihat Kris memakai kemeja keemasan yang membungkus dada bidanganya itu. Busana itu benar-benar membuat penampilannya memukau. Kris bisa diibaratkan patung klasik berjalan. Tubuhnya benar-benar proporsional. Tiap ototnya seolah-olah pahatan marmer paling murni. Rambutnya yang melebihi telinga memiliki warna seperti walnut. Alisnya tegas dan hidungnya lurus seperti anak panah.
Di lain pihak, Natt atau lebih lengkapnya Nattasha Nauljam adalah kakak yang paling bijak dan paling tua. Meskipun dari penampilannya ia terlihat seperti orang berusia dua puluh tahun. Natt adalah makhluk paling lembut yang pernah Airi lihat. Pagi ini Natt mengenakan gaun putih yang melambai dan sandal berwarna kecoklatan.
Sedangkan Airi. Ia diciptakan bertubuh kecil, tidak terlalu tinggi, dengan wajah berbentuk hati, telinga bak peri dan kulit seputih susu. Namun di lain sisi, Airi memiliki semangat yang tak terlihat di wajah kedua kakaknya. Meskipun dulunya Airi lebih mendekap, ia tidak bisa terlihat dingin seperti Kris dan Natt. Ketenangan di wajah mereka nyaris tidak bisa diusik, meskipun kejadian-kejadian dramatis berlangsung di dekat mereka. Sebaliknya, Airi tampak penuh rasa ingin tahu, sekalipun ia berusaha keras terlihat dewasa.
Natt mendekati Airi untuk mengecek apakah adik kecilnya itu mengenakan seragam dengan benar.
Airi memerhatikan seragam sekolahnya yang cukup trendi. Warnanya putih pucat. Ada lipatan kecil di bagian depannya dan kerah putih ala Peter Pan. Selain itu Airi juga harus memakai kaus kaki satun selutut, kemudian sepatu hitam yang ada gespernya. Dan blazer biru tua dengan lambang sekolah tersulam benang warna keemasan di bagian saku dada.
Natt membawakan dua tali bergaris dan sebuah topi untuk Airi.
“Aku yakin kamu tidak menyukai blazernya.” Kata Natt sambil menguncirkan rambut kastanye Airi.
“Ternyata kau bisa membaca pikiranku.” Kekeh Airi. Benar, blazer itu terlalu kaku bagi gadis ini. Ia akan lebih leluasa jika hanya mengenakan kemejanya saja. Walaupun gadis itu sadar bahwa di hari pertama, setidaknya harus menunjukkan sikap baik.
“Tali ini untuk apa?” Tanya Airi.
“Untuk membuatmu terlihat berbeda dengan siswi lainnya.” Natt tersenyum sambil melingkarkan dua tali tersebut melewati bahu dan disangkutkan pada rok kebituan itu.
Airi melihat pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat seperti gadis remaja pada umumnya. Memakai seragam sekolah dan membawa tas berisi buku-buku. Tidak seperti kegiatan belajarnya semasa di Canada. Ia masih belum percaya bahwa memulai hari pertama sekolah bisa segugup ini.
‘Bagaimana jika aku tidak memiliki teman disana?’ itulah yang dipikirkan gadis berumur 17 tahun ini.
Mulanya ia menganggap belajar dan bersosialisasi langsung ditengah lapangan membuatnya bahagia dan tidak akan menjadi si gadis blasteran yang menyedihkan lagi. Tetapi, Kris pernah mengatakan padanya bahwa menghadapi berpuluh-puluh bahkan beratus pikiran orang yang berbeda itu tak semudah seperti halnya ia meminta mobil Ferrari California sebagai hadiah ulang tahunnya. Terkadang Airi merasa kesal dan marah. Ia bisa mendapatkan apapun itu dengan kasih sayang keluarganya yang begitu besar. Sayangnya, bagi Airi itu belum cukup. Ia merasa iri pada gadis diluar sana yang tanpa kekangan bisa melakukan hal menyenangkan seperti membuat snowman bersama, mengerjakan PR dengan teman-teman, tertawa dan juga menangis bersama.
“Nah,” Natt menyadarkan lamunan Airi, ia tersenyum puas. “Dari gadis rumahan, menjadi siswi sekolah.”
Airi berhambur memeluk Natt, “Aku sangat gugup, Natt. Aku tidak terlalu yakin tentang hal ini.” katanya, meskipun Airi sadar betapa ia sangat menginginkan ini. “Bagaimana kalau tidak ada yang mau menjadi temanku?”
