Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all 4828 articles
Browse latest View live

Falling

$
0
0

Falling

 

Title                 : Falling

Author             : Byunkachu

Genere             : Hurt              

Cast                 : Byun Baekhyun, Lee Yoo Bi

Rate                 : PG 13

Length             : 2.294 word (Oneshoot)

Disclaimer       : Pure my imagination, all the cast belongs to God

 

When i’m with you, i keep dreaming a dream that would never come true

byunkachu©Falling’copyright2015

 

Rintik-rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Semua orang berlari kecil untuk menghindarinya dan berteduh di tempat yang aman. Namun tidak untuk seorang gadis yang saat ini tengah mengembangkan senyuman manisnya. Ia masih tetap menyunggingkan bibir itu kemudian menadahkan telapak tangannya seakan ingin menampung tiap buliran air yang jatuh dari langit. Berjalan dengan langkah besar, sembari sedikit meloncat girang. Selalu seperti itu, hujan yang seakan menghipnotisnya untuk tetap bertahan dalam posisi yang kadang dapat menyakiti dirinya sendiri.

“Kau akan sakit bila bermain hujan seperti itu, nona”

Gadis itu terkesiap, ia terpaku ditempatnya tanpa berusaha untuk membalas perkataan orang tersebut. Seakan terdapat tumpukan semen yang telah membeku, yang menahan langkah gadis itu untuk terus maju. Kristal air yang sedari tadi membasahinya kini terputus dengan adanya naungan payung yang melindunginya. Ia masih saja mengatupkan mulut sekaan tak percaya dengan sebuah dengungan yang baru saja masuk ke dalam indera pendengarannya. Apakah ia bermimpi?

Setelah otaknya sudah dapat memproses kejadian yang baru saja dialaminya, ia merasa malu. Orang itu tentu telah melihat kelakuan kekanak-kanakannya bermain hujan. Tersenyum, melompat, menampung air hujan, mau ditaruh dimana wajahnya sekarang? Kalut, akhirnya ia memutuskan untuk melangkah maju tanpa menoleh ke belakang.

“Ya! Lee Yoo Bi, jangan pergi!”

Gadis yang dipanggil Yoo Bi itu pun terdiam, diiringi dengan suara langkah kaki seseorang yang semakin dekat dengan posisinya sekarang. Tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan menggenggam bahunya erat. Tuhan apakah ia harus mati sekarang?

“Oh…Baekhyun-ssi, apa kaa…bar? A..da ya..ng bi..sa ku ban..tu?” ucap Yoo Bi tergagap sembari membalikan tubuhnya menghadap seorang pria bernama Baekhyun itu. Yoo Bi tak kuasa dan tak berani untuk melihat bola matanya, sehingga ia hanya bisa menunduk, menatap tanah yang tengah memamerkan riakan air hujan.

“Ini pertama kalinya aku bertemu gadis tidak sopan seperti mu. Bagaimana bisa kau pergi begitu saja disaat ada seorang pria baik hati yang menawarkan payung untuk mu? Itu tidak baik nona Yoo Bi” ujar Baekhyun dengan senyum sinisnya, sembari sedikit mendekatkan wajahnya ke wajah Yoo Bi. Yoo Bi dengan spontan menarik dirinya, menjauhkan posisi mereka, ia terlalu kalut untuk berpikir jernih saat ini.

“Yoo Bi-ah, kenapa kau terlihat ketakutan sekali? Aku bukanlah orang asing yang perlu kau hindari. Aku teman sekelas mu, Byun Baekhyun, ingat?”

“Bu..kan, bukan begitu, Baekhyun-ssi, hanya saja aku terkejut. Di kelas, kita bahkan tidak pernah bertegur sapa dan kelakuan mu hari ini sedikit aneh, seperti kita adalah sahabat yang sudah akrab. Maafkan aku” bisik Yoo Bi dengan raut wajah menyesal memperlakukan Baekhyun seperti itu.

Baekhyun yang ingin mencairkan suasana pun menarik lengan Yoo Bi, menyambangi bahu gadis itu, dan menarik tubuh Yoo Bi agar lebih dekat dengannya. Sementara Yoo Bi hanya bisa pasrah dengan semua perlakuan mengejutkan Baekhyun kepadanya. Satu hal yang perlu ia lakukan hanyalah mengontrol detak jantung serta menahan semburat merah yang hampir memenuhi seluruh wajahnya. Baekhyun hanya terkikik tidak jelas melihat raut wajah Yoo Bi sekarang, sepertinya ia sukses membuat gadis itu tersipu.

Mereka berjalan tanpa ada satu pun yang memulai pembicaraan, dan Yoo Bi tidak nyaman dengan hal tersebut. Yoo Bi pun memberanikan dirinya untuk memandang Baekhyun, dan Baekhyun pun memandanginya. Bola mata Yoo Bi sarat akan rasa penasaran, ia ingin menanyakan ada apa dengan Baekhyun hari ini, mengapa Baekhyun melakukan semua ini padanya, namun mulutnya tetap tertutup rapat.

“Hmm..anggap saja aku ingin mengenal mu lebih dekat daripada sebelumnya, bagaimana?” ujar Baekhyun seakan dapat menebak pikiran yang tengah menggerayangi kepala Yoo Bi

“Kenapa?” tanya Yoo Bi spontan

“Maksudmu?”

“Kenapa kau ingin berteman lebih dekat dengan ku?”

“Itu karena aku mulai tertarik dengan seseorang” jawab Baekhyun dengan senyum termanis yang pernah masuk ke dalam retina Yoo Bi. Yoo Bi lagi-lagi berusaha menahan semburat merah yang dapat membuat wajahnya seperti kepiting rebus sekarang. Ia tidak bisa fokus lagi sekarang, langkah-langkah yang diambilnya hanya mengikuti Baekhyun dimana Baekhyun menjadi penuntunnya. Mereka pun tiba di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai, di depan jalan raya.

“Mau minum teh?” tawar Baekhyun ramah

“Huh?”

“Akan ku anggap jawaban itu adalah iya, karena apapun yang akan kau katakan selanjutnya, aku tidak mungkin melewatkan momen berdua ini begitu saja bukan?”

**

Yoo Bi terus berusaha berkonsentrasi pada soal kalkulus yang tengah dikerjakannya, namun hasil yang didapatkan nihil. Suara tawa Baekhyun yang menggelegar di indera pendengaran nya terus mengganggunya. Ia pun sesekali melirik Baekhyun dengan sudut bola matanya, dan yang mengejutkan adalah Baekhyun pun memandanginya secara berkala, dan ini bukan halusinasinya.

Semenjak peristiwa hari itu, Yoo Bi dan Baekhyun menjadi semakin dekat. Mereka saling berbagi cerita, bermain serta belajar bersama. Yoo Bi kembali memandangi Baekhyun dengan seluruh fokusnya, sesekali ia terseyum membayangkan sesuatu. Mengingat bahwa awalnya mereka seakan dibatasi oleh sebuah tembok yang tak dapat dipanjat atau diruntuhkan. Namun sekarang, anggapan itu sirna seiring dengan berjalanannya waktu. Yoo Bi dan Baekhyun hanyalah dua orang insan yang dibatasi oleh rasa canggung dan malu, yang perlu dilewati agar keduanya berada pada sisi yang sama.

Ya, Baekhyun adalah orang yang selama ini disukai oleh Yoo Bi, namun Yoo Bi terlalu takut untuk sekedar berkenalan, menyapa ataupun bercanda ria. Ia hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesempatan untuk bisa memahami Baekhyun lebih dalam dengan cara apapun. Cara yang selama ini ia lakukan hanya memandang dari jauh, dan memperhatikan segala gerak-geriknya dalam bisu. Kini, semua fantasinya menjadi kenyataan, doanya dijawab oleh Tuhan melebih ekspetasinya selama ini.

Yoo Bi yang tengah melamun tidak menyadari bahwa Baekhyun telah berada tepat di depan nya, sambil mengayun-ayunkan tangan untuk membuyarkan lamunan Yoo Bi, namun usaha itu gagal. Menyerah, akhirnya Baekhyun pun memukul ringan dahi Yoo Bi dengan jemarinya, Yoo Bi pun sadar dan merintih kesakitan.

“Ah…Baekhyun-ssi, kenapa kau memukul ku?” ujar Yoo Bi kesal bercampur senang karena akhirnya Baekhyun menghampirinya. Baekhyun, sang pelaku hanya bisa tertawa melihat wajah kesal Yoo Bi. Entah mengapa, ia merasa bahagia menjahili Yoo Bi. Ada suatu desiran hebat yang membuat jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya, dan itu terjadi saat ia bersama dengan Yoo Bi.

“Baekhyun-ssi? Ayolah Yoo Bi, mengapa kau masih menggunakan embel-embel ‘ssi’? Kita sudah sangat dekat, aku bahkan berbagi banyak cerita dengan mu, dan kau masih memanggilku ‘Baekhyun-ssi’?” tanya Baekhyun tidak puas dengan panggilan yang ditujukan Yoo Bi padanya.

“Jadi kau ingin ku panggil apa? ‘Bacon-ah’ seperti yang sahabat laki-laki mu lakukan?”

“Hmm…hyun? Bagaimana dengan hyun-ah?”

“Kau ingin disamakan dengan Hyun Ah 4MINUTE huh?”

“Tidak! Aku kan pria, bagaimana bisa disamakan dengan wanita. Aku lupa ada penyanyi dengan nama itu. Kalau begitu bagaimana dengan byunkachu? Aku suka panggilan itu” jawab Baekhyun semangat

“Karena kau senang menonton pikachu, huh? Baiklah baiklah byunkachu kekanak-kanakan, haha”

“Jangan mengejek ku, Yoo Bi-ah, kau juga sering menonton kartun itu kan? Oh ya, apa yang tengah kau lamunkan tadi? Kau melamun tentang ku ya? Ayo mengaku saja”

“Bukan, kau percaya diri sekali. Mana mau aku terus-menerus disungguhi wajah jelek mu itu setiap waktu” jawab Yoo Bi lantang sembari menjulurkan lidahnya, mengejek Baekhyun yang membuat gadis itu semakin lucu di mata nya. Baekhyun mencubit keras kedua pipi Yoo Bi hingga menimbulkan sedikit kemerahan di wajah gadis itu.

“Baekhyun-ssi! Sakit!”

“Ya! Waktu baru menunjukan beberapa detik, dan ucapan menggelikan ‘ssi’ mu terdengar lagi di telinga ku. Ya! Lee Yoo Bi, kau harus menerima hukuman mu karena tak menuruti perintah majikan mu”

Yoo Bi hanya menatap bingung sekaligus menahan detak jantungnya yang semakin cepat berdetak. Entah sudah seperti apa raut wajahnya sekarang. Sentuhan Baekhyun yang terdampar di wajahnya selalu memberikan sensasi yang tak dapat dijelaskan. Yang jelas, ia menyukainya. Ia menyukai segala sesuatu yang di lakukan Baekhyun kepadanya.

“Ah iya, Yoo Bi-ah, aku ingin memberitahumu sesuatu, kau pasti akan terkejut”

“Hmm…apa? Apa? Cepat beritahu aku, jangan buat aku penasaran”

“Aku…”

“Iya?”

“Aku…”

“Eum..”

“Aku…”

“YA! BYUN BAEKHYUN!”

“Hahaha, baiklah-baiklah. Aku ingin menyatakan cinta pada seseorang”

Yoo Bi terkejut, jantungnya ingin melompat keluar. Kalau ia berharap sekarang, bolehkah? Apakah terlalu egois bila ia mengharapkan gadis beruntung tersebut adalah dirinya?

“Jadi selama ini kau sedang jatuh cinta pada seseorang dan tidak memberitahu ku?” tanya Yoo Bi berpura-pura sebal sekaligus menunggu sinyal dari Baekhyun.

“Maaf, maaf, sekarang kan sudah ku beritahu”

“Apakah aku mengenalnya?”

“Iya, kau sangat amat mengenalnya”

“Benarkah? Siapa?”

“Itu rahasia, yang pasti kau harus datang jam 5 sore ke taman, ok?”

“Baiklah, tapi kau pasti akan menunggu ku kan?”

“Tentu saja, tanpa pemeran utama wanita mana bisa pemeran pria berlakon sendirian”

“Maksudmu?”

“Ya Yoo Bi, kau adalah pemeran wanita, jadi pastikan untuk datang dan jangan terlalu terkejut dengan apa yang akan ku katakan pada mu ok?”

**

Yoo Bi sedikit berlari menuju taman bermain yang berada tak jauh dari sekolah nya. Ia tak lupa menyisir rambutnya memakai tangan agar rambutnya tertata sedikit rapi mengingat angin yang terus menerbangkan anak-anak rambutnya. Ia pun sampai dan melihat Baekhyun yang tengah memegang gitar sambil sesekali memetiknya. Alunan musik mengiringi langkah Yoo Bi yang semakin mendekati Baekhyun. Baekhyun yang tersadar menyambut Yoo Bi dengan senyuman. Ia pun bangkit berdiri, memberikan seikat bunga lalu mempersilahkan Yoo Bi duduk di bangku taman yang telah di dekor dengan sederhana.

“Yoo Bi-ah, aku ingin mengatakan sesuatu”

Yoo Bi tak bisa menyembunyikan senyumannya yang sejak tadi mengembang di wajahnya, penantiannya selama ini merekah. Ia menganguk kepada Baekhyun mengisyaratkan Baekhyun untuk memulai pengakuan nya.

“Namun sebelumnya, karena aku tau kau sangat menyukai suaraku, aku ingin menyanyikan sebuah lagu untukmu”

Sayup-sayup suara merdu Baekhyun mendominasi di detik-detik selanjutnya. Baekhyun dan Yoo Bi sama-sama menutup mata menikmati suasana harmonis yang telah terbangun di antara mereka. Kemudian ketika Baekhyun selesai bernyanyi, ia menaruh gitarnya, menggengam kedua tangan Yoo Bi lalu menatapnya lekat.

“Yoo Bi-ah, aku menyukaimu, maukah kau menjadi pacar ku?” tanya Baekhyun, dan seketika jantung Yoo Bi seakan berhenti berdetak saat itu.

**

Hari itu, langit tampak mengeluarkan keluh kesahnya dengan membiarkan air matanya mengalir deras ke bumi. Langit gelap disertai angin yang cukup kencang menjadi latar belakang suasana sore itu. Seorang gadis yang di indentifikasi bernama Yoo Bi tengah menunggu seseorang untuk menjemputnya di halte bis. Ia melirik jam nya yang menunjukan bahwa ia sudah menunggu orang tersebut selama 2 jam tanpa kepastian kabar orang tersebut akan datang. Hatinya sakit, pilu menjalari seluruh tubuhnya bila ia mengingat mengenai orang itu. Ingatan nya kembali bermain, menampilkan peristiwa dimana orang itu menghancurkan perasaanya.

“Yoo Bi-ah, aku menyukaimu, maukah kau menjadi pacar ku?” tanya Baekhyun, dan seketika jantung Yoo Bi seakan berhenti berdetak saat itu. Yoo Bi berusaha mengendalikan perasaan nya, ia pun berusaha mengucapkan sepatah kata yang sangat dinantikan Baekhyun untuk di dengarnya. Ia mengumpulkan semua tenaganya dan mengangguk pasti.

“Iya, iya, iya Baekhyun-ah, aku ingin menjadi pacarmu. Terimakasih telah menyukaiku”

Baekhyun pun memeluk Yoo Bi dengan spontan, demikian pula dengan Yoo Bi yang menggenggam erat Baekhyun, seakan tak ingin melepaskan nya. Kemudian Baekhyun mengendurkan pelukan nya, dan menatap Yoo Bi lekat, ia kemudian memegang kedua pundak Yoo Bi.

“Menurut mu, apakah ia juga akan berkata hal yang sama dengan mu?” Yoo Bi bingung dengan pertanyaan itu, namun senyum nya masih memenuhi raut wajahnya

“Maksudmu? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti”

“Bo Young, apakah dia akan menerima ku juga sama seperti kau menerima ku?”

Senyum Yoo Bi meluntur, akal sehatnya berputar seakan tau kemana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Tapi ia mengenyahkan pikiran pesimis itu dan terseyum kembali, berharap apa yang di dengarnya terakhir kali dari Baekhyun hanyalah khayalan semata.

“Apa maksudmu, Byun Baekhyun? Jelaskan dengan rinci pada ku”

“Kau tidak mengerti? Aku menyukai Bo Young, Park Bo Young, sahabat mu itu”

“Dan yang tadi itu?”

“Aku sedang gladi bersih untuk mengungkapkan cinta ku padanya nanti, karena aku gugup, aku ingin kau memerankan peran Bo Young, dan kau bereaksi seolah-olah kejadian tadi adalah nyata. Aktingmu sangat bagus, kau tau? Kau bisa menjadi artis kelak, haha”

Kemarahan Yoo Bi memuncak, ia tidak bisa lagi menahan nya,linangan air mata mengalir dari sudut matanya. Pertahanan nya runtuh, ia harus segera pergi atau perasaanya akan kembali terkoyak kedua kalinya.

“Jadi aku hanya boneka mu? Yang bisa kau permainkan kapanpun kau mau?”

“Yoo Bi-ah, kenapa kau berprilaku seperti ini? Apakah kau menganggap tadi sungguhan? Bahwa aku benar-benar menyukai mu? Kau tidak sebodoh itu bukan? Kita bersahabat, aku mengganggap mu sebagai seorang sahabat, bukan seorang gadis”

Perkataan itu benar-benar menusuk batin Yoo Bi, ia pun melangkah kaki meninggalkan Baekhyun sendirian yang sibuk memanggil namanya. Ia tidak ingin menoleh ke belakang, tidak ingin membiarkan Baekhyun mengetahui perasaannya dan kembali menghancurkannya. Saat itu Yoo Bi tau, bahwa tembok antara mereka masih ada, dan Tuhan tidak menjawab doanya seperti keinginannya.

“Tuhan, mengapa semua menjadi seperti ini?”

Flashback itu pun berakhir dan entah mengapa rasa pilu itu masih saja menjalari tubuhnya. Yoo Bi hanya tersenyum kecut mengingat hal itu dan memandang langit. Apakah langit tau bahwa ia sedang bersedih sehingga langit mengirimkan butir-butir air untuk mewakili air matanya? Tiba-tiba handphonenya berdering, ia pun mengangkatnya dengan bersemangat untuk kemudian kecewa pada akhirnya.

“Yoo Bi-ah, apa kau masih menunggu ku?”

“Eum, kau akan datang kan?”

“Maafkan aku, aku sedang bersama Bo Young sekarang, ia ingin aku menemaninya untuk berbelanja. Tadi aku menonton film, dan lupa mengabarimu untuk tidak menunggu ku, dan dengan bodohnya kau menunggu ku”

“Kau mengatai aku bodoh setelah aku menunggu mu selama 2 jam? Hebat sekali tuan Byun”

“Kau kan sudah tau kebiasaan ku, aku bukan orang yang suka keterlambatan, jadi bila aku telat sampai 2 jam, kau tau aku tidak akan datang. Mengapa masih mau menungguku nona Lee?”

Yoo Bi tersenyum, ia tau bahwa Baekhyun tidak akan datang, ia tau bahwa membohongi perasaannya hanya akan semakin menyakitinya. Namun apa mau dikata? Akar yang telah ditanamkannya untuk memberikan cinta kepada Baekhyun terlalu kuat. Celakanya akar itu tidak bisa dicabut kembali.

“Kau ingin tau mengapa aku masih menunggu mu?”

“Hah? Apa kau bilang? Disini sangat ramai”

“Kau ingin tau apa alasanku masih menunggu mu disini walaupun aku tau kau tak kan pernah datang?”

“Hah? Maaf Yoo Bi-ah, aku tak bisa mendengar mu. Ku tutup ya, sampai jumpa”

“Karena aku mencintaimu, Byun Baekhyun. Karena aku mencintai mu, bodoh” ujar Yoo Bi yang hanya bisa didengar angin sebagai saksi bisu pengakuannya.

 

END

Halooo semua, ini pertama kalinya aku kirim FF ke sini, hehe. Bagaimana hasilnya? Jelek kah? Maaf ya kalau typo betebaran dimana-mana, hehe. Hayooo, siapa yang jadi baper setelah membaca ff ini? Silahkan tunjuk diri dengan memberikan komentar berupa kritik dan saran ya supaya aku bisa memperbaiki tulisan di karya ku yang selanjutnya. Maaf juga ga ada posternya ya, hehe, poster nya belum jadi dan aku udah ngebet banget mau ngirimin FF ini. So, ada yang ingin tau project ku lebih lanjut? Atau ada yang ingin request FF? Ingin mengenal ku lebih dalam? Bisa kontak aku di twitter @byunkachu, ataupun kunjungi blog pribadi ku di ulteriorvantage.wordpress.com ya. Silahkan mampir J Baiklah, cukup basa-basi nya, sampai jumpa di FF ku selanjutnya ya, hehe

 



Smile

$
0
0

Smile

 

 

Title: Smile | Length: Ficlet(701 words) | Author: silvercham | Rating: General | Genres: Fluff, Romance | Cast: Kim Joonmyun, OC

 

 

silvercham©2015

Disclaimer : This story pure from my mind. Don’t dare to plagiarism!

 

 

 

“Dan senyummu menjadi hal yang penting untukku.”

*

Lagi

Lengkungan kurva manis menghiasi wajahnya, menambah kesan indah di wajahnya.

Senyum yang memikat yang membuatku sulit mengalihkan pandanganku.

Aku terus memandang kearahnya. Oh tentu saja, untuk apa mengalihkan pandanganku jika dihadapanku tersaji pemandangan indah yang berasal dari senyum manisnya itu?

Ia masih sibuk mendengarkan ucapan sahabatnya itu sambil tetap tersenyum. Aku bingung, apa otot-otot wajahnya tidak lelah terus mengkerut untuk menghasilkan senyum indah itu? Ah mungkin otot senyumnya punya keistimewaan.

Ia terus sibuk dengan obrolannya dan aku disini, masih sibuk memandanginya secara diam-diam. Bahkan, aku harus menutup 3/4 wajahku agar tidak terlalu kentara sibuk memandanginya.

Setiap hari, senyum manis itu terukir di bibirnya. Senyum paling menggoda yang membuatku sulit mengalihkan pandangaku.

Awalnya, aku tidak pernah memperhatikannya. Tapi, kejadian waktu itu mengubah pandanganku tentangnya. Apalagi saat itu aku melihat senyum tertuju padaku, hanya untukku.

*

Hari yang menyebalkan. Aku terpaksa berdiri diantara tumpukan peralatan janitor karena keterlambatanku hari itu.

Oh, aku tidak mau menyalahkan penyebab keterlambatanku walaupun pada awalnya aku mengumpat soal itu. Kerjakan cepat maka aku akan cepat menghilang dari sini!

Dengan semangat menggebu, aku mengepel lorong kelasku.

Kruyuk kruyuk

Oh geez.

Aku kembali mengumpat. Bunyi nyaring yang cukup keras terdengar dari perutku. Aku tidak sarapan dan tidak membawa uang hari ini. Such a beautiful day-,-

“Kau kelaparan?”

Hah?!

Aku membelalakkan mataku kaget. Ada orang yang dengar?! Batinku kaget. Mati aku.

Dengan wajah memerah yang aku tak peduli ia akan tertawa atau tidak, aku mengangguk.

“Pffft, mukamu lucu sekali.” Ia menahan tawa.

Tertawalah sepuas hatimu. Keluhku dalam hati. Kemudian ia mengacak-acak isi tasnya. Dan ia segera mengeluarkan baramg yang dicarinya.

“Lucky you, aku masih menyisakan sepotong roti bekalku tadi pagi. Mungkin bisa sedikit membantu.”

Ujarnya sambil menyerahkan sepotong roti yang ia temukan padaku. Aku yang tidak menemukan rasa maluku lagi segera mengangkat kepalaku dan mengambil roti itu dengan malu-malu-setidaknya itu malu yang tersisa-

Aku menatapnya dan langsung terdiam.

Senyumnya…

Aku bersumpah, senyum yang tercetak di wajahnya adalah senyum terindah yang pernah kulihat.

Lengkungan lembut yang disertai eyesmile yang manis dan cekungan kecil dipipinya. Lembut seperti kapas

Dan sejak itu, aku menetaptakan senyumnya sebagai salah satu hal yang selalu ingin kulihat setiap hari.

*

Aku masih terus memandangnya dari tempatku. Tiba-tiba mata kami bertemu.

Ia tersenyum tipis ke arahku dan mengakibatkanku menahan nafas sejenak dan langsung mengalihkan pandanganku darinya. Kemanapum asal bukan arahnya.

Sial, aku pasti ketahuan memperhatikannya!

Dan aku merasa benar-benar jera. Aku sempat meliriknya sejenak, ia berdiri dari tempat duduknya dan-

Berjalan kearahku?!

Gila, apa yang harus kulakukan?!

Dan dengan kepanikan luar biasa, aku pura-pura membaca buku yang ada ditanganku ini.

Puk

Tepukan lembut mendarat dibahuku membuatku mengangkat kepalaku dari buku. Dan disana, ia berdiri dengan senyum yang…. ah aku bahkan sudah tidak tau bisa berujar apalagi.

“Kenapa?” Tanyanya masih dengan senyum.
“Kenapa apanya?” Tanyaku pura-pura bingung. Oh tentu saja ia bertanya kenapa aku memandanginya-,-

“Kenapa kau melihat kearahku?” Tanyanya sekali lagi. Benarkan?
“A-aku? Ah itu aku tidak memandangmu. Aku hanya memandang pemandangan di belakangmu.” Jawabku sedikit gugup. Di belakangnya? Oh yang benar saja, dibelakangnya itu dinding!

“Maksudmu… dinding?” Tanyanya ragu-ragu. Dan dengan ragu, aku mengangguk.

“Tapi, ini bukan sekali dua kali aku memergokimu sedang melihat kearahku.” Ujarnya lagi.

Apa?! Jadi dia sudah sering melihatku melihat kearahnya? Mati aku.

“Ah- ahahahaha i-itu ak-aku-”
“Jadi benar kau memperhatikanku?”

Aku benar-benar skak mat.

Oke, di otakku memang terpikir berbagai hal untuk berkilah tapi tidak ada satupun yang bersedia keluar dari mulutku. Aku hanya diam dan menatapnya dengan tatapan yang terkesan, kagok.

“Kuanggap itu jawaban ya. Lalu, kenapa kau suka memperhatikanku?”

Aku masih menatapnya dengan wajah kaget. Bilang apa aku sekarang?

1 detik

2 detik

3 detik

“Ke-” “Karena senyummu!” Potongku tanpa berpikir. Dan aku benar-benar mengutuk mulutku. Dari jutaan kata yang kupelajari kenapa harus kata-kata itu yang keluar?!

Ah aku benar-benar menghancurkan harga diriku di hadapannya.

“Senyumku?” Tanyanya kaget.

Aku mengangguk. Oke, terserah dia mau bilang aku apa yang pasti aku ingin bilang soal ketertarikanku tentang senyumnya.

“Ya senyummu, senyum manis yang selalu membuatku ingat kebaikanmu dan menjadi hal pewarna hariku. Aku menyukainya, Kim Joonmyun.”

“Apa?”

“Aku suka senyummu Kim Joonmyun.”

Lalu aku pergi meninggalkannya yang masih terkaget. Dan aku bersumpah, wajah kagetnya benar-benar imut! Mungkin wajah kagetnya juga akan menjadi salah satu hal yang wajib kulihat setiap hari mulai sekarang.

-Fin-

 


Brainhacker (Prologue)

$
0
0

Brainhacker (Prologue)

 

brainhacker –who she is.

meet the potato; lol.skylar

starring; emma roberts –jordan, kris wu –camden, jake abel –shane, luhan xiu –lee

just random passing people; amanda seyfried –liz, taehyung kim –hongwan, chaerin lee –the waitress, ben bowers –dylan

genre; humor—no, dark humor –teen fiction, sadistic, psycho, blah.

duration; chaptered, incomplete. believe me.

rating; let’s see how long i can keep it PG :p lol.

Extented summary;

“Aku bisa merampokmu, nona.”

Jordan mengangkat sebelah alisnya. Bagaimana bisa—ia yang tenang-tenang duduk di bangku taman kota itu menunggu temannya, menikmati sinar mentari di balik tank top putihnya, tiba-tiba terganggu kenyamanannya oleh seorang pria berambut pirang yang mengaku-ngaku sebagai peretas otak.

Masalahnya adalah; sejak kapan otak diretas?

Gadis itu mendengus, menertawakan pria itu.

“Jangan konyol, aku tidak percaya kamu,” sahutnya, menggelengkan kepala dan meraih tasnya.

Namun pria itu menyunggingkan senyum kejam, dan berkata; “Jordan Hale, duduklah kembali dan ikuti perintahku.”

Jordan mematung.

I hate to say this, but;

This freaking story is mine. So don’t you dare to think about stealing my idea, or i will hack your brain like mister jude does.

Who the fuck is mister jude? Figure it out. :D

So yeah, please leave comment, or at least; like, and share, if you are a kind-hearted folks… just read it already!

Prologue; who she is.

{st. vincent – digital witness}

Jordan menelan cairan yang terasa familiar itu.

Oh, some cheap vodka i will miss.

Dalam waktu dekat, ibunya akan mengirim gadis itu ke sebuah kota yang bahkan tidak ia tahu namanya—bersama Shane tentunya.

Kalau milyarder itu peduli, ia pasti tahu Jordan sudah berumur 18 tahun. Gadis itu bisa mengurus dirinya sendiri tanpa dampingan Shane. Lagipula, Shane sudah punya pekerjaan—pastinya sibuk. Shane tidak akan punya waktu untuk memandikan Jordan atau mengantarnya ke Taman Kanak-Kanak lagi.

Dalam waktu dekat juga, ia akan meninggalkan Dylan—sahabatnya sewaktu ia masih pup di popok.

Ia menelan vodka dari gelas plastik itu.

Untuk terakhir kalinya ia meminum vodka Amerika dan pergi berjalan menuju lantai dansa.

Ah, betapa rindunya aku nanti.

Hanya malam ini saja, ia melupakan paspor dan tiketnya untuk mabuk di bar itu.

***

“Batalkan saja bu, aku masih mau hidup disini!”

Gadis itu melempar tubuh kecilnya ke sofa di ruang tamu. Ia menatap wanita berambut pirang—tentu saja, tertata rapi –yang berdiri di ambang pintu.

“Dan kalau mau mengirimku kau tidak perlu mengikut sertakan Shane! Kau tahu dia sibuk!”

“Shane bahkan tidak bekerja apa-apa, dia bebas, sayang.”

“Tentu saja dia bekerja—“

“Dia hanya menjual narkotika—Demi Tuhan! Biarkan ibu mengirimmu dan Shane untuk belajar disana, dimana jumlah mabuk-mabukan dan penjualan narkotika lebih sedikit dibandingkan disini!”

Jordan memutar bola matanya kesal. “Persetan! Sama saja!”

“Jordan! Perhatikan nada bicaramu—“

“Bu, mau ibu mengirimku ke Inggris sekalipun ibu juga masih menemukan botol whiskey disana!”

***

Shane menghela nafasnya. “Sayangnya, Jordan-ku sayang, aku tidak kenal siapapun disini.”

Kedua remaja itu menatap ruang penuh dengan orang-orang sibuk itu dengan perasaan yang tercampur aduk; marah, kecewa, sedih, lelah, ingin tahu; dan sebagainya. Ketika sang adik masih mengalami jet-lag, sang kakak berjinjit mencari-cari pintu keluarnya.

Dan, ketemu.

“Shane,”

Pemuda itu menunduk. “Apa?”

“Sepertinya—“

“Tahan dulu, Dan. Biarkan aku memasang headsetku dulu.”

Shane mengeluarkan seutas kabel putih dan memasang kedua ujungnya di masing-masing lubang telinganya. Ia menyalakan playlist iPod-nya dan menghela nafas sembari menarik Jordan ke pintu keluar sementara gadis itu mengomel—sepertinya, kebiasaan buruknya berbicara aneh saat jetlag belum sembuh juga.

“—dan kau tahu? Sepertinya bandara ini bagus. Haruskah aku memotretnya dan mengirimnya di DM Instagram? Untuk siapa? Pengikutku atau hanya Dylan? Ah, kita harus mencari Starbucks disini. Aku juga harus memotretnya untuk random feeds Instagramku. Oh! Kau harus memotret pakaianku dari jauh, akan kumasukkan ke Polyvore. Dan tweet foto itu di Twitter. Ah—“

Jordan menelan air liurnya dan mulai mengoceh lagi. Sedangkan Shane melepas kedua headsetnya begitu ia melihat pemuda tengil datang padanya dan berkata;

“Shane dan Jordan Hale? Aku Lee, senior Jordan di Cavillan High. Selamat datang di Queensland.”

===

the potato’s buble; that is what i called prologue. right. there’s no existence of the dearest kris wu—yet. so yeah, you should listen to St. Vincent’s song. somehow it’s matched to the theme of this story.

another potato’s buble; i’m using emma roberts as the female maincast here. is it okay for you? or you can imagine you as jordan hale lol.

some of the potato’s explaination; jordan hale is a depressed high school girl, who once dyed her hair pastel blue and getting high from her brother’s coke—no, not diet coke, i mean cocaine –and hate her mother’s gut. somehow, her family’s filthy rich, that’s why i call her mom as ‘a billioner’. i hope you understand.

I do hope you like this crappy thing somehow, although there aren’t much of korean/chinese people here.

love, lol.skylar


Maybe You The One (Chapter 6)

$
0
0

Maybe You The One (Chapter 6)

wpid-picsart_1411629977021_1

Tittle : Maybe You the One (Chapter 6)
Cast :
– Bae Suzy (Miss A)
– Park Chanyeol (EXO)
– Park Hyo Rin (OC)
– Kim Jong In (OC)
– Do Kyungsoo (EXO)
Etc.
Genre : romance, drama
Author : Yuna21
Length : Chapter
Rating : PG-13
Disclaimer : karya ini murni hasil pemikiran saya. Terinspirasi oleh beberapa drama korea yang pernah sy tonton, cerita teman dan ff yang pernah saya baca. Sumber inspirasi utama saya sudah tentu EXO. Bila terjadi banyak kesalahan seperti penulisan, typo dan lain – lain, saya minta maaf. Terimakasi bagi yang sudah menghargai karya saya dan memaklumi kesalahan saya.

Suzy’s POV
Sinar mentari masuk ke dalam kamarku. Suara alrm membangunkanku dari mimpi semalam. Ku dudukkan diriku untuk memulihkan kesadaran.

KNOCK! KNOCK!
Suara pintu membuatku bangkit dari kasurku. “Ya, tunggu sebentar.” Tanganku membuka pintu.

Mataku melebar setelah mendapati siapa yang berada di hadapanku sekarang.

“Ini, kita akan ke pantai.” Tanganku hanya bisa menerima tas belanja yang diberikannya. Kemudian Jong In pergi meninggalkanku.

Dengan segera aku bersiap – siap, seperti perintahnya tadi. Ku lihat diriku di kaca. Aku tidak mungkin akan keluar seperti ini.

“Suzy, apa kau sudah siap ?” Tanganku membuka pintu sedikit, untuk memberi celah agar kepalaku saja yang bisa keluar.

“Kau kenapa ?” Tanyanya heran. Aku hanya bisa tersenyum dan menggeleng sedikit.