“Hei, dear. Just be yourself.” Kris muncul dan berdiri diambang pintu dengan senyuman kecilnya. “Don’t be scared.” Lanjutnya yang lebih terdengar seperti bisikan.
Senyum mengembang dari bibir mungil Airi. Kris dan Natt adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan untuknya. Mereka bertiga memang tidak bersaudara kandung. Ketiganya lahir dalam satu ayah, namun dengan ibu yang berbeda. Ibu Kris berkebangsaan China, Ibu Natt berasal dari Thailand, sedangkan Ibu Airi lahir di Jepang yang menyandang sebagai istri ketiga dari seorang pria berdarah Canada asli.
Walau begitu, Airi adalah malaikat termanis yang membawa jiwa terang bagi Kris dan Natt. Mereka begitu menyayanginya sebagai adik kecil yang tak berdosa.
.
.
Kris dan Natt mengantar Airi terlebih dulu. Mereka berdiri di luar gerbang Hannyong High School, mengamati siswa-siswi yang berdatangan. Airi menarik nafas dan berusaha menenangkan kupu-kupu yang berputar-putar dalam perutnya. Sensasi itu membuatnya tidak nyaman sekaligus membuat jantungnya berdebar-debar tak karuan. Ia masih harus belajar pengendalian diri dan bagaimana cara bersosialisasi dengan murid-murid lain nanti.
Airi tidak merasa lebih siap dibandingkan siapapun dalam menghadapi ketegangan memulai sesuatu yang baru. Lagi-lagi ia menarik nafas dalam-dalam. Kris melihatnya itu suatu kelucuan dari adik kecilnya.
Para siswa datang berkelompok-kelompok. Masing-masing terdiri dari tiga atau empat orang. Airi melihat siswi lainnya memakai pakaian yang sama dengannya, hanya saja kebanyakan dari mereka memakasi blazer kaku biru tua itu. Sedangkan yang laki-laki mengenakan celana panjang abu-abu tua, kemeja putih dengan balutan jas biru dan dasi berdasar merah yang bergaris-garis putih.
Sekalipun begitu, Airi dengan mudah membedakan kelompok social walaupun dalam balutan seragam.
Kelompok murid akademis adalah yang paling mudah dikenali. Seragam mereka polos, tanpa embel-embel apapun, dan mereka mengenakan tas ransel resmi dari sekolah. Cara berjalan mereka juga terlihat cenderung lebih mirip kaum biarawan.
Airi memiringkan kepalanya. Ia melihat sekelompok murid laki-laki dengan kemeja dikeluarkan, dasi terikat tidak terlalu kencang, dan mengenakan sepatu kets, sedang berhela-hela di bawah naungan pohon palen sambil meminum susu soda atau sesuatu yang berwarna kuning. Mereka tidak terburu-buru masuk ke dalam gedung, tetapi saling bercanda, tertawa terbahak-bahak dan saling meninju.
“Jauhi para berandalan itu.” mata Kris melirik ke arah sekelompok siswa yang sedang Airi perhatikan. Yang dikata hanya dapat tersenyum dengan perhatian kakaknya.
Airi kembali melihat kelompok murid yang terdiri dari anak lelaki berambut sebahu, mata mereka sebagian ditutupi poni. Mereka membawa kotak musik dan di tangan mereka ada notasi musik yang ditulis dari pena hitam. Mereka yang merasa berjiwa seni melengkapi seragam dengan aksesoris seperti topi, beret atau syal warna-warni dan beberapa pin yang menempel didepan seragamnya.
“Apa kalian memasukkanku ke dalam bagian seni?” Airi memandang heran kedua kakaknya secara bergantian. Jika dilihat dari hiasan yang Natt berikan, Airi merasa seperti masuk dalam kelompok murid-murid seni.
“Bukankah kau menyukai gitar? Kukira kau akan senang bertemu banyak pemusik disana.” Kata Natt dengan nada membujuk dan Kris menyetujuinya.
“Ya, kau benar. Aku akan mendapat teman seorang pemusik.” Raut wajah Airi nampak sedikit lega, walau rasa cemasnya masih terbendung jelas.
Sebenarnya Kris dan Natt masih ingin mengantar Airi masuk, namun mereka teringat waktu terus berjalan dan mereka harus berada dalam kegiatannya masing-masing dengan tepat waktu. Saat di Canada, mereka diajarkan menjadi seorang yang disiplin dan selalu berpegang teguh. Soal bahasa, beruntung, kediaman mereka mengharuskan setiap orangnya bisa menguasai minimal tiga bahasa.