“Apa kau ada masalah ?” Tangannya berusaha ingin membuka pintu. Dengan segera ku maksimalkan tenagaku untuk menahannya. “Sebenarnya kau ini kenapa ?!” Teriaknya, sambil menarik tanganku. Itu berhasil membuatku keluar dari tempat persembunyianku.

“Woaw ! Ku pikir kau tidak bisa melakukan hal ini.” Ucapan Tao membuat mataku langsung terarah padanya. Ini memang bukan salahnya. Tepatnya ini adalah salahku yang memakai pakaian renang pemberian Jong In yang sangat terbuka. Tidak asa pilihan lain lagi, karena ku pikir kita tidak akan ke pantai.
OooO

Aku hanya bisa terduduk di atas tumpukan pasir menatap Jong In yang berjalan ke arah ku.

“Kau tidak berenang ?” Aku hanya menggelengkan kepalaku malas. Di ambilnya tempat duduk di sebelahku. “Wajahmu akan terlihat jelek jika kau terus seperti itu.” Tangannya mengacak – acak rambutku.

“Yakk !” Kali ini aku tidak menatapnya. Namun ekspresiku sama seperti tadi.

“Apa yang terjadi padamu ?” Hari ini aku sedang malas menjawab pertanyaannya.

Melihat sikapku, tangannya mengacak – acak rambutku untuk kedua kalinya. “Yakk !! Kenapa kau suka melakukan itu padaku ?!” Kini mataku melihat ke arahnya yang tertawa melihat ku.
OooO

Chanyeol’s POV
Aku berjalan sekitar pantai. Langkahku hendak menghampiri seseorang di seberang sana. Langkahku terhenti seketika.

Ku lihat Jong In yang menghampiri Suzy. Otakku memutar balik kejadian yang pernah terjadi. Bukankah ini pernah terjadi saat aku melihatnya di sekitar butik ? Lupakan saja.

Langkahku ingin mendekat, namun terhenti kembali melihat keadaan yang tak mengenakan.

Ku lihat Jong In yang mengacak – acak rambut Suzy berulang kali, seperti sedang menggodanya.

Entah kenapa hatiku terasa perih melihat semua ini. Ku putar balik badanku, ingin menuju arah yang berbeda.

“Hyung !” Teriakan Jong In membuatku tak mampu menghindar. Ku lihat dia yang berlari ke arahku dengan Suzy yang mengejarnya.

“Hyung, tolong aku. Ada harimau mengamuk.” Di sembunyikannya dirinya di balik badanku.

Rasa sakit di hatiku semakin menjadi. Mataku hanya terfokus pada Suzy yang terlihat gembira.

“Oh,” Jeda. “Lebih baik kalian selesaikan dulu masalah kalian.” Ku sadari nada suaraku yang putus asa. Kemudian ku balikkan badanku untuk menjauh dari mereka.
OooO

Suzy’s POV
Aku mengejar Jong In hingga berada tepat di hadapan Chanyeol. “Hyung, tolong aku. Ada harimau mengamuk.” Kata – kata Jong In membuat ku melihat ke arah Chanyeol. Wajah Chanyeol terlihat berubah.

“Oh,” Jeda. “Lebih baik kalian selesaikan dulu masalah kalian.” Nada suaranya terdengar berbeda. Senyumnya pun tak terlihat sedikit pun.

Chanyeol membalikkan badannya, untuk pergi dari kami. Senyum yang tadinya ada di wajahku perlahan memudar.

Kakiku mulai melangkah mengikuti arah Chanyeol pergi. Jong In tak ku hiraukan.

“Oppa !” Teriakan ku tak didengar Chanyeol, kakinya terus melangkah.

“Oppa !” Kini panggilanku membuatnya terhenti, hingga badannya terbalik. Dengan segera aku berlari ke arahnya.

Ku lihat ekspresinya yang masih seperti tadi.
OooO

Chanyeol’s POV
“Oppa !” Sebuah panggilan membuat langkahku terhenti. Ku putar badanku. Ku dapati Suzy yang berlari ke arahku.

Sebisa mungkin ku pasang ekspresi datarku. “Gwaencanhayo ?” Tanyanya. Hanya anggukan yang ku berikan.

“Oppa, geojitmalma !” Kata – katanya membuatku tau ekspresiku saat ini tak bisa ku tahan.

“A-andwaejyo.”

TBC


Chanyeol Appa! (Chapter 7)

$
0
0

Chanyeol Appa! (Chapter 7)

part 7

Tittle   : Chanyeol Appa!

Part 7 : “Destiny”

Lenght : Chaptered

Rating   : PG 13+

Genre : Comedy, Romance and Family

Author : deeFA (Dedek Faradilla)

Twitter : @JiRa_deeFA

Main Cast : ChanYeol EXO-K (Park Chan Yeol)

                  Hwayoung (Ryu Hwayoung)

                   Baek Hyun EXO-K (Byun Baek Hyun)

                  Ara Hello Venus (Yoo Ara)

                   Suho EXO (Kim Joon Myun)

                   Krystal f(x) (Kim Soo Jung)

                   Aleyna Yilmaz Ulzzang Baby (Park Shin Hye)

Annyeong readers. Maaf part ini lama selesainya. Maklum mahasiswa tingkat akhir, sibuk sama skripsi (curcol). Di part ini agak sedih gitu (gak tau sih sedih atau gak). Author amatiran ini ingin berterima kasih bagi yang sudah baca di part sebelumnya. Tinggalin jejak setelah baca ya ^^, baik itu berupa kritik maupun saran, atau yang lainnya. Don’t be Silent Reader. Thank you. *deep bow*

Read and Comment.

====================================================================

@Ara’s House

Pagi-pagi buta Ara sudah disibukkan dengan pekerjaan rumah. Kamarnya berada di tingkat dua, ia sedang menjemur bed cover yang baru saja dicuci di beranda kamarnya. Dari atas, ia seperti melihat seseorang yang mondar-mandir di depan pagar. Ia berusaha tidak memperdulikannya, namun ia dapat merasakan keberadaan seseorang di depan rumahnya.

“Stalker?” batinnya.

Karena penasaran ia turun ke bawah, ia membawa sebuah sapu di lengan kirinya, takut-takut bukan penguntit yang nge-fans dengannya melainkan seorang pencuri.

Ara memakai baju piyama tipis dan rambut panjang yang digerai. Angin pagi menusuk tulang hingga membuatnya menggigil. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, namun tidak ada apa-apa di sana. Saat ia memutuskan untuk kembali masuk ke dalam, ia melihat kepala seseorang dibalik tempat sampah.

“Sedang apa?” tanyanya pada pria yang menutup mukanya dengan kedua tangan.

Pria itu berdiri dan menatap Ara dengan salah tingkah. Betapa terkejutnya ia, ternyata pria itu adalah Baek Hyun.

“Byun Baekhyun-ssi?. Sedang apa disini?”

“A..a…ak..aku..mmm..itu, itu…”

Waeyo?. Salah minum obat?. Sudah ya, aku mau masuk”

Tiba-tiba, Baekhyun menyentuh pundak Ara untuk menghentikan langkahnya. Ia pun membuka jaketnya dan menaruhnya dipundak Ara.

“Hmm…pagi seperti ini, anginnya dingin. Lain kali pakai baju yang tebal. Nanti masuk angin” katanya terbata-bata lalu pergi dari hadapan Ara.

Ara menatap punggungnya yang semakin mengecil. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, lantaran bingung dengan maksud dan tujuan Baekhyun yang datang pagi-pagi hanya untuk memberikan jaket merah miliknya.

Gamsahae?. Cih!. Untuk apa aku berterima kasih. Aneh!” gumamnya.

***

Hidung dan telinga Baekhyun memerah, sesekali ditiup kedua tangannya agar merasa lebih hangat. Wajahnya sangat berseri-seri. Orang-orang yang sedang berolahraga pagi menatapnya aneh. Bagaimana tidak, ia menari-nari sepanjang jalan dan melambaikan tangan kepada siapapun yang lewat di hadapannya. Ditambah lagi, ia memakai sepatu yang berbeda warnanya.

“Aku keren sekali tadi. ‘Pagi seperti ini, anginnya dingin. Lain kali pakai baju yang tebal. Nanti masuk angin’. Oh my god, seperti di drama-drama. Pasti Yoo Ara sangat tersentuh. Dan lalu menelponku untuk mengembalikan jaketnya sambil bilang ‘gamsahamnida oppa’. Lalu wajahnya memerah. Nah, saat itulah aku akan bilang ‘Saranghae Ara-ya!’, kemudian bagian paling pentingnya adalah KISS. Daebak!”

Baekhyun terus saja mengoceh, ia membayangkan hal yang belum pasti terjadi, seolah-olah semua itu telah terjadi.

***

@Chanyeol’s Apartement

Insiden ‘morning kiss’ yang seharusnya romantis, ini malah sebaliknya. Hwayoung secara refleks langsung melepasnya dan membersihkan mulutnya. Ia menatap Chanyeol dengan mulut yang berkomat-kamit. Shin Hye terkekeh melihat kedua orang tuanya. Tidak ingin merusak kebahagian putrinya, Chanyeol bersikap seolah-seolah insiden tadi adalah hal biasa.

“Terima kasih istriku sayang” dengan kaku ia memeluknya. Hwayoung pun jadi terpaksa tersenyum.

“Shin Hye sekarang makan ya. Eomma dan appa ingin membeli sesuatu dulu. Shin Hye bisakan tunggu di sini sendirian sebentar saja kan?” tanya Hwayoung.

Shin Hye menggangguk. Tanpa ragu Hwayoung menarik tangan Chanyeol yang baru saja bangun dan bahkan belum sempat mencuci mukanya. Ia menariknya ke taman belakang apartemen. Ia sudah tidak tahan lagi dengan suaminya itu.

“YA!!!.” Ia meneriaki Chanyeol.

“Seharusnya aku yang demikian. YA!!. Kenapa kau menciumku?”

“Park Chanyeol!. Kau kira aku sudi menciummu?. Aku sudah tau, dari tadi kau sudah bangun. Jangan membuat hubungan ini semakin kacau!. Aku mau kita bersikap manis di depan Shin Hye. Bersikap seolah-olah, kita orang tua yang akur. Aku mohon kerjasamanya!”

Setelah menumpahkan uneg-unegnya, Hwayoung langsung menuju kembali ke apartemen milik Chanyeol. Namun, langkahnya terhenti saat suaminya itu memanggil namanya.

“Ada apa lagi?” tanyanya malas.

“Jangan membuat hubungan ini semakin kacau?. Memangnya hubungan kita seperti apa?. Suami-istri?. Atau hanya hubungan hukum, dimana nama belakangmu yang dulu Ryu kini berubah menjadi Park. Kerjasama?. Kerjasama untuk menipu seorang gadis kecil berumur lima tahun?”

Chanyeol meninggalkan Hwayoung yang terdiam. Ia berjalan menuju apartemennya. Sementara Hwayoung mengepalkan tangannya erat. Air matanya ingin keluar dari pelupuk matanya. Namun, ia berusaha untuk menahannya.

Shin Hye menghampiri ayahnya yang kembali sendirian.

“Appa, Eomma mana?. Kenapa tidak balik sama-sama?”

“Sekarang Shin Hye mandi dulu ya. Appa antarkan ke rumah halmeoni dan harabeoji. Soalnya eomma mau bekerja”

“Hari libur seperti ini?”

Chanyeol mengangguk. Ia lalu membuka baju putrinya dan mengantarnya ke kamar mandi. Ia lalu menuju ke kamar dan menyiapkan baju untuk putrinya. Di lubuk hatinya, ia merasa bersalah pada Shin Hye yang tidak tahu apa-apa.

Hwayoung lalu kembali ke apartemen. Ia mengambil tas dan bajunya, lalu pergi tanpa pamitan dengan putrinya dan juga Chanyeol.

***

Tidak ada ekspresi di wajahnya Hwayoung, pikirannya terus melayang pada pertanyaan Chanyeol tadi. Sepanjang perjalanan, ia hanya duduk termenung di dalam bus. Ia merasa begitu banyak beban dalam hidupnya. Sejak menikah, tidak ada sama sekali hal yang benar-benar membuat dirinya bahagia selain Shin Hye.

Ia turun dari pemberhentian bus, dan menemukan sebuah kedai ddeokboki. Ia lalu memesan dua botol soju dan seporsi ddeokboki.

Sungguh aneh, pagi-pagi sudah memesan soju. Pikirannya kacau. Ia baru sadar, bahwa selama ini yang dilakukan hanyalah menanam kesakitan dan kebohongan pada Shin Hye. Segelas demi segelas, ia terus meneguk soju. Yang tadinya ia hanya memesan dua botol, kini telah habis empat botol. Ia benar-benar mabuk berat.

Mianhaemianhaemianhae Shin Hye-ya….” Ia terus bergumam demikian sambil menangis dalam keadaan mabuk.

Grettt…grett….handphone di sakunya bergetar. Nama Kim Joon Myun tertera di layar.

“Annyeonghaseyo. Maaf mengganggu akhir pekan anda. Tapi, file yang kemarin kenapa belum dikirim sampai sekarang?. Deadline nya minggu ini. Hwayoung-ssi, anda sudah lupa?” suara Joon Myun yang sedang berkutat di depan laptopnya.

Mianhae….mianhae…Shin Hye-ya..” gumam Hwayoung dengan suara yang begetar dan disertai isakan.

“Hwayoung-ssi, ada apa?” tanyanya panik.

“Tidak bisakah kau bawa aku pergi?. Aku lelah dengan hidup ini.”

“Dimana anda sekarang?. Hwayoung-ssi…Hwayoung-ssi…”

Handphone milik Hwayoung sudah jatuh ke tanah. Ia melipat kedua tangannya dan menangis terisak-isak.

Joon Myun yang setangah mati khawatir dengan Hwayoung, langsung mengambil sweater dan kunci mobil. Berulang-ulang kali ia menelpon kembali, namun tidak di angkat. Ia melacak keberadaan Hwayoung dengan smartphonenya.

Tanda merah di handphonenya telah berbunyi. Tanda bahwa Hwayoung tidak berada jauh dari tempatnya sekarang. Ia memarkir mobilnya asal, dan melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Hwayoung. Ia kembali menelpon nomor Hwayoung. Ia mendengar deringan suara handphone di belakangnya, ia menoleh dan melihat punggung Hwayoung. Ia mengambil handphone miliknya dan duduk di hadapannya.

“Hwayoung-ssi, anda baik-baik saja kan?”

Hwayoung mengangkat kepalanya yang dibenamkan di dalam lipatan kedua tangannya. Ia menangis sejadi-jadinya.

“Kenapa tidak anda saja yang menghamili saya. Kenapa harus laki-laki itu. Kenapa orang seperti anda tidak hadir di pernikahanku, lalu membawaku pergi dari sana. Kasihan Shin Hye, harus lahir dari orang tua yang salah. Semua kebahagianku hilang. Aku harus jadi ibu, di saat semua teman sekelasku sibuk dengan artis idolanya, sibuk dengan kencan buta, pergi ke mall, jalan-jalan untuk membeli baju. Bahkan aku lupa kapan terakhir kalinya aku membeli baju baru. Tidak ada kebahagian untukku sejak semua ini terjadi. Aku menanggung malu ini sendiri, dengan tinggal terpisah dari ibuku”

Joon Myun lalu pindah dan duduk di sebalah Hwayoung yang menangis hebat. Saat itu juga, air matanya jatuh.

“Kau tahu?. Chanyeol itu?. Selalu saja berdebat denganku. Selalu saja tidak mau mengalah. Apa yang salah kalau aku memarahinya!. Dia kuliah dan sewa apartemen dari uang hasil jerih payahku. Tapi aku tidak pernah mengungki-ngungkitnya. Dan aku tidak pernah memberi tahunya. Aku tidak ingin harga dirinya sebagai laki-laki tersakiti. Tapi apa, pagi ini dia malah menanyakan apa hubungan kami. Aku sungguh-sungguh menganggapnya sebagai suamiku. Bahkan tidak terbersit niat di hatiku untuk menyukai laki-laki lain. Namun tidak dengan sekarang!. Tolong! Tolong bawa aku dan Shin Hye pergi denganmu!. Jebal!. Jebal!”

Hwayoung terlihat sangat frustasi, Joon Myun berusaha mengehentikannya yang terus berbicara dan menangis. Ia mendekap tubuhnya dengan erat dan mengelus-elus punggung dan kepalanya. Ia menarik napas panjang. Ada perasaan lega yang berbeda di dalam benaknya. Pertama ia lega Hwayoung dapat menumpahkan seluruh emosinya, dan yang kedua ia lega bahwa pertanyaan yang timbul tentangnya terjawab sudah. Persaan suka yang timbul terhadapnya, awalnya ingin di kubur saja. Namun, sekarang tidak ada alasan untuknya untuk tidak memperjuangkan perasaannya. Ia menggendong tubuh Hwayoung ke dalam mobilnya.

“Mulai sekarang, biarkan aku yang membahagiakanmu” batin Joon Myun.

Ia menaruhnya di kursi depan di samping kemudi. Seat-belt juga dipasangkan di tubuhnya, sambil menatap wajahnya yang sendu, Joon Myun berpikir bahwa sudah lama hatinya tidak pernah bergetar seperti ini lagi. Terakhir kalinya adalah ketika dia berada di bangku SMA kelas 2. Dua tahun jatuh cinta pada teman sekelasnya tanpa berani untuk membuat pengakuan. Dan saat perasaannya ingin diungkapkan sebelum ia pergi ke London untuk meneruskan kuliah disana, ternyata sebuah cincin dari emas putih melingkat manis di jari tengahnya.

“Joon Myun, uri chingu. Chukkaeyo!, atas beasiswa full yang kau dapat di London. Sekarang giliranmu memberikan selamat padaku”

“Waeyo?”

“Aku akan menikah. Aku tidak berniat untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Kau harus datang. Arachi?”

Ingatan akan Yoora terus terbersit di benaknya saat melihat wajah Hwayoung yang tertidur. Air mata Hwayoung mengalir membahasahi pipi.

Gwaenchanayo…gwaenchanayo…” gumamnya sambil mengusap air mata Hwayoung.

***

Raut wajah masam terpasang di muka putri semata wayang Chanyeol. Ia begitu kesal, lantaran ibunya tidak berpamitan pulang padanya. Padahal Chanyeol sudah berusaha menjelaskan dengan alasan yang logis, bahwa Hwayoung tiba-tiba mendapatkan telpon di kantornya. Shin Hye merasa kesal karena hari ini adalah akhir pekan. Ia ingin mengajak ayah dan ibunya jalan-jalan bersama.

“Aku tidak mau ke rumah harabeoji dan halmeoni. Aku mau sama Ara imo saja” pintanya.

Andwae Shin Hye-ya. Kamu sama harabeoji dan halmeoni saja, ya?” bujuk Chanyeol. Ia tidak ingin Shin Hye berada di rumah orang tua Hwayoung. Ia tidak ingin di anggap ayah yang tidak becus dan semakin dibenci oleh mertuanya.

“Kalau gitu aku ikut appa saja. Tidak boleh juga?”

“Shin Hye-ya, kau kan sudah besar sekarang. Appa harus bekerja. Kau akan bosan di sana. Lagian, di sana bukan tempat untuk anak seusiamu”

“Kalau begitu, aku mau bersama Ara imo. Titik!”

Chanyeol berusaha untuk bersabar. Sifat Shin Hye yang satu ini membuatnya selalu teringat dengan Hwayoung dan membuatnya semakin kesal dengannya. Ia pun menelpon Ara dan meminta Ara untuk menjaga Shin Hye sampai jam 8 malam.

@Lolly Cake Shop

Ara menyuruh Chanyeol dan Shin Hye untuk menunggu di sana. Tidak berapa lama, sosok Ara pun muncul dan langsung membungkuk hormat pada Chanyeol, lalu memeluk Shin Hye.

“Tolong jaga dia ya!. Aku akan menjemput dia. Tapi…tolong jangan bilang pada eomma, harabeoji dan halmeoni kalau aku menitipkan Shin Hye padamu”

“Iya. Tidak akan aku bilang ke siapapun”

Chanyeol lalu meninggalkan Shin Hye dan Ara di sana. Ara sebenarnya aneh dengan raut wajahnya. Apalagi harus rahasia segala tentang ia yang menjaga Shin Hye.

“Imo, kita jalan-jalan yuk!” ajak Shin Hye.

“Kaja!. Tapi imo harus bertemu seseorang dulu. Ok!”

***

Secara kebetulan Ara memakai baju yang hampir mirip dengan Shin Hye. Sama-sama memakai rok selutut bergelombang berwarna dongker dan baju tidak berlengan berwarna putih dengan motif polkadot. Yang berbeda hanyalah sepatunya. Shin Hye memakai flat shoes berwarna putih dengan hiasan bunga. Sedangkan Ara memakai sneakers berwarna putih polos.

Shin Hye dan Ara menunggu di sebuah taman kota. Mereka duduk di sebuah bangku di samping air mancur. Banyak anak-anak yang bermain bersama keluarganya di sana. Ara mengerti sekali tatapan dari Shin Hye.

“Pokoknya Shin Hye tenang aja. Hari ini kita pergi main sepuasanya” kata Ara membangkitkan suasana.

Sudah hampir setengah jam mereka menunggu. Shin Hye sudah tidak tahan lagi.

Imo tunggu siapa sih?” tanyanya jengkel.

Ara kesal dengan Baek Hyun. Ia mengirim pesan hinggal lebih 30 kali yang isinya ‘Aku sibuk!. Cepat!’. Memang benar, Ara sedang menunggu Baek Hyun. Ia ingin mengembalikan jaket yang diberinya.

Sementara itu, di rumahnya Baek Hyun baru saja siap memakai baju. Butuh lebih dari sejam ia memilih baju yang cocok. Akhirnya jatuh pada celana panjang berwarna dongker dan kaos putih polos berlengan pendek dan berkerah. Dan memilih sepatu sneaker putih kesayangannya.

Imo, ayo kita pergi!. Panas nih!. Ayolah imo!” rengek Shin Hye.

“Oke, ayo pergi Shin Hye”

Saat mereka ingin pergi, Baek Hyun sampai di sana. Ia langsung berteriak memanggil nama Ara. Wajahnya tersenyum saat Ara berbalik, ia langsung berlari menghampirinya.

“Annyeonghaseyo!. Maaf terlambat!”

Ara dan Shin Hye memasang wajah masam.

“Eh?. Shin Hye?. Annyeong!”

Ara lalu menyerahkan kantung berwarna putih padanya.

“Apa ini?” tanya Baek Hyun.

“Jaket yang kemarin. Sudah ya. Aku mau pergi!” ketusnya.

Namun Baek Hyun menahan Ara dengan berdiri di hadapannya.

“A…emm…mmm, kalian mau kemana?” tanyanya.

“Mau jalan-jalan samchon” jawab Shin Hye.

Jinja?. Kalau begitu ayo kita pergi sama-sama. Kaja!”

Mata Shin Hye menatap Ara yang berada di sebelah kirinya, dan kemudian menatap Baek Hyun yang berdiri di depannya. Ia menatap mereka secara bergantian.

“Kalian janjian ya?” tanya Shin Hye curiga.

“Aniyo…” jawab Ara marah.

Lalu wajah Shin Hye tersenyum.

“Berarti takdir!. Lihat saja, kalian memakai baju yang sama”

Ara dan Baek Hyun saling bertatapan satu sama lain. Mereka baru sadar, mereka memakai baju yang sama. Ara sama sekali tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Apalagi saat ia menoleh ke Shin Hye, ia juga baru sadar mereka bertiga memakai baju yang hampir persis sama. Ia tidak ingin jalan-jalan dengan Baek Hyun. Ia takut orang-orang akan salah sangka. Apalagi kalau sampai bertemu dengan teman-temannya. Pastinya, sekampusnya bakalan heboh. Namun tidak dengan Baek Hyun. Ia malah senyam-senyum sendiri saat mendengat kata Shin Hye tadi, bahwa mereka adalah ‘takdir’.

“Ayo samchon!” Shin Hye menarik tangan Baek Hyun. Dan Baek Hyun menarik tangan Ara sambil berkata ‘Kaja!’ dengan senyuman mautnya.

***

@Neverland Park

Setelah memarkir mobilnya. Mereka menuju tempat pembelian karcis untuk masuk. Baek Hyun memegang Shin Hye di tangan kanannya dan Ara di tangan kirinya. Sebenarnya Ara sangat tidak ingin tangannya di pegang olehnya. Namun, saat melihat di sekelilingnya, semua orang pergi dengan pasangannya, untuk itu ia tidak menolaknya.

Baek Hyun akan mengajak Ara untuk menaiki roller coaster. Seperti di drama, Ara akan menggenggam tangannya. Senjata selanjutnya adalah pergi ke rumah hantu. Dan di sana ia akan mendapatkan pelukan Ara yang ketakutan. Ia sudah tidak sabar lagi.

Imo ingin sekali naik itu” kata Ara yang menunjuk pada Shin Hye. Baek Hyun tersenyum, ‘ini dia!’ batinnya berkata.

“Kalau gitu, ayo naik!” kata Baek Hyun.

“Lalu Shin Hye dengan siapa di sini?”

“Sudahlah imo, aku tunggu di sini. Janji, aku tidak kemana-mana” kata Shin Hye sambil mengedipkan matanya pada Baek Hyun.

Baek Hyun lalu pergi dengan Ara untuk naik roller coaster.

“Takut?” tanyanya.

“Sedikit. Sudah lama tidak naik ini soalnya” papar Ara.

Tibalah waktu mereka untuk naik. Setelah pengaman semua di pasang. Roda-rodanya mulai berjalan sedikit-demi sedikit. Dan sekarang roller coaster mereka sudah berada di puncak, dan sekarang klimaksnya. Roller coasternya menuruni puncak dan melaju dengan kecepatan tinggi. Ara berteriak karena senang. Ia sama sekali tidak takut.

“Kereeeeeeeen….wuaaaaaaah…..coooool…..daebaaaaaaaaak…..” kata-kata yang keluar di mulut Ara.

Ia sangat menikmati. Baek Hyun yang menunggu Ara memegang tangannya jadi kecewa. Misinya gagal. Sudah hampir ratusan kali ke sini bersama gadis. Baru kali ini Ara yang memasang raut wajah senang dan tidak takut. Cara ini padahal selalu berhasil.

Setelah istirahat selama 10 menit dan menikmati ice cream sundae. Baek Hyun mengajak Ara untuk masuk ke dalam rumah hantu. Sampai di sana lagi-lagi…

“Jinja?. Begini hantunya?. Apaan yang takut!” gumam Ara.

Tiba-tiba datang seorang hantu yang memakai baju serba hitam dan wajah yang berdarah di hadapan Ara.

“Annyeonghaseyo…” kata Ara pada hantu tersebut.

Baek Hyun di belakang makin tambah kesal. Bagaimana bisa reaksi Ara hanya ‘Annyeonghaseyo’. Biasanya reaksi dari gadis-gadis yang dikencaninya adalah berteriak lalu memeluknya secara refleks. Gagal sudah rencananya. Tidak ada rencana cadangan untuk dapat mendekati Ara.

Imo, lapar….” rengek Shin Hye yang menarik-narik Ara untuk makan di sebuah restoran bertema teddy bear.

Mereka bertigapun menuju restoran yang di tunjuk Shin Hye tadi. Baek Hyun berjalan lemas di belakang, mengikuti Shin Hye dan Ara.

Saat pelayannya membuka pintu, isi di dalam tempat tersebut adalah para orang tua dan anak-anaknya. Ara ingin keluar dan mencari tempat lain, namun Shin Hye sudah duduk duluan.

Imo cantikkan tempatnya?”

Ara hanya mengangguk pada Shin Hye yang duduk di sampingnya.

Datanglah seorang pelayan yang membawa buku menu.

“Annyeonghaseyo!. Selamat datang di Teddy Beary Resto Family and Kid. Hari ini kita ada menu baru. Anda bisa pesan menu keluarga untuk bertiga. Ada beberapa pilihan, dan biasanya anak-anak lebih suka menu yang ke lima ini. Bagaimana?. Apa pilihan menu anda?”

Setelah berdiskusi dengan Shin Hye, Ara menjawab oke.

“Kalau begitu, untuk orang tua yang berusia di bawah 30 tahun, hari ini kita ada diskon 20 persen. Bisa tunjukkan kartu ID anda pak?” ia bertanya pada Baek Hyun.

Baek Hyun terkejut ketika pelayan berkata demikian, dengan raut wajah bingung ia mengeluarkan IDnya.

“Terima kasih!. Ingin di bayar dengan cash atau card, pak?”

“Card saja!” kata Baek Hyun lalu menyerahkan kartu atmnya.

“Silahkan tunggu 20 menit. Kami akan mengantarkan pesanan anda. Untuk menunggu, anda bisa mengajak anak anda bermain di ruang yang kiri di sebelah sana. Gamsahamnida!”

Baek Hyun menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Ia tersenyum kegirangan lantaran di sangka mereka bertiga adalah keluarga.

Tiba-tiba ada seorang anak kecil kira-kira berusia 2 tahun yang berlari ke arah Ara.

“Annyeong…” Sapa Ara dan mengelus pipinya.

“Aigoo, mianhae. Dia sedikit nakal. Karena baru bisa jalan” kata ibunya yang langsung menggendongnya.

“Aniyo. Gwaenchanayo!” Ara berkata dengan tersenyum.

“Aigoo, jadi cemburu melihat anda. Masih muda tapi sudah punya putri yang cantik. Bagaimana tubuh anda masih bagus seperti ini setelah melahirkan?. Saya setelah melahirkan naik 10 kg. Turunnya cuma 3 kg. Dan sekarang tidak mau turun-turun lagi. Anda diet dengan dokter atau ikut olah raga apa?”

Ara tidak tahu harus menjawab apa, saat ia ingin menjelaskan bahwa Shin Hye bukan anaknya dan Baek Hyun bukan suaminya, ibu terus saja mengoceh tanpa berhenti.

“Anda harus berterima kasih dengan istri anda. Sudah punya anak tapi masih cantik”

“Ah…iya. Iya.” Jawab Baek Hyun.

Shin Hye tersenyum penuh makna. Semenatara itu, Baek Hyun senyum kegirangan. Namun Ara senyum penuh keterpaksaan.

“Sepertinya Baek Hyun samchon menyukai Ara imo. Harus aku apakan ya?. Apa aku kerjai saja?” batin Shin Hye berkata.

***

Chanyeol memilih untuk menenangkan dirinya dari pada menyelesaikan skripsinya yang seharusnya di kerjakan di akhir pekan. Ia memilih sebuah taman yang tidak jauh dari apartemennya. Ia duduk di bawah pohon besar, lalu mengeluarkan buku polos panjang dan sebuah pensil. Sambil melihat sekeliling, ia mulai melukis taman dan couple yang duduk tak jauh darinya. Ia tidak puas dengan gambarnya. Dirobeknya kertas tadi dan mulai menggambar lagi.

“Appaa…..” sebuah suara membuatnya menoleh mencari sumber suaranya.

Saat menoleh ke belakangnya, ternyata seorang gadis kecil kira-kira berusia kurang dari dua tahun memanggil sosok laki-laki di hadapannya. Chanyeol tersenyum, ia kembali teringat saat Shin Hye pertama kali dapat bicara.

Flashback

Rumah sederhana yang di beli oleh orang tua Hwayoung telah berubah menjadi rumah yang sangat indah. Chanyeol menyulapnya dengan melakukan beberapa dekorasi di beberapa tempat. Ia menunjukkan kemampuannya sebagai arsitek pada Hwayoung.

Hari itu, Chanyeol sedang belajar kembali untuk masuk ke perguruan tinggi dan untuk kembali mendapatkan jurusan arsitek di Universitas ternama di Korea Selatan.

“Sudah cukup belajarnya. Sekarang pijit aku. Palli!” Hwayoung berkata dari depan pintu kamar.

“Kau buta?. Tidak bisa melihat?. Aku sedang sibuk belajar. Lusa adalah ujian masuk universitas. Jangan ganggu aku. Sekarang tutup pintunya. Aku mau fokus!”

“Ya!. Dari tadi aku menjaga Shin Hye dan membuatmu makan siang. Kau mau aku adukan dengan ibumu?. Ya!. Park Chanyeol!. Aku hitung sampai tiga, kalau kau tidak bangun dari dudukmu, akan aku patahkan kakimu!”

“Wuah…, Kau berani membentakku?. Kau kira aku takut?. Berani kau menyentuh kakiku, kau mati!. Dan satu lagi, jangan teriak-teriak. Shin Hye sedang tidur siang”

Mata Hwayoung terbelalak, ia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Seharusnya dia yang berkata demikian. Lebih dari 2 jam ia berusaha menidurkan Shin Hye.

“Ppa..ppa…appaa…appa…”

Mendengar sebuah suara dari kamar sebelah, Hwayoung dan Chanyeol saling bertatapan. Mereka buru-buru ke kamar sebelah. Dan melihat Shin Hye kecil yang berusia 13 bulan duduk di tempat tidur

“Ppa…ppa…appa…appa…” Shin Hye terus berkata demikian.

“Shin Hye-ya. Eomma…eomma…” Hwayoung menyuruh Shin Hye mengikuti kata-katanya.

“Mma..eomma…eomma…”

Mulut Chanyeol dan Hwayoung terbuka. Mereka bertatapan satu sama lain.

“Kau lihat?” kata Hwayoung. Chanyeol mengangguk.

“Shin Hye bicara!. Manse!. Manse!” Gumam Hwayoung.

Chanyeol langsung menggendong Shin Hye dan berkata, “Manse!. Shin Hye-ya Manse!”. Berkali-kali ia mencium pipinya. Mereka melompat kegirangan. Seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan baru.

Flashback End

Mengingat hari itu, membuat Chanyeol tersenyum sendiri.

Manse!” gumamnya.

To Be Continued…

 

 


Ten Years Forwarded (Chapter 6)

$
0
0

Ten Years Forwarded

Ten Years Forwarded

A fanfiction by marceryn

Rating : PG-15

Length : Multichapter

Genre : AU, Soft-romance, fantasy, married-life

Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs

Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.

Note :: Oke, aku kembali ke atas lagi. Sebelum membaca ini, tolong cek dulu part 5 versi repost, karena ada bagian ketinggalan di sana yang sebaiknya dibaca sebelum mulai yang ini >///< Jeongmal joesonghamnida~ Dan, sayangnya chapter kali ini nggak sepanjang sebelumnya, karena minggu ini aku nggak punya banyak waktu. Hehe. Maaf juga kalau ada typo dsb dsb. Yah, itu saja. Aku menyiapkan kejutan lain lagi untuk chapter berikutnya(?) jadi nantikan yaaa XD *apaansih* Ehem. Silakan berkomentar sesuka kalian dan tinggalkan XOXO kalau punya pertanyaan (atau hanya ingin kubalas, haha XD)

fanfiction ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi

~Ten Years Forwarded~

 

 

“Tidak mungkin!”

Danbi memukulkan tinjunya ke meja makan, membuat Chanyeol dan Kyungsoo tersentak kaget di kursi masing-masing dengan tampang anak murid tertangkap menyontek.

“Aku tidak mungkin hamil! Kita tidak—maksudku aku tidak—aish!” Danbi mengacak-acak rambutnya frustasi. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” erangnya.

“Te-tenang dulu—”

Danbi memicing ganas pada Chanyeol dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung laki-laki itu. “Ini semua salahmu!”

“Apa? Bagaimana bisa itu salahku?” sahut Chanyeol tidak terima. “Aku tidak pernah melakukan apa-apa padam—eh?”

Danbi berdiri dan berjalan gontai ke arah kamar.

Chanyeol ikut berdiri. “Ya—”

Danbi mengangkat satu tangannya acuh tanpa menoleh. “Jangan bicara padaku,” selanya datar.

Chanyeol kembali duduk dan membenamkan kepalanya di antara tangannya yang terlipat di atas meja.

“Sepertinya masalah besar yang akan kau hadapi,” komentar Kyungsoo.

Chanyeol menggumam-gumam tidak jelas.

“Sekarang kalian tidak akan bisa ke mana-mana meski pun kalian mau,” lanjut Kyungsoo tanpa diminta. “Dia akan mual-mual terus selama beberapa bulan, dan emosinya yang labil itu sudah pasti akan membuat hidupmu jadi neraka. Persiapkan dirimu.”

“Hebat,” balas Chanyeol dengan suara teredam karena wajahnya yang tersembunyi. “Di mana aku bisa mengubur diriku sendiri?”

Melihat keadaan sahabatnya itu, kadang Kyungsoo merasakan dilema antara harus prihatin ataukah tertawa. Sungguh bentuk kehidupan yang tidak akan ia mengerti seumur hidup. Ia berdoa semoga Minji dan dirinya tidak pernah mengalami hal-hal gila seperti ini. “Oh ya,” tambahnya, “dokter tadi bilang tubuh Danbi rentan sakit, jadi kau harus menjaganya baik-baik. Kecuali kau tidak peduli pada bayi itu.”

“Apa kau benar-benar perlu mengatakannya seperti itu?” gerutu Chanyeol.

“Memangnya salah?” tanya Kyungsoo.

Chanyeol tidak menjawab.

Kyungsoo berdiri dan menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. “Kalau begitu aku pulang dulu.”

Chanyeol mengangkat kepala. “Sekarang?”

Eo. Aku punya kehidupan juga, kau tahu. Lagipula, ini adalah sesuatu yang harus kau urus sendiri. Kau yang berbuat, jadi kau yang—”

Kyungsoo melesat pergi sebelum Chanyeol sempat menyambar apa pun di dekatnya untuk menimpuk kepalanya.

 

***

 

Danbi menyeret koper besarnya keluar dari kamar. Ia tidak membuat suara gaduh, tapi Chanyeol yang duduk di depan televisi langsung menoleh, nyaris seakan-akan laki-laki itu sudah menunggunya keluar sejak Danbi mengunci diri di kamar siang tadi.

“Kau mau ke mana?” tanyanya bingung.

“Kita akan pulang ke Seoul besok,” jawab Danbi datar.

Chanyeol meletakkan bantal sofa yang dipeluknya dan berdiri. “Tidak.”

“Apanya tidak?”

Chanyeol menghampirinya dan menarik koper itu dari tangannya. “Lupakan saja. Kita tidak jadi berangkat.”

Danbi menegakkan punggung dan bersedekap defensif. “Lalu kau mau tinggal diam sampai kapan?”

Chanyeol berkacak pinggang dan menunduk menatap Danbi lekat-lekat. “Dengar. Kita tidak akan pergi ke mana-mana sampai bayi itu lahir.”

Danbi memutar bola matanya. “Jangan bodoh.”

“Aku serius,” balas Chanyeol. “Bagaimana pun itu bayiku, kita tidak boleh membahayakannya.”

“Oh, ya ampun.” Danbi mundur selangkah dan wajahnya mengkerut dengan ekspresi jijik yang tidak perlu dibuat-buat. “Tidak ada yang tahu ini bayi siapa.”

“Maksudmu kau berselingkuh?”

Maksudku, bisa jadi bayi ini tidak nyata! Itulah yang ingin Danbi katakan, tapi kalimat yang meluncur dari bibirnya malah, “Untuk berselingkuh, kita harus punya hubungan dulu.”

“Kita menikah,” jawab Chanyeol, dan ia terdengar serius.

“Yang benar saja.” Danbi membuang muka dan mendengus keras. “Kau tidak ingat kalau kau yang ngotot bahwa itu tidak mungkin?”

Chanyeol tidak menghiraukannya. “Pokoknya sekali ini dengarkan aku. Aku punya firasat tentang hal ini. Kita tidak bisa mengambil risiko. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi dan… kita justru terjebak di masa ini selamanya?”

Danbi merasa perkataan Chanyeol cukup masuk akal, tapi tentu saja ia tidak akan mengakuinya. Lagipula, terjebak di masa ini selamanya… hei, itu tawaran yang cukup menggoda.

Suara dering ponsel menginterupsi mereka. “Itu pasti eomma-ku. Aku mengirim pesan padanya kalau kita tidak jadi datang besok. Kurasa dia baru membacanya.”

Chanyeol berjalan kembali ke sofa dan menjawab teleponnya. Danbi tetap bergeming di tempatnya, bersedekap, melihat Chanyeol mondar-mandir sambil berbicara riang pada ponsel yang menempel di telinganya.

“Bukan, bukan masalah pada pesawat,” kata Chanyeol pada ibunya di seberang sana. “Danbi, hmm, sedang sakit. Kurasa kami tidak bisa pulang untuk sementara waktu.”

“Sakit? Sakit apa?” ibunya bertanya, khawatir. “Apakah aku perlu datang ke sana?”

“Tidak perlu,” sahut Chanyeol cepat. “Bukan masalah besar, hanya saja, eh…”

“Ada apa?” tanya ibunya tidak sabaran. “Cepatlah, aku tidak suka membuang-buang uang untuk mendengarmu ber-‘ah-oh’ ria.”

“Begini, Eomma, hmm….” Chanyeol melempar tatapan pada Danbi, yang dibalas Danbi dengan mengangkat satu alisnya. “Danbi hamil.”

“APA?!”

Chanyeol buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya untuk menyelamatkan pendengarannya. Danbi tersentak kecil seakan ia juga bisa mendengar suara menggelegar itu.

“Danbi—astaga. Kau serius? Ini hebat sekali!” Ibunya terdengar persis seperti gadis remaja yang ditawari paket wisata bersama idola kesayangan. “Aku akan berangkat ke sana, segera!”

“Ya ampun—Eomma, tidak perlu! Maksudku, kami bisa mengurus segalanya di sini,” seru Chanyeol panik. “Danbi baik-baik saja. Eomma tidak perlu datang ke sini. Ini bukan masalah besar.”

“Masalah? Ini kejutan terbaik seumur hidupku! Yeobo, kau akan segera jadi kakek!” Ibunya berteriak pada ayah Chanyeol yang entah sedang apa di sana.

Eomma, Eomma, hentikan.” Chanyeol mengusap dahinya. “Kami akan baik-baik saja di sini, sungguh. Jangan khawatir. Dan tidak perlu repot-repot, nanti Eomma akan membuat Danbi merasa tidak nyaman.”

Danbi mengerutkan dahinya, dan Chanyeol menatapnya seolah berusaha berkata padanya, Apa? Aku benar, kan?

Setelah diyakinkan beberapa kali lagi, akhirnya ibu Chanyeol mengalah. “Baiklah, sekarang berikan teleponnya pada Danbi.”

Chanyeol menuruti dengan tampang ragu-ragu. “Kemari. Eomma ingin bicara padamu.”

Danbi mendekat dan menerima ponsel itu dengan tampang merengut, tapi suaranya terdengar ramah dan manis pada ponsel, “Ne, Eomeonim.”

Setelah sepuluh menit monolog panjang tentang nasihat dan saran-saran yang Danbi yakin akan dilupakannya dalam dua detik, ibu Chanyeol mengakhiri panggilan dengan suara riangnya. Danbi mengembalikan ponsel itu dengan tampang aneh.

Eomma bilang apa?” tanya Chanyeol.

“Banyak,” jawab Danbi singkat. “Aku lelah. Aku mau tidur. Menyingkirlah dari sini.”

“Kau mau tidur? Di sini?” Chanyeol menudingkan telunjuknya pada sofa.

Eo,” balas Danbi dengan nada memangnya-kenapa-hah.

Chanyeol bersedekap. “Aku mau tidur di sini.”

Entah kenapa satu kalimat bernada perintah itu justru membuat Danbi salah tingkah. Jadi ia mendengus dan berbalik dengan lagak sok terbaiknya. “Terserah saja.”

 

***

 

Pagi berikutnya, Danbi terkapar di sofa setelah aktivitas paginya di kamar mandi—alias memuntahkan seluruh isi perut. Rasa-rasanya si bayi yang belum berwujud ini jadi melunjak sejak diketahui keberadaannya.

Danbi diam-diam bersyukur ia tidak akan pergi ke mana-mana malam ini. Memikirkan harus menahan mual dan berusaha tidur di ketinggian ratusan kilometer… Danbi tidak paham bagaimana, tapi samar-samar ia tahu rasanya melewati turbulensi pesawat ketika terbang landas dan mendarat. Bukan hal yang menyenangkan, terutama dengan tubuh seperti ini.

Bayi. Yang benar saja. Danbi tidak pernah memikirkan akan punya anak seumur hidupnya. Ide itu terdengar lebih konyol daripada mendadak menikah dengan—

“Ini.”

Chanyeol membuyarkan lamunan Danbi dengan meletakkan mangkuk porselen putih ke atas meja kopi yang berisi sesuatu yang bagi Danbi tampak seperti apa yang baru saja keluar dari perutnya.

“Apa itu?” tanya Danbi jijik.

“Ini bubur gandum,” jawab Chanyeol polos. “Kau tidak tahu?”

Danbi mengerutkan wajahnya. Bahkan namanya saja terdengar menjijikkan.

Chanyeol mendudukkan dirinya di dekat kaki Danbi yang terjulur di atas sofa dalam posisi yang sama sekali tidak anggun. “Ayo makan.”

“Kau bercanda?” Danbi tersentak, seakan-akan ia baru mendengar dirinya disuruh memakan sandal. “Singkirkan benda itu dari sini.”

“Ini bagus untuk pencernaan.”

“Kalau begitu kau saja yang makan.”

“Aku mau-mau saja, tapi yang hamil kan bukan aku.”

“Aku tidak hamil sungguhan,” bantah Danbi dengan wajah terbakar. “Aku hanya terjebak di dalam tubuh dan masa yang salah.”

“Yeah, dan karena itu tubuh pinjaman, kau bertanggung jawab untuk menjaganya, tahu tidak?”

“Kau terdengar seperti orang tua.”

“Hei, aku memang calon orangtua.”

Bukan itu maksudku, adalah yang ingin Danbi ucapkan, tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Lupakan saja.”

Chanyeol mengambil mangkuknya dari meja dan menyodorkannya pada Danbi. “Ja, ayo makan.”

Danbi membuang mukanya dengan tegas. “Tidak.”

“Makan.” Chanyeol mengangkat satu sendok penuh.

“Aku tidak mau.”

“Lalu kau mau makan apa?”

Danbi menjawab tanpa ragu, “Cokelat, puding karamel. Cheese cake.”

“Oke,” Chanyeol langsung menyanggupi. “Akan kubelikan setelah kau menghabiskan ini.”

Danbi menyipitkan matanya curiga. “Aku tidak percaya padamu.”

Chanyeol meletakkan mangkuknya kembali ke atas meja dan berdiri dari sofa. “Baiklah. Aku akan pergi sementara kau makan. Tapi kalau setelah aku pulang kau belum makan juga, kau tidak akan dapat apa-apa.”

Danbi menyengir anggun. Bagus, ia bisa membuang bubur aneh itu ke tempat sampah dan bilang kalau ia sudah menghabiskannya.

“Dan kau tidak boleh membuangnya,” tambah Chanyeol, menebak jalan pikiran Danbi dengan sempurna. “Kalau kau membuangnya…”

“Apa?” tantang Danbi.

Chanyeol berpikir sedetik. “Aku akan menggambari mukamu dengan spidol permanen saat kau tidur.”

Danbi meledak dalam tawa. “Ancaman macam apa itu?”

“Aku serius,” balas Chanyeol, lantas beranjak mengambil mantel bepergiannya, dan kembali ke ruang tengah. Sambil memakainya, ia menambahkan, “Aku bisa menggambar kucing yang sangat lucu. Bye.” Ia mengedipkan matanya jahil, lalu melambai dan pergi.

Danbi berdecak. “Menggambar kucing. Dia kira umurnya masih dua puluh tiga bulan apa?” gumamnya. Kemudian ia melirik ragu-ragu mangkuk porselen yang masih hangat itu. Sungguh, ia hanya memaksakan dirinya untuk makan karena perutnya kelaparan, dan bukannya ia peduli pada ancaman konyol ataupun usaha Park Chanyeol. Sungguh.

 

***

 

Danbi menghabiskan seliter es krim stroberi, tiga cup puding, dan sebotol yoghurt dalam seperempat jam, seorang diri.

“Kau makan dengan baik sekarang,” kata Chanyeol ketika Danbi membuka cup puding terakhirnya, tanpa maksud apa-apa.

Tapi Danbi memasang tampang galak. “Aku sudah muntah berhari-hari, tahu tidak? Bubur aneh itu tidak membuatku kenyang. Jangan banyak bicara.”

“Aku sedang bersyukur,” Chanyeol membela diri.

“Berisik.”

Chanyeol mengulum senyum. Sementara itu, Danbi sedang menyuapkan puding ke dalam mulutnya dalam suapan besar. Gadis itu—ataukah sekarang Chanyeol harus memikirkannya sebagai wanita?—tidak peduli rambut hitamnya acak-acakan, wajahnya kusam, dan di sudut-sudut bibirnya ada bekas es krim. Dan ia mulai merasa, terlepas dari tatapannya yang dingin dan ketus, sebenarnya Danbi cukup cantik. Mungkin tidak menawan seperti Baek Jinhye, tapi wajahnya manis. Jenis yang menarik dan tidak membosankan.

Dan… kepribadiannya unik. Terkadang Danbi sangat menyebalkan, tapi bisa bersikap baik kalau ia mau. Sinis dan lucu di saat yang sama. Selalu tampak kuat dan mandiri, meski sebenarnya ia banyak menangis ketika sendirian. Di luar pikirannya yang kaku dan dewasa, ia juga punya sosok anak manja, seperti saat ini. Danbi punya banyak sisi yang sama sekali tidak pernah Chanyeol bayangkan ada pada dirinya.

“Kenapa melihatku begitu?” bentak Danbi galak. “Ada masalah?”

“Oh? Tidak. Tidak ada apa-apa.” Chanyeol memalingkan wajah. Astaga, ia merutuki dirinya sendiri. Apa-apaan itu yang baru saja ia pikirkan?

“Aku tahu aku memang keren,” kata Danbi dengan gaya angkuh, lalu tertawa ala Santa dan melahap suapan terakhir pudingnya. “Ya, Park Chanyeol, mana tadi cokelatnya? Aku masih lapar.”

Dan mendadak Chanyeol menyesali kenapa ia baru menyadari semua itu sekarang.

 

***

 

Hujan turun deras sekali malam ini.

Chanyeol sedang berbaring di sofa sambil mengutak-atik aplikasi aransemen lagu di ponselnya dan mendengarkan lewat earphone, tapi ia tidak bisa tidak menyadari Danbi yang sedari tadi bolak-balik keluar kamar, entah melakukan apa. Ia berpikir untuk mengabaikannya saja, tapi lama-lama kegelisahan gadis itu mengganggu juga.

Ketika Danbi keluar kamar untuk yang kesekian kalinya, Chanyeol melepaskan earbud dari telinganya, menegakkan punggung, dan menegur gadis itu, “Kau sakit perut atau apa?”

Danbi tersentak kaget. “Apa? Tidak,” jawabnya cepat.

“Lalu kenapa kau mondar-mandir terus dari tadi?”

Chanyeol nyaris bisa menemukan ekspresi salah tingkah pada wajah Danbi. Gadis itu berdeham dan menjawab sok santai, “Aku, eh, hanya mengambil air. Abaikan saja.”

“Tidak bisa kalau kau terus-terusan membanting pintu,” kata Chanyeol.

“Baiklah, aku akan menutup pintu lebih pelan,” jawab Danbi dengan nada menggerutu, lalu kembali ke kamarnya dengan langkah berderap.

Chanyeol berbaring lagi di sofa, sekarang berusaha benar-benar tidur. Telinganya menikmati suara berisik hujan selama beberapa saat, lalu mendadak terdengar gemuruh di kejauhan, disusul kelebatan cahaya terang dan suara petir yang memekakkan telinga.

Danbi keluar dari kamarnya lagi—gadis itu berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara, tapi Chanyeol masih bisa merasakannya dan langsung menegakkan punggung lagi. “Danbi-ya.”

Gadis itu nyaris terlompat karena terkejut. “Apalagi? Aku sudah pelan-pelan,” gerutunya.

Chanyeol merasa tidak ada gunanya berusaha tidur sementara Danbi masih akan terus bolak-balik tidak jelas, jadi ia menawarkan pada gadis itu, “Kau mau duduk di sini dulu?”

Danbi mengerjap-ngerjap dan terlihat benar-benar senang dengan tawaran itu. “Memangnya kau tidak mengantuk?”

Tentu saja mengantuk, tapi Chanyeol menggeleng. Toh ia tidak akan bisa tidur kecuali Danbi sudah tenang.

Chanyeol beringsut ke ujung sofa dan melipat kakinya dalam posisi sila untuk memberi tempat duduk pada Danbi. “Ada apa?” tanyanya setelah gadis itu duduk.

“Apanya?” Danbi balas bertanya, jelas tampak pura-pura bodoh.

“Apa yang membuat Ryu Danbi kami tersayang gelisah dan tidak bisa tidur?” Chanyeol bertanya dengan nada sok resmi.

Danbi mengerutkan wajahnya geli. “Ada kalanya orang-orang tidak bisa tidur tanpa sebab. Kau sendiri sedang apa?”

“Aku? Aku sedang membuat lagu baru.”

Danbi memasang tampang meremehkan. “Mana?”

Chanyeol membusungkan dadanya. “Aku tidak boleh menunjukkannya sebelum dirilis.”

“Cih. Dasar pembual sombong,” kata Danbi, tapi ia mengatakannya dengan nada bercanda.

Di luar, petir menyambar sekali lagi dengan cahaya terang dan gelegarnya. Chanyeol melihat Danbi seolah mengerut di tempatnya, dan mendadak ia tahu.

“Kau takut petir.”

“Tidak juga,” balas Danbi galak.

Chanyeol menyengir. “Pantas saja kau sepertinya tidak tenang sejak hujan turun.”

“Aku tidak takut petir,” sangkal Danbi, tapi wajah salah tingkahnya mengatakan sebaliknya. “Aku suka hujan, hanya saja suara berisiknya membuatku tidak bisa tidur.”

Wajah Danbi memerah sampai-sampai Chanyeol tidak tega menggodanya. Jadi ia mengganti topik, “Sekarang aku tahu kenapa namamu Danbi.”

Danbi mengerjap-ngerjap tidak paham.

“Danbi. Sweet rain—hujan yang manis. Jadi kau hanya suka hujan yang menenangkan.”

Danbi memutar bola matanya dan mendengus geli. “Berarti kau dinamakan Chanyeol karena suka demam waktu kecil?”

Chanyeol tergelak. “Tidak ada hubungannya dengan itu.”

“Masa bodoh.”

Mereka tertawa beberapa saat lagi, kemudian suara hujan mengisi keheningan beberapa saat.

“Sebenarnya, aku takut.”

“Apa? Petir?”

“Bukan. Masa depan. Saat ini.”

Chanyeol menoleh pada Danbi yang sekarang duduk dengan memeluk kedua kakinya dan meletakkan dagunya di atas satu lututnya.

“Aku tidak pernah akur dengan orangtuaku. Ayahku tidak peduli padaku dan ibuku membenciku. Aku berusaha berteman, tapi aku sering kesulitan menghadapi orang lain. Aku berusaha mati-matian belajar agar bisa mendapat pekerjaan yang jauh dan pergi selamanya, tapi itu pun tidak begitu berhasil,” gumam Danbi. “Melihat bagaimana kehidupanku, aku tidak pernah berpikir untuk memiliki keluarga sendiri. Aku sudah gagal sebagai anak, gagal menjadi seseorang, aku tidak ingin gagal sebagai apa pun lagi.”

Chanyeol tidak tahu bagaimana menanggapi pernyataan itu. Rasanya seakan-akan Danbi sedang mengatakan bahwa keadaan mereka saat ini adalah kesalahan. Memang, tadinya Chanyeol juga berpikir begitu, tapi…

“Karena itulah, aku iri padamu,” lanjut Danbi. “Kau punya segalanya. Wajah, uang, orangtua yang menyayangimu, teman-teman yang selalu ada untukmu, gadis yang kausukai setengah mati ada di sisimu. Kau tahu jelas apa yang ingin kau lakukan, dan kau tidak pernah meragukan dirimu sendiri. Kau tertawa sepanjang waktu seperti orang bodoh. Sungguh menyebalkan.”

Danbi tertawa pelan, tapi Chanyeol dapat merasakan kepedihan dalam kata-katanya yang santai.

“Aku dan Jinhye tidak seperti kelihatannya.”

Danbi berhenti tertawa dan menoleh.

Chanyeol mengangkat bahu, lantas tanpa sadar ikut-ikutan memeluk kedua kakinya seperti Danbi. “Aku menyukai Jinhye setengah mati, itu benar. Tapi dia tidak menyukaiku sebesar itu.”

Danbi sepertinya terkejut mendengar pengakuan itu. Chanyeol tidak bisa menyalahkannya. Ia sendiri terkejut. Mungkin selama ini ia sudah tahu, hanya saja pura-pura tidak menyadarinya.

“Aku berusaha melakukan yang terbaik untuk membuatnya bahagia, tapi Jinhye bukan tipe gadis yang bisa bertahan lama dalam satu hubungan. Dia sering bilang aku membuatnya merasa terkekang, jadi dia mulai dekat dengan orang lain, kemudian kami berpisah. Tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja, dan aku selalu berhasil meyakinkannya untuk kembali padaku. Lagi dan lagi, berulang seperti itu.” Chanyeol meluruskan kembali kepalanya. “Mungkin akhirnya aku sadar dan berhenti mencoba, karena itulah kami benar-benar berakhir.”

Suara hujan di luar mulai mereda. Gemuruh sudah berhenti.

“Ini memang tidak ada apa-apanya bagimu, tapi mungkin bisa membuatmu merasa lebih baik,” kata Chanyeol pelan. “Bahkan orang paling bahagia pun punya sesuatu yang membuatnya sakit.”

Danbi menggigiti bibir bawahnya dengan salah tingkah, lalu menunduk. “Yah, sebenarnya tidak benar-benar membantu, tapi terima kasih.”

Chanyeol tersenyum kecil. Entah kenapa, sikap sok itu justru membuatnya senang. Jika Danbi mencoba memberikan reaksi positif, mungkin malah akan terdengar palsu. Ia lebih suka Danbi yang seperti itu.

Chanyeol mulai memikirkan kehidupan ini dalam perspektif yang berbeda. Mereka berdua terjebak di masa ini tanpa ingatan apa-apa mengenai sepuluh tahun terakhir. Saat Chanyeol ingin pergi, tidak ada petunjuk apa pun untuk membantunya. Begitu bertemu dengan Kyungsoo dan merasa menemukan titik terang, Danbi membuatnya bingung. Dan sekarang, saat mereka sepakat untuk mencari bersama dari awal, muncul masalah bayi. Mungkinkah takdir sedang mencoba memberitahunya untuk menerima keadaan?

Chanyeol menoleh, dan menemukan kepala Danbi terkulai ke samping.

“Danbi-ya?”

Gadis itu tidak pingsan, kan?

Chanyeol mengguncang bahunya sedikit. “Ryu Danbi?”

Gadis itu menggumam tidak jelas.

Chanyeol menghela napas. Ternyata hanya tertidur. “Ya, bangunlah dan tidur di kamarmu. Ini tempatku.”

Danbi membalas dengan suara kumur-kumur dan malah membaringkan dirinya.

“Astaga. Ya, Ryu Danbi, jangan tidur di sini.”

Danbi tidak mendengarkan.

Baiklah. Chanyeol menarik napas dalam-dalam dan mengangkat tubuh Danbi dalam gendongannya. Ia bisa merasakan dadanya berdebar-debar antara panik—takut gadis itu jatuh atau apalah—dan semangat yang aneh—karena ini pertama kali Chanyeol menggendong seorang perempuan. Tubuh Danbi ternyata tidak seberat dugaannya. Setidaknya tangannya tidak akan patah dalam sekali percobaan.

Chanyeol membuka pintu kamar dengan sikunya, kemudian hati-hati memosisikan Danbi di atas tempat tidur dan menarik selimut sampai ke lehernya. Selama beberapa detik, ia menatap wajah gadis itu. Wajah gadis yang melewati banyak hal seorang diri. Chanyeol membayangkan bagaimana wajah itu ketika masih kecil, terus hingga beranjak remaja.

Mungkin tidak ada salahnya menerima.

“Selamat malam,” ia berbisik pada sepasang mata yang terpejam pulas itu.

Dan sebelum Chanyeol bisa berpikir, ia mencondongkan tubuhnya perlahan dan mencium bibir gadis itu. Ciuman untuk Ryu Danbi kecil yang tidak mendapat kasih sayang orangtuanya, untuk Ryu Danbi muda yang merasa pesimis pada kehidupannya, dan untuk Ryu Danbi yang saat ini menemaninya.

 

=to be continued=


White Secrets Little Scandal (Chapter 2)

$
0
0

White “secrets” Little Scandal

 white

 

Author : morschek96

Tittle : White “secrets” Little Scandal

Genre : Drama, Life, General, Psychology

Cast:

Han Sora, Kim Jong In, Oh Sehun

Others.

FF ini sudah pernah dipublish di KimJongIn Fanfiction, Gallery EXOFF & WP pribadi milik saya sendiri https://morschek96.wordpress.com jadi tidak ada unsur plagiat

.

[one step closer]

***

__

Matahari mulai bergerak turun, terlihat semburat jingga di garis ujung cakrawala. Setidaknya hujan sudah reda, hanya tinggal gerimis kecil yg masih setia mengguyur kota. Terlihat di pekarangan rumahnya tiap tetesan bening tersebut turun ke dedaunan lalu bergerak mulus menuju rerumputan hijau diatas tanah. Sejuk

Ia menatap keluar dari jendela kaca yang telah buram karena embun, sedikit mengaburkan pandangannya. Namun tak masalah, terlihat dari sosoknya yang masih setia melihat keluar dengan tangan menopang dagu. Disaat seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Apa yang harus ia rasakan? Sedih? Atau senang? Entahlah. Rasanya garis takdir telah mempermainkannya dengan terlalu jauh, sangat jauh hingga tak dapat lagi ia hitung untuk lebih tepatnya yang telah keberapa kali.

 

Pandangannya datar, tapi tidak dengan hatinya. Ia merindukan keluarganya, ini adalah pertama kali dihidupnya harus tinggal jauh terpisah dari keluarganya. Eomma.. ia bergumam pelan.

 

“Sora.. makanan sudah siap”

 

Sebuah suara dengan sedikit berteriak dari lantai bawah mengganggu lamunannya. Ia balikkan tubuhnya lalu dengan tidak sengaja menatap jam dinding berwarna orange diatas televise, pukul 18.12 ? berarti ia hampir satu jam duduk disini? Pantas saja kaki yang ia tekuk sedari tadi terasa kesemutan.

 

Ia berjalan dengan perlahan menyusuri tangga, sedikit mengaduh tatkala kakinnya terlalu kencang membentur lantai. Tapi kenapa tangganya banyak sekali? Harus butuh waktu yang agak lama untuk dapat turun kebawah.

 

“bagaimana hari pertamamu Sora-ya?” ujar Kris setelah melihat Sora duduk berhadapan dengannya. Ia membuka tutup panci berisi ramyeon tersebut dan kemudian terlihat asap yang mengepul keluar.

 

“sangat baik oppa, aku sudah mempunyai teman”

 

“ ooh baguslah”

 

“dan juga ada Sehun yang ternyata bersekolah disana” senyumnya kembali merekah setelah mengingat kejadian tadi siang dimana ia bertemu dengan teman kecil bermarga Oh itu.

 

Namun bagaimana dengan Kris yang hanya mangut-mangut sedari tadi? Tentu saja ia tidak mengenal siapa itu Sehun. Daripada meminta penjelasan yang akan berlangsung lama, sebaiknya ia makan saja.

 

.

.

.

***

 

“Yerim-ah” sapa Sora pada teman sebangkunya tersebut. Dan, ah apa ia harus mengatakannya? Bagaimana bisa seorang siswa yang sedang asik memasang make up padahal ini sudah didalam kelas?

“apa yang kau lakukan eoh?” Sambungnya kembali setelah duduk di kursinya.

 

“memangnya apa yang kau lihat? Tentu saja sedang dandan” ia membalas kesal, terlihat jelas dari wajahnya Yerim tidak dalam sedang mood yang baik.

 

“kenapa kau berdandan didalam kelas?”

 

“haishh kau ini cerewet sekali-“

 

“memang benar” Sora menjawab cepat.

 

“hmm.. tadi appaku harus buru-buru berangkat ke kantor, dan alhasil aku tidak sempat dandan. Lalu kubawa saja peralatan make up ku.”

Yerim berbicara cepat seraya menghapus polesan bedak yang dirasa terlalu tebal.

 

“ooh” Sora hanya mengangguk-angguk dibuatnya. Tidak terlalu berlebihan memang, mereka kan wanita apalagi sudah remaja. Setelah beberapa saat hanya mengamati Yerim yang masih asik berdandan, Sora ingat akan satu hal. Pembicaraannya dengan Yerim yang sempat terputus kemarin.

 

“Yerim-ah, kau masih berhutang penjelasan padaku”

 

“penjelasan apa?”jawabnya setelah selesai memberi warna pada bibirnya. Lalu memasukkan semua peralatan make upnya sebelum ada teman lelakinya yang tahu dan akan terjadi perang mengejek selanjutnya, apalagi kalau lelaki itu adalah baekhyun dan chanyeol, uhh pasti ia akan digoda habis-habisan.

 

“tentang yang kemarin.” Oh hell! apa secepat itu ia lupa? “tentang masalah kekasih sehun dan si kapten basket.”

 

“ssttt..” mata Yerim langsung terbelak kaget mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibir Sora, tak bisakah gadis ini sedikit memelankan suaranya?

“jangan-keras-keras” ujar Yerim dengan penuh penekanan pada setiap katanya.

 

“ceritakanlah-padaku” tak mau kalah, kini Sora mengikuti gaya berbicara Yerim.

 

Terlihat Yerim sangatlah gugup untuk menceritakannya, berkali-kali ia menoleh kesegala arah diruang kelas untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapan mereka.

“kau lihat tempat duduk paling belakang dipojok kanan itu?” Yerim menunjuk kearah yang ia tuju.

 

“ne, ne” dan Sora hanya mengangguk paham.

 

“menurut rumor yang beredar si pemilik bangku itulah sang pelaku”

 

“MWO?”

 

“diamm!” Yerim harus berteriak untuk menyamai suaranya dengan Sora.

“aku lupa memberi tahumu kemarin tentang anak yang bernama Kim Jong In dikelas ini.”

 

“Kim..? mwo?” ulangnya lagi.

 

“Kim Jong In” bisik Yerim lebih pelan, nyaris mencicit.

“bisa dibilang dia sedikit.. menyeramkan. Menurut cerita sebagian siswa, dulu Jongin sempat tinggal di Jepang waktu ia kecil, dan ibunya adalah seorang geisha. Ketika Jongin berusia 7 tahun ia harus kehilangan ibunya, dan menurut bukti ternyata ibu Jongin dibunuh oleh suaminya sendiri, ayah Jongin.”

 

“mengerikan. Lalu apa hubungan Jongin dengan aksi bunuh diri itu?”

 

“sebentar. Jika dipikir lagi, ayah Jongin adalah anggota geng mafia kelas atas, dan membunuh juga pasti termasuk hal biasa bagi mereka.

Sejak Junior High School Jongin dan Jisub si kapten basket sudah saling bermusuhan. Dimulai ketika Jisub sering mengatai Jongin sebagai anak seorang geisha dan mafia.”

 

“jadi menurutmu, ini adalah aksi balas dendam, begitu?”

 

“sepertinya”

 

“kalau tentang kekasih Sehun?”

 

“untuk kasus Jiae, kami tidak terlalu banyak tahu. Mengingat Jiae bukanlah dari kalangan siswa popular. Dia hanya beruntung menjadi kekasih Oh Sehun.”

 

 

KKRRRIIIIIIIINNNNGGGGG

 

“hah, kuharap kau berhati-hati jika bertemu dengan Jongin. Karena tidak ada satu orang pun yang berani berdekatan dengannya, apalagi berteman dengannya”

 

“baiklah”

 

“tapi sepertinya hari ini ia tidak masuk lagi, sudah 3 hari bangku itu kosong” Yerim kembali menolehkan pandangannya ke bangku pojok ruangan disusul dengan Sora yang ikut menatap kearah yang sama.

 

oke, mendengar cerita Yerim barusan membuatnya sedikit berdigik akan teman sekelasnya yang bernama Kim Jongin itu. Apakah ia benar-benar semengerikan itu?

 

Guru Shin kembali memasuki kelas dengan buku-buku tugas yang siap mendidihkan kepala setiap siswa. “Suho, bagikan ini keteman-temanmu” Guru Shin meminta pertolongan pada Suho si ketua kelas untuk membagikan buku-buku tersebut.

 

“buka halaman 27 dan kerjakan. Waktu satu setengah jam dimulai dari sekarang” ujar Guru paruh baya tersebut kembali. Berselang beberapa menit hingga-

 

#ceklek

 

Seseorang membuka pintu dan masuk kedalam memperlihatkan sosok dingin yang berdiri diambang sana.

“maaf saya terlambat saem, tadi saya harus ke ruangan Guru Kang” ujarnya sopan sambil menunduk dalam. Tak menampakkan wajahnya secara keseluruhan, membuat Sora si anak baru harus menebak-nebak siapakah lelaki berambut putih ini. Tunggu- .. mwo? Melihat perawakan lelaki ini membuatya mengingat kejadian kemarin. Bukankah ini lelaki berambut putih yang bersamanya saat dihalte kemarin?

 

“Kim Jong In, baiklah ini buku tugasmu” Guru Shin memberikan buku tugas yang masih tersisa satu untuk lelaki tersebut yang ternyata bernama Kim Jong In.

 

“d-dialah Kim Jong In” Yerim berbisik pelan kearah Sora. Sangat pelan nanmun Sora masih bisa mendengarnya.

 

Sora tak melewatkan satu detikpun untuk terus menatap lelaki itu. Rasanya seperti kemarin, getaran aneh itu kembali muncul ketika menatap ke iris gelap lelaki tersebut. Memang benar jika ada yang mengatakan bahwa Jongin sedikit menyeramkan, nyatanya ia memang menyeramkan. Badan tegap dan rambut putihnya, juga terasa ada aura gelap yang menyelimuti sosoknya. Dengan pandangan tajam juga wajah datarnya, terlihat cool, tapi menyeramkan.

 

.

.

.

***

 

“bisa-bisanya.. akh appaa!” Yerim menjerit tertahan setelah beberapa saat mencari sesuatu didalam tasnya.