Jadi, Airi tidak akan kesulitan berbicara dengan orang-orang disini karena ia sangat baik dalam bahasa dan pelafalan orang Korea.
“We have to go, I’ll pick you later.” Kris mengusap kepala Airi lembut.
“Jangan gugup, oke?” Natt menyerong lalu mencium kening adiknya sebelum melangkahkan kaki. Airi mengangguk.
“Kalian hati-hati ya!” kata Airi.
“Yeah, you too.” Kris dan Natt melambai seperti orang tua yang bangga sekaligus cemas melepas putrinya pada hari pertama sekolah. Setelah itu, mereka benar-benar masuk kedalam mobil yang dibilang cukup sederhana. Airi mengawasi mereka sampai Kris melajukan mobilnya hingga hilang dari pekarangan Hannyong High School.
Airi masih terus berdiri dan tidak bergeser dari posisinya diluar gerbang depan. Sampai seorang siswa melewatinya, lalu menoleh dengan rasa penasaran. Ia mengenakan topi baseball yang dipasang terbalik. Celana sekolahnya melorot di pinggul hingga merek celana dalamnya terpampang jelas.
“Oke, aku benar-benar gugup sekarang.” Airi mengambil nafas lebih dalam kali ini. “Song Airi, Fighting!”
.
.
Airi tidak menyangka akan mengundang banyak perhatian ketika ia memasuki koridor sekolah. Itu membuatnya semakin kehilangan rasa percaya dirinya. Banyak murid yang terheran menatapnya, atau menyingkir saat Airi berjalan. Seolah-olah mereka baru saja mendapat kunjungan dari keluarga kerajaan. Airi berusaha tidak melakukan kontak mata pada siapapun walau sebenanrnya ia ingin menyapa dan tersenyum. Ia hanya terus berjalan menuju kantor administrasi.
Ketika sampai, Airi melihat melalui kaca, sebuah kantor dengan kipas angin dan rak-rak tinggi yang hampir mencapai langit-langit. Seorang wanita bertubuh ramping-pendek, mengenakan cardigan merah muda dan menyebarkan aura sok penting datang menghampirinya.
“Annyeonghaseyo,” katanya ceria, “Namaku Lee Jaekyung. Aku petugas pendaftaran. Kau pasti Airi, benar?”
Airi membungkuk hormat sebelum berkata, “Ne, Aku Song Airi.” Katanya berusaha menutupi kegugupan.
Jaekyung muncul dari balik dinding kaca kecil dan mengempit map yang dibawanya untuk menjabat tangan Airi. “Selamat datang di Hannyong High School! Aku sudah menempatkan loker dilantai dua untukmu. Kita bisa kesana sekarang.” Jaekyung menuntun langkah Airi untuk mengikutinya sambil terus berbicara memperkenalkan setiap detail dari sekolah ini pada Airi.
Mereka bergegas keluar melewati lapangan basket, tempat sekelompok siswa berkeringat men-dribble bola ke aspal lalu melemparkannya ke ring sambil melompat.
“Akan ada pertandingan besar bulan ini,” kata Jaekyung.
Selagi Jaekyung berceloteh, Airi memerhatikan kumpulan siswa anak basket itu. Ia kembali teringat dengan Canada, disana ia mempunyai seorang teman, atau lebih tepatnya seorang anak dari salah satu pengurus dikediamannya. Mereka cukup dekat, dan Airi tersenyum karena temannya itu sangat menyukai permainan bola basket.
Kemudian Airi merasa ada beberapa murid dibelakangnya. Ia menoleh dan melihat para siswi sedang tersenyum serta berteriak-teriak histeris melihat sekumpulan anak basket itu.
“Apa yang mereka lakukan?” tanyanya.
“Oh, gadis remaja yang terpesona akan ketampanan pangeran-pangeran sekolah,” kata Jaekyung dengan nada yang terdengar seperti bahwa pemandangan ini sudah tidak asing lagi baginya.
Airi mendelik heran. “Apa tidak apa jika dibiarkan saja?”
Jaekyung menatap Airi yang dalam pikirannya, bahwa gadis ini begitu polos atau memang pura-pura bodoh. “Mereka anggota cheers yang akan menjadi penyorak tim basket kita.”
“Maksutmu cheerleaders?”
“Memang apalagi? Hm, Bisa kita lanjutkan perjalanannya?”
“Ah-ne.”