 

“kau kenapa?”

 

“karena tadi pagi harus buru-buru, aku lupa tidak membawa dompet. Aisshh eottokae??”

 

“pakai saja uangku. Kau ini berlebihan sekali”

 

“ah, bolehkah?” Yerim tersenyum senang menghadap si sahabat barunya. Tidak salah ia mengenal gadis sebaik Sora. “kau memang baik Sora-ya” ujarnya kembali seraya menunjukkan aegyo gilanya pada Sora, dan membuat Sora harus mati-matian menahan hasratnya untuk tidak melempar sepatunya kearah Yerim.

 

Sekilas Sora melihat kearah pojok ruangan dimana Jongin duduk dengan ekor matanya. Apa lelaki ini tidak lapar? Dijam istirahat dia malah tidur bersandar dinding dengan memasang headphone. Tak mau terlalu membuang waktu hingga akhirnya ia mengikuti Yerim keluar kelas menuju kantin.

 

~

~

 

“Yerim-ah, apakah si Jongin itu selalu bersikap seperti itu?” pandangannya tertuju lurus pada jus apel yang baru saja ia minum seperempat gelas.

 

“ne. sudah kubilang kan kalau dia tidak punya teman”

 

“tapi..-

 

“haish kau ini, kenapa sekarang kau jadi sering bertanya tentang Jongin eoh?” Yerim memicingkan matanya seolah meminta penjelasan yang ia rasa cukup tidak masuk akal. Belum ada yang mau peduli dengan lelaki tan itu sebelumnya.

 

“a-aku hanya penasaran” Sora menjawab gugup dengan kalimat seadanya. Well, ia juga bingung kenapa ia ingin tahu sekali tentang Kim Jongin, apa kaitan lelaki itu dengannya? Toh tidak ada.

 

Sora kembali ingin meminum jus apelnya, namun dewi fortuna mungkin belum berpihak padanya. Oh Sehun menepuk pelan bahu gadis itu dan membuatnya kaget setengah mampus. Jika saja tangannya tidak terlalu kuat memegang gelas, maka akan bisa dibayangkan kejadian selanjutnya.

 

Sora memejamkan matanya sejenak guna meredam emosinya, lalu berbalik menghadap Sehun yang telah duduk disampingnya dengan senyum yang dipaksakan.

 

“Sehunnie..” ia berujar pelan. “KAU MAU AKU JANTUNGAN??!!” oh tapi tidak untuk kalimat selanjutnya.

Dan itu membuat beberapa siswa yang langsung menoleh kearahnya.

 

Namun tidak untuk Oh Sehun, ia hanya tersenyum manis menanggapi teriakan gadis teman kecilnya itu. Bisa dibilang ini memang salahnya kan?

 

“tentu saja tidak. Aku tidak akan membiarkan gadis kecilku ini terluka sedikitpun” oke ini menggelikan. Apa ia bilang tadi? `gadis kecil?`

Demi apapun Oh Sehun, orang yang tidak punya otak pun tahu jika ia sudah besar.

 

“jika kau kemari hanya ingin menjahiliku, lebih baik tidak usah. aku malas berdebat denganmu”

 

“s-sebenarnya.. hehe” oke kini ia lebih mirip balita 5 tahun yang ketahuan berbohong.

“aku ingin mengajakmu jalan-jalan Sora-ya” sambungnya saat memberi jeda beberapa sekon.

 

“jeongmal?” kenapa si cadel ini tidak langsung memberitahu dari tadi saja eoh..? “tapiii- apa Kris oppa memberi izin?”

 

“Kris oppa? Siapa?”

 

“anak buah appaku, dia yang menjagaku selama disini. Aku takut jika dia tidak mengizinkaku.” Sora menunduk lesu, membayangkan jika Kris menceramahinya ini itu pasti tidak akan menyenangkan.

 

“haisshh bagaimana ya? Eottokhae? Eottokhae?” kini Sehun sendiri yang nampak berbicara sendiri bagaikan idiot.

 

“setidaknya tanyakan dulu pada oppamu Sora-ya. Siapa tahu jika ia mengizinkan?” saran yang cukup bagus dari Yerim yang sedari tadi hanya menjadi penonton. Apa salahnya mencoba kan?

 

“baiklah, coba hubungi aku nanti malam jika memang kau diizinkan otte?”

 

.

.

.

***

 

“kau mau permen kapas?” tawar Sora pada Sehun yang sedari tadi hanya meminum bubble tea. Mereka memang sedang jalan-jalan, setidaknya Sora harus mati-matian membujuk Kris untuk diizinkan keluar sebentar. Tidak lebih dari jam 9 malam katanya, baiklah tidak masalah kan?

 

“kenapa warnanya kuning? Biasanya berwarna pink”

 

“tentu saja ini kan rasa lemon” Sora mengambil sedikit dengan tangannya lalu menyodorkan kearah Sehun, dengan tujuan menyuapi si pria cadel tersebut.

 

Awalnya Sehum memang menolak dengan menggelengkan kepalanya, namun lama-lama ia bersedia untuk membuka mulutnya.

“tidak terlalu buruk” ucapnya setelah menelan permen kapas pemberian Sora.

 

“iya kan? Kau juga menyukainya.” Ia akan kembali memakan permen kapas tersebut, sedikit membuka mulutnya, dan- MWO? Sehun ikut memajukan wajahnya dan menggigit permen kapas itu disisi lainnya.

 

“YA! Oh Sehun apa yang kau lakukan eoh?” demi apapun, wajah Sora kini mulai memanas, pasti pipinya akan terlihat memerah saat ini. Namun si lelaki Oh itu malah tertawa terpingkal-pingkal melihat aksi yang baru saja dilakukannya.

 

“hahaha wajahmu Sora-ya”

 

“diam kau Bihun!”

Baiklah, nampaknya teriakan Sora berhasil, Sehun telah menghentikan tawanya.

 

 

“Sehun?? Benarkah itu kau?” sebuah suara mau tidak mau harus menyita perhatian keduanya. Terlihat seorang gadis berambut pirang (hasil dicat tentunya) berjalan kearahnya.

 

“ternyata benar itu kau” gadis itu duduk disebelah Sehun dan kembali bersuara sebelum satu dari keduanya menjawab.

“apa yang kau lakukan disini eoh? Dan- siapa gadis ini? Apakah dia pacar barumu? Pendek sekali, juga tidak pandai berdandan. Tak kusangka setelah Jiae meninggal seleramu jadi seperti ini”

 

BRAKK!

 

Sehun memukul kusen kayu yang berada diantara dirinya dan Sora, dan nampaknya itu berhasil untuk membuat gadis cerewet ini bungkam.

 

“bisakah kau diam?! Aku tidak pernah mengatakan kalau aku membolehkanmu bergabung duduk bersamaku.”

 

Selanjutnya ia menarik Sora untuk meninggalkan tempat tersebut, sedikit menakutkan memang kalau Sehun sudah marah. Seperti saat ini, tatapan matanya menajam dan pelipisnya yang mulai mengeluarkan keringat pertanda ia sedang menahan emosi.

Mereka duduk di kursi panjang yang berada si sebelah komediputar.

“kau tidak apa-apa kan, jangan pedulikan ucapan Hana tadi eoh?”

 

“tidak” Sora menjawab singkat. Namun ia berbohong tentunya, siapa yang tidak tersulut emosi jika dikatakan pendek dan tidak pandai berdandan.?

 

“kalau ada orang lain yang mengganggumu katakana saja padaku otte?”

 

“ne Sehun-ah. Aku tidak apa-apa sungguh.”

 

 

.

.

.

***

 

“jadi kau berhasil keluar bersama Sehun tadi malam?”

 

“tentu saja, tapi sulit sekali membujuk Kris oppa untuk memberiku izin kau tahu? Seperti appaku kalau sudah mengoceh”

 

BRAKK!

“gara-gara kau semalam Sehun membentakku!” seseorang menggebrak mejanya, membuat Sora sontak kaget melihat siapa yang melakukannya, tak sempat ia melayangkan kata-kata protes orang tersebut langsung menumpahkan minumannya dengan sengaja kearah Sora.

 

Dan apa katanya tadi? Gara-gara kau semalam Sehun membentakku? Tidakkah kau ingat jika semalam Sora tidak melakukan apapun? Berbicara satu katapun tidak. Bukannya dia yang langsung datang mencerocos panjang kali lebar sama dengan luas?

 

“apa yang kau lakukan gadis gila?!!” Yerim yang tidak terima melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu pun mulai bersuara. Dan sedikit mendorong gadis tersebut.

 

Melihat adanya keributan membuat para siswa berkumpul untuk melihat apa yang sedang terjadi

“sudahlah Hana” salah seorang teman gadis yang telah mengamuk tersebut langsung membawanya pergi menjauh dari meja Sora&Yerim.

 

“urusan kita belum selesai gadis pendek!!” teriaknya frustasi sambil melangkah terseok karena tengah ditarik oleh temannya.

 

 

“Sora, kau tidak apa-apa? Mari ku antar ke toilet”

~

~

 

Mereka berjalan beriringan menuju ruang kelas. Dan sialnya kini blazer Sora sudah benar-benar basah, akhirnya ia hanya memakai kemeja putihnya tanpa blazer.

Melihat ada yang aneh dengan gadis tersebut seseorang berlari kearahnya, menepuk bahunya dan berjalan beriringan dengannya dan Yerim.

 

“ada apa denganmu Sora-ya?” suara yang tidak asing Sora langsung tahu siapa pemilik suara ini tanpa menoleh kearahnya.

 

“tidak ada” ujarnya pelan dengan sedikit menunduk. Apakah ia harus menceritakannya kepada Sehun? tapi bagaimana reaksi Sehun setelah mendengar penuturannya? oh Sora masih ingat bagaimana Sehun ketika sedang marah seperti tadi malam. Lebih baik mungkin ia tidak akan menceritakannya.

 

“ini semua kelakuan gadis penguntitmu itu eoh.! Dia menumpahkan air lemon ke blazer Sora!”

Damn Yerim! Tidak bisakah kau diam saja?

Lihatlah kini wajah Sehun sudah terbelak sempurna.

 

“siapa maksudmu Yerim-ah?” Tanya Sehun, ia sudah mempunyai gambaran siapa gadis yang dimaksud Yerim, hanya saja ia masih memerlukan penuturan yang jelas untuk lebih tepatnya.

 

“siapa lagi? Gadis yang selalu membuntutimu. Im Hana.” Ujarnya lagi, kini terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

 

Kini Sehun benar-benar terdiam sempurna.

“tapi kau tidak apa-apa kan Sora-ya?” raut khawatir jelas terpatri diwajah tampan Oh Sehun.

 

“tidak apa-apa, kau ini berlebihan sekali Sehun-ah”

 

 

***

 

Lagi-lagi pria itu masih diam ditempatnya sana. Selalu sama setiap saat, sedikit khawatir jika terus-terusan melihatnya seperti ini.

Apakah ia tidak kesepian? Bagaimana bisa seseorang terus berada seorang diri tanpa ada siapapun yang menemani?

 

Ingin sekali Sora mengobrol atau sekedar menyapa kearahnya. Namun, ia masih sedikit- takut untuk melakukan itu semua.

Kim Jong In. Sora memanggil nama pria itu pelan dalam hatinya. Setidaknya ia sudah pernah mendengar langsung suara lelaki ini ketika berbicara padanya, waktu di halte. Ya, meskipun hanya beberapa kata.

 

“apa yang kau lihat eoh?” suara Yerim mampu membawa jiwanya kembali ke dunia nyata. Sedikit membenarkan posisi duduknya menghadap depan.

 

“tidak ada, hanya sedikit melamun” jawabnya jujur.

 

“tapi mengapa kau melamun seraya melihat kearah Jongin?” shit! Apakah ketara sekali jika sedari tadi ia terus memperhatikan Jongin? Ini memalukan.

 

Dan sepertinya orang yang memiliki nama tersebut mendengar percakapannya dengan Yerim, terbukti sekarang Jongin tengah menatap kearahnya.

Membuat Sora sedikit salah tingkah dibuatnya,

 

“t-tidak, aku hanya tidak sengaja melihat kearahnya. Jangan bicara yang tidak-tidak Yerim-ah.”

 

 

.

.

.

***

 

Bagaikan déjà vu , kejadian dan ditempat yang sama kembali terulang. Suasana mendung dengan sosoknya yang duduk dikursi panjang sebuah halte sebelah sekolahnya.

Juga bersama orang yang sama, Kim Jong In.

Hanya saja sekarang ia telah mengetahui nama lelaki tersebut, juga pakaian seragam mereka yang sama, karena pada beberapa hari lalu Jongin hanya memakai celana Jeans dengan jacket berwarna cokelat tua. Dikarenakan memang pada hari itu Jongin tidak masuk sekolah.

 

Diam-diam sedari tadi matanya sedikit mencuri pandang kearah Jongin, ada hasrat dalam dadanya untuk sekedar menyapa lelaki tan tersebut, bukankah mereka satu kelas?

 

“kau gemar sekali memperhatikanku eoh?”

 

Ucapan lelaki tersebut langsung menyadarkan akan berbagai fantasinya dalam kepala. Kenapa dia bisa tahu? Rutuk Sora dalam hati.

Dengan sedikit kikuk Sora bangkit dari duduknya semula dan mengambil jarak yang lebih dekat dengan lelaki itu, duduk berjarak beberapa centi dari sosoknya.

“n-namaku Han Sora” ucapnya pelan, ia harus mati-matian menahan mulutnya agar tidak berteriak seperti orang sinting saat ini. Jujur saja, Sora sedikit- takut pada Jongin.

 

“kita satu kelas” ujarnya kembali.

Namun lelaki disebelahnya ini hanya berbalik dan menatap datar kearahnya, tanpa ada keinginan untuk berbicara apapun. Terlihat dari bibirnya yang ia katupkan rapat-rapat.

 

“k-kita juga sempat bertemu beberapa hari yang lalu ditempat ini… apa kau tidak mengingatku?”

Ayolah.. ia bagaikan sedang dikerjai sekarang. Mengapa lelaki ini tidak mengucapkan sepatah kata pun eoh?

 

“aku mengingatmu”gumamnya pelan seraya melempar pandangan lurus kedepan, oh hell! Mengapa hanya dengan mendengar suaranya saja dapat membuat jantung Sora bertalu-talu sepeti ini?? parasaan macam apa ini? Takutkah?atau lega karena pria ini merespon ucapannya?

“kau gadis yang selalu memperhatikanku secara diam-diam saat dikelas, seperti yang baru saja kalu lakukan”

 

Matilah kau Han Sora? Bagaimana lelaki ini tahu? Apa ia mempunyai mata lain selain yang Nampak diwajahnya? Oke,itu pertanyaan bodoh.

Tapi bagaimana ia tahu?

 

“eee bukan maksudku seperti itu.. hanya sajaa..” Sora Nampak berpikir keras dengan tangannya yang menggaruk bagian belakang kepala yang sebenarnya tidak gatal.

Dan sepertinya Jongin ingin mendengar kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Sora, Lelaki itu terus menatapnya seolah bertanya apa?. Lalu dengan perlahan ia majukan tubuhnya kearah Sora, dan harus membuat gadis itu memundurkan punggungnya. Mata keduanya pun bertemu, iris mata itu saling menatap satu sama lain, juga terasa hembusan napas masing-masing kian membelai wajah keduanya.

 

Terjadi cukup lama hingga lelaki itu kembali berujar.

“apa yang kau harapkan selanjutnya eoh?” lalu ia memundurkan kembali tubuhnya dan bersender pada punggung kursi. Ia terkekeh pelan seraya menunjukkan smirknya, smirk liicik seperti yang dimiliki penjahat-penjahat dalam film laga.

 

“t-tidak”

 

Tak lama kemudian sosok yang ditunggu pun akhirnya datang, ia hendak melangkahkan kaki menuju Masserati hitam milik Kris namun ada pemandangan lain yang nampaknya rugi untuk dilewatkan.

 

Ada sebuah mobil juga, Alpart berwarna putih berhenti tak jauh dari ia berdiri. Lalu keluarkah dua lelaki berbadan besar dan memakai setelan serba hitam menghampiri.. Kim Jong In? sebenarnya siapa si Jongin ini? Anak seorang Presiden jika kemana-mana harus didampingi bodyguard? Sora sampai tak habis pikir. Jongin sedikit melirik kearah Sora beberapa saat sebelum ia memasuki mobil mewah tersebut..

 

 

.

.

-To Be Continue-

.

.

Hai Hai.. aku lanjut bawa chapter 2nya nih.. hope you like it J

Kritik saran sangat diperlukan, so jangan lupa kasih tanggapan kalian di kolom comment yah.. see you


Acting!

$
0
0

Acting!

- 6. Acting

Tittle : Acting! | Cast : Oh Sehun (EXO-K) | Genre : Romance, School-life, little bit Comedy | Length : Oneshoot | Rating : PG-15 |

Written by .lallapo. (@lallapo_12)

Disclaimer : FF ini murni dari pemikiran lallapo, jadi jangan plagiat!

 

‘Setiap kenakalan Sehun selalu terbayar’

 

Authors Note : Gomawo buat bnjjksny/peri yang sudah membuat poster ff ini…

Sudah di post di blog lain dengan nama author yang sama.

 

|.lallapo. Acting!|

5 Januari 2015 – Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang

Ketika aku baru sampai di sekolah, aku bertemu Jang songsaengnim. Beliau menyuruhku memanggil Oh Sehun, teman sekelasku sekaligus musuh bebuyutanku. Huh, Oh Sehun- bisa jadi menyebalkan.

Dan ketika aku sudah berada di depan kelas, aku langsung berteriak, “Ya! Oh Sehun! Kau dipanggil Jang songsaengnim! Cepat pergi sana, kau merusak pemandanganku di kelas.” Kataku dengan wajah tak suka.

“Ihh, siapa juga yang betah melihat wajahmu lama-lama. Tak perlu kau usirpun aku akan segera pergi. Weekk…” balas Oh Sehun yang menyebalkan dengan memeletkan lidah. Ia berdiri dan segera keluar dari kelas.

Anak-anak lain di kelasku memang sudah terbiasa melihat kejadian seperti ini. Bahkan jika kami tidak bertengkar minimal satu kali dalam sehari, mereka malah mencari tahu apa yang membuat kami tidak bertengkar. Aneh, bukan?

Aku hendak duduk di kursi pojok kiri ruangan, itulah kursi yang sudah kucap milikku sendiri. Tak ada yang boleh menempatinya kecuali diriku. Teman-teman juga tak berani menduduki kursi itu. Karena apa? Mereka takut padaku. Mereka sudah pernah melihatku seperti singa yang diinjak ekornya. Mereka melihatku marah besar dengan teriakan yang sangat kencang ketika aku benar-benar kesal pada seseorang –Oh Sehun namanya–

Tapi, beda cerita dengan namja bernama ‘Oh-Se-hun’. Seberapa marah aku padanya, ia tak takut padaku. Pertahanannya mendengarku marah-marah sangat kuat bak baja. Dan, well… sekarang ia mencari masalah lagi denganku.

Oh Sehun duduk di kursi pojok kiri ruangan, kursi yang kucap sebagai milikku, kursiku yang sudah diduduki Oh Sehun. Dan Oh Sehun ingin mencari mati sekarang, “OH SEHUNNN!!! Cepat pindahkan tasmu ke kursi lain! Jangan duduk di kursiku!!” aku tak perduli dengan orang lain yang merasa terganggu dengan teriakanku yang sangat membahana ini.

Tak lama kemudian, datanglah Hong So Ra, selaku ketua kelasku yang menenangkanku. “Sabar… Sehun masih di ruangan guru, sekeras apapun kau berteriak ia takkan mendengarnya.” Kata So Ra dengan lembut.

Aku mengambil tas Sehun di kursiku dan membantingnya ke sembarang tempat. Tepat setelah itu, Sehun datang dengan wajah tanpa dosanya. “YA! OH SEHUN… Sudah kubilang jangan duduk di kursiku!” bentakku.

“Memang kau yang membeli kursi itu? Bukan, kan? Lalu kenapa aku tidak boleh duduk di situ?” Sehun bicara dengan santainya dan berjongkok, mengambil tasnya yang jatuh serta merapikan buku-bukunya yang berceceran.

Ia kembali berdiri dan aku berkata kembali, “Huh! Terserah apa katamu! Kau boleh duduk di situ, puas?” Aku mengambil tas dan berjalan keluar dari kelas. Dan jangan lupakan, aku baru saja menyenggol bahu Sehun saat aku melewatinya.

“Go Se Na! Kau mau kemana? Pelajaran pertama akan segera dimulai! Go Se Na!” teriak So Ra saat aku sudah berjalan cukup jauh dari kelas. Ia mungkin akan khawatir karena kami memang sudah duduk di tahun ketiga.

To        : Hong So Ra

Aku akan tetap belajar jangan khawatir, hanya saja aku tidak mood untuk sekolah hari ini. Bilang saja pada Jang songsaengnim aku sedang sakit, tugas-tugasku sudah kuletakkan di meja guru tadi. Gomawo, Ra-ya.

Setelah mengetik SMS di ponsel dan mengirimnya, aku kembali melanjutkan perjalananku. Ya… aku sedang tidak dalam mood untuk sekolah hari ini, jadi lebih baik aku membolos sekolah saja, kan? Lagipula aku akan menjadi sangat badmood lagi berada di dalam kelas, jika melihat Oh Sehun yang menyebalkan itu.

<<>>

‘Eonni message…’ terdengar dering ponselku berbunyi, aku sudah berada di luar sekolah sekarang.

From   : Namchin

Kau di mana sekarang? Nanti kujemput setelah pulang sekolah. Jangan pergi jauh-jauh, oke? Hati-hati di jalan, yeobo.

To        : Namchin

Aku tidak tahu tujuanku sekarang akan ke mana. Nanti kuhubungi lagi.

SMS tadi dari namjachinguku, kami berdua berada di kelas yang sama jadi dia tahu segala hal yang terjadi di dalam kelas, termasuk kejadian tadi.

Aku kembali berjalan, mungkin jalan-jalan di tempat bagus akan mengembalikan moodku yang tadi dirusak Oh Sehun menyebalkan tadi.

‘Ah, aku masih memakai seragam!’ segera kukeluarkan jaket dari dalam tasku dan memakainya. Kupasang juga earphone di telingaku dan mulai mendengarkan lagu. Lagu yang menyejukkan hati, yang membuat moodku kembali membaik.

Aku terus berjalan sampai di kawasan pasar tradisional yang cukup ramai. Untunglah hari ini aku membawa cukup banyak uang, jadi aku bisa makan makanan enak di sini, yuhuu. Aku melangkah ke kios-kios yang menjual makanan, di antara makanan-makanan di sini, makanan tradisional di sinilah yang sangat menggiurkan. Aku membeli beberapa makanan dan sekaleng kopi hangat.

Sambil memakan sosis-sosis di tanganku, aku mencari tempat duduk dan menemukan bangku kecil di taman sekitar pasar tadi. Bangku kecil di dekat kolam yang airnya sudah membeku, dapat kulihat air di kolam itu sebening kristal. Aku duduk di bangku itu dan mengamati orang yang berlalu-lalang di depanku.

“Waa… pemandangannya,” aku tersenyum melihat pemandangan indah di depan mataku, sepertinya moodku mulai membaik.

Kutengok sekilas jam yang melingkar di tanganku, sekarang menunjukkan pukul 10. Aku menghembuskan nafasku. Di sini udaranya semakin dingin, lihat saja hembusan nafasku saja kini berasap. Terlepas dari itu semua, kini pikiranku teralihkan pada titik-titik putih yang melayang-layang di langit dan jatuh ke bumi.

“Waaa… salju pertama!” ucapku kegirangan, meskipun sudah hampir satu minggu masuk musim dingin, hari ini salju pertama baru muncul.

Aku dapat merasakan dinginnya salju yang jatuh ke pipiku dan sesaat kemudian mencair. Ahh, dingin…

<<>>

Aku ingin mengabadikan momen ini!

Kukeluarkan kamera dari dalam tasku, aku mulai membidik objek di depanku yang menarik perhatian termasuk langit yang menurunkan salju-salju hari ini. Saat sudah selesai memotret, aku melihat hasil potretanku. “Go Se Na, daebak! Kau semakin pintar memotret,” gumamku bangga pada diri sendiri.

Setelah bosan duduk di bangku itu berjam-jam, aku melangkahkan kaki menyelusuri kawasan ini. Tak lupa dengan kamera yang menggantung di leherku. Sesekali aku akan membidik objek dan memotretnya. Aku terus memotret sampai dering ponselku berbunyi kembali.

From   : Namchin

Aku akan menjemputmu sekarang, kau di mana?

To        : Namchin

Aku di pasar sekitar sekolah, kau bisa cari aku. Cepatlah ke sini! Di sini semakin dingin, brrr…

<<>>

Sekitar, 15 menit berlalu, aku mengalihkan pandangan dari kamera, mataku bergerak mengikuti sepeda motor yang sangat kukenal. Sepeda motor itu bergerak menuju arahku dan ketika pemilik sepeda membuka helmnya aku tersenyum gembira.

Annyeong, yeobo! Sudah menungguku lama?” ujarnya setelah memberhentikan motornya.

“Kau datang saat masih jam pelajaran. Kau membolos!” sentakku memarahinya walaupun tak bisa dipungkiri, sebenarnya aku merasa bahagia.

“Bagaimana aku tidak khawatir jika pacarku juga sedang membolos dan kelunyuran kemana-mana. Jadi, lebih baik aku membolos juga,” ia turun dari motornya setelah menampakkan cengiran di bibirnya.

“Kau memang namchinku, kekeke.” Aku berjinjit dan mengacak-acak rambutnya.

Namjachinguku malah kegirangan setengah mati kuperlakukan seperti itu, kepalanya menggeleng-geleng geli layaknya kucing yang sedang dielus-elus.

“Baiklah, sekarang kita mau ke mana? Jalan-jalan?” tanyaku setelah menghentikan kegiatan mengelus ah maksudku mengacak tadi.

Namchinku belum menjawab pertanyaanku. Ia mengambil mantel hangat dari tasnya dan memakaikannya di tubuhku, “Katamu di sini dingin jadi pakailah ini. Aku sudah cukup hangat memakai jaket ini. Ayo! Kita jalan-jalan saja.” Ia menarikku dan memeluk bahuku.

Akhirnya kamipun berjalan-jalan di sekitar sini. Ia menggenggam tanganku dan memasukkan ke jaketnya. Karenanya aku benar-benar sudah bisa melupakan kejadian tadi pagi. Kejadian yang membuatku kesal karena Oh Sehun yang menjengkelkan.

Kami berdua masuk ke dalam cafe kecil di sudut kawasan ramai. Di dalam cafe, aku memesan satu dua latte.

Oppa, aku tadi sudah minum kopi kaleng. Jadi, nanti jika tidak habis jangan salahkan aku, ya?” kataku mendekati meja, di tanganku sudah ada dua cangkir latte.

Eoh, sini biar aku saja yang membawanya,” aku menyerahkan nampan berisi cangkir latte dan berjalan mendahului namchinku.

“Jika orang tua kita tahu jika kita seperti ini. Apa yang akan mereka lakukan menurutmu, oppa?” kini kami sudah duduk di kursi dan memulai percakapan.

“Tentang? Kita membolos sekolah dan pacaran?” Aku mengangguk. Dia mengendikkan bahunya, “Bilang saja yang sejujurnya.”

“Tentang?” Kini aku yang berbalik tanya.

“Semuanya, tentang aku mencintaimu, kau mencintaimu, kita saling mencintai, kita pacaran, dan mimpimu mungkin,” dia berbicara sangat ringan dengan satu tarikan nafas. Sesekali ia menyeruput lattenya.

“Aku tak yakin mereka akan mendukungku, oppa.” Aku menundukkan kepalaku. Orang tuaku masih bisa mengerti jika aku sedang berpacaran, tapi-

“Dan kau ingin usahamu selama ini sia-sia?” Aku menatap lawan bicara di depanku.

“Yah… tidak juga sih,” aku mengaduk-aduk latte di depanku.

“Kau harus memutuskan kalau begitu. Aku masih bisa membantumu. Jika kau belum berani bicara pada orang tuamu maka aku akan melakukannya untukmu.”

“Sehun oppa…” aku langsung menghambur ke pelukannya, menenggelamkan kepalaku di sana dan menumpahkan air mataku.

“Baru saja aku akan menawarkan sad acting tapi kau sudah melakukannya…” namchinku mengelus puncak kepalaku lembut, menyalurkan rasa sayangnya dan menenangkanku dari tangisan ini.

“Peran antagonis sudah, sad acting sudah, romance sudah, bahagia jelas sudah… Hemm, sepertinya kau sudah bisa audisi.”

Aku mulai menenangkan diriku, berusaha memberhentikan air mata yang sedari tadi mengalir. Namchinku menuntunku untuk duduk di sampingnya dan memegang pipiku, mengarahkannya padanya. Ia mengusap pipiku dan menghapus air mata yang masih keluar.

“Terima kasih sudah membantuku selama ini, oppa. Huwaa…” aku kembali menumpahkan tangisanku dan menyembunyikan wajahku di pelukannya.

“Kenapa kau jadi cengeng begini… Cha, ayo pergi ke rumahmu aku akan menjelaskan pada orang tuamu.”

<<>>

Mungkin, kalian semua bingung dengan diriku. Aku sangat membenci Sehun yang menyebalkan tapi ia malah jadi namchinku. Begini ceritanya…

Flashback>>

Dulu semenjak masuk ke SHS tepatnya hari pertama masuk SHS, aku mulai tertarik pada namja dingin bernama Oh Sehun. Entah takdir atau apa, kami berada di kelas yang sama. Dan selama setahun aku berada di SHS itu aku tidak tertarik lagi dengan Oh Sehun, ketertarikanku berubah menjadi kebencian, aku membencinya. Karena ia selalu menggangguku, menyandungku, mengolok-olokku, ataupun hal lain yang menyebabkan aku naik pitam. Dan aku sangat tidak suka itu.

“Annyeonghaseyo, Hong So Ra imnida. Salam kenal, aku mohon bantuannya.” Ucapku memperkenalkan diri saat hari pertama pembelajaran. Aku membungkuk menyalurkan rasa hormat.

            “Boleh aku bertanya?” tanya salah satu murid pada Kim songsaengnim. Kim songsaengnim mengangguk sebagai jawabannya.

            “Boleh aku tahu nomor telponmu?” namja itu tersenyum padaku, aku malu-malu membalas senyumnya, dan teman-teman yang lain mensorakiku dan namja itu. Tapi… ada yang aneh di balik senyumannya.

            Setelah memperkenalkan dirinya, aku baru tahu nama namja itu-Oh Sehun-

Akibat senyumannya, aku rela memberikan nomor telponku saat pulang sekolah, aku mulai tertarik padanya.

Dan… ya ampun aku malu menceritakan ini. Oh Sehun meminta nomor telponku hanya untuk menggangguku, mengolok-olokku, dan-hei siapa yang suka dengan itu? Aku menyesal memberikan nomor telponku padanya. Tapi, apa daya aku juga tak bisa mengganti nomorku, semua keluargaku hanya mengetahui nomor ini saja, jika aku mengganti nomor aku harus memberitahu ratusan orang tentang nomor baru itu. Aku sungguh menyedihkan, hiks…

“Selamat pagi, princessku yang manis dan cantik,” sapa Oh Sehun ketika aku memasuki kelas. Heol, jika yeoja lain yang mendengarnya mungkin ia akan meleleh dibuatnya. Tapi, ini aku GO SE NA, musuh Oh Sehun yang akan jijik mendengar kalimat dari mulutnya.

            “Menjijikan Oh Sehun, pergi-pergi.” Usirku. Oh Sehun tak tinggal diam begitu saja.

Aku berjalan menuju bangkuku yang berada di pojok ruangan. Namun dalam hitungan detik, aku hampir saja terjatuh bila tak berpegang pada meja guru. Oh Sehun menyandungku.

            “OHHH SEEHUUNN, KAU CARI MATI HARI INI!!!!” teriakku geram. Aku menjambak rambutnya yang dicat warna putih itu, tapi saat baru menyentuh rambutnya tanganku diberhentikan olehnya.

            “Kau suka main tangan, Se Na-ya…”

            “DAN KAU SUKA MAIN KAKI OH SEHUN!! JANGAN PANGGIL AKU DENGAN EMBEL-EMBEL YA… MEMANG KAU TEMAN DEKATKU? BUKAN! KAU TAK PANTAS MEMANGGILKU BEGITU.” Aku sungguh marah sekarang, dan-

            What the hell, Sehun malah mengeluarkan smirknya. Dia benar-benar gila. Dan aku lebih gila lagi karena masih menyukainya. Aku benci Oh Sehun! Kenapa aku menyukainya?

Satu tahun pertama di SHS kami -aku dan Oh Sehun- habiskan untuk berteriak satu sama lain, maksudku aku yang berteriak dan Sehun yang menjawabnya datar. Kami saling mengolok dan menyakiti perasaan satu sama lain.

<<>>

Hari itu, tepat satu tahun pertama di SHS. Aku akhirnya bisa tersenyum lega karena di tahun kedua itu aku tak sekelas dengan Oh Sehun. Aku bahagia karena kemungkinan aku bisa move on darinya dan terbebas dari gangguannya.

Aku berjalan keluar dari gerbang sekolah, hari ini seperti hari pembebasan. Aku melangkahkan kaki dengan ceria dan sedikit lompatan, tak lupa senyum yang sedari tadi menempel di wajahku.

            “Annyeong Kim songsaengnim, Jang songsaengnim.” Sapaku pada guru-guru yang tak sengaja bertemu.

            ‘Annyeong Ra-ya, annyeong sunbae,’ dan masih banyak lagi annyeong-annyeong lain yang kuberikan pada setiap orang yang kutemui.

            Beberapa dari mereka berbisik karena menganggapku aneh, tapi biarlah. Aku terlalu senang tidak sekelas dengan Oh Sehun.

<<>>

Beberapa hari kemudian setelah aku mulai membaur dengan teman-temanku di tahun kedua, aku mendapat sebuah SMS di ponselku ketika baru saja memasuki rumah.

            From   : Oh Sehun :(

            Temuilah aku, jam 4 sore nanti di taman dekat sekolah.

            ‘Ada apa dengan anak ini?’

            To        : Oh Sehun :(

            Tidak mau, lagipula tidak ada alasan untukku agar menemuimu. Aku musuhmu, ingat?

            Sesaat kemudian, telponku berdering kembali.

            From   : Oh Sehun :(

            Penting! Mungkin hari ini terakhir kau menjadi musuhku.

            ‘Apa? Terakhir? Apa Oh Sehun akan mati?’ aku gelisah dengan pikiranku yang menggila.

            To        : Oh Sehun :(

            Jangan terlalu berharap aku akan datang.

            From   : Oh Sehun :(

            Aku akan tetap menunggumu.

            Hehhh…??? Apa Oh Sehun benar-benar akan mati?

<<>>

Ketika sudah jam 3 sore, aku bersiap-siap menemui Oh Sehun. Aku mandi dan memilih-milih baju mana yang akan kupakai. Tepat pukul 3 lebih 45 menit, aku berangkat menuju taman dekat sekolah dengan kaki, yah aku berjalan kaki.

“Oh Sehun memang gila, aku sudah di sini tepat pukul 4 tapi dia malah belum datang setelah 15 menit aku menunggu. Ah, mungkin aku yang sudah dibodohi olehnya. Babo! Go Se Na babo!” rutukku pada diri sendiri. Aku berjalan keluar taman, hendak kembali pulang.

            “Go Se Na!” terdengar ada yang memanggilku. Aku menoleh ke belakang, mendapati Oh Sehun yang memakai baju putih tak berlengan dengan celana jeans biru miliknya. Wajahnya sedikit pucat, terdapat lingkaran hitam di bawah matanya, pelipisnya berkeringat, dan nafasnya tak karuan.

            “Oh Se-hun,” panggilku pelan. Apa dia benar-benar sakit?

            “Ada apa dengan wajahmu itu, Se Na!” aku tersentak dari lamunanku.

            “Ah, ani…” kau terlihat tampan sekarang- oh hei aku harus jadi Go Se Na seperti biasanya. “Kau! Kenapa kau memintaku untuk menemuimu?”

            Sehun menggaruk tengkuknya, “Aku lupa ingin bicara apa…”

            “MWOO…” Sehun gila-

            “Hehe, kau cantik dengan baju itu…” Lagi, Oh Sehun menggaruk tengkuknya

            “MWOO…” Lagi, aku mengucapkan itu. “Kau gila Oh Sehun!”

            “Ya, aku sudah gila. Aku sudah gila merindukanmu.”

            “…” SHOCK!! Aku terlalu kaget dengan ucapan Sehun barusan. “Jangan main-main Oh Sehun. Aku sudah terlalu sering kau goda.”

            “Hari ini, aku serius.” Ia mengacungkan kedua jarinya, membentuk V. “Akan aku ceritakan semuanya perlahan-”

            “…” SHOCK!! Sehun seperti bukan Sehun. Lantas siapa dia sekarang?

            “Sejak hari pertama masuk SHS, aku serius meminta nomormu dahulu. Dan soal aku yang selalu mengganggumu itu tidak termasuk rencanaku. Aku hanya ingin menjadi lebih dekat denganmu. Dan terlebih lagi, aku tahu kau ingin jadi aktris. Jadi… aku mulai mengganggumu sekaligus mengenalkan akting padamu… Cita-citaku dari dulu adalah menjadi sutradara jadi aku sedikit tahu tentang dunia itu.”

            Sehun mengambil nafas panjang, aku masih melongo mendengarnya.

            “Jadi, maukah kau jadi yeojachinguku? Aku sudah tertarik padamu sejak dahulu. Maaf, selama ini kau sudah kuanggap sebagai musuh. Aku berjanji takkan membuatmu menjadi musuhku lagi.”

            Aku terhenyak, mataku tiba-tiba meneteskan air mata, “Kau gila baru berbicara ini. Kau tahu? Aku sudah terlalu berharap di hari pertama masuk dahulu. Aku senang kau meminta nomorku, tapi kau malah menggangguku. Dan aku sudah terlalu kesal karena segala usaha untuk melupakanmu, gagal. Aku terlihat senang tapi aku masih berharap. Kau gila, OH SEHUN! Kau menyebalkan,” aku memukul dada Oh Sehun, melampiaskan kekesalanku selama ini. “Dan… aku setengah mati ingin segera ke sini, kupikir kau akan mati karena bilang jika mungkin hari ini terakhir aku menjadi musuhmu… hiks…” Oh Sehun segera memelukku.

            “Maaf, maafkan aku. Aku tak tahu kau juga menyukaiku.” Tangan Oh Sehun menepuk-nepuk punggungku pelan. Beberapa saat kemudian, tangisku mulai mereda. Aku tersenyum geli kemudian.

            “Bagaimana aktingku?” tanyaku menatap Sehun.

            “MWOO… Kau hanya akting?” Sehun terlihat tak percaya denganku.

            “Tapi, apa yang kuucapkan tadi adalah faktanya dan aku senang kau menyatakannya sekarang. Aku mau menjadi yeojachingumu.” Kataku tulus.

            “Yang ini bukan akting kan?” aku menggeleng, kemudian Sehun menarik daguku cepat, ia membungkam mulutku dengan mulutnya.

            ‘Ya… Oh Sehun merebut first kissku’

<<Flashback End

<<>>

Sejak saat itu, aku dan Sehun resmi menjadi sepasang kekasih. Walaupun tidak satu kelas, jika bertemu dengannya di sekolah aku harus tetap memasang aktingku. Di sekolah, Sehun adalah musuhku, di luar sekolah Sehun adalah namjachinguku.

Layaknya sutradara, ia selalu memberi arahan padaku, ia yang membantuku mencoba beberapa macam akting dan ekspresi. Dan Sehun selalu berhasil membuatku melalui itu semua.

Hari ini, aku dan Sehun pergi ke rumahku. Sehun akan membantuku menceritakan semua. Tentang kami yang menjadi sepasang kekasih dan tentang impianku yang ditentang orang tuaku, dan tentang aku sudah berusaha keras meraih mimpi itu, dengan bantuan Sehun.

Eomma!! Aku pulang.” Teriakku saat memasuki rumah. Eomma datang menyambutku, dan aku berbisik padanya. “Aku membawa namjachinguku,” begitulah kataku.

“Benarkah?” nampaknya eomma senang-senang saja jika menyangkut hal ini.

Kemudian Sehun masuk dan menyapa eommaku, “Annyeonghaseyo… Oh Sehun imnida.” Sehun membungkuk hormat.

“Waa… Sehun tampan sekali… Ayo, sini masuk!” eomma bicara dengan santainya dan membuatku menatapnya dengan tatapan mematikan.

“Jangan sampai eomma menyukai Sehun, eomma sudah punya appa, right?” Sehun yang mendengarku berkata demikian, hanya bisa tersenyum.

“Tak akan, sayang…” eomma membalasku dan merusak tatanan rambutku.

Begitulah, aku dan Sehun beserta eomma duduk di ruang keluarga sekarang. Kami bercerita ini dan itu, dan saat Sehun mulai melakukan aksinya, aku hanya bisa tegang menunggu jawaban apa yang keluar dari mulut eommaku.

“Bolehkah Se Na, melanjutkan mimpinya itu? Aku akan membantunya jika ia kesulitan. Lagipula, aku berencana masuk jurusan yang sama dengan Se Na…”

“Boleh ya, eomma?” aku mengeluarkan aegyoku, “Aku sudah berlatih dengan kemampuanku dan kata Sehun aku sudah bisa ikut audisi… Boleh ya eomma…bbuing bbuing

“Baiklah! Dengan satu syarat, kau harus bersama Sehun selamanya…” jawab eomma tersenyum, aku senang eomma membolehkanku mengejar mimpi itu. Tapi, aku harus bersama Sehun selamanya… Oh my God. Aku mencintainya tapi-

“Jika syaratnya itu, saya sangat mampu melaksanakannya, omonim. Bahkan saya berencana melamarnya ketika hari kelulusan tiba.” Sehun menatapku aneh.

MWOO!!” Aku mencintaimu Oh Sehun tapi ini terlalu cepat. Kau gila!

“Dengan senang hati, aku mengizinkannya…”

Eomma!! Aku masih kecil, aku tidak mau dilamar ketika masih berumur 18 tahun. Eomma!!” aku merengek dan bergelayut manja, sedangkan Oh Sehun menatapku penuh kemenangan.

“Kau akan menjadi Nyonya Oh sebentar lagi… Hahaha,” Sehun mengatakannya dengan penuh-penuh kemenangan. Apalagi tawanya seperti kakek sihir sekarang.

Eomma…” ucapku memelas, tapi eomma malah menertawaiku seperti nenek sihir.

Heol, aku berada di antara kakek sihir dan nenek sihir.

<<>>

Di sekolah kami adalah sepasang musuh, seberapa banyak kenakalan Sehun padaku. Aku akan melupakannya karena di luar sekolah kami adalah sepasang kekasih.

Nama kontak Oh Sehun di ponselku sekarang berubah menjadi ‘namchin’. Dan kemungkinan besar sebentar lagi berubah menjadi ‘husband’

—End-

Terima kasih untuk admin yang sudah ngepost ff ini :D

FF ini masih banyak kesalahan, jadi mohon review-nya. RCL juseyo…

 



L.O.V.E

$
0
0

L.O.V.E

Judul : L.O.V.E | Cast : Kim Jongin (EXO-K), OC | Genre : Romance, School-Life | Length : Drabble | Rating : Teen

Written by .lallapo. (@lallapo_12)

Disclaimer     : Cerita ini hanya hasil dari imajinasi lallapo, terinspirasi dari drama yang pernah lallapo tonton. Pelaku, pemeran, tokoh, milik tuhan dan milik keluarganya. Don’t plagiat!

‘The first love mean…’

Sudah di post di blog lain dengan nama author yang sama

|.lallapo. l.o.v.e|

Cinta pertama. Alasan kenapa aku berpikir jika cinta pertama indah, bukan karena cinta pertamaku itu tampan ataupun cantik. Karena cinta pertamaku tak bersyarat, tak bersalah, atau tak bodoh. Dan karena… dan karena aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa kembali.

Sesosok yeoja manis di kelasku sukses membuatku terpana memandangnya. Yeoja manis berkulit sedikit tan dibanding yang lain. Yeoja bermarga Jung, berstatus single, pintar, mudah bergaul, sederhana, dan sangat sangat sangat imut jika tertawa. Apalagi yang kurang darinya? Apa lagi yang tak kuketahui tentangnya? Aku sudah mencatat semua tentangnya dengan baik. Dia adalah cinta pertamaku, walaupun wajahnya tak secantik yang lainnya, ia sangat menarik menurutku.

Cinta pertama adalah kemanisan. Kutegaskan kembali tanpa syarat apapun cinta pertamaku muncul. Di masa-masa remaja menjelang dewasa, aku sering melihatnya. Hanya melihatnya saja, bisa membuat jantungku bergejolak riang.

Yang kutahu, ia mirip denganku ini adalah pendapatku. Kami sama-sama suka berolahraga, kami sama-sama suka menari, kami sama-sama bisa menyanyi maupun rap. Oke, intinya aku dan dia adalah multi-talent, boleh kan aku menyombongkan bakatku ini.

Dan disaat akhirnya aku menghadapi kegagalan muncul perasaan yang sulit kujelaskan. Tetapi pada saat yang sama, secara dramatis akan muncul perasaan bahwa aku tidak pernah bisa merasakannya lagi.

Hari itu persiapan matangku akan kujalankan. Misi kali ini, menyatakan perasaan yang sudah lama kusadari. Menyatakan cinta pertamaku pada Jung Aesoo. Dengan dibantu para hyungdeul-ku semoga misi ini berjalan dengan lancar. Amiinn…

Kami sudah membuat janji di taman bermain dekat rumahnya, tentu aku sudah mempersiapkannya. Setelah bermain-main, aku mengajaknya minum kopi di cafe yang cukup sepi pengunjung. Bincang-bincang sedikit, kemudian aku langsung to the point, “Maukah kau jadi yeojachinguku?”. Dia sedikit kaget dan bingung mendengar ucapanku. Aku akui ini sangat membuatku gugup, aku berharap dia menerimaku.

Beberapa menit kemudian, ia menjawab pertanyaanku. ‘Maaf’ katanya, aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Yang kutahu, ini jelas penolakannya secara halus. Sedikit tersenyum kikuk aku akhirnya membuka suara. “Tak apa, semoga kita masih bisa berteman.” Dia mengangguk pelan.

Setidaknya aku tidak kehilangan dua-duanya (kehilangan cinta dan kehilangan teman), aku masih memilikinya walau hanya berstatus teman. Memang terasa aneh di jantungku, aku baru saja memiliki cinta pertama, baru saja menyatakan cinta pertama, dan baru saja ditolak cinta pertama. Bukankah hal itu takkan kurasakan kembali? Karena cinta pertama hanya datang sekali saja.

Cinta pertama menjadi saat paling dramatis pada kehidupan kita, itu boleh saja gagal. Cerita tragis lebih lama diingat daripada ‘akhir yang bahagia’. Memang menyenangkan untuk mempunyai cerita indah sebagai sebagian kisah dari kehidupan seseorang, tapi tidakkah setiap orang punya cerita tragis dibalik cerita indahnya.

Hari-hari kulalui dengan baik, walaupun memori akan cinta pertama itu membekas di hati ini. Kupikir-pikir keputusan Aesoo saat itu benar, karena pada saat itu aku belum dewasa, baru menginjak 15 tahun.

Terkadang timbul pertanyaan dalam benakku ‘Dulu, apakah aku sudah gila? Umur 15 tahun waktu untuk belajar, bukan untuk cinta-cintaan.’ Ya, walaupun begitu, pengalaman ini sangat membekas. Untung saja, prestasi di sekolahku baik-baik saja.

Cinta pertama adalah periode waktu yang tidak pernah datang lagi. Jika cinta selanjutnya datang, itu akan menghasilkan cinta baru yang mungkin tidak berdosa seperti cinta pertama, tetapi akan jadi sedikit lebih dewasa, karena rasa sakit disebabkan oleh cinta pertama. Seseorang yang bermimpi tentang cinta, adalah orang yang menunggu. Dan orang yang menunggu dapat mengenali cinta ketika mendekat kepadanya.

Kini aku lebih memilih, aku sudah beranjak dewasa umurku 22 tahun sekarang. Aku sudah memikirkan baik-baik sebelum aku menyatakan rasa cinta kembali kepada seseorang. 7 tahun waktu untuk aku menyadari apa itu cinta, 7 tahun juga aku tak merasakan cinta. Aku benar-benar belajar dari kesalahan sebelumnya, terima kasih kepada cinta pertamaku.

Jadi, cinta pertama jadi satu bagian yang melelahkan dikehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya kenapa cinta pertama tampak seperti tidak bisa dicapai. Karena tidak ada seorangpun yang berbicara tentang kesuksesan cinta pertama sebelum melewati rintangan.

 

-FIN-

Sebenarnya lallapo gatau banget tentang romantis-romantis kayak gini jadi mohon maaf apabila ceritanya pasaran, tapi ini hasil perjuangan keras author memahami hal-hal berbau cinta, okelah lupakan.

Thanks udah baca, thanks yang mau comment.


I Thought You Loved Me (Chapter 2)

$
0
0

Undddtdditled-1 copy

I Thought You Loved Me

Author : ohseikaa

Main Cast : Kim Hyera , Oh Sehun | Other Cast : Find by Yourself

Genre : Romance , School life , Married Life ( nanti ) , Sad (nanti) tapi gagal

Rating : PG-15

Length : Chapter

            Disclaimer : Para cast milik Tuhan Yang Maha Esa, author cuma menulis saja. Dan ini murni 100% dari pemikiran author jadi mohon maaf jika ada kesamaan idea tau yang lainnya :-)

***

Summary :

Awalnya, hidup gadis bernama Hyera ini bahagia dan layaknya gadis umum lainnya, selalu ceria bersama teman dan keluarganya. Tetapi hal ini berubah ketika ia dijodohkan dengan seorang Namja yang telah memiliki kekasih. Apa Hyera lama – kelamaan mencintai namja ini ? Dan apa tindakan kekasih namja itu?

Chapter Sebelumnya

“ Jangan sentuh dia ! “

“ Siapa kau ? Berani sekali melawan kami “

“ Berani ? Jelas aku berani karena kau telat menyentuh pacarku “

Akhirnya ada orang yang berbaik hati yang menolongku . Tu–tunggu dulu … Apa katanya ? Pacar ?

***

Author POV

Hyera menoleh ke arah belakang dan mendapati seorang namja berpostur tubuh tinggi dan berkulit sedikit kecoklatan sedang memukul preman brengsek itu. Sepertinya aku kenal orang itu

Ah sepertinya Kim Jongin

Bughh !

“ Lebih baik kalian pergi atau kalian tidak dapat melihat matahari terbit esok hari “

Preman itu lari tunggang langgang menjauh dari Jongin. Wah sepertinya namja ini dapat melindungi semua orang yang berada didekatnya dengan baik. Kemampuannya patut diacungi dua jempol , dan hal ini juga membuat mulut Hyera terbuka lebar daritadi.

“ Kau tak apa apa ? “ Dengan wajah yang masih ketakutan , Hyera hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

“ Kau masih gadis dan bersekolah . Sangat berbahaya jika kamu berada diluar semalam ini, apalagi kau masih mengenakan seragam sekolah “

“ I–iya “ ucap Hyera sambil menunduk. Menyembunyikan wajahnya yang masih ketakutan.

Greep

Jongin tiba tiba menarik tangan Hyera , tu-tunggu mau dibawa kemana Hyera?

“ Biar kuantar kau pulang “ Hyera membelalakan mata , gadis ini terkejut

“ Ta-taapi –“

“ Sudah tidak ada tapi lagi , lagipula kau mau diganggu seperti tadi?” Hyera menggelengkan kepalanya sambil menunduk.

“ Yasudah mari kuantar kau pulang “

***

Mobil sport milik Jongin melaju kedaerah rumah Hyera. Tidak lama lagi mereka akan sampai ditempat tinggal Hyera.

“ Sunbae kau bi–“

“ Jangan panggil aku sunbae , panggil aku Jongin “

“ Baiklah sun – maksudku Jongin. Emm kau dapat menurunkan kudisini , rumahku tak jauh lagi aku dapat berjalan kaki “

“ Kau Yakin ? “

“ Ya , rumahku sudah tak jauh lagi “

“ Eumm , hati hati lah “ jawab Jongin sambil memberhentikan mobilnya. Kemudian melambaikan tangan pada Hyera dan melajukan mobilnya meninggalkan Hyera

***

” Silakan turun nyonya ”

Wanita berumur empat puluh lima tahun tersebut melangkahkan kakinya turun dari mobil berwarna hitam itu. Ia mengenakan pakaian yang sopan namun rapi, jangan lupakan kesan mewah dari pakaian tersebut. High heels putih yang ia kenakan melangkah ke sebuah rumah yang tak kalah mewahnya.

” Oh, Seojin-ah. Sudah lama kita kita bertemu” ujar seorang wanita bernama Eunhye. Ia hanya lebih muda setahun dari wanita yang ia panggil Seojung tadi

” Senang dapat bertemu lagi denganmu” jawabnya ramah

Mereka melanjutkan pembicaraan di ruang tamu yang didominasi warna putih tersebut. Jangan lupakan dua gelas teh yang terletak diatas meja.

” Bagaimana rencana kita?”

” Pasti akan lancar, kau tenang saja sekarang kita hanya perlu untuk mempertemukan kedua anak kita”

***

” Aishhh lama sekali mereka”
” YA !! YOON EUNMI SON NAEUNNN ” Sejak 5 menit yang lalu Bibir mungil Hyera tidak berhenti memanggil baiknya itu.
Tapi? Tak ada satupun jawaban dari gadis bermarga Yoon dan Son itu.

Tak lama kemudian dua gadis itu muncul dengan pakaian yang sama dengan Hyera yaitu celana dan t-shirt hanya saja berbeda warna.

Tunggu untuk apa mereka mengenakan pakaian itu? Ah, mereka termasuk murid yang cukup pandai dalam hal menari jadi tak aneh lagi jika murid murid lain melihat mereka mengenakan pakaian itu.

Tap..Tap…Tap

Han seosangnim melangkah menuju ruangan dimana ia dan 8 muridnya biasa berlatih dance. Ia sudah melatih sejak tahun lalu, usianya juga dapat dibilang cukup muda, 23 tahun. Dengan postur tubuh yang ramping dan tinggi ia dapat dikatakan gadis yang sempurna

Begitu musik diputar, mereka menari dengan lincah layaknya penari profesional , gerak tangan dan kaki mereka juga dapat dibilang sangat kompak.

“Huhh akhirnya selesai juga” Hyera meneguk botol berisi air mineral di atas meja. Tampaknya gadis ini sudah kelelahan

Bugh

Brussstt

Tiba tiba Naeun menepuk pundak Hyera yang jelas jelas sedang minum. Untung saja semburan air dari mulut Hyera hanya mengenai meja didepannya.

Uhuk Uhuk

” Apa kau gila? ” Hyera memberikan death glare mematikannya ke arah Naeun. Dan Naeun? Oh ia sedang tertawa dengan geli sekarang. ” Baiklah maafkan aku”

Ugh mengapa semuanya jadi menyebalkan

***

Hyera POV

Aroma makanan menusuk indra penciumanku. Astaga tampaknya eomma dan Hyerin eonni memasak makanan yang sangat lezat.

Kakiku otomatis tergerak untuk pergi kedaerah dapur. Dan ugh aroma makanan itu membuat perutku meronta ronta sejak tadi.

” Hyera, bantu aku meletakan makanan ini dimeja makan” Aku hanya menganggukan kepala dan memindahkan makanan itu.

” Untuk apa eomma dan Hyerin eonni masak sebanyak ini?” Eomma menoleh kearahku

” Ada tamu penting malam ini, jadi nanti kau harus ganti baju dengan dress yang indah”

Apa katanya? Tamu penting ? Aku harus menggunakan dress? Ugh apa eomma tidak tau kalau aku tidak suka menggunakan dress. Aku tidak bisa bergerak dengan bebas jika menggunakan dress

” Ta-”

” Tidak ada tapi anakku sayang”

Belom aku selesai berbicara,eomma sudah tahu apa yang akan aku katakan. Baiklah Hyera hanya sekali saja kau menggunakan dress , hanya malam ini saja.

***

Author POV

” Cepatlah nanti kita terlambat ” teriak seorang wanita yang sudah mengenakan baju rapi dari depan rumah. ” Tunggu”

” Mengapa anak itu sangat lambat?” gerutu pria berumur empat puluh tujuh tahun itu.

Tak lama kemudian anak yang dimaksud turun dengan mengenakan celana jeans dan atasan berwarna biru gelap.
” Kemana kita akan pergi?” tanya anak bertubuh tinggi tersebut. Jujur, ia sangat malas untuk bepergian seperti ini, seharusnya malam-malam seperti ini ia tengah tertidur dikamar kesayangannya.

” Lihat saja nanti ”

***

“Aahhhh dress mana yang harus kupilihhh”

Hyera mengacak ngacak isi lemari pakaiannya. Lihatlah keadaan gadis itu, sudah seperti anak yang sedang dilanda stress berat. Kamarnya sudah seperti kamar yang telah dirampok. Baju berserakan dikanan dan kiri kamarnya.

” Mengapa dress aku dan eonni sangat banyak” Ya, mereka memang kakak beradik dan hanya berbeda usia 2 tahun. Tak salah jika banyak yang mengira mereka adalah kembar karena postur tubuh yang sama sama ramping dan tinggi dan juga muka yang mirip.

Ceklek 

Hyera menoleh kearah sumber bunyi. Ia melihat mulut Hyerin yang terbuka lebar saat ini. ” Apa kau gila atau stress?”

” Eonni mengapa dress-dress ini sangat banyak. Apa boleh aku mengenakan celana dan atasan biasa saja? Atau piyama? ”  Hyerin hanya menggelengkan kepalanya sedangkan Hyera sedang menatap dress dress di bawahnya dengan malas.

“Biar ku bantu pilihkan ” Hyera bernapas lega , jarang sekali kakaknya berbuat baik seperti ini.

” Pakai ini” Hyerin menyodorkan sebuah dress indah kepada Hyera. Sementara Hyera menatap dressnya malas

” Pakai sekarang sayang” ujar Hyerin sambil menekan kata ‘sayang’ Tapi adiknya masih saja tidak mau bergerak ” Pakai sekarang atau aku akan -” Hyera langsung berdiri saat itu juga sebelum kakaknya menerkamnya. Dasar yeoja malas

Ceklek

Hyerin menoleh kesumber suara. Adiknya sudah lengkap mengenakan dress pilihannya. Dress dengan warna soft pink ditambah motif lace di bagian pundak dan leher itu melekat apik ditubuh Hyera.

” Kau sangat cantik”
” Apa kau baru menyadarinya? Aku sudah cantik sejak dulu”
” Benarkah? Tetapi sayangnya aku lebih cantik darimu”
” Eonni sepertinya kau harus bangun dari mimpimu itu”
” Terserah kau, sekarang kau bersiaplah ”

***

Ting Tong

Bel rumah bertingkat dua itu berbunyi.Suara ini membuat Nyonya Kim dan Hyerin menoleh kearah sumber suara

“Rin-ah tolong bukakan pintunya” Hyerin hanya mengangguk pelan dan membuka pintunya.

” Annyeonghaseyo ” Gadis itu membungkuk tanda memberi hormat kepada seorang wanita paru baya didepannya jangan lupakan seorang anak muda dibelakang mereka

” Jadi bagaimana rencana perjodohan ini?”

“A-apa katanya? Perjodohan?” pikir Sehun dalam hati. Apa maksud eomma dan temannya ini? Siapa yang dijodohkan ? Aku?

“Eumm sebentar aku panggilkan anakku dulu, kalian tunggu saja” ujar Nyonya Kim sopan sambil pergi meninggalkan kedua tamu hormatnya itu

“Aku dijodohkan? Apa benar?”

” Ya, kau dijodohkan dengan anak teman eomma, berita bagus bukan?”

” Aku sudah punya yeojachingu! ” Kali ini namja itu sedikit membentak. Hal ini membuat eommanya terdiam

” Eomma tak peduli, kau harus menikah dengan anak teman eomma. Dan yeojachingu-mu ? Yang bernama Jung Kyungra itu ? Anak teman eomma adalah anak yang baik, dan eomma tidak yakin Kyungra adalah yeoja sebaik anak teman eomma. ”

Anaknya hanya memutar bola matanya malas. Sepertinya ibunya cocok untuk menjadi seorang penceramah.

” Ta-” Kata katanya terhenti karena mendengar langkah kaki dari arah tangga. Nyonya Kim turun dengan seorang dua gadis dibelakangnya, siapa lagi kalau bukan Hyerin dan Hyera.

” Wah ! Eunhye-ah kedua anakmu sangat cantik ”

” Terima Kasih” Hyera membalas dengan senyuman manisnya. Sementara seorang laki laki yang duduk disamping teman Nyonya Kim itu hanya sibuk dengan smartphonenya tanpa menghiraukan kedatangan Hyera.

Tunggu, sepertinya kukenal suara ini

Laki-laki itu menolehkan kepalanya ke arah Hyera yang sedang duduk dihadapannya.

” KAU ??! ” teriak mereka bersamaan. Astaga, mereka sangat kompak

.

.

Hyera POV

Siapa namja dan teman eomma itu ? Apa itu anak teman eomma ? Untuk apa ia ikut ? Astaga sudah terlalu banyak pertanyaan diotakku saat ini

Tiba-tiba namja itu menoleh kearahku.

” KAU ??! ” teriakku. Dan sedihnya namja itu memang mengenalku …

Untuk apa ia disini ? Ia mengenal eommaku? Entahlah , yang pasti sekarang eommaku dan eomma-nya sedang bertatapan penuh arti.

” Jadi kalian sudah saling mengenal? ”

” Baguslah jika anak kita sudah saling mengenal, kita tinggal membicarakan pernikahannya”

” Pe-pernikahan? Siapa ? Aku ?! Hah? Benarkah ? Eomma jawab !! ” Hyera mengajukan pertanyaan bertubi-tubi pada ibunya sambil sedikit memekik. Matanya terbelalak kaget.

Eommanya tersenyum manis, lalu dengan santai membalas ” Eum, bagaimana? kabar yang baik bukan?” Lain halnya dengan Hyera yang masih betah dengan ekspresi shocknya, ibunya malah tersenyum senang saat ini. Hyera sudah seperti tersambar petir di siang bolong, um mungkin lebih tepatnya tersambar petir di malam hari.

To Be Continue…

Hai !! Gimana ? Makin absurd ya? Hehe semoga suka ya rencanya mulai konfliknya mungkin di chapter selanjutnya. Ya mungkin… Oiya, Jangan lupa RCL. Aku masih butuh banyak saran nih


Maybe You The One (Chapter 7)

$
0
0

wpid-picsart_1411629977021_1

Tittle : Maybe You the One (Chapter 7)
Cast :
– Bae Suzy (Miss A)
– Park Chanyeol (EXO)
– Kim Jong In (EXO)
– Park Hyo Rin (OC)
Etc.
Genre : drama, romance
Length : Chapter
Author : Yuna21
Rating : PG-17


Disclaimer : karya ini murni hasil pemikiran saya. Terinspirasi oleh beberapa drama korea yang pernah sy tonton, cerita teman dan ff yang pernah saya baca. Sumber inspirasi utama saya sudah tentu EXO. Bila terjadi banyak kesalahan seperti penulisan, typo dan lain – lain, saya minta maaf. Terimakasi bagi yang sudah menghargai karya saya dan memaklumi kesalahan saya.

Chanyeol’s POV
Sepertinya wajahku terlihat merah saat ini. Kenapa dia tau kata hati mengatakan aku berbohong?

“Oppa,” mataku menatapnya. Ku lihat muka imut tanp dosa yang di keluarkannya. Rasanya aku ingin tertawa melihatnya saat ini. “Oppa,” ia memaksa ku menatapnya.

Mataku melihatnya. Membuat tawa kecil keluar dari mulutku. “Aku tau kau tidak akan bisa marah padaku.” Katanya.

“Chanyeol!”sebuah seruan dari gadis menghampiri kami. “Chagiya, bisakah kau menemaniku membeli kalung itu sebentar?” Pertanyaan Hyo Rin membuat senyumku memudar.

Aku baru saja ingin bersama Suzy, mau tidak mau aku harus menemi Hyo Rin sekarang. Hanya anggukan yang ku berikan pada Hyo Rin.

Tangannya menarik tanganku, menjauh dari Suzy. Namun mataku tak bisa melepas dari pandangan Suzy yang melihatku pergi.
OooO

Suzy’s POV
Mataku melihat hingga punggu Chanyeol tak terlihat lagi. “Yakk!” Teriakan Jong In membuat pandanganku teralih.

Langkahnya menghampiriku. “Aku mencarimu dari tadi. Ternyata kau di sini.” Entah kenapa, hari ini aku menjadi malas untuk beraktivitas. Berbicara saja rasanya aku tak mampu.

TAP! Tangan Jong In menarikku. Aku tak sempat berkata apapun. Langkahnya membawaku ke sebuah bar kecil di sekitar pantai.

“Can I have two cup of ice creams?” Tanyanya pada si pelayan.

“What the flavour do you want?” Aku memang tidak terlalu pandai berbahasa Inggris, tapi setidaknya aku mengerti apa yang mereka bicarakan.

“Suzy, kau ingin rasa apa?”

“Cokelat.” Jawabku singkat.

“Chocolate.” Pelayan itu hanya mengangguk tanda setuju.

“Suzy, kau bisa menunggu sebentar. Aku ingin ke belakang sebentar.”aku mengangguk mengerti.

Sudah sepuluh menit aku menunggu, Jong In belum saja datang. “Sorry, it’s your.”dua buah es krim di berikannya padaku.

“Em… how.. how… much is it?”bicara ku terbata, aku memang tidak pandai dalam berbahasa Inggris.

“One hundred and twenty five rupiahs.”ku buka dompet yang berada di tanganku. Ku lihat hanya ada won di dalamnya. Tanganku mengabrik – abrik. Tak ku temukan mata uang yang di sebutkan si penjual. Aku lupa menukarnya di money changer.

Di akhir pencarianku, terselinap dua lembar uang dollar. Mungkin ini bisa ku gunakan. “Sorry, I – I don’t have.. ru-rupiahs, ca-can I pay.. with dollars ?”tanyaku penuh harap.

“How much for all the ice cream?”suara seorang pria membuat kepalaku melihat ke arahnya. Ku temukan Chanyeol yang berdiri di sebelahku.

“One hundred and twenty five rupiahs, Sir.” Ku lihat Chanyeol mengeluarkan dompetnya. Kemudian di bayarnya es krim – es krim ini, sesuai yang di sebutkan pelayan.

Langkahnya kemudian meninggalkanku. Dengan segera ku langkahkan kakiku. Sebuah ucapan terimakasih ingin ku sampaikan.

“Oppa!” Panggilan ku tak di jawabnya. Kepalanya tak melihat ke arahku sedikit pun. “Oppa!”

BRUK! Seorang pria menabrakku, membuat salah satu es krim di tanganku tumpah. “Mi-mianhae,”sebuah permintaan maaf di lontarkan pria ini.

Sial! Kini aku kehilang jejak Chanyeol. “Nona, maafkan aku. Aku tidak melihatmu tadi.”katanya sekali lagi.

“Oh-ne.”dengan segera aku melangkah mengejar Chanyeol yang tak ku tau ke mana dia pergi.

Kepalaku melihat ke kiri dan ke kanan. Kenapa hari ini aku begitu sial?

Ku lihat Jong In dari kejauhan. Dengan segera kakiku menghampirinya. “Ini milikmu.”ku serahkan es krim yang masih berasa di tanganku.

“Lalu mana es krimmu?” Pertanyaannya membuat ku teringat oleh es krim yang terjatuh.

“Aku sudah memakannya.”jawabku. Kemudian kakiku melangkah. Mungkin lebih baik bagiku berada di hotel sekarang.

“Kau mau kemana?”tanya Jong In yang melihat kakiku melangkah. Tidak ada jawaban yang ku berikan untuknya saat ini.
OooO

Pukul 21.30 WITA (Indonesian Time)
Tanganku membuka pintu kamarku, ingin mencari udara segar di luar. Malam ini aku tidak bisa tertidur. Mungkin karena ini adalah hari terakhirku berada di sini.

Jujur aku sangat ingin lebih lama berada di sini. Ini adalah tempat terindah menurutku.

Pintuku terbuka. Ku lihat seorang namja berdiri di depan kamarku. Senyum manisnya terarah padaku.

“Ku pikir kau sudah tidur.”sapa Jong In. Aku hanya menggeleng. Kakiku mendekat. Dan berdiri di sampingnya.

“Kau sendiri?”

Tawa kecil keluar dari mulutnya, mendengar pertanyaanku. “Aku tidak bisa tertidur.”

“Waeyo?”

“Entahlah, mungkin karena aku belum mengatakan sesuatu.”aku hanya mengangguk – angguk. Kemudian kepalaku melihat ke depan.

Pemandangan yang indah di luar sana. Lampu – lampu menyala menghiasi malam, dengan kendaraan yang terus berlalu – lalang meramaikan jalan raya.

“Suzy,” sapaannya membuat mataku melihatnya.

TAP! Tanganya memegang tanganku. Entah kenapa, jantungku terasa berdetak lebih cepat. “Kau tau apa yang ku rasakan saat ini?”aku tak menjawab. Otakku masih mencerna apa yang dikatakannya.

“Saat aku menatapmu, jantungku serasa berdetak cepat. Kau sangat hebat.”lanjutnya. “Kau sangat hebat bisa membuatku jatuh cinta padamu.”

Kalimat terakhirnya membuat jantungku berhenti berdetak. Ku tatap matanya lekat – lekat. Wajahnya serasa mendekat ke arahku.Semakin dekat. Membuat mataku menutup dengan sendirinya.

Ku rasakan bibirnya yang menempel di bibirku dengan lembutnya. Perlahan di tariknya kembali. Mataku membuka. Ku rasakan kecupannya masih tertempel di bibirku. Pipiku terasa panas dan memerah saat ini.
OooO

Chanyeol’s POV
Sebuah tas belanja berada di tanganku. Aku ngin memberikan ini pada Suzy. Senang rasanya hatiku ingin bertemu dengannya.

Kakiku melangkah keluar dari lift. Kakiku melangkah ingin berbelok di koridor. Langkahku terhenti.