Di sayap utama, lantai koridor dilapisi karpet berwarna merah anggur dan ada pintu kayu dengan panel kaca yang memperlihatkan ruangan kelas yang terkesan antik. Atap-atapnya menjulang tinggi dan masih ada hiasan lampu-lampu kuno yang tergantung di dinding. Pemandangan ini kontras sekali dengan loker-loker yang penuh dengan graffiti dan aroma parfum yang agak memuakkan bercampur dengan bahan pembersih.
Jaekung membawa Airi berkeliling sambil menunjukkan sejumlah fasilitas-fasilitas utama. Misalnya, ruang multimedia, blok sains, ruang pertemuan, ruang latihan, lapangan olahraga, dan pusat pertunjukkan seni.
Jaekyung menyudahi tour sesaatnya ini. Tampak sekali bahwa waktu sangat berharga baginya, karena setelah menunjukkan loker Airi , Jaekyung memberi isyarat ke arah ruang kesehatan dan menyuruhnya agar tidak sungkan jika ia punya pertanyaan.
Tak lama kemudian bel berbunyi, menandakan jam sekolah telah dimulai. Mendadak Airi mendapati dirinya berdiri sendirian di koridor yang penuh dengan orang asing. Mereka berdesak-desakkan melewatinya untuk masuk ke kelas masing-masing. Sejenak Airi merasa kecil dan tak kasat mata. Seolah-olah ia bukan bagian dari yang lainnya. Kemudian gadis itu menatap jadwal mata pelajarannya. Angka dan huruf-huruf itu nampak jungkir-balik baginya, seolah ditulis dalam bahasa asing.
“JMFISK10? Apa maksutnya ini?” kata Airi kelewat bingung. Terlintas dipikirannya untuk berbalik dan menyusup diantara kerumunan lalu segera pulang kerumahnya.
“Permisi,” panggil Airi pada seorang siswi dengan rambut sebahu yang sebagian ia ikat menjadi dua bagian. Gadis itu menghentikkan langkahnya dan menatap Airi penuh minat. “Aku anak baru, kau tahu apa artinya ini?”
“Itu artinya kau harus mengikuti pelajaran fisika bersama JoonMyun-ssaem di ruang K-10,” katanya. “ruangannya di ujung sana. Aku akan mengantarmu, kebetulan kelas kita sama.”
“Kamsahamnida,” kata Airi dengan penuh perasaan lega yang kentara.
“Apa kau bebas setelah pelajaran JoonMyun-ssaem? aku bisa membawamu berkeliling.”
“ Bebas?” Tanya Airi kebingungan.
“Ya, bebas—maksutku waktu kosong.” Gadis itu menunjukkan mimik muka yang menurut Airi sangat lucu. “Memang apa istilahnya di sekolahmu yang lama?” raut wajahnya berubah ketika ia menyadari kemungkinan jawaban yang mengusik pikirannya. “Atau kau tidak bersekolah sebelum ini?”
“Bukan. Hmm, aku mengikuti program Home Schooling.” jawab Airi sambil tertawa gugup.
“Oh, itu pasti tidak menyenangkan. Omong-omong aku Jung Nara.”
Airi tersenyum padanya. Gadis itu memiliki wajah yang cantik, dengan kulit berkilau, wajah bulat, dan mata bersinar. Pipinya yang bersemu merah muda mengingatkan Airi kepada gadis kecil yang bekerja pada keluarganya di Canada.
“Song Airi,” katanya sambil tersenyum. “Senang berkenalan denganmu.”
Dengan sabar Nara menunggu sementara Airi mengaduk-aduk isi loker untuk menemukan buku teks fisika, buku catatan, dan sejumlah pulpen. Sebagian dirinya ingin memanggil Kris dan memintanya membawa pulang. Airi nyaris bisa merasakan tangan besar Kris memeluk kuat tubuhnya dan melindunginya dari apapun. Kris bisa membuatnya tenang dalam segala situasi. Tetapi jelas saja itu tidak mungkin, ia bahkan tidak tahu dimana Kyunghee Cyber University itu berada.
Nara membuka pintu kelas dan merekapun masuk. Tentu saja, mereka terlambat.
JoonMyun-ssaem adalah pria berkharisma yang memiliki wajah tampan bak malaikat. Pria itu mengenakan sweater berwarna cerah secerah wajahnya. Ketika Airi dan Nara masuk, ia sedang berada di tengah-tengah kelas, berusaha menjelaskan materi yang sudah ditulisnya di papan tulis. Sementara itu, murid-murid lainnya atau para siswi menatapnya dengan pandangan berbinar. Jelas sekali mereka tidak memperhatikan materinya melainkan pesona seorang guru fisika itu.