KREK! Tas belanjaku terjatuh. Jantungku terasa retak saat ini. Mataku tidak percaya dengan apa yang ku lihat di sana.

Seperti ada jarum yang tertancap di hatiku. Apa Suzy tidak memikirkan perasaanku? Segelincir air mata menetes, membasahi pipiku.

Aku tak percaya, dia sangat baik padaku. Aku tak percaya dia bisa menyakiti hatiku sedalam ini.

Kepalaku menunduk. Mataku melihat gelang yang ku kenakan. Dengan cepat tanganku mencabut gelang yang terlingkar di pergelangan tangaku.

Perlahan gelangnya terlepas dari tanganku. Kakiku mundur beberapa langkah. Dengan segera ku tinggalkan tempat ini dengan rasa sakit yang ku bawa.

Kau-kau benar – benar membuatku sakit.

TBC


For The First Time

$
0
0

CYMERA_20150504_141557

Author: SakuRaa (@_raraa84)

Title: For the First Time

Cast:

-Park Chanyeol

-Kris

Genre: Brothership, Life, Friendship, Family

Rating: General

Length: Oneshot

Note: Hai! flashback sebentar yuk! :) Nothing special but keep comment! :)

 

Summary:

“Lagipula.. kita ber-12 diatas panggung, apa yang harus ditakutkan, right?” -Kris

 

===

Kota Seoul padat seperti biasanya, apalagi di petang hari seperti ini, waktunya mereka untuk pulang kerja, menghabiskan malam dngan keluarga tercinta. Ah senangnya.

Tidak ada bedanya dengan Hall salah satu Hotel bintang 5 di Seoul. Ramai, penuh sesak, spanduk-spanduk dibentangkan, oksigen menipis, antrian panjang, pengamanan diperketat, karena lautan manusia berkumpul disana, bukan tanpa alasan tentunya.

Didepan mereka telah tersedia panggung yang cukup luas, ada 12 tiang disekelilingnya, lantai panggung tertutup asap berwarna, dengan banner berlogo segi-enam. Juga ada foto 12 pria yang dipajang disana.

Lampu sorot sudah disediakan untuk khusus menerangi 12 orang yang akan ada dipanggung ini, nanti.

Omong-omong soal keramaian, Chanyeol malah memilih jauh dari keramaian itu.

Dimana lautan manusia diluar sana sudah siap dengan Lightstick, banner, kamera SLR, dan tiket untuk melihat dirinya, Chanyeol lebih nyaman disini.

Ia memilih menyandarkan tubuhnya dibalkon belakang hotel. Make-up panggung, hair style, dan kostum yang seragam sudah lengkap ditubuhnya.

Ini hari yang ditunggu oleh Chanyeol selama 4 tahun, juga ke-11 rekannya. Seharusnya ia bersuka cita, seperti yang lainnya. Tetapi ia menjauhi mereka dan memilih sendiri disini.

Chanyeol masih bisa mendengar sayup-sayup suara klakson kendaraan yang nyaring, ia bisa memandang dengan jelas lampu-lampu jalanan kota yang menyilaukan, berwarna-warni.

Dan ia memandang sebuah papan reklame raksasa di depan hotel itu, yang membuat kakinya betah berdiri disini. Chanyeol tersenyum bangga sambil memandang lekat-lekat gambar yang ada dipapan reklame itu. 12 orang dengan grup bernama EXO dibawah naungan Agensi terbesar dan pertama di Korea Selatan, akan debut malam ini. Ya, malam ini. 8 April 2012.

Tetapi kebanggan itu ditutup oleh pemikiran-pemikiran pendek yang lewat begitu saja diotaknya. ‘Apa aku siap?’ Satu kata itu memaksa otaknya untuk menebak-nebak, ya atau tidak. Dan ia ragu.

Sedikit keraguan bisa merusak segalanya. Benar bukan?

Pemikiran itu buyar ketika tangan menepuk pundaknya pelan, “Hei.” Ah suara bass itu. Chanyeol menoleh, ternyata benar, persis seperti yang ada di bayangan Chanyeol. Ia tersenyum getir,

“Oh Kris hyung.” Pria bernama asli WuYifan itu terlihat sangat cool. Setelan berwarna abu-abu dan biru gelap pas ditubuhnya yang tinggi dan berkulit putih. Juga piercing ditelinga kanannya.

Kris menurunkan tangannya dari pundak Chanyeol, “What are you doing? Aku mencarimu kemana-mana.”

Kris berniat berbalik, ingin Chanyeol mengikutinya. “10 menit lagi sebelum perform, dan Manager mau kita berkumpul.”

Chanyeol kembali menghadap depan, “Disini dulu tidak masalah kan?”

Chanyeol pikir setelah mendengar jawabannya, Kris akan kembali ke backstage, tempat ke-11 rekannya berkumpul, tetapi Kris malah ikut bersandar dibalkon, disamping Chanyeol yang berjarak 50 cm darinya.

Kris mengikuti arah pandang Chanyeol,

“Aku terlihat keren kan disana?” Dagu Kris menunjuk kearah reklame raksasa dihadapannya. Chanyeol yang memandang arah yang sama hanya tersenyum,

“Aku memang menunggu saat wajahku terpampang direklame itu, dilihat setiap orang yang berlalu-lalang, juga dari gedung-gedung terdekatnya. Membungkam semua mulut yang dulu meremehkanku.” Kris tersenyum miris,

Siapa sangka bahwa dulu ia hanya trainee yang selalu diremehkan. Kemampuannya tak seberapa, ia menyanyi dengan tidak cukup baik, dance nya masih kalah jauh dengan trainee yang lebih senior darinya. Tetapi, satu hal yang membuatnya bertahan, hingga saat ini, ketika panggung debut sudah didepan mata. Keyakinan.

Dan Chanyeol adalah salah satu trainee junior yang belajar banyak pada Kris, bisa dibilang Chanyeol selama ini mengangumi Kris sih.

Chanyeol tampak meragukan pernyataan Kris. “Siapa yang berani meremehkan orang sepertimu hyung? 4 bahasa, canada-korea, tower, cool, model, kharismatik.”

Kris mengedikkan bahunya. Mencoba acuh, “I dont know. Selama kau hidup, pasti ada saja orang yang membencimu.”

Dan orang yang membenci nya, adalah salah satu orang yang berharga dikehidupan Kris, itu menurut Kris. Mulut mereka mencambuk Kris mengantarnya menuju panggung debut, seperti saat ini.

“Hyung.. Apa kau merasa gugup?”

Kris tampak berpikir, “Em.. nope.

“I’m scared.”

Kris menepuk-nepuk pundak Chanyeol, mencoba untuk menenangkan nya saat ini. Kris tahu Chanyeol gugup setengah mati.

“Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kita bertahun-tahun ditrainee, kita berbulan-bulan menyiapkan debut ini, takut hanya untuk orang yang tak berusaha.”

“Begitukah?”

Kris mengangguk sambil seulas senyum diwajahnya, ia berbalik ingin kembali kedalam, karena udara malam kota Seoul sangat dingin, dan hebatnya Chanyeol betah berlama-lama disini.

Dan satu langkah sebelum Kris menghilang dari balik pintu yang menjadi sekat antara balkon dan ruangan, ia berbalik menatap Chanyeol,

“Lagipula.. kita ber-12 diatas panggung, right?

Chanyeol mengangguk yakin, selama ia masih ber-12 diatas panggung, apa yang perlu ditakutkan?

-END

Oke, I miss Kris so much >//<

What can I do? I just can make this, uh I’m sorry :D

Its kinda be short (again), thanks for comment in my previous story. Pathcode Sehun, Waiting is…, & Bad Feeling.

Mind to comment?

Comment dan saran masih tetap ditunggu. See you next time! :D


Christmast Angst (Sehun version)

$
0
0

Picture1

Christmast Angst Sehun version

Author             : @zhayrapiverz

Cast                 : Oh Sehun and Irene Hwang

Length             : Oneshoot

Rating             : T, G

Genre              : Maried Life, Romance, Hurt

Disclaimer       : FF ini Zay post di fb pribadi (Zayy Cardova), Exofanfiction.wordpress.com, Exo fanfiction grup tertutup serta beberapa Fanfiction grup lain dengan nama Author yang sama. Harap Coment dan like sebanyak-banyaknya yaw..happy reading *bow

Mampukah kita melewati segalanya meski sakit ini teramat pedih?

Apakah yang paling kuat akan bertahan, menyingkirkan mereka yang lemah dari sisi dunia?

Bila akhirnya kita akan dipisahkan oleh waktu, maka biarlah cintaku turut bersamamu pergi ke dunia yang baru- Oh Sehun

 

Bila aku mampu memilih, maka aku akan lebih bertahan disisimu tanpa memperdulikan apapun lagi hal yang terus menyakitkanku. Terima kasih, kau selalu menjadi penerbit matahari yang memelukku dari dinginnya salju. Membasuh luka yang perih, menggantinya dengan seulas senyum di kebahagiaan singkat ini-Irene Hwang

  • ••

Kau hadir layaknya lentera yang menuntunku dalam kegelapan panjang yang tiada bertepi terus membayangiku. Maka bila kegelapan ini terus membawaku pergi, biarkan kutitipkan cinta yang kumiliki padamu “Sehun..sehun-ah..”

Sehun berjalan santai mendekati sumber suara “Wae irae Irene-ya?”

“Aku baru saja melihat sebuah bintang jatuh..” tunjuk gadis itu pada langit malam yang bertabur bintang

Sehun tersenyum, terduduk di samping gadis itu “Kau sudah mengucapkan permintaan?”

Gadis itu mengangguk “Aku berharap, kita bisa selamanya hidup bersama…memperpanjang sedikit waktu” ucapnya

Sehun terdiam memandangi gadis cantik itu, mata kelamnya berubah ceria ia lalu memeluk pinggang Irene yang nampak terkejut

“Sehun-ah…”

“Aku ingin melindungimu..” sahut sehun, lalu bersandar di bahu itu, menghirup feromon rasa lime yang nampak menyegarkan sekaligus favoritnya. Entah mengapa Irene menyukai bau maskuline seperti lime, berbeda sekali dengannya yang menyukai Madu. Terdengar nampak aneh memang

Irene turut tersenyum, memeluk bahu tegap pria itu, sehun meletakkan kepalanya di pundak Irene-nya ‘Kau tahu, aku akan terus merindukan hal ini bahkan sampai detik berikutnya’, tempat ternyaman menumpahkan kelelahannya “Sehun-ah, apa yang paling kau tunggu saat natal datang?”

“Kado. Aku paling mengharapkan datangnya kado saat natal” sahutnya “Saat natal datang, aku selalu menggantung kaos kaki yang berukuran paling besar di depan perapian. Berharap Santa Clause mengisinya dengan perment, coklat ataupun jelly sekalipun. Lalu keesokan harinya, aku akan bangun sangat pagi, mengecek kaos kaki itu…lalu jika ada isinya, aku akan menari mengitari pohon natalnya”

Irene tertawa-tawa, walaupun sehun sudah dewasa rupanya ia masih mempercayai hal-hal seperti ini, mitos natal saat mereka masih kanak-kanak dahulu “Kalau begitu, mari kita menggantung kaos kaki yang besar di perapian…”

“Tapi…sekarang aku tidak membutuhkannya” jawab sehun sambil melepaskan pelukannya, kembali terduduk dengan senyum mengembang

Irene terbingung “Apa? Mengapa begitu?”

“Karena kado terindah sudah Tuhan berikan padaku. Disaat pertama kali aku membuka mata, kau adalah orang pertama yang membuatku tersenyun..”

Irene memutar bola matanya “Kapan ya seorang Oh Sehun ini tidak seharipun menggombal?”

Sedang sehun nampak tertawa seperti kanak-kanak “Karena kau sumber inspirasiku..”

“Arraseo.. araseo..kau memang menyebalkan!”

Sehun menggembungkan pipinya, berpura-pura menatap sebal istri tercintanya.

‘Kau tahu? Waktu seakan berputar begitu cepat saat kau bersandar di bahu rapuh ini. Saat suaramu selalu menggema dihatiku. Aku tahu, sensasi aneh ini adalah cinta’

  • ••

Pagi datang dengan dingin dari embun yang menyelimuti dedaunan musim semi. Butiran salju sesekali masih melekat di sudut-sudut dahan pohon Akasia dan pinus yang tumbuh disamping pelataran. Irene mengerjap sebentar lalu meringis tatkala livernya kembali berdenyut perih seolah menusuk-nusuk raganya, ia tahu tidak seharusnya membiarkan hal ini terlalu lama.

Namun sekali lagi, pengaruh cinta teramad besar. Irene takut akan pergi secepatnya dari sisi Sehun, ia tidak siap. Belum memikirkan hal menakutkan itu. Membiarkan rasa sakit itu terus menerus datang tanpa henti. Yang terpenting, Irene tetap berada di samping sehun, memuaskan segala indera penglihatan, pendengaran dan perasanya akan lelaki itu. Terdengar saat naif dan egois memang. Sehun menggumam lirih, masih memejamkan kedua matanya.

Irene memandangi pria yang nampak polos tersebut. Nampak seperti seorang bayi yang menggemaskan dengan kulit putih susunya. Tangan irene terulur, mengusap pipi tirus Sehun lembut “Aku mencintaimu, sangat mencintaimu” tanpa terasa buliran air mata itu terjatuh dibarengi rasa sesak yang menyergap hatinya “Terima kasih menjadi bagian dari hidupku. Aku merasa beruntung, sehun-ah” ia memandang teduh pria yang tertidur di sampingnya

“Sayang?” Ujar sehun, masih dengan mata terpejam

Irene gelagapan, segera menghapus air mata yang membasahi pipi pucatnya

“Sayang aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku, jebal!” Racau sehun dalam tidurnya

Irene terdiam, merasakan sakit itu lebih dalam ‘Sehun-ah jangan biarkan aku egois lebih jauh lagi!’ Perkataan sehun selalu membuat pertahanan yang dibuatnya runtuh

Pria itu lantas membuka mata perlahan, menangkap raut sedih Irene yang memandangnya parau “Irene, kau kenapa menangis? Uljjima..” ucap sehun menenangkan, dalam hati kecilnya sehun terkejut

Irene tersenyum kecut “Sepertinya aku baru saja mimpi indah”

“Tapi mengapa kau menangis?” Sehun menelisik mata almond gadis itu, sembari mengusap air mata yang mengalir di pipi pucatnya

“Karena mimpi indah itu berakhir dengan buruk, dimana sang putri diberi apel oleh nenek sihir, putri itu memakannya dan tertidur selamanya” terang Irene

Sehun mengusap rambut hitam Irene yang menguar aroma mint, aroma favoritnya juga selain lime “Bukankah seorang pangeran akan datang, menciumnya dan membangunkannya dari tidur?” sembari mencium sekilas bibir cherry Irene yang selalu terasa manis baginya

“Tapi aku terbangun sebelum pangeran itu datang Sehun-ah…” nada Irene nampak bergetar, membuatnya terlihat emosional

Sehun menangkupkan kepala gadis itu dalam dada bidanya, memeluknya “Bukankah aku pangeranmu? Bahkan sebelum kau tertidur pun, aku selalu disisimu, lagi pula itu hanya mimpi, tidak perlu kau khawatirkan. Arrachi?”

Irene mengangguk, menahan tangisnya lagi agar tidak tumpah

“Aku mencintaimu…” ucap sehun seraya mengecup kening gadis itu

  • ••

Pantulan dari cermin itu menampilkan wajah sehun yang kini terbalut kemeja berwarna putih tulang dengan dasi berwarna merah hati yang baru saja dirangkaian istrinya, Irene “Biar kulihat? Hum oke sempurna..” ujar irene yang turut mematung disamping pria itu

“Apakah Aku sudah terlihat tampan?” Tanya pria itu sambil sedikit merapikan rambut kecoklatannya

Irene mengangguk, mengkancingkan lengan kemeja yang belum terpasang sebelumnya “Mau sebanyak apa kau berkaca, kau tetap seperti ini Oh Sehun. Kau ini, mengapa suka sekali bercermin eoh?”

Sehun tersenyum, mencium bibir gadis itu, melumatnya perlahan “Geurae..aku tahu. Aaah…aku mencintaimu sayang…” sahutnya manja sembari memeluk gadis itu “Tapi, pagi ini kau terlihat lebih pucat dari biasanya, gwenchana? Mau ku antar ke dokter hum?”

Irene menggigit bibirnya, gugup, mencoba mengatur suaranya agar terlihat baik-baik saja di depan sehun, “I..Iya sayang, mungkin aku sedikit masuk angin. Bukankah Tadi malam kita mengobrol di balkon hum?”

Sehun mengangguk, membuka pintu rumah mereka “Maaf..aku terlalu keasikan. Sekarang aku akan berangkat. Sampai jumpa irene-ku…”

Irene terdiam sambil melambaikan tangannya ‘Inikah saatnya? Inikah saatnya aku harus pergi dari hadapan orang yang ku cintai?’ menatap sehun yang berjalan menuju mobilnya diiringi senyum yang masih melekat.

‘Sehun aku ingin melihatmu terus tersenyum bahkan setelah kepergianku nanti. Aku berharap senyummu bukanlah sebuah beban’ Irene berlari menghampiri sehun yang hampir saja masuk kedalam ferrarrinya, menatap bingung istrinya itu “Kenapa sayang?”

Irene menggeleng, lantas berhambur kedalam pelukannya lagi. melingkarkan tangannya di pinggang sehun begitu erat, seolah ia tidak ingin melepaskan kepergiannya

“Sayang..” sehun merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap istrinya akhir-akhir ini, irene yang biasanya cuek sekarang terlihat lebih memperdulikan sehun dan selalu memperhatikan pria itu. Sehun pikir mungkin saja irene akan mengalami masa period atau menstruasi oleh karenanya terlihat lebih sensitif.

irene melepaskan pelukannya, menggapai jemari pria itu “Sehun-ah aku mencintaimu, sungguh. Setelah ini kuharap kau akan lebih banyak tersenyum dan ramah kepada orang lain. Kau pria yang sangat baik dan penyayang. Aku mencintaimu” irene lalu berjinjit, mencium kedua pipi sehun, mengusapnya lembut

“Aku juga mencintaimu. Uuh kata-katamu sedikit menakutkan, seolah kau akan pergi jauh sayang..aku menjadi khawatir. Apa terjadi sesuatu ?”

Irene tersenyum, menggeleng “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan sekarang cepat masuk kedalam mobilmu!” Tuntunnya

“Araseo chagia. Good bye..” ucap sehun sesaat berada di dalam mobil. Menghidupkan mesin dan melesat ke jalanan, meninggalkan irene yang menatap kepergian sehun dengan tangisan dalam diam

  • ••

Sebanyak apapun Irene menoleh ke belakang, bahkan hingga ia lelah, sehun tak akan berjalan di atas lantai dingin itu. Tidak akan pernah tanpa seizin Irene yang menghubunginya, memberitahukan bagaimana penyakit kanker livernya telah mencapai stadium akhir. Ia sangat tidak tega sekaligus tidak sanggup mengatakan itu hingga akhirnya, ia memasuki ruangan rumah sakit ‘Sehun maaf jika aku harus pergi meninggalkanmu’

‘Sehun maafkan aku karena bahkan tidak mengucapkan sepatah kata perpisahan padamu’

‘Kumohon jangan membenciku’

Irene terdiam menatap langit-langit kosong rumah sakit sesaat ia berada di ruang kemotherapy. Menahan rasa perih sekaligus sakit yang menjalar diseluruh tubuhnya. Seperti sebuah sembilu yang menusuk-nusuk segala organ di dalam sana tak terkecuali jantungnya.

“Nyonya Irene, saya tidak dapat menjamin khemoterapi kali ini, mengingat anda yang terus berdiam membiarkan kanker itu semakin menyebar. Namun saya tetap akan berusaha semaksimal mungkin, Tuhanlah yang menentukan segalanya. Apa anda siap?”

Irene mengangguk, menerima segala konsekuensi yang akan diterimanya kelak “Dokter Kim bolehkah saya menitipkan sesuatu untuk seseorang?”

Dokter kim tersenyum lirih sembari mengangguk. Perlahan pandangan irene mulai mengabur disusul sebuah kegelapan yang menjemputnya pergi. Dokter dan para suster memulai pekerjaan mereka

  • •••

Sehun sedang mengadakan meeting dengan client dari Washington. Namun entah mengapa sejak meeting ini dimulai empat puluh menit lalu, ia merasa tidak bergairah sedikitpun. Batin sehun tidak tenang, rasanya ia begitu ingin cepat-cepat pulang, tak tahu mengapa

Suho menyikut pelan lengan sehun “Gwenchana?”

“Eoh. Perasaanku tidak enak hyung, aku terus memikirkan irene sejak tadi”

Sementara di depan sana, ayah Sehun tengah menerangkan produk terbaru manufaktur perusahaan sebagai terobosan terbaru pembukaan cabang kedua puluh di Amerika. Oh Samdong -ayah sehun- melirik sehun yang nampak gelisah di tempatnya. Tidak fokus sedikitpun bahkan sejak awal rapat ‘Apa yang terjadi padanya?’ Akhirnya Samdong menunda meetingnya sementara waktu melihat keadaan anaknya yang nampak dalam kondisi tidak baik

“Baiklah dalam 25 menit lagi, kita berkumpul disini lagi” ujarnya mengakhiri rapat

Sehun bernafas lega, ia segera menghampiri ayahnya yang berdiri di dekat viewer “Ayah aku harus pulang!”

“Kenapa? Apa terjadi sesuatu dengan istrimu?”

Sehun menggeleng “Aku tidak tahu, entah mengapa aku mengkhawatirkan keadaannya. Aku takut terjadi sesuatu pada Irene!”

Samdong mengangguk, menepuk pundak sehun “Geurae. Pulanglah nak!”

“Terima kasih ayah!” Sahut sehun sambil memohon pamit. Beruntung ayahnya begitu pengertian

Samdong tersenyum liih menatap kepergian sehun yang menghilang dibalik pintu “Kau sudah dewasa rupanya”

  • •••

Sehun mengedarkan pandangan keseluruh penjuru rumah. Berlari-lari kecil mengitari tiap ruangan hingga taman belakang. Memanggil nama “Irene..” berkali-kali namun tak ada sahutan dari yang dipanggilnya “Kemana perginya dia?”

Sehun merebahkan tubuhnya di sofa. Melepas dasi dan kancing pertama kemeja yang terasa mencekik. Lantas Ia mencoba menghubungi nomer ponsel gadis itu. Bahkan pada panggilan kelima, nomer itu masih tetap tidak aktif. Sehun semakin gelisah dan khawatir mengingat Irene yang tidak pernah menonaktifkan nomer sebelumnya apalagi pergi kesuatu tempat tanpa izin.

Sehun segera melesat dengan mobilnya, ketempat yang biasa Irene kunjungi bila sedang tidak ada kerjaan. Seperti cafe, rumah orang tuanya bahkan taman mereka sering bersama dahulu. Sehun mengacak rambutnya frustasi. Tidak menemukan keberadaan Irene yang seolah menghilang ditelan bumi

“Kau dimana chagia? Kumohon angkat telponnya!” Ujarnya frustasi sambil kembali menghubungi nomer ponsel Irene

“Sial” sehun melempar asal ponselnya, sesaat nomer itu masih tidak aktif

namun selang tak berapa lama, ponselnya berdering, sehun segera mengangkatnya

“Yoboseyo?”

“……..”

“Apa? Anda tidak bohong?”

“……”

Sehun segera memutar balik kemudi ferrary-nya. Berjalan dengan kecepatan tinggi menuju suatu tempat yang bahkan tidak pernah dibayangkannya “Irene, bertahanlah”

  • •••

Sehun membuka knop pintu sesaat mengecek kebenaran ruangan ini. Perawat menyambutnya dengan raut tenang namun bercampur sedih. Hingga langkah sehun terhenti tatkala melihat sesuatu di depannya, Irene tengah terbaring lemah dengan wajah sangat pucat, bibir memutih. Berpikir apa yang baru saja kedua matanya lihat, hingga ia berlari, merengkuh tubuh Irene

“Apa yang terjadi padamu?”

“Sehun maafkan aku” irene berkata lirih “Aku mencintaimu…” gadis itu tersenyum tipis ‘Aku tahu ini menyakitkan untukmu, tapi aku juga merasa sakit. Aku hanya ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya sehun-ah, sebelum aku pergi’

Sehun masih memeluk tubuh Irene. tanpa ia menyadari perlahan kedua mata itu menutup untuk selamanya. Sehun terdiam sesaat tidak ada respon sedikitpun dari Irene “Chagia, apa yang terjadi. Irene! Buka matamu! Jebbal”

Sehun berteriak histeris mendapati Irene yang tidak bernafas lagi. Perawat mencoba menenangkan keluarga pasien yang nampak shock “Tuan, nyonya sudah meninggal”

“Irene..apa yang terjadi?”

Lutut sehun terasa lemas, ia roboh, dadanya sakit dan sekujur tubuhnya nampak lunglai. Ia tak mampu berkata apapun, energinya seolah terserap habis. Dokter Kim datang, mendekati sehun yang jatuh terduduk menatap jasad Irene yang memejamkan mata

“Nyonya Hwang telah mengidap kanker hati sejak setahun yang lalu. Ia sengaja merahasiakan penyakit ini dari tuan agar anda tidak mengkhawatirkan keadannya. Namun nyonya Hwang justru mengabaikan kesehatannya sendiri dengan tidak melakukan kemotherapy sejak awal. nyonya menitipkan sebuah surat untuk anda!”

Sehun hanya terdiam. Bibirnya kembali keluh mengucapkan satu katapun. Ia meraih tangan Irene yang nampak rapuh, mengecupnya. Memberi penghormatan terakhir pada gadis itu

‘Sehun-ah apa kau masih mengingat kebiasaan kita setiap natal datang? Aku sangat beruntung memiliki sahabat sekaligus pendamping sepertimu. Sungguh, aku tidak bohong. Kau tahu? Aku sedikit tersinggung tiap kali kau mengatakan aku gadis yang cuek dan tidak perhatian. Aku hanya tidak tahu bagaimana mengungkapkan sikap itu, tapi aku mencintaimu, sungguh. Seperti yang ku katakan padamu tadi pagi, kau harus banyak tersenyum dan menjadi pria ramah setelah ini. Aku tahu perkataan ini menyebalkan, tapi Oh Sehunku ini sangat tampan, bukalah hatimu untuk gadis lain diluar sana, aku yakin kau akan mendapatkan seorang gadis yang lebih baik dari Irene. Sampai jumpa, jaga dirimu baik-baik. Aku tahu kau pria yang kuat’

  • ••

8 years ago

Sehun menatap Irene yang terduduk sambil tersenyum merasakan salju pertama yang terjatuh ditelapak tangannya, dibawah pendar cahaya lampu taman yang membuat wajah cantiknya nampak menawan “Selamat natal, sehun-ah”

Sehun turut tersenyum, menengadahkan tangannya ke udara seperti yang irene lakukan “Selamat natal juga, Irene”

Irene lalu mengeluarkan sesuatu dari tas rajutnya, mengalungkan dileher jenjang Sehun, sebuah syal hangat berwarna merah hati “Sudah berapa kali ku katakan, udara sangat dingin. Seharusnya kau menggunakan pakaian hangat dan syal!”

Sehun tertawa lalu memeluk Irene “Gomawo. Aku sengaja melakukannya agar kau terus memarahiku!”

Irene memukul-mukul punggung pria itu “Kalau kau sakit siapa yang akan tanggung jawab Oh Sehun? Kau ini bebal sekali”

Sedang sehun terkikik geli “Saranghae Hwang Irene..”

Irene melepaskan pelukan sehun, menarik pria itu “Ayo kita kerumah paman Samdong, bukankah kau harus menggantung kaos kaki paling besar di depan perapian?”

Sehun mengangguk girang “Aku berharap mendapat coklat, permen dan jely yang banyak”

“Oh sehun, kau baru saja lulus SMA tetapi masih menyukai jelly. Kau ini childish sekali!”

“Tapi walaupun aku childish begini, kau akan tetap bersamaku kan?”

Irene menghentikan langkahnya, menatap sehun tepat di eyesmile bulan sabit pria itu, lalu mengangguk “Ya kau benar, aku akan tetap mencintaimu sampai kapanpun”

Sehun tersenyum, mengeratkan genggamannya pada gadis itu sambil sesekali bercanda ria dibawah salju pertama yang mulai turun di langit malam Seoul, di malam natal. Diiringi gema lonceng dan nyanyian nyanyian sophrano merdu yang mengalun dari gereja-gereja

Ps: Hay..Entah kenapa Zay jadi ketagihan bikin Christmast Angst dalam bebagai versi nih. Setelah mendapat good respon dari FF Christmast Angst Luhan version, kali ini Zay bikin yang versi Sehun. Semoga berkenan. Don’t forget to R-C-L *bow


The Stuntwoman (Chapter 2)

$
0
0

Title : The Stuntwoman

Author : Flaqua

Main Cast :

Seo Yoo Jin (OC)

Kim Jong In (EXO)

Oh Se Hun (EXO)

Genre : Romance, Family

Length : Chapter

Rating : PG-15

Disclaimer : The story is mine. The cast belongs to the God.

P/S : Happy reading, guys. Hope you like the story^^. Comment, please. Thank you. Oh, iya, FF ini juga akan dipost di dua tempat berbeda. Selagi kalian nemuin FF dengan author dan jalan cerita yg sama, itu bukan plagiarisme :). Trims.

Yoo Jin membuka matanya. Ia merasa sedikit pening di kepalanya. Perlahan mata Yoo Jin mulai beradaptasi dengan lingkungan sekitar. “Aku di mana?” Matanya menelisik ruangan di mana dirinya berada. Ruangan yang berwarna hitam dan putih itu ialah kamar seorang laki-laki. Terlihat dari barang-barang yang ada di kamar itu, mulai dari parfum, baju yang tergantung di penggantung pakaian, almari kaca yang menampakkan sepatu, dan lain-lainnya termasuk sebuah foto yang menjadi pertanda bahwa kamar ini adalah milik orang yang ada di foto itu.

“Jong In?” Tebak Yoo Jin. “AAAAAAAAAA….” Yoo Jin menarik selimutnya sampai leher.

Mendengar teriakan Yoo Jin dari kamar Jong In, dua orang muncul di ambang pintu kamar Jong In. Mereka adalah Oh Se Hun dan Jong In.

“Kau tahu sedang berada di mana?” Tanya Jong In. Ia terlihat tidak suka dengan kehadiran Yoo Jin.

“D-d-di kamarmu? Mengapa aku bisa di sini? Kalian melakukan sesuatu padaku?” Yoo Jin berceloteh tak jelas. Jong In sampai malas mendengarnya. Tahu bahwa hal tersebut membuat Jong In sedikit badmood, Se Hun langsung menghampiri Yoo Jin dan menoyor kepalanya.

“Aish. Jaga perkataanmu. Kau sedang berhadapan dengan Head Chef dan pemilik Restoran Mars. Dia akan menjadi guru masakmu,” ujar Se Hun sedikit berbisik.

Head Chef dan pemilik Restoran Mars?

***

“Iris bawangnya tipis-tipis,” kata Jong In dengan tegas. Sekarang, tinggal Jong In dan Yoo Jin yang berada di dapur. Sebelumnya ada Se Hun. Ia memutuskan untuk kembali ke kantor karena ia tak kuasa melihat Yoo Jin yang dibentak-bentak oleh Jong In. “Kau ini wanita. Bagaimana bisa mengiris bawang saja tidak becus?” Protes Jong In.

Pantas saja Jong In membentak-bentak Yoo Jin. Apa yang diperintah oleh Jong In tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh Yoo Jin. Rasanya Yoo Jin benar-benar muak dengan segala bentakan Jong In. Dua jam saja membuatku tidak tahan bersamanya, apalagi berhari-hari? Mengapa aku harus belajar memasak???

“Sudah cukup,” ujar Jong In mengakhiri belajar memasak Yoo Jin. Yoo Jin menghela napas lega. “Lusa kita akan bertemu lagi. Kuharap kau sudah bisa melakukan hal-hal yang sederhana seperti yang kuajarkan tadi.” Jong In meninggalkan Yoo Jin sendirian di dapur. Ia tidak peduli dengan Yoo Jin yang sedang membersihkan dapur.

***

“Ah, akhirnya selesai juga,” Yoo Jin keluar dari dapur restoran. Ia merenggangkan lengannya yang terasa pegal sekali.

Yoo Jin meraba saku jinsnya. Ia tidak menemukan apa-apa di sana kecuali kunci rumahnya. Wajahnya mulai panik ketika di saku jaketnya tidak ada satu barang pun. “Ponselku di mana?”

Ia mengingat-ingat kejadian tadi pagi sampai beberapa detik yang lalu dengan cermat. Ia keluar dari rumahnya hanya membawa ponsel. Ia duduk di mobil Se Hun dan meletakkan ponselnya di dashbor mobil. Se Hun mengendarai mobilnya dengan kencang dan…

“Ponselnya jatuh. Ya, pasti jatuh. Ah, bagaimana ini? Aku tidak membawa dompet juga,” Yoo Jin semakin panik. Aha, dia menemukan sebuah ide. Ia kembali masuk ke dapur untuk meminta pertolongan pada Kim Jong In.

“Kim Jong In-ssi…kau di mana?” Seru Yoo Jin begitu masuk kembali ke dapur. Berkali-kali Yoo Jin menyerukan nama Jong In, tetapi orang yang diserukan tidak pula menampakkan batang hidungnya.

“Kim Jong In-ssi…” Yoo Jin berada di depan kamar Jong In. Ia hendak mengetuk pintu tersebut. Namun, tanpa diketahui oleh Yoo Jin, pintu tersebut didorong oleh Jong In. Membuat Yoo Jin meringis kesakitan karena dahinya terbentur pintu kayu tersebut. “Aw….”

“Ada apa memanggilku?” Tanya Jong In dingin.

“Aku ingin minta tolong padamu. Tolong teleponkan Se Hun. Ponselku ada di mobilnya,” kata Yoo Jin dengan sedikit tersenyum kuda. Ia bingung harus memasang ekspresi apa di depan orang yang sedingin es ini.

Jong In menuruti Yoo Jin. Ia membuat sambungan telepon dengan Se Hun. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, Se Hun langsung berbicara panjang lebar dan tidak memberikannya kesempatan berbicara. “Jong In-ie, sore ini aku benar-benar sibuk. Sebentar lagi aku akan rapat dan mengadakan evaluasi. Bisakah kau mengantarkan Yoo Jin pulang? Ponselnya ada padaku. Kau sepupu terbaikku,” kata Se Hun yang langsung memutuskan sambungan telepon.

Terdengar decakan kesal dari mulut Jong In. Bagaimana bisa Se Hun menyuruhnya untuk mengantarkan gadis tengil di hadapannya? Apakah ia pikir dirinya adalah seorang sopir?

“Kau pulang denganku. Se Hun yang memintanya,” ujar Jong In sambil berlalu dari hadapan Yoo Jin. Segera Yoo Jin berbalik badan dan mengikuti ke mana Jong In berjalan.

***

“Kau lulus kuliah umur berapa?” Tanya Yoo Jin pada Jong In yang sedang fokus mengendalikan kemudi mobilnya. Sejak ia semobil dengan Jong In, selalu saja ada yang ditanyakan pada head chef muda itu. Ia tak tahu bahwa orang yang diajaknya berkomunikasi sudah bosan dengan pertanyaan-pertanyaan tidak pentingnya.