“Selamat pagi Jung Nara,” katanya pada Nara, yang cepat-cepat berjalan ke belakang kelas. Karena telah membaca daftar siswa, JoonMyun mengenali Airi.
“Terlambat di hari pertama, Song Airi,” katanya, lalu mendecakkan lidah dan mengangkat alis. “Bukan permulaan yang bagus. Cepat duduk.”
Tiba-tiba saja JoonMyun teringat bahwa ia belum memperkenalkan gadis itu. “Anak-anak, ini Song Airi. Dia anak baru di Hannyong High School, jadi tolong usahakan untuk membuatnya merasa diterima.”
Hampir setiap pasang mata tertuju pada Airi, saat ia menempati kursi terakhir yang tersedia. Letaknya di belakang, di sebelah Nara. Ketika JoonMyun-ssaem berhenti bicara dan menyuruh mereka mengerjakan beberapa soal, Airi bisa mengamatinya lebih jelas. JoonMyun terlalu muda sebagai guru tetap disini. Sebelumnya, Airi tidak pernah memiliki guru yang umurnya dibawah 35 tahun di Canada.
“Song Airi, nama yang cantik.” Kata Nara.
Airi tersenyum rikuh, tidak tahu pasti bagaimana memberi jawaban kepada seseorang yang baru saja dikenal.
“Dari mana asalmu?”
“Kami tinggal di luar negri,” Jawabnya. “Orangtua kami masih disana.”
“Jinjja? Dimana?” kata Nara, seperti terkesan.
Airi nampak ragu-ragu. “Di beberapa tempat, mereka sering berpindah-pindah.”
“Apa pekerjaan mereka?” Nara terlihat sangat ingin tahu.
“Mereka diplomat. Aku datang dengan kedua kakakku, salah satunya menjadi mahasiswa di Universitas KyungHee.” Airi berusaha menjejalinya dengan informasi sebanyak mungkin sekaligus membungkam pertanyaannya. Aslinya, ia hanya gugup. Belum terbiasa mengobrol dengan seorang gadis seumurannya diluar rumah.
“Keren!” hanya itu komentar Nara. “Aku belum pernah ke luar negeri , pasti menyenangkan.”
Sebelum mereka meneruskan perbincangan di tengah pelajaran, JoonMyun-ssaem berdeham dan kemudian tersenyum. Wajahnya seolah menyuruh kedua murid ini untuk tidak mengobrol dalam pelajaran. Namun yang terlihat malah seperti sedang membujuk seorang balita agar berhenti menangis.
.
.
Setelah melewati kelas fisika, Airi dan Nara sama-sama melewati kelas sejarah yang begitu membosankan bagi Nara. Disana tidak ada kejadian yang terdengar special, seperti sebelumnya. Mereka kembali terlambat dengan hal yang sama. Nara menunggu Airi mengobrak-abrik loker mencari buku sejarah yang tebalnya minta ampun.
Setelah itu bel berbunyi, menandakan sudah waktunya istirahat. Airi sempat bingung ketika Nara menariknya untuk bertemu dengan sahabatnya di kantin. Mereka berjalan melewati kerumunan murid yang membuat Airi merasa tidak nyaman. Suasana kantin sangat ramai itu membuat tubuhnya menegang dan lagi-lagi merasa gugup.
Airi memperhatikan dari cara kelompok akademis memasukkan makanannya dengan tenang dan rapi. Ada pula yang dibarengi dengan sebuah buku dengan sampul yang tebal. Mereka seperti risih dengan kebisingan murid-murid lain. Terlihat jelas mereka lebih menyukai bersahabat dengan perpustakan daripada suasana kantin yang begitu riuh.
Berbeda dengan kelompok seni, mereka membawa bermacam alat musik ke kantin dan membuat pertunjukkan singkat demi meramaikan waktu istirahat mereka yang begitu berharga. Dan kelompok anak-anak nakal, membuat petugas kebersihan akan membutuhkan tenaga ekstra karena banyak sampah berserakan yang digunakan alat lempar melempar oleh mereka.
“Nara-ssi, toilet ada di sebelah mana?” Tanya Airi. Ia membutuhkan ruang sendiri untuk menenangkan dirinya.
“Ada dijung sana, setelah lorong itu kau belok kiri. Mau kuantar?”