“Kenapa kau berisik sekali? Aku tidak fokus menyetirnya, tahu!” Seru Jong In mengutarakan apa yang ingin ia katakan.

Yoo Jin terdiam sejenak. Ia mengoceh dalam hati dan menyumpahi orang yang dari tadi selalu membentaknya. Tak ada sopan-sopannya eksekutif muda ini pada orang yang baru saja ia temui.

“Berhenti di sini,” kata Yoo Jin tegas. Kim Jong In langsung menghentikan mobilnya di depan sebuah pertigaan. Tak ada ucapan atau pertanyaan darinya tentang Yoo Jin yang ingin turun di situ. Se Hun bilang rumah Yoo Jin berada di depan sebuah gereja, tetapi di dekat sini tidak ada gereja.

Muak dengan segala ucapan Jong In yang tak ada sopan-sopannya, Yoo Jin turun dari mobil Jong In. “Terima kasih,” katanya singkat sembari membanting pintu mobil tersebut. Itu balasan untuk pertemuan pertama yang mengesalkan, bagi Seo Yoo Jin.

Jong In hanya diam saja ketika Yoo Jin menutup pintu mobilnya dengan kasar. Begitu Yoo Jin keluar, ia segera menderukan mobilnya dan pergi berlainan arah dengan arah jalan Yoo Jin.

***

Pagi ini sebelum berangkat kuliah, Yoo Jin menemui Se Hun terlebih dahulu. Ia menunggu Se Hun di halte bus. Ia tidak dapat menghubungi Se Hun untuk segera datang karena ponselnya masih ada pada Se Hun.

Setelah berkali-kali ia menengok jam tangannya—takut ia terlambat pergi kuliah, akhirnya pria jangkung berkulit putih itu pun muncul dari balik jendela mobilnya. Yoo Jin menghampirinya dengan wajah sedikit kesal. “Kenapa lama sekali?” Ia meraih ponselnya yang disodorkan oleh Se Hun.

Eomma memintaku untuk mengantarkannya ke salon terlebih dahulu. Maaf,” katanya menyesal.

“Aku tidak mau belajar memasak pada Kim Jong In. Dia sangat menyebalkan,” terang Yoo Jin.

Se Hun tidak langsung menanggapi omongan Yoo Jin. Ia melirik jam tangannya. Hampir pukul sembilan. “Ayo naik,” kata Se Hun. Yoo Jin menurut saja.

“Kau tidak boleh berkata seperti itu. Jong In itu sebenarnya baik. Hanya saja ia memang tegas. Aku, kan, sudah mengatakan itu padamu. Karena ketegasannya itulah yang menjadikannya sukses di usia muda,” ujar Se Hun membela sepupunya itu. Memang apa yang dikatakan oleh Se Hun benar. Se Hun mengenal betul seperti apa Kim Jong In itu. Mereka sepupu yang akrab. Bahkan, Se Hun mengklaim dirinya sudah mengenal Kim Jong In sejak berada dalam kandungan ibunya.

“Ya, aku tahu. Tapi, kan, sebagai murid barunya, tamunya, orang yang baru bertemu, seharusnya aku tidak dibentak-bentak olehnya. Aish, tidak sopan sekali.” Yoo Jin sangat emosional jika membicarakan sifat Jong In yang sangat menyebalkan. “Bahkan, aku bertanya tentangnya, ia malah menyuruhku diam.”

“Besok-besok sifatnya tidak akan segalak itu. Mungkin dia sedang lelah,” kata Se Hun bijak. Hari ini perkataan Se Hun selalu terdengar bijak. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang terdengar manja. Itu karena hari ini Oh Se Hun akan mengadakan pertemuan dengan perusahaan lain untuk menjalin kerja sama. Ia harus menjaga suaranya agar terdengar matang dan tegas.

***

Di dalam kelas, Yoo Jin mengikuti pengajaran dari dosennya dengan khidmat. Apa yang dikatakan oleh dosennya dan menurutnya penting, ia catat. Ia cukup menikmati kelasnya kali ini karena dosennya yang masih muda dan—err…lumayan tampan menurutnya. Bahkan, ia sampai mengabaikan getaran ponselnya yang sudah berkali-kali mengganggu konsentrasi belajarnya.

Lima belas menit kemudian kelas berakhir. Berakhir pula kegiatan Yoo Jin di kampusnya. Ia akan segera pulang. Sebelum pulang, ia mengecek ponsel laknatnya yang mengganggu Seo Yoo Jin memperhatikan kegiatan mengajar Dosen Xi Lu Han.

Aku mendaftarkanmu kursus privat bahasa Inggris. Temui guru privat itu di kedai kopi dekat kampusmu. Dia wanita berkacamata.

Begitulah isi pesan Oh Se Hun yang dikirimkan berkali-kali kepada Seo Yoo Jin. Terdengar dengusan kecil Seo Yoo Jin setelah membaca pesan singkat Oh Se Hun. “Awas saja kalau gurunya seperti headchef menyebalkan itu. Kumakan hidup-hidup kau, Oh Se Hun.”

***

Bunyi lonceng terdengar begitu seseorang memasuki kedai kopi bernuansa coklat dengan harum aroma kopi yang menggelitik hidung. Adalah Seo Yoo Jin, orang yang baru memasuki kedai kopi tersebut. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari sesosok wanita berkacamata. Ada beberapa orang wanita yang berkacamata di sini. Namun, hanya satu orang yang duduk sendirian dan sepertinya menunggu seseorang.

Yoo Jin menghampiri orang tersebut dan menyapanya lembut, “Permisi. Selamat siang.”

***

“Hai, Bro!” Seru Se Hun pada seseorang yang tengah menerima telepon. Pria yang masih menggenggam teleponnya itu mengarahkan pandangannya pada Se Hun. Matanya menyiratkan pertanyaan; ada apa Se Hun ke mari?

“Aku bosan di kantor,” katanya sambil melepas jas kantornya yang berwarna hitam. Kemudian, ia duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. “Kau sedang apa? Kenapa aku dicampakkan seperti ini?” Se Hun memasang wajahnya sedih. Ia tidak terlalu suka dengan wajah sepaneng Jong In ketika berada di kantor.

“Aku sedang memeriksa keuangan perusahaan,” kata Jong In tanpa mengalihkan pandangannya pada Se Hun.

“Temani aku makan di restoranmu, Kim Jong In,” rajuk Se Hun. “jika kau tidak mau, detik ini kau kupecat dari perusahaanku,” tambahnya. Selain bekerja di restorannya sendiri, Jong In juga bekerja di perusahaan Se Hun. Sampai sekarang ia tidak masalah dengan dua pekerjaannya itu.

“Lima belas menit lagi,” katanya tanpa melihat Oh Se Hun.

***

Kim Jong In memarkirkan mobilnya di parkiran restorannya. Ia dan Oh Se Hun keluar dari mobil. Mereka berjalan memasuki restoran dengan santai.

Begitu sampai di pintu, dua orang pelayan membungkukkan punggung mereka sambil tersenyum. Mereka duduk di meja yang ditunjuk oleh Se Hun. Seorang pelayan datang dan memberinya daftar menu. Tanpa melihat daftar menu, Se Hun langsung memesan chicken gangjeong. Sedangkan Jong In, ia memesan beef bourguignon, makanan khas negara Menara Eiffel.

“Jangan katakan pada mereka bahwa aku di sini,” bisiknya pada pelayan tadi. Mereka yang dimaksud ialah anak buahnya yang bekerja di dapur sebagai koki.

“Baik, Chef,” kata pelayan itu. Kemudian, dia pergi dengan membawa catatan makanan yang dipesan.

“Di sini ada menu Indonesia baru. Kau tidak ingin mencobanya?” Tawar Jong In. Ya, di Restoran Mars ini terdapat berbagai macam makanan dan minuman dari tiga negara, yaitu Korea, Perancis dan Indonesia.

“Benarkah? Ah, aku tidak mau mencobanya jika bukan sepupuku yang memasaknya,” katanya menggoda Jong In. Jong In tertawa mendengarnya.

“Ha-ha-ha. Sepupumu yang mana? Aku tidak mau masak untuk anak kecil seperti Oh Se Hun,” kata Jong In disusul dengan uluran lidah mengejek Se Hun.

“Kau bilang apa, Kim Jong In?” geram Oh Se Hun. Ia bersungut-sungut. Ia hendak mencengkeram kerah Jong In jika saja pelayan tadi tidak datang menghampiri meja mereka. Pelayan itu tersenyum meringis melihat Se Hun yang tiba-tiba salah tingkah. Karena hal itu, Kim Jong In menertawakan ekspresi Se Hun yang saat ini tidak enak untuk dipandang.

Jong In menikmati beef bourguignon-nya dengan nikmat. Ia benar-benar memfokuskan pikirannya untuk menikmati hidangan tersebut. Di lidahnya, ia dapat merasakan potongan daging sapi dengan tekstur lembut itu. Ia juga dapat merasakan rasa khas masakan tersebut di lidahnya.

“Kau tidak akan memarahi kokimu, kan, setelah ini?’

“Emm…kurasa tidak,” kata Jong In sambil memasukkan potongan daging sapi ke mulutnya.

“Kurasa, kemarin seharusnya kau juga tidak memarahi Seo Yoo Jin.”

“Uhuk…uhuk,” Jong In hampir tersedak karena ucapan Se Hun tadi.

“Santai, Bro. Minum dulu,” kata Se Hun.

Jong In mengikuti perintah Se Hun. Ia segera meminum air putih yang berada di depannya, “Aku dibuat marah karena dia tidak bisa mengerjakan ini dan itu. Dia juga begitu cerewet. Aku sama sekali tidak menyukai tingkah lakunya. Memangnya dia siapamu?”

Tampak keraguan di wajah Se Hun untuk mengatakan hal yang sebenarnya. Ia mengingat janjinya pada Seo Yoo Jin yang tidak akan mengenalkannya sebagai “pacarnya” kecuali pada ibunya. “Dia kekasih pura-puraku,” kata Oh Se Hun datar. Kembali Jong In dibuat kaget oleh ucapan Se Hun.

“Bagaimana bisa?”

TBC


Baby I’m Missing You

$
0
0

Baby I’m Missing You

Tittle : Baby I’m Missing You | Cast : Kim Joonmyun – Suho (EXO-K) | Genre : Romance, Marriage-life, Fluff | Length : Vignette | Rating : PG-16 |

Written by .lallapo. (@lallapo_12)

Disclaimer : FF ini murni dari pemikiran lallapo, jadi jangan plagiat!

 

Authors Note : FF ini termasuk project-nya lallapo bikin romance series. Dua FF yang sudah lallapo publish sudah baca, belum? Baca dulu deh, sekalian comment, ya…

Ini link-nya

Happy Reading…

Sudah di post di blog lain dengan nama author yang sama

|.lallapo. Baby I’m Missing You|

Suho melangkah masuk ke dalam kamarnya. Setelah selesai membersihkan tubuhnya, ia langsung berbaring di atas kasur.

Suho membalikkan badan, merubah posisinya menghadap kiri. Tak butuh waktu yang lama, tangannya kini bergerak di tempat yang nyaman untuk disinggahi.

Tangan Suho sukses bertengger di pinggang sang istri tanpa membuatnya terbangun. Sebulan tak bertemu, membuat Suho benar-benar merindukan wanitanya itu.

Suho memperdekat jarak keduanya, menyesapi aroma khas dari istrinya. Aroma blueberry menyeruak memasuki hidung Suho. Ia menghirup udara di sekitarnya dengan ganas, Suho sungguh suka aroma itu.

Sang istri tetap pada posisinya, tak menyadari kehadiran Suho. Suho hanya bisa memandang punggung dan rambut istrinya. Walaupun sebenarnya ia berharap istrinya akan berbalik menghadapnya, menunjukkan wajahnya yang tertidur pulas. Namun, Suho tak mau mengganggu tidur istrinya.

‘Biarkan dia nyaman dengan posisinya,’ batin Suho.

Seakan Tuhan tahu apa yang diharapkan oleh Suho, kini istrinya menggeliat kecil dan merubah posisinya menghadap Suho. Tentu saja Suho tak melewatkan begitu saja. Ia sekarang memandangi wanita di depannya. Membayar kerinduannya kemarin.

Suho mengecup pelan kening istrinya, “Selamat malam, sayang. Mimpi indah.” Kemudian, Suho memejamkan matanya mengikuti apa yang dilakukan oleh istrinya.

Kim Hyemin, selaku istri Suho bergerak mencari posisi yang lebih nyaman. Kepalanya bersandar di depan dada Suho dengan tangannya yang ikut merangkul suaminya. Posisi seperti itu biasa mereka lakukan ketika sedang tidur.

***

Keesokan harinya, Hyemin terbangun lebih dulu. Ia mengerjapkan matanya. Seketika itu ia sadar bahwa ada orang lain di sampingnya, memeluknya erat seakan tak mau melepasnya.

Hyemin mendongak ketika matanya sudah benar-benar terbuka, ia mendapati wajah teduh yang sedang tertidur pulas. Wajah suaminya yang terlihat lelah tapi tetap tampan. Ia merindukan suaminya, Kim Joonmyun.

‘Oppa sudah pulang,’ batin Hyemin bergembira. Hyemin tak berniat bangun, ia kembali memejamkan mata dan memeluk Suho lebih erat lagi.

Suho menggeram pelan saat Hyemin memeluknya erat. Ia terbangun dari tidurnya, “Kau sudah bangun?” Tanya Suho dengan suara khas orang yang baru bangun.

Hyemin mendongak kembali, melihat Suho. Suho masih mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk. “Hehehe,” Hyemin menjawabnya dengan kekehan.

Mianhae, membuat oppa terbangun.” Tambah Hyemin.

Suho membelai rambut Hyemin, “Hmm… Lagipula aku juga akan terbangun, aku merasa lapar sekarang. Ayo membuat sarapan bersama,” ajak Suho.

Hyemin mengangguk, kemudian ia duduk, merapikan helaian rambutnya yang berantakan. Suho mengikuti jejak Hyemin, ia juga ikut membantu Hyemin merapikan rambut.

“Bagaimana konsernya? Menyenangkan?” Tanya Hyemin memecah keheningan.

“Hemm… Sangat menyenangkan, oh ya aku juga membawakan oleh-oleh untukmu dari China.” Tangan Suho beralih mengambil tas. Ia nampak mencari sesuatu dari dalam tasnya. Tak lama, ia mengeluarkan topi lebar berwarna peach.

Hyemin tersenyum lebar, ia menyukai topi dari Suho. ‘Sangat cocok dengan stlye-nya, pikirnya.

Suho memakaikan topi itu di atas kepala Hyemin. “Cocok denganmu. Tapi, tidak cocok dengan bajumu,” ujar Suho blak-blakan.

Hyemin memandang bajunya sekilas, tentu saja tidak cocok dengan bajunya sekarang. Karena ia memakai piyama hello kitty yang terlihat kekanakkan.

Hyemin tersenyum lagi, entah sudah berapa kali ia tersenyum. Mungkin juga, ia akan tersenyum seharian memandangi suaminya.

“Sudahlah, yang penting ‘cantik’!” Ujar Hyemin menekankan kata ‘cantik’. Hyemin menarik tangan Suho menuju dapur. Sebelumnya, ia menaruh topi pemberian Suho di atas meja rias.

Di dapur, Hyemin dan Suho membuat sandwich untuk sarapan. Mereka asik membuat sandwich dengan candaan ringan.

Oppa! Apa kau tidak capek?” tanya Hyemin setelah menyelesaikan sandwich buatannya.

“Tentu saja capek. Tour keliling Asia selama satu bulan non stop pasti melelahkan, bukan.”

Hyemin mengangguk mengiyakan. Hyemin tahu, suaminya pasti sangat lelah. Beban sebagai seorang penyanyi yang bisa dibilang ‘mendunia’.

“Kalau begitu setelah sarapan oppa harus beristirahat kembali. Oppa tidak memiliki jadwal sampai 3 hari nanti, kan?”

“Aku hanya ingin menghabiskan hariku denganmu, sayang…” Kata Suho lembut. Suho membawa sandwich buatan Hyemin dan buatannya ke meja makan.

Hyemin membuntuti Suho, duduk di meja makan, dan memulai makan pagi mereka.

***

Setelah selesai menghabiskan sandwich mereka, Hyemin dan Suho beralih menuju taman belakang rumah. Keduanya duduk di ayunan kayu. Lama sekali mereka tidak menghabiskan waktu bersama seperti hari ini.

“Apa lebih baik kau tinggal bersama, eomma?” Suho mengelus rambut Hyemin seraya memeluk bahu istrinya,

Hyemin menggerakkan ayunan pelan, “Hem?”

“Kau tahu kan, aku tidak bisa selalu berada di sampingmu. Jadi, lebih baik tinggal bersama eomma saja,”

Aniya, aku tidak apa-apa. Kasihan eomma, nanti ia akan kerepotan jika aku berada di sampingnya setiap hari. Aku tahu jika oppa sibuk dan membuat kita jarang bertemu, tapi tak apa aku akan menunggu di rumah. Jika oppa tidak bersamaku setiap saat, hal ini malah akan menjadi kerinduan bagiku, membuatku lebih mencintaimu. Dan saat oppa pulang, aku akan menghabiskan waktu dengan oppa sebaik mungkin, aku tak akan melewatkan momen-momen berharga seperti sekarang.” Hyemin berucap panjang lebar dengan tersenyum.

“Cukup dengan apa yang kumiliki seperti sekarang. Cukup dengan apa yang terjadi sekarang. Cukup jika oppa mencintaiku, aku sudah bahagia, oppa.” Tambah Hyemin setelah menarik napas dalam.

Gomawo, Hyemin-ah. Aku mencintaimu, selalu.” Suho menghadapkan badannya ke arah Hyemin, ia memperdekat jarak keduanya. Suho mencium bibir Hyemin dengan sangat lembut, kedua matanya sudah tertutup sempurna termasuk Hyemin. Keduanya saling menikmati ciuman tersebut, menghapus rasa rindu selama tak bertemu. Suho mulai menarik tengkuk Hyemin, memperdalam ciuman mereka.

Cukup lama kemudian, Suho mengakhiri kegiatannya bersama Hyemin tadi. Hyemin dan Suho segera mengambil napas, mengembalikan pasokan oksigen di paru-paru mereka.

Suho tersenyum lebar, “Haruskah aku ‘membuat’ teman untuk menemanimu di rumah?”

Hyemin mengernyit, perkataan Suho tadi sedikit ‘ambigu’. Ketika akan melontarkan perkataan guna menjawab pertanyaan suaminya, Hyemin kalah cepat. Suho dengan segera menggendong Hyemin masuk ke dalam rumah, lebih tepatnya ke dalam kamar mereka.

***

Tak usah dideskripsikan lagi seperti apa. Siangnya, Hyemin berakhir terkulai lemas di atas ranjang.

“Dengan senang hati aku akan melayanimu, sayang. Setelah mandi, kau hanya cukup makan dan beristirahat, oke?” ucap Suho sehabis mandi dan mengganti pakaiannya. Ia berlari kecil menuju dapur, Suho berencana membuatkan makan siang untuknya dan Hyemin.

Hyemin mengangguk menjawab perintah Suho. Setelah melihat Suho berlari kecil ke luar dari kamar, Hyemin berjalan menuju kamar mandi.

***

>>A few months later

Bagi Hyemin, sesibuk apapun Suho dan sudah berapa kali ia menunggu kedatangan Suho tidaklah penting. Karena apapun keadaan Suho, Hyemin yakin bahwa Suho tidak akan berhenti untuk mencintainya. Begitupun dengan Hyemin sendiri. Hyemin yakin jika Suho adalah suami yang baik sekaligus ayah yang baik untuk anak yang sedang dikandung olehnya sekarang.

*** END ***

Lallapo balik lagi dengan membawa leader kita –Suho!!! Yehet, gatau kenapa akhir-akhir ini suka banget ngeliat Suho jadinya ff ini full romance deh, hehehe

Yaudah deh, segitu dulu. Jangan lupa comment dan like ya… gomawo



Teach The Teacher (Part 5)

$
0
0

TTT

Title : Teach The Teacher (Part 5)

Author : Lee Young (@2ulya9)

Main Cast :

Oh Sehun

WuYi Fan –Kris

Other Cast :

Hwang Miyoung –Tiffanny

Park Chanyeol

Other OC

Genre : Family, Fantasi, Friendship, Life slide

Length : Chaptered

Rating : PG-15

Note : Saya minta maaf atas kesalahan penulisan judul chapter sebelumnya, chapter sebelumnya bukan chapter 3, tapi chapter 4. Jadi, bagi yang bingung sama capthernya, nih saya kasih link : Chapter 4 hhehhe. Selamat membaca yaa… respon kalian saya tunggu. Oh ya, chapter ini panjang banget lhooo.. kayak kereta lol

 

Summary : Ketika suatu hari, waktu dibolak balik Tuhan. Pemeran kehidupan dipontang pantingkan ke kondisi yang tak pernah diduga, ke kondisi yang tak pernah bisa dinalar oleh logika. Dan ketika pelajaran hidup diambil langsung dari pengalaman dadakan. Inilah yang akan terjadi, Teach The Teacher! Guru bahkan masih harus oleh guru yang sebenarnya –Kehidupan.

(Chapter 5)

Malam ini, Sehun berjalan pelan di trotoar sambil senyum-senyum sendiri. Baru sekali ini dalam hidupnya, dia bertingkah layaknya orang gila hanya karena satu momen. Ngng.. berciuman misalnya… dengan… seorang… kutu buku… tadi sore.

Sehun tampak tertawa kikuk lalu menggaruk tengkuknya sendiri. Aigo, sebenarnya hal apa yang tengah terjadi kepada dirinya satu minggu ini? Semenjak bangun di usia 26 tahun, kenapa semua aspek dalam hidupnya harus berubah hingga sedrastis ini? Well, mungkin Sehun masih bisa maklum jika dia harus menghadapi kehidupan dan waktu yang berubah. Tapi, bagaimana dengan perasaan? Semua ini benar-benar membuat Sehun heran bukan main (plus senang juga, habis tadi ciuman pertama sih :p)

Hari ini, Sehun sama sekali tidak sadar, jika waktu bukan hanya dapat mempermainkan kehidupan melainkan juga perasaan. Sehun juga belum sadar jika sebenarnya waktu bukan hanya detakan jarum jam yang berputar cepat melainkan juga ‘jawaban’.

“Aish.. na wae geurae??!! Tsk, kenapa sejak tadi terpikir tentang hal itu saja sih?! Ah.. sialan… otakku benar-benar tidak beres. Tidak beres,” Sehun menghentikan langkahnya lalu mulai mengusap wajahnya sekali. Oke, dia akan menghentikan pikiran konyolnya tentang momen sore tadi.

Sehun menggelengkan kepalanya. Setelah itu dia menghela napas dan membenarkan selempangan tas hitam yang menyilang di tubuhnya. Bersiap akan berjalan pulang tanpa memikirkan hal-hal bodoh tadi sore. Lagipula salah sendiri gadis itu menatapnya tepat di manik mata. Sehun kan tidak tau jika efeknya akan seburuk (atau sebaik?) itu. Entahlah, tadi semua berjalan begitu saja.

“Dan apa tadi? Pengertian tentang damai bersamamu? Cih, sejak kapan aku ketularan menggombal seperti kelakuan Jongin?,” runtuk Sehun lagi. Rupanya sekeras apapun usaha Sehun untuk menghilangkan’bayang-bayang momen’ itu, tetap saja hasilnya nihil. Sehun malah berjalan sambil sibuk mendongak, menatap langit malam kota yang sedikit mendung. Pikirannya bergantian antara Miyoung, dan hal lain.

Lama sekali Sehun mendongak ke langit. Dan ketika itulah, tanpa Sehun sadari, pikirannya tentang Miyoung lenyap begitu saja. Pemandangan semburat hitam di langit malam membuatnya terpikir lagi tentang kehidupannya. Sialan. Ternyata, Sehun masih belum sepenuhnya bisa menerima semua ini.

Sehun mendengus. Setelah kejadian percobaan bunuh diri Sooyoung siang tadi, dia sempurna terhenti untuk mencari biodata Wu Yi Fan di buku tebal yang sekarang ada di dalam tasnya. Dan sekarang, buku itu kembali menari lagi di benaknya. Berganti-gantian dengan siluet wajah Yi Fan yang tersenyum tulus ketika melihatnya melengos dulu.

Entahlah… semakin kesini, Sehun semakin merasa bersalah kepada laki-laki itu. Dulu, ketika dia baru pertama kali terjebak di dalam waktu yang terasa sangat asing ini, dia begitu ingin mencari Yi Fan, memakinya, dan menghajar seonsaengnim itu karena telah menimpakan kutukan sialan macam ini kepadanya. Tapi,  kehidupannya selama satu minggu membuat Sehun kelelahan.

Lelah untuk menyalahkan. Lelah untuk memaki Yi Fan di dalam benaknya. Dan lelah untuk memikirkan jika guru adalah pekerjaan sialan. Sehun lelah memikirkan semua itu.

Tapi kelelahan itu seakan tidak berlaku untuk tubuh dan hatinya. Tubuhnya terus saja bergerak. Berjalan naik-turun tangga, bolak-balik kelas, mondar-mandir ke depan belakang, bahkan dalam satu minggu ini, Sehun sempat  merasa panik karena kertas untuk lembar kerja siswanya ada yang terselip di map guru lain. Ketika itu Sehun langsung lari keluar kelas, mengejar guru yang diduganya tanpa sengaja membawa LKS siswa, tanpa peduli jika sebelum minggu ini, makian terhadap guru terus saja Sehun lontarkan.

Hatinya juga seperti itu. Hatinya sama sekali tidak kelelahan untuk merasakan gemetar-gemetar hebat ketika dia mendapat pengertian-pengertian baru dalam hidupya. Hatinya mulai bisa digunakan. Sehun yang dingin dan apatis, mulai bisa meleleh.

Sehun menghela napas lagi. Tanpa dia sadari, dia sudah hampir sampai di rumah.

Dan tanpa dia sadari… di tempat yang berbeda, Baekhyun seakan telah menangkap sifat-sfat buruk yang berhasil terlepas secara perlahan dari Sehun. Laki-laki itu melompat melalui jendela kamar lalu berlarian untuk pergi dari rumah.

“Lebih baik aku hidup sendiri di jalan!!” gumam Baekhyun sambil berlari menembus gelapnya malam.

Satu bulir air hujan jatuh menetes di atas satu daun layu yang menggantung di bonsai mungil depan rumah Baekhyun. Membuat daunnya gugur dan mengalirkan satu tetes air itu ke dalam tanah. Pengorbanan… sebelum akhirnya rinai hujan mulai turun dan berdebam keras menerpa atap rumah dan jalanan.

***

“Aish!!!,” desis Sehun ketika badannya langsung basah kuyup karena hujan padahal pintu rumahnya tinggal 2 meter lagi.

Sehun menutupi kepalanya dengan tangan dan langsung berlari menuju pintu. Setelah itu dia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam.

“Kau jalan kaki?,” suara Baekji –ibunya, terdengar ketika Sehun sibuk mengusap lengannya yang sedikit kotor. Sehun mendongak, setelah itu dia mengangguk.

“Aku jadi ingat masa SMA mu dulu. Kau juga seperti ini, jalan kaki dari SMA ke rumah. Kenapa diulang lagi? Tidak lelah apa jalan sejauh itu? Kau kan sudah memiliki mobil sendiri,” kata Baekji. Wanita paruh baya itu mendekati Sehun sambil mengulurkan handuk kering.

“Cha.. keringkan dirimu,” lanjut Baekji.

Sehun menerima handuk dari ibunya. Setelah itu menutupkan ke kepalanya dan mengusap-usap rambutnya yang basah. Sehun meringgis.

Iya, Sehun tau jika dia sudah memiliki mobil . Dan Sehun juga tau jika ‘jiwa dewasanya’ lah yang sudah membeli mobil untuk keluarga mereka. Mengingat Sehun dewasa adalah sosok yang sangat berbeda dengan dirinya saat ini. Oh, ayolah.. sekarang penampilan luar Sehun memang Sehun dewasa tapi jiwa Sehun masih jiwa Sehun yang berusia 17 tahun. Jiwa yang masih harus banyak belajar dan bercermin. Jiwa yang masih saja sibuk mencari jati diri.

Dan hal itu juga yang membuatnya sama sekali tidak menyentuh mobil itu. Jangankan berangkat bekerja dengan menggunakan mobil, bisa mengendarainya saja Sehun tidak. Sehun muda belum pernah sekalipun memegang kemudi apalagi mengendalikan gigi-gigi mobil yang memusingkan itu.

“Aku hanya takut kau sakit kalau terus-terusan jalan kaki seperti itu. Aku perhatikan, sudah seminggu ini kau jalan kaki,” lanjut ibunya. Wanita itu berbalik sambil melipat tangan untuk menuju dapur. Sehun tahu jika ibunya akan mengambilkan kopi atau coklat panas.

Sehun masih diam. Laki-laki itu sibuk berjalan pelan sambil sesekali mengeringkan rambutnya. Hingga dentingan sendok dari arah dapur membuatnya sempurna terhenti. Oke, dia ingin sekali bercerita kepada ibunya. Bercerita apa saja.

“Eomma,” panggil Sehun lirih setelah Baekji keluar dari dapur dengan secangkir coklat di tangannya.

“Hm?”

“Bagaimana pendapatmu tentang kutukan?”

Baekji mengerutkan kening sebari tangannya terjulur untuk menyerahkan coklat kearah Sehun.

“Maksudmu?,” tanya Baekji.

“Apakah eomma percaya jika suatu saat nanti, aku terkena kutukan? Terjebak disuatu tempat tertentu misalnya”

Baekji tersenyum. “Dirimu yang sekarang, mungkin adalah kutukan bagi dirimu yang dulu Sehun”

Sehun tersentak. Kalimat ibunya terdengar seakan-akan dia tahu jika Sehun tengah tersesat di masa depan.

“Aku masih ingat 9 tahun lalu kau bukanlah sosok yang seperti ini,” Baekji mendekatkan dirinya ke Sehun lalu mulai mengusap lembut lengan Sehun. Wanita itu tersenyum, dan menatap anaknya dengan tatapan teduh yang menenangkan.

“Aku sama sekali tidak menyangka jika waktu berhasil membuatmu berubah menjadi seperti ini. Kau terkena kutukan waktu yang membuatmu menjadi sosok yang begitu membanggakan. Sungguh demi Tuhan, dulu aku hampir putus asa karena sikap acuhmu. Aku hampir menyerah karena kau yang selalu melawan guru. Selalu mengabaikan masa depanmu. Hingga keajaiban itu datang. Kutukan itu datang dan membuatmu berubah. Sejak kejadian koma itu, kau seakan terlahir sebagai Sehun yang baru. Sehun yang penuh dengan penyesalan dan keinginan untuk berubah. Sehun yang lembut. Sehun yang penyayang. Sehun yang selalu membanggakan eomma,” suara Baekji melirih. Tangannya semakin lembut mengusap lengan Sehun.

Sehun terdiam. Sungguh dia merasa berdosa dengan segala unek-unek yang ada dalam dirinya saat ini. Dia sama sekali tidak tahu Tuhan, jika kehidupannya berubah menjadi seindah itu. Karena siapapun yang mengikuti kisah ini pasti tahu, jika Sehun melewati 9 tahun hanya dengan satu pejaman mata. Sehun melewati 9 tahun hanya seperti melompati pagar pembatas rendah.

Sehun bergetar hebat. Matanya melirik ke sekeliling. Mencari meja untuk meletakkan cangkir coklat yang sudah bergetar karena gemetar hebat tangannya.

“Inilah kutukanmu Sehun. Kutukan yang indah. Jika kau mau percaya,” suara Baekji serak. Wanita itu mulai menangis.

Ya Tuhan, sebenarnya apakah ini? Kenapa Sehun seperti semakin dipermainkan dalam kolong waktu? Sebenarnya Sehun harus bagaimana? Harus bersyukur karena telah tersesat dalam kolong waktu yang sudah tersetting indah ini atau harus berdoa agar dia bisa kembali ke waktunya yang sebenarnya? Ya Tuhan, bagaimana?

Sehun merengkuh ibunya. Matanya sudah memanas. Hatinya bergetar hebat. Satu lagi pengertian berhasil didapatnya. Entahlah, sudah ada berapa pengertian yang tertangkap oleh Sehun semenjak dia tersesat di kolong waktu. Tapi pengetian ini membuatnya tahu jika hidup itu penuh dengan harapan. Hidup Sehun penuh dengan gantungan harapan indah yang harus Sehun selesaikan.

“Inilah kutukanmu Sehun. Kutukanmu yang membanggakanku”

Sehun sudah sempurna terisak. Merengkuh ibu erat.

Pukul 7 malam, Sehun keluar dari kamar sambil mengusap rambutnya yang masih basah. Baru saja dia mandi dan bersiap akan makan malam.

Kriing… Kriiing

Sehun yang sudah menarik kursi di meja makan tampak menghentikan gerakannya. Sementara Baekji yang baru saja meletakkan sup tahu spesial untuk Sehun langsung melongokkan kepalanya kearah ruang tamu.

“Siapa yang telepon malam-malam?,” gumam Baekji sambil beranjak untuk menuju kearah telepon. “Kau makan saja Sehun-a. Biar eomma yang angkat,” lanjutnya sebari mempercepat langkah.

Sehun mengangkat bahunya dan mulai duduk. Matanya menelusuri permukaan meja. Aigo, kimchi udong, sup tahu, dumpling, nasi… enak semua. Sehun sudah menjilat bibir, dan tangannya sudah bersiap untuk ‘menyerang’ makanan di depannya. Tapi…

“Hajima!!”

PLAK

“Aigo, aish!!” Sehun langsung mengibaskan tangannya yang baru saja dipukul oleh Baekji. Sehun meringis. Dia mulai menatap kearah ibunya. Katanya tadi disuruh makan saja?!!!

“wae geurae? Kata eomma aku makan saja. Aigo.. sakit sekali…aigo,” protes Sehun sambil terus mengibas-kibaskan tangannya.

Baekji melipat tangannya di depan dada. Dagunya bergerak-gerak menunjuk kearah telepon yang sudah terbuka di ruang tamu. “Kau angkat dulu teleponnya. Baru makan!”

“Hajiman tadi eomma bilang… hya…”

Sehun langsung ditarik Baekji untuk berdiri. Setelah itu dia didorong oleh ibunya sampai terhuyung ke depan. Aigo, sebenarnya kenapa sih?

“eomma…. Kau ini kenapa? Aigo, aigo, aku bisa jalan sendiri eomma… ”

“Palli! Angkat teleponnya. Kasihan dia menunggumu, bodoh!!”

“Ne, Ne!!!”

Sehun mendengus lalu mulai meraih ganggang telepon yang tergeletak di meja. Baru setengah jam lalu Sehun akur dengan ibunya, tapi telepon ini membuat mereka ribut lagi. Ah, sebenarnya siapa sih? Sehun sudah menempelkan ganggang telepon ke telinga.

“Yob–”

“Sehun-a”

Freeze. Suara itu. Suara lembut yang penuh dengan ketegasan itu membuatnya membeku ditempat. Sehun menelan ludahnya. Berat sekali. Ini suara Miyoung.