Airi menelan salivanya. Lorong itu berada di dekat anak kelompok seni. Dan itu artinya ia harus melewati kelompok anak nakal. Hebat.
“Ah , tidak usah. Aku yakin sahabatmu akan mencari jika tidak menemukanmu disini.” katanya. Nara mengangguk tersenyum.
“Jangan lama-lama ya.” Ucap Nara.
Airi berjalan terburu-buru. Ia menyingkir apabila seseorang tak sengaja menyenggolnya. Kantin ini lumayan besar sehingga Airi merasa lorong menuju toilet begitu jauh baginya. Setiap langkahnya ia terus memikirkan Kris, bagaimana jika Kris juga bersekolah disini? Ia pasti tidak perlu susah payah menyembunyikan kegugupan. Ia akan merasa terlindungi dan aman dengan adanya Kris disampingnya.
Seorang murid seni mengangkat alisnya dan tersenyum pada Airi. Membuatnya sedikit canggung. Untung saja lorong itu tak terlalu panjang sehingga dengan tinggal belok kiri seperti petunjuk Nara, ia sudah sampai didepan pintu toilet wanita.
Setelah membuka pintu, ia melihat banyak siswi sedang berkaca didalam. Ada pula yang berbaris didepan pintu toilet dalam yang berarti toilet sedang penuh. Ini membuat Airi mengurungkan niatnya untuk masuk. Untung saja tidak ada yang menyadari kedatangannya tadi.
Airi merasa sedikit aneh. Ia tidak pernah mengalami ini, mengantri untuk menggunakan toilet. Tapi baginya itu menjadi sesuatu yang menarik.
Bukannya berjalan ke lorong yang dilewati sebelumnya, Airi mengambil jalan lurus dan berbelok ke kanan. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ada panah yang terdapat tulisan ‘Men’s Locker Room’. Ia hanya terus saja memikirkan Kris dan Natt. Gadis pemilik mata indah ini merutuki dirinya yang terlalu bergantung pada kedua kakaknya itu. Bagaimanapun, Airi mengerti Kris dan Natt juga memiliki urusan masing-masing. Ia sudah sering membuat kakaknya merasa khawatir manakala setiap kali bertemu dengan orang-orang baru.
Langkahnya terhenti ketika menyadari lorong ini bukanlah jalan menuju kantin seperti sebelumnya. Airi kebingungan, ia menengok ke kanan-kiri menunggu seorang yang bisa ditanyanya. Tapi lorong ini begitu sepi, tidak ada murid yang lewat. Seolah ia baru saja tersesat di suatu labirin besar. Airi menunduk dan bersandar pada dinding, memejamkan matanya berusaha menenangkan diri.
“Kau tersesat?”
Suara yang muncul di dekat Airi itu mengagetkannya. Ia mendongak dan menoleh, ternyata ada seorang siswa yang sedang bersandar ke dinding di depan ruang ganti pria. Meskipun siswa itu kelihatan formal dengan kemeja yang dikancingkan, dasi rapi, dan blazer sekolah, akan tetapi tidak ada yang bisa melupakan wajah atau mata coklatnya yang bening.
“Aku baik-baik saja, terima kasih.” Jawab Airi, cepat cepat berbalik. Gadis itu berharap dengan sikapnya yang membalikkan badan, sekalipun terkesan kasar, bisa menghentikan pembicaran ini. Airi merasa tertangkap basah dalam sedikit ketakutan, dan sesuatu pada diri siswa itu membuat Airi tidak yakin harus melihat kemana atau melakukan apa.
“Kau tahu ini adalah lorong untuk para siswa,” lanjut pria itu.
Airi terpaksa menoleh kembali dan mengakui kehadirannya. Ia berusaha menunjukkan keengganannya terlibat dalam percakapan, tetapi ketika ia beradu pandang dengan pria itu, terjadi sesuatu yang tak terduga. Tiba-tiba saja Airi merasakan reaksi fisik yang membuat perutnya melilit. Seolah-olah dunia runtuh dan ia harus berpegangan supaya tidak roboh.
Pastinya Airi kelihatan seperti orang yang mau pingsan, karena pria itu langsung mengulurkan tangan untuk menangkapnya. Airi melihat gelang kulit dipergelangan tangan pria itu. Satu-satunya benda yang ia kenakan di luar seragam sekolahnya yang resmi.
Airi memerhatikan pria itu. Ia memiliki ketampanan seorang actor. Tapi tidak ada kesan dibuat-buat. Mulutnya melengkung membentuk separuh senyuman, dan matanya yang bening memiliki kedalaman yang membuat Airi terpanah. Tubuhnya tinggi ramping, tapi di balik seragamnya, Airi bisa menangkap bahunya bak perenang. Pria itu menatap Airi seolah ingin menolong tapi tidak tahu caranya. Dan saat membalas tatapannya, Airi bisa menyadari bahwa daya tariknya sangat ditunjang oleh auranya yang tenang. Ini terlihat dari bahasa tubuhnya dan kulitnya yang mulus.
Gadis itu berharap bisa menemukan kalimat ketus untuk menandingi kepercayaan dirinya. Tetapi itu tidak berhasil.
“Gwenchanna?” kata si pria.
“Hanya sedikit pusing saja,” gumam Airi. Pria itu mendekat dengan raut wajahnya yang masih prihatin.
“Kau ingin kuantar ke ruang kesehatan?” tawarnya. Airi menggeleng cepat. Ia kelewat gugup berhadapan dengan seorang pria muda selain Kris. Terlebih pria itu tidak menunjukkan sikap yang tidak bersahabat sekalipun ia terdengar peduli. Pria asing itu hanya tersenyum kecil.
Mungkin bagi Airi berteman dengan seorang pria yang luar biasa tampan bukan sikap yang bijaksana. Karena ia tahu, pria itu membuatnya semakin gugup. Tetapi ada satu pertanda perasaan lainnya. Sesuatu yang belum pernah ia kenali. Airi membaca bet yang menuliskan nama siswa itu di saku blazernya. Setelah itu, Airi menjauh darinya, ke lorong menuju toilet siswi tadi. Mungkin sikapnya kurang sopan, tapi ia kelewat gugup untuk menyadarinya. Pria itu tidak kelihatan tersinggung, hanya bingung dengan kelakukan Airi.
.
.
“Kenapa lama sekali? Kau baik-baik saja kan?” Tanya Nara ketika Airi datang dengan raut wajah bingung.
“Ya, aku baik-baik saja. Maaf membuatmu menunggu lama.” Jawabnya.
Nara tidak yakin untuk itu, tapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lagi.
“Airi ini sahabatku, Jihyun ini anak baru yang tadi kuceritakan.” Nara memperkenalkan seorang disebelahnya kepada Airi. Mereka berjabat tangan sambil tersenyum. Hanya saja senyum Airi masih terguncang dengan kejadian di lorong tadi.
“Wow, tanganmu sangat halus, kau pasti rajin mengolesi tanganmu dengan pelembap,” kata Jihyun ramah.
“Ya, setiap malam.” Jawabnya ringan.
Kemudian Nara pergi sebentar untuk membelikan Airi makanan. Airi ingin menolak tapi ia rasa itu akan menyinggung perasaan dua teman barunya ini. Lagi pula Jihyun kelihatan senang memakan makanannya, membuat Airi jadi ingin mencicipi itu.
Jihyun sama seperti Nara. Hanya saja Jihyun memiliki tinggi yang melebihi Nara dan Airi. Jika disejajarkan, Airi akan dihimpit oleh mereka, Jihyun yang jauh lebih tinggi sedangkan Nara yang sedikit pendek. Dan Airi terlihat yang paling biasa-biasa saja disana.
“Ini apa?” Tanya Airi.
“Oh, itu kimchi. Kukira kau memerlukan itu untuk lebih dekat dengan Korea khususnya Hannyong High School.” Kata Nara sambil menyingkirkan sejumput rambut yang menutupi matanya. Airi hanya mengangguk dan mulai memakannya.
“Airi, menurutmu bagaimana pria-pria disini? apa ada yang setampan teman-temanmu disana?” ucap Jihyun disela-sela kunyahannya.
“Kurasa tidak, karena kalian-lah teman pertamaku.” Kata Airi, begitu polos.
Nara dan Jihyun melongo. Bagaimana mungkin gadis secantik Airi tidak memiliki teman sebelumnya. Ya memang, walaupun untuk ukuran gadis luar negeri, Airi memiliki wajah dan kulit orang Asia.
“Aku belum benar-benar berkenalan dengan murid disini,” katanya sambil mengangkat bahu. “Tapi tadi aku bertemu dengan seorang pria bernama.. Kim, Kim, Kim Jong. Ya, namanya Kim Jong.” Lanjut Airi. Memory tentang pria itu sepertinya kurang sempurna di kepala Airi. Ia hanya merasakan sesuatu yang aneh ketika mengingat pria itu. Semacam getaran yang membuat kata itu terkesan istimewa.
“Kim Jong? Kim Jong yang mana?” kata Nara
“Apa yang berotot besar? Kalau itu namanya Kim JongHyun. Ia anggota tim futsal. Lumayan keren. Aku tidak menyalahkanmu jika kau menyukainya. Tapi kurasa dia sudah memiliki seorang pacar. Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku bisa mencari tahu kalau kau mau.” Ucap Jihyun. Nara memutar bola matanya mendengar kecerewetan sahabatnya itu.
“Bukan, ini pria yang rambutnya hitam, tinggi, dan ada pin berwarna emas di kerah kemejanya.” Sela Airi.
“Oh.” Ekspresi Jihyun berubah. “Itu Kim Jong In. Ia kapten sekolah.”
“Atau kami memanggilnya Kai.” sahut Nara.
“Kai? Well, kelihatannya ia baik.”
“Aku tidak akan mengincarnya jika aku menjadi dirimu,” kata Jihyun menasihati. Wajanya nampak prihatin, tapi Airi mendapat firasat Jihyun berharap ia mau menerima sarannya. Mungkin itu karena salah satu peraturan di antara gadis remaja. “Teman selalu benar.” Lanjutnya
“Aku tidak mengincarnya, Jihyun.” Kata Airi segera.
“Jihyun pernah menyukai Kai, tapi tidak lagi setelah Kai menolaknya di depan murid-murid lain.” Kekeh Nara. “Aku tidak heran kalau kau menyukainya, Kai memang sempurna. Semua wanita pasti senang bisa dekat dengannya.” Lanjut Nara. Airi setuju akan itu. Kai memang sempurna dengan matanya yang cokelat bening.
Jihyun menyikut tangan Nara. “Kau bilang kau menyukai Oh Sehun, kenapa sekarang malah membanggakan kapten sekolah itu.” katanya tidak terima setelah Nara membocorkan cerita kelamnya pada Airi. Nara membungkam mulut sahabatnya itu agar tidak berbicara terlalu keras. Akan sangat gawat jika ada yang mendengar kalau seorang Jung Nara menyukai pria populer seperti Oh Sehun.
“Memangnya ada apa dengan Kai?” Tanya Airi penasaran.
“Well, banyak siswi yang naksir padanya. Tapi sepertinya ia tidak bisa memberikan hatinya.”
“Maksutmu dia sudah punya pacar?”
“Aku tidak tahu. Kai memang baik, tapi katakan saja ia punya beban berat yang tersembunyi di balik wajah tampannya.” jawab Nara, memelankan suaranya dan menggosok-gosok jarinya tidak nyaman. “Kai selalu bersikap dingin pada semua murid terkecuali pada keempat sahabatnya yang tergabung dalam tim basket sekolah kita. Jadi, tidak ada yang berani mendekati Kai semenjak kejadian Jihyun waktu dulu.”
Airi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Jika melihat wajah Kai, kau tidak akan mengira ia memiliki beban berat. Namun Airi baru ingat sekarang. Ada sedikit kesan protektif di sorot mata Kai. Itulah yang membuatnya terlihat tidak seperti yang mereka katakan.
.
.
Sisa hari itu berlalu tanpa kejadian yan berarti. Kecuali, Airi mendapati dirinya menyusuri koridor dengan harapan bertemu dengan sang kapten sekolah lagi. Dari keterangan yang diberikan Jihyun dan Nara, Airi merasa tersanjung karena Kai memberikan perhatian padanya waktu itu. Atau barangkali itu hanya sikap sebagai seorang kapten sekolah.
Airi membayangkan pertemuannya tadi siang dan mengingat-ingat mata Kai yang bening. Mata cokelat yang sangat jernih dan cemerlang. Siapa pun pasti tidak bisa menatap matanya seperti itu lama-lama tanpa merasakan lemas di lututmu. Airi kembali berfikir. Bagaimana jadinya jika ia menerima tawaran Kai untuk diantar ke ruang kesehatan? Apakah mereka akan mengobrol sementara Airi berusaha menenangkan tangannya yang gemetar? Dan apa yang akan mereka bicarakan?
Itu membuat Airi semakin bodoh dengan desiran aneh di dadanya. Dan juga semakin ia ingin bertemu dengan sang kapten sekolah itu untuk yang kedua kalinya.
Kim Jong In.
To be Continued…
Comment and like, okay?^^ Thankyou~