Hening…

“Ini kau,kan Sehun-a?” suara Miyoung terdengar semakin jelas.

Sehun geragapan. Bingung akan menjawab dengan kalimat yang bagaimana. Aigo, Sehun langsung ingat dengan kejadian sore tadi.

“Eh, e..e.. Ne. Iya, ini aku Sehun. Ada yang bisa aku bantu? Eh, maksudku kenapa kau menelepon? Aduh, maksudku tumben kau telepon biasanya juga sms ke ponsel. Tsk, aigo, maksudku, kau kan jarang telepon ke telepon rumah. Aish!!!” Sehun langsung mengacak-acak rambutnya dengan satu tangan. Oke, kalimatnya belepotan.

Tapi sesaat kemudian, terdengar suara kekehan dari seberang. Renyah sekali. Menyenangkan sekali mendengarnya. Membuat Sehun semakin kebat-kebit saja mendengarnya.

“Kau ini kenapa? Kau baik-baik saja,kan?,” tanya Miyoung.

Sehun menelan ludahnya lagi. Tidak, dia tidak baik-baik saja. Hari ini aneh sekali. Hari ini perasaannya terasa aneh sekali. Tapi sedetik kemudian, Sehun tetap mengangguk.

“Iya. Na gwenchanna. Memang aku seperti orang sakit?”

Miyoung terkekeh lagi. Sesaat kemudian, terdengar tarikan napas dari seberang. Sehun mengerutkan kening. “Sehun-a”

“Hm?”

Hening sesaat…

“Bisakah kita bertemu? Di taman kota seperempat jam lagi?,” suara Miyoung terdengar lirih. Tapi sesaat kemudian dia terkekeh(lagi). “Ah, tapi aku tidak memaksa. Aku hanya ingin membicarakan tentang kelas 3-1 saja. Tapi jika kau lelah ka–”

“Lima belas menit dari sekarang,kan? Algetseumnida!,” jawab Sehun dan langsung memotong kalimat Miyoung.

“Sungguh?”

“Kau bisa menghitung mundur jika kau mau. Aku sudah siap berangkat menemuimu, kutu buku”

Dan dari kejauhan Baekji tersenyum sambil menyendok kuah kimchi udong di depannya. Hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Seutas doa mulai terucap lirih disela seruputan kuah mie yang memberikan kenyamanan kepadanya. Laki-laki yang baik harus mendapat wanita yang baik. Sehun harus mendapatkan Miyoung untuk teman hidupnya –doa Baekji diantara kehangatan kuah udong.

“Aku rela masakanku tidak kau makan asal kau tidak mengecewakannya,” gumam Baekji ketika Sehun sudah muncul di depannya. Sehun tampak tersentak. Ibunya seakan tau jika Sehun akan meminta maaf karena dia absen makan malam, malam ini.

“Sungguh, aku bahagia jika kau bersama dengannya”

“Eomma, apa yang kau katakan? Tidak ada apa-apa antara aku dan Miyoung. Aku menemui Miyoung karena urusan kelas yang aku ampu. Eomma sendirikan yang bilang jika Miyoung adalah atasan yang tidak seharusnya aku kecewakan?” kata Sehun. Dia masih belum ingin semua berjalan secepat ini. Sungguh. Perasaan ini masih terlalu dini untuk Sehun definiskan. Tapi Baekji menggeleng. Dia meletakkan sendok dan mulai menatap anaknya tepat di manik mata.

“Perasaan tidak harus diungkapkan dengan kata-kata. Dia sudah percaya denganmu Sehun. Mideojuseyo. Dia menghubungimu bukan karena dia atasanmu. Dia menghubungimu sebagai seorang gadis yang malu-malu ingin selalu dekat denganmu. Jadi, jangan kecewakan dia”

“Eomma”

“Palli… berangkatlah”

***

Sehun melirik kearah Miyoung yang duduk di sampingnya. Mereka sudah sampai di taman kota dan langsung duduk bersebelahan tanpa mengatakan satu patah katapun. Masih sama-sama canggung. Apalagi Miyoung. Untung saja sekarang malam, jadi wajah merah Miyoung tidak begitu terlihat.

“Ehem.. kenapa kau ingin bertemu denganku?” Sehun mulai membuka pembicaraan. Berat sekali. Bahkan laki-laki itu sama sekali tidak melihat Miyoung ketika berbicara.

Miyoung mengangkat wajahnya, mulai menoleh kearah Sehun. Selalu saja seperti ini. Selalu saja dia yang menoleh kearah Sehun. Tapi tidak apa-apa. Melihat sisi wajahnya saja sudah membuat jantung Miyoung berdebar tak karuan. Memperjelas jika perasaannya kepada Sehun dulu masih saja ada. Terlebih, sore tadi… ah, tidak, tidak, hilangkan pikiran itu.

“Bagaimana kabar kelas 3-1?,” tanya Miyoung. Sehun menoleh tapi dia segera kembali mengalihkan pandangannya. Takut kalau terjadi hal yang aneh lagi.

“Kelas 3-1 semakin buruk”

“Hingga ada satu siswanya yang akan bunuh diri, ya? Ironis sekali. Mereka seperti tidak bisa melihat masa depan indah yang menanti mereka,” sekarang suara Miyoung terdengar tegas. Membuat Sehun langsung menoleh, tanpa berminat untuk mengalihkan pandangannya lagi.

“Sooyoung maksudmu?”

Miyoung mengangguk. “Sebenarnya, apa masalah gadis itu? Aku hanya bisa melihat gurat kesedihan di wajahnya tanpa tau masalah yang dihadapinya”

Sehun menggeleng. Enggan untuk menceritakan masalah Sooyoung. Dia sudah berjanji kepada Sooyoung untuk menyimpan cerita ini sendirian. Biarlah orang-orang beranggapan bahwa Sooyoung gila karena akan bunuh diri tanpa sebab. Tapi yang pasti, Sooyoung sudah puas setelah menceritakan semuanya kepada Sehun. Menceritakan keluarganya, perasaannya, kerapuhannya, dan patah hatinya. Tapi Sehun harus menyimpannya sampai Sooyoung yang membuka diri untuk teman-temannya yang lain.

“Maafkan aku. Tapi Sooyoung percaya jika ceritanya akan selalu aman bersamaku. Jadi aku tidak bisa menceritakannya, Miyoung”

Miyoung tersenyum. Sama sekali tidak tersinggung dengan penolakan Sehun. Sehun benar-benar sudah berubah. “Algetseumnida. Aku pun juga percaya jika dia akan aman bersamamu,” balas Miyoung lalu terkekeh.

Sehun ikut terkekeh, “Kau berkata seakan-akan aku malaikat”

“Malaikat untuk siswamu, kan?”

Sehun menggeleng. “Sulit sekali Miyoung untuk mendampingi mereka. Dan aku pikir, akan semakin sulit karena ternyata kelas itu hanya terpusat pada satu siswa yang berperan sebagai penentu dari siswa lain”

“Maksudmu?”

Sehun menarik napas dalam. “Kau tau Baekhyun? Dia seakan menjadi sentral bagi siswa lain. Sekali dia menolak, semua ikut menolak. Dan sekali dia malas belajar lalu keluar kelas, semua membelanya hingga aku terusir dari kelas itu”

“Bukankah bagus? Kau tinggal memperbaiki sikap satu siswa saja, Sehun”

“Tidak semudah itu, Miyoung. Sungguh,” balas Sehun lirih. Laki-laki itu menggeleng beberapa kali. “Karena aku mengerti bagaimana Baekhyun menganggap dunia ini kejam kepadanya. Karena aku sadar jika aku tau bagaimana Baekhyun mulai menghapus keindahan masa depan yang siap merengkuhnya. Sulit sekali Miyoung”

Miyoung terdiam. Dia bisa melihat dari sorot mata Sehun jika laki-laki itu tengah menceritakan masa lalunya. Miyoung memang tidak tau bagaimana rasanya menganggap dunia ini kejam. Tapi Miyoung tau jika Sehun pernah menganggap jika kehidupannya kejam. Sembilan tahun lalu.

“Aku seakan melihat diriku yang dulu jika melihat Baekhyun. Dan seketika itu aku tau jika perjuangan untuk membuat Baekhyun sadar terlalu muluk untuk dilakukan,” lanjut Sehun lirih. Sehun mulai menepuk dadanya sendiri. “Dan rasanya sakit sekali ketika tau ada seseorang yang menolak keindahan hidup tepat di depanmu. Aku sama sekali tidak rela membiarkan Baekhyun bersikap seperti itu. Tapi aku juga masih terlalu amatir untuk membuat Baekhyun melihat jika kehidupannya harus selalu disyukuri. Semuanya masih terlalu muluk bagiku, Miyoung. Bahkan aku sendiripun masih belajar, Miyoung. Aku masih belajar menerima semua ini”

“Sehun-a…”

“Aku ingin kembali ke waktuku Miyoung. Sungguh, aku ingin kembali,” suara Sehun semakin melirih. Laki-laki itu tertunduk.  Bahunya bergetar, naik-turun.

Miyoung mengulurkan tangannya ragu. Mulai mengusap lembut lengan Sehun. Gadis itu ingin merengkuh Sehun, sebenarnya. Tapi, ah, jangan, jangan. Miyoung seorang gadis. Gadis baik-baik. Jadi, hanya ini yang mampu Miyoung lakukan. Mengelus lembut lengan Sehun, sambil terus berbisik lirih ‘Semuanya akan baik-baik saja’ . Terus mengelus lembut lengan Sehun, sambil mengabaikan jika dia sama sekali tidak paham dengan maksud ‘ingin kembali ke waktuku’

***

Malam semakin larut. Tapi kehidupan malam di pusat kota ini selalu saja menunjukkan hal yang sebaliknya. Orang-orang malah tampak lebih banyak dari sore tadi. Apalagi sore tadi sempat hujan, jadi sekarang lebih banyak lagi orang yang berjalan di trotoar. Berjalan dengan langkah cepat. Acuh. Masa bodoh dengan orang-orang di sekeliling mereka.

Satu dua remaja berseragam SMA tampak berjalan bergerombol.Tertawa-tawa sambil menunjuk estalase toko yang menampilkan apa saja yang bisa ditampilkan. Ada gitar mahal, tas, gaun, coklat, kue tart, semuanya. Ada yang berjalan dengan headset yang tergantung di lehernya. Toko-toko memperkeras volume musik dari grup idol yang lagi hit menurut chart mereka. Nonton music bank –oh iya, malam ini kan hari jumat. Banyak kegiatan-kegiatan yang tak bisa disebutkan satu-satu.

Dan diantara kesibukan manusia di bumi ini, Sehun dan Miyoung tampak berjalan berdampingan. Berbaur dengan orang-orang yang hilir mudik di trotoar. Tertawa-tawa juga. Bahkan Miyoung usil menempelkan ice creamnya ke hidung Sehun. Sehun marah lalu berniat membalas Miyoung. Eh, ice creamnya malah jatuh. Membuat mereka pada akhirnya terkekeh geli.

Satu jam lalu, Sehun sempurna menumpahkan semua unek-uneknya. Menangis di depan Miyoung sambil berkata jika hatinya sakit sekali. Sambil berkata jika dia ingin mencari Yi Fan. Ingin minta maaf. Tapi satu jam lalu, Miyoung hanya membalas dengan helaan napas. Bagaimana caranya untuk meminta maaf kepada Yi Fan? Jika tau kejelasannya pun tidak. Akses ke Wu Yi Fan seakan tertutup bagi mereka. Sempurna tertutup.

Satu jam lalu, keheningan sempat menyelimuti mereka. Membuat Miyoung salah tingkah ketika mendengar helaan napas Sehun.  Hingga akhirnya Miyoung menoleh, dan mulai mengungkapkan ide gilanya untuk melupakan status mereka sebagai guru.

“Bagaimana kalau malam ini kita jalan-jalan saja? Kita lupakan sejenak seluruh urusan yang memusingkan ini. Ah, aku juga sudah lama tidak berkeliling Seoul. Bagaimana?” tanya Miyoung dengan nada riang. Ketika itu Sehun sempat tertegun. Sekalipun dalam hidupnya, dia belum pernah diajak untuk ‘bersenang-senang’ dan melupakan segala urusan.

Dan anggukan Sehun membuat semua ini berjalan lancar. Mengalir bagai air sungai dari pegunungan. Beriak. Menghasilkan tepias air yang menyejukkan wajah.

“Kau curang. Kau selalu menghindar jika aku ingin memberikan ice cream ke hidungmu!!,” protes Sehun. Laki-laki itu mengerucutkan bibirnya. Membuat Miyoung semakin terbahak sambil mengusap ujung-ujung mata.

“Astaga hahaha…”

“Dan kau juga puas sekali tertawanya…” desis Sehun. Dia tampak memasukkan tangannya ke saku celana.

“Habis kau ini payah. Ingin mencolekkan ice cream ke wajahku saja sampai menumpahkan ice cream. Hya, Sehun-a, kau tau? Jika kau ketauan, kau bisa didenda! Habis kau buang sampah sembarang!!” Miyoung tertawa lagi. Kali ini dia sempat menjulurkan lidahnya.

Sebenarnya Sehun gemas sekali melihatnya. Aigo, sejak kapan coba Sehun bisa tersihir oleh wajah Miyoung? Gadis itu sungguh sudah berbeda. Menyenangkan sekali melihatnya. Menyenangkan sekali jika bersamanya. Tapi, ah, Sehun gengsi dong. Sehun pura-pura melengos lalu mendengus sebal –agak sebal juga sih sebenarnya.

“Jika aku didenda, kau yang aku jadikan sebagai bayaran”

Miyoung langsung mengerucutkan bibirnya. Manyun.

“Jahat sekali…”

“Biar,” sekarang giliran Sehun yang menjulurkan lidahnya. Puas dia bisa membalas menjulurkan lidah.

“Kau ini childish. Sungguh,” balas Miyoung.

Sehun menoleh, mengerutkan keningnya. Mereka berdua masih berjalan berdampingan. Tampak Miyoung tersenyum sambil mengulum ice creamnya yang hampir habis.

“Begitu pula aku,” lanjut Miyoung. “Kita sudah jauh dari usia 20 tahun tapi masih saja seperti ini. Lucu sekali”

Sehun terdiam. Lagi-lagi angin berputar dengan sangat lambat. Membuat dirinya kepanasan. Membuat dirinya kehilangan cara untuk bernapas lebih leluasa. Perasaannya diaduk-aduk lagi. Perasaannya berpilin lagi.

Secara mendadak, Miyoung menoleh kearahnya. Masih tersenyum cerah. “Menyenangkan sekali jika setiap hari bisa lepas seperti ini. Tapi, sekarang tanggung jawab kita sungguh besar. Dan aku bersumpah, aku akan selalu merindukan momen malam ini. Malam yang menyenangkan”

“Menyenangkan?” tanya Sehun lirih. Miyoung mengangguk. Tangannya memutar cup ice cream pelan.

“Hanya dengan satu cup ice cream, kau bilang menyenangkan?”  lanjut Sehun lagi.

Miyoung mengangguk. “Usia kita sudah 26 tahun dengan segudang tanggung jawab yang ada di atas pundak. Dan satu cup ice cream sudah menjadi oase menyejukkan bagiku. Sungguh”

Terlebih, aku menikmatinya bersama seorang Oh Sehun –lanjut Miyoung dalam hati. Urung untuk diungkapkan.

Sehun sempurna terdiam. Dia sama sekali tidak tau jika kebahagiaan Miyoung sangat sederhana. Hanya dengan satu cup ice cream yang bahkan punya-nya pun jatuh karena rusuh dengan Miyoung tadi.

Entah gadis ini yang sederhana, atau memang kebahagiaan itu yang memiliki kadar yang beranekaragam bagi setiap orang, tapi malam ini seakan menjadi puncak dari  proses belajar Sehun. Pengertian-pengertian mulai terkumpul. Mulai jelas apa maksudnya bagi Sehun.

Tuhan, bahkan kebahagiaan tidak harus diraih dengan cara yang muluk. Bahkan ada yang cukup dengan satu cup ice cream.

Tampak Miyoung masih saja tersenyum riang sambil menjilat ice creamnya. Matanya menyipit. Lucu sekali. Wajahnya yang memang tampak sedikit kebaratan itu semakin terlihat menyenangkan. Rambutnya yang tergerai, jatuh menyilang di bahu menambah keindahan pandangan Sehun malam ini. Benar. Gadis ini tidak boleh dikecewakan. Dan mungkin benar juga, jika Sehun sudah harus mulai menarik satu definisi tentang perasaannya. Nyaman sekali.

“Kalau begitu, kita tambah kebahagiaan malam ini. Gaja!!!” dan tanpa persetujuan dari Miyoung, Sehun langsung menarik tangan gadis itu. Masa bodoh dengan usia mereka yang sudah bukan remaja lagi. Yang terpenting, sekarang Sehun membawa Miyoung melesat untuk menikmati bonus kebahagiaan mereka. Time Zone!

***

“Aigo, menyenangkan sekali,” gumam Miyoung ketika mereka baru saja keluar dari time zone di pusat kota. Sehun menraktir untuk bermain apapun yang Miyoung mau.

Sehun terkekeh. Iya, menyenangkan sekali. Dan jujur, baru kali ini dia merasa bahagia karena bermain di time zone. Bersama dengan seorang gadis pula.

Pukul 11 malam. Mereka berdua masih berjalan di trotoar kota. Tadi, ketika di dalam time zone, Sehun sempat melihat segerombolan anak berseragam SMA yang bahagia sekali bermain bersama teman-temannya. Sungguh, sebenarnya dia sama sekali tidak ingin memikirkan Baekhyun. Tapi, kekehan keras siswa SMA itu langsung mengingatkannya kepada Baekhyun.

“Terimakasih, Sehun-a,” kata Miyoung.

Sehun menoleh. “Untuk?”

“Time zone,” jawab Miyoung singkat sambil membentuk tangannya dengan bentuk pistol. Sehun lagi-lagi terkekeh. “Kau terlalu berlebihan. Hanya Time Zone. Tidak sebanding dengan usaha kerasmu untuk SMA Dae Hak Gyo”

“Kau yang berlebihan, Sehun”

Sehun semakin terbahak ketika Miyoung meninju lengannya pelan. Mereka mulai berjalan melewati kedai soju yang ada di pinggir jalan. Sehun mengerutkan keningnya. Orang Korea memang akrab dengan minuman itu. Tapi, hei, lihat, ada satu dua orang yang mabuk berat. Limbung berjalan keluar kedai sambil merancau tidak jelas.

Sehun secara mendadak meraih tangan Miyoung. Menggenggamnya erat. Sehun sama sekali tidak peduli dengan wajah Miyoung yang sudah merah padam. Sehun hanya khawatir saja jika ada suatu hal buruk yang terjadi kepada Miyoung.

Tapi, baru satu detik tangan mereka saling bertaut, Sehun harus tersentak lagi. Dari jendela besar kedai, tampak laki-laki berdagu lancip itu duduk di pojok ruangan. Santai sekali menuang soju ke dalam gelasnya.

Sehun menggeleng. Dia tau usia Baekhyun belum cukup untuk berada di tempat seperti ini!!!

“Sehun-a…” gumam Miyoung ketika Sehun menghentikan langkahnya. Tangan mereka yang saling bergandengan membuat Miyoung juga berhenti secara mendadak. Gadis itu menatap bingung kearah Sehun yang menatap kearah kedai. Wajah laki-laki itu mengeras.

Sehun masih diam. Laki-laki itu semakin intens saja melihat ke dalam kedai. Membuat Miyoung secara perlahan ikut mengarahkan pandangannya ke dalam kedai. Dan hal itu langsung membuatnya mendengus. Ternyata siswa 3-1 itu lagi. Byun Baekhyun memang terkenal memiliki tabiat buruk diantara teman-temannya yang lain.

“Kau ingin ‘menyapanya’ Sehun-a?,”tanya Miyoung lirih. Gadis itu sedikit menggerakkan tangannya. Memberi isyarat Sehun agar laki-laki  itu menoleh.

Sehun menoleh, “Kau tunggu disini,” katanya lalu melepas pegangan tangannya.

Miyoung mengangguk. Sementara Sehun sudah berjalan cepat untuk masuk ke dalam kedai.

Baekhyun meneguk gelas kesekiannya. Pandangan matanya sayu, menatap ke permukaan meja. Sudah hampir setengah jam dia ada disini tapi dia belum menemukan tempat untuk melarikan diri. Sialan. Sepertinya hidup memang tidak akan pernah berpihak kepada Baekhyun. Lihatlah!! Bahkan Baekhyun masih harus kebingungan ketika dia keluar dari rumah!

Rumahnya sudah seperti neraka. Selalu saja dipenuhi oleh teriakan pertengkaran ayah dan ibunya. Pertengkaran karena apa saja.

Sebenarnya Baekhyun tidak pernah terlibat dalam pertengkaran itu, tapi siapa yang tidak terganggu jika setiap saat, setiap waktu, setiap detik harus mendengar teriakan itu? siapa yang tidak marah? Siapa yang tidak merasa terusik?

Baekhyun sungguh tidak mengerti bagaimana Tuhan bekerja pada kehidupannya. Karena, come on, lihat kehidupan Baekhyun! Baekhyun sama sekali tidak mendapat kenyamanan bahkan ketika dia di rumahnya. Baekhyun sama sekali tidak bisa terlelap dan mimpi indah walaupun sudah terbaring di ranjang kamarnya. Bahkan Baekhyun jarang merasa kenyang walaupun ibunya selalu memenuhi meja makan dengan seabrek masakan enak. Baekhyun hanya mendapat materi, materi, dan materi. Baekhyun hanya mendapat jaminan sehat untuk fisiknya. Tapi batinnya? Baekhyun selalu tersenyum pahit, selalu tertawa hambar, selalu.. entahlah. Dia sudah terlalu lelah dengan semua ini. Hidup Baekhyun tidak adil!

Baekhyun mendengus sebal. Wajahnya yang sudah kemerahan karena pengaruh alkohol tampak semakin sayu. Matanya berkaca. Dan tangan kanannya tampak terjulur untuk menuangkan kembali soju ke gelas. Baekhyun gila malam ini.

Tapi, baru saja botol sojunya terangkat, gerakan tangannya terhenti. Pergelangan tangannya dicengkeram seseorang. Baekhyun tersentak, dan mulai mendongak.

“Tidak sepantasnya siswa SMA berkeliaran di tempat seperti ini!,” kata Sehun lirih, tapi tajam. Laki-laki itu langsung mengambil alih botol soju dan melepaskan tangan Baekhyun. Baekhyun terkekeh kecut. Dia menggosok hidungnya sebari mengalihkan pandangan.

“Dan tidak seharusnya kau meminum soju diusiamu yang belum memperkenankan kau untuk menyentuh minuman ini”

Baekhyun tersenyum getir. Dia tidak membenci guru, tapi dia selalu membenci orang –siapapun itu, yang selalu ikut campur ke dalam urusannya. Jadi, malam ini dia sangat benci dengan Sehun.

“Apa taumu tentang aku, ha? Kau urus saja angka dan x y kesayanganmu itu! Biarkan aku hidup dengan kehidupanku sendiri,” kata Baekhyun. Tangannya berusaha meraih botol soju di genggaman Sehun.

Sehun langsung mengalihkan tangannya. “Kehidupan menyedihkan macam ini maksudmu? Heh, aku tidak akan membiarkan kehidupan yang seharusnya indah kau kotori dengan sikap apatis macam ini,” Sehun mengangkat botol soju, tepat di depan wajahnya.

“Dan kau pikir minuman ini bisa membuatmu menikmati kehidupanmu ini? Yang ada, kau akan semakin lupa jika kau punya kehidupan. Kau akan berjalan sempoyongan, tidak jelas arah, merancau, dan hal buruk lain,” lanjut Sehun.

“Kau berkata seolah-olah kau tidak tau soju dan tidak pernah menyentuh soju”

Sehun memang belum pernah menyentuhnya. Tapi tidak ada yang tau.

“Soju bermanfaat untuk menghangatkan badan ketika musim dingin, dan itupun tidak diminum sebanyak ini. Tapi kau, lihat, sudah ada berapa botol di mejamu? Hampir lima botol!!!”

Baekhyun mendengus. Oke, Sehun sudah keterlaluan.

“Hya, seonsaengnim!!! Lebih baik kau biarkan aku disini dan jangan pernah sok peduli lagi. Aku sudah muak dengan kepedulian palsu orang-orang di dunia ini!! Sialan semuanya!”

“Apa?”

“Kau tidak dengar? Heh, menyedihkan sekali!! Hya, seonsaengnim! Kehidupan ini tidak lain hanya sebuah drama yang penuh dengan kebohongan. Pembodohan. Aku muak dengan semua ini, kau tau? Aku muak dengan urusan orang-orang yang selalu menyakiti orang lain!!!,” kata Baekhyun. Wajahnya semakin memerah. Dia tertawa hambar, sambil menggeleng beberapa kali.

Sehun mengerutkan keningnya. Laki-laki itu sudah mulai berpikir jika urusan Baekhyun hampir sama dengan Sooyoung.

“Aku tidak tau kenapa semua harus terjadi di kehidupanku. Dan kau, seonsaengnim! Aku tidak tau kenapa harus mendapat campur tangan dari orang sepertimu!!!”

Sehun mendengus. “Karena kau tanggung jawabku. Kehidupan kedepanmu, masih tanggunganku,” kata Sehun ketus. Setelah itu, BAK, dia menghentakkan botol soju ke meja Baekhyun keras. Lalu tertawa kecut. “Tapi jika malam ini kau masih ingin menikmati ‘kehidupanmu’, aku biarkan!!! Tapi asal kau tau Baekhyun, aku ada disini karena aku peduli. Aku disini karena aku pernah menjadi sosok yang sama sepertimu,” suara Sehun melirih. Laki-laki itu menepuk dadanya sendiri.

“Dan kau tau? Menyesal itu sakit sekali! Menyesal itu menyiksa sekali!”

“Persetan,” desis Baekhyun. Sehun menggeleng pasrah. Sungguh, hatinya kembali sakit. Ya Tuhan, karma-Mu benar-benar menampar Sehun terlalu kuat. Wajah Sehun tampak pias.

“Aku hanya tidak ingin kau sepertiku, Baekhyuni. Sungguh. Aku tidak ingin,” lanjut Sehun. Tapi Baekhyun hanya diam. Kembali menuang soju ke dalam gelasnya.

Sehun menelan ludah. Matanya sudah memanas. Melihat semua ini benar-benar menyakitkan hatinya. Gagal sudah perannya sebagai guru untuk anak-anak didiknya. Sehun menghela napas. Baiklah. Malam ini dia menyerah.

“Baiklah kalau begitu, selamat malam Baekhyun,” kata Sehun lalu berbalik.

Sehun berjalan cepat keluar kedai. Matanya sudah berkaca. Hatinya semakin terpelintir. Malam ini dia sempurna paham dengan perasaan Yi Fan waktu itu. Waktu Yi Fan dia bentak-bentak seenaknya. Waktu Yi Fan dia acuhkan dengan hal-hal menyebalkan. Dia sempurna bisa merasakannya. Miris sekali.

“Sehun-a, gwenchanna?,” tanya Miyoung.

Gadis itu menatap Sehun dengan tatapan khawatir. Miyoung sempat melihat Sehun dan Baekhyun dari luar walaupun tidak mendengar percakapan mereka. Sehun mengangguk, “Gwenchanna. Gaja, kita pulang” jawab Sehun lemas. Dia segera berjalan cepat, mendahului Miyoung.

“Kau yakin?” tanya Miyoung sambil berlari kecil untuk mengejar Sehun.

“Ne. Kita pulang, Miyoung”

“Sehun-a…. kau benar-benar terlihat berbeda. Wajahmu–”

“AKU BILANG AKU BAIK-BAIK SAJA!!”

Hening…

Angin berhembus menerbangkan satu dua daun yang sudah hampir gugur dari pohonnya.

Sehun langsung mengacak rambutnya frustasi. Sementara Miyoung menelan ludah, merasa bersalah karena telah terlalu banyak bertanya.

“Jwesong…” gumam Miyoung lirih.

Sehun mengusap wajahnya berulang kali. Matanya semakin memanas. Dan satu detik kemudian, sret… dia langsung merengkuh Miyoung yang ada di depannya. Memelukkannya erat.

“Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku…” suara Sehun bergetar. Tangannya menekan Miyoung agar semakin tenggelam dalam pelukannya. “… minta maaf atas semua yang telah aku lakukan kepadamu, Miyoung. Aku minta maaf”

Ukiran dilangit semakin jelas, terbaca : Sebentar lagi, Sehun. Sebentar lagi, kau bisa kembali.

***

Keesokan harinya.

Sehun meletakkan tasnya di atas meja kerja, dan langsung duduk di kursi. Tangannya meraih tas, membukanya, dan mengambil buku daftar guru itu.

Sehun menghela napas. Pikirannya tidak bisa dibilang optimis ataupun pesimis dengan sesuatu yang akan dilakukannya hari ini. Dia hanya berpikir, ketika tangannya menyentuh buku tebal ini, dia harus terus mencari. Ayolah, mencari informasi di buku seakan mencari informasi di seluruh belahan dunia. Sehun benar-benar tidak bohong. Ini fakta. Sejak kemarin, sejak semalam selepas pergi bersama Miyoung, sejak subuh tadi, dia belum juga menemukan halaman yang memuat Wu Yi Fan. Entahlah apa yang terjadi. Tapi Sehun sudah tidak bisa lagi optimis. Dia juga tidak bisa dibilang pesimis. Dia hanya berpikir : lakukan. Dia hanya berpikir : berusaha. Biarkan semua ini dikerjakan oleh Tuhan.

Sehun mulai bisa menerima jika toh dia tidak bisa kembali ke masanya yang sebenarnya. Mungkin kehidupannya memang ditakdirkan berjalan melompat-lompat seperti ini. Dan Sehun juga mulai bisa menerima jika dia harus merasakan penyesalan seumur hidupnya. Mungkin dulu dia terlalu durhaka terhadap Yi Fan hingga harus menjalani semua ini.

Sehun menghela napas. Sudah hampir separuh buku dia ‘jelajahi’, dia pindai, dan dia baca berulang kali. Tapi tetap saja, tidak ada Wu Yi Fan. Laki-laki itu menghentikan gerakan tangannya, dan kembali meletakkan bukunya ke meja. Oke, dia pasrah.

Tanpa tahu jika satu lembar saja dia membalikkan bukunya, halaman untuk Wu Yi Fan telah terbuka.Karena seperti inilah cara Tuhan bekerja. Dia tidak akan memberikan hal yang memang tidak akan pernah dimiliki oleh hamba-Nya. 

“Mengajar jam keberapa Sehun-ssi?” suara Joonmyun terdengar dari belakang. Sehun menoleh.

“Jam ke-3 sunbae. Kau?,” tanyanya.

“Sebentar lagi di kelas 3-1” jawab Joonmyun sambil mengambil beberapa buku ajar di meja.

Sehun tersenyum lalu memutar kursinya. Sekarang dia sudah berhadapan langsung dengan meja Joonmyun yang ada di belakangnya. “Aku titip mereka, ya? Jangan pernah bosan mengajar mereka. Maafkan juga jika mereka kadang kurang ajar” kata Sehun lirih.

Joonmyun terkekeh, “Jangan samakan aku dengan guru lain. Aku tau kenapa kelas itu ada siswa semacam Baekhyun yang menjadi sentral bagi siswa lain. Dan aku tau kenapa Baekhyun memiliki sikap temperamen seperti itu,” Joonmyun menghela napas.

Sementara Sehun mengerutkan dahinya. Hei, dia walikelasnya tapi dia malah tidak pernah tau!!

“Memangnya apa?”

Joonmyun tersenyum, “Sebenarnya, Baekhyun adalah saudara jauhku, Sehun-ssi. Dia anak dari keponakan ayahku. Kasihan sekali. Baekhyun adalah korban broken home. Dia tertekan, dia kehilangan perasaan aman yang seharusnya didapatkannya”

Sehun terdiam. Dugaannya semalam benar.

“Dan yang terparah, dia sudah tidak percaya lagi dengan orang lain kecuali kedua temannya, Sooyoung dan Tao. Dia seperti ingin lepas dari interaksi dengan orang lain. Bahkan dia pernah berkata jika dia tetap berangkat sekolah, karena hanya di sekolah dia bertemu dengan Sooyoung dan Tao,” lanjut Joonmyun. Setelah itu tampak Joonmyun menghela napas.

Sehun tersenyum hambar. Dia ingat dengan dirinya dulu. “Baekhyun pasti membuatmu ingat dengan diriku yang dulu,kan sunbae? Ketika masih SMA,” katanya lirih. Bergetar. Tapi Sehun tetap saja terkekeh untuk menutupi semuanya.

“Bagaimana aku bisa lupa dengan Oh Sehun 9 tahun lalu? Aku sama sekali tidak menyangka jika adik kelasku yang anti guru mendadak bisa berubah setelah koma selama satu bulan. Dan maafkan aku Sehun, terkadang, aku suka berharap jika Baekhyun bisa seperti dirimu. Kau tau? ketika kami para siswa kelas 3 tengah ramai membicarakanmu karena Wu Yi Fan seonsaengnim dipecat setelah bertengkar denganmu di kolam renang, dulu, dan ketika kelasku ramai sekali mengatakan jika kau memang pantas di drop out, secara mendadak Sooyeon seonsaengnim masuk ke dalam kelas. Dia yang sempat merasa terkejut dengan kemampuan fisikamu, secara mendadak berkata ke kelas kami” Joonmyun membuka lembar pertama buku ajarnya.

“Bahkan perkataan Sooyeon seonsaengnim tentang dirimu masih aku catat. Universal sekali. Dia berkata, bahkan batu pun akan bisa berlubang karena terus mendapat tetesan air. Bahkan batu pun bisa terbelah karena dialiri air. Dan itulah bagaimana Tuhan bekerja di kehidupan kita Sehun. Asal kita mau berusaha. Aku masih ingat, ketika itu kelas kami menjadi kelas dengan nilai rata-rata fisika terendah. Dan momen ketika kau berhasil mengerjakan soal di depan sangat dihargai oleh mayoritas guru di SMA ini, dulu. Kau tau? mereka pun kecewa ketika kepala sekolah Jeongsu memecat Yi Fan seonsaengnim, dan berniat akan mendrop outmu”

Mata Sehun memanas. Dia sama sekali tidak tau dengan potongan kisah yang itu. Dia merasa seperti manusia bodoh yang terus bertingkah konyol disaat semua orang memperhatikannya. Sehun sama sekali tidak peduli, jika sekarang fokus mereka sudah lepas dari pembicaraan tentang Baekhyun. Yang dia tau, dia merasa semakin bodoh.

“Aku benar-benar naif, sunbae”

Joonmyun menggeleng. “Sama sekali tidak. Kau hanya menunggu giliran untuk menjadi orang baik. Kau pasti tidak tau,kan jika hampir semua siswa di SMA ini mengelukanmu? Bangga sekali mereka memiliki guru sebaik Oh Sehun. Dan dengan suka hati aku bisa menyebutmu sebagai Wu Yi Fan kedua. Jadi, jangan pernah menyerah untuk berjuang bersama kelas 3-1. Apapun yang terjadi, mereka tetap anak didikmu”

Joonmyun mengatupkan mulutnya. Dia melihat jam tangan di pergelangan tangannya, dan menghela napas. Sudah hampir pukul 7 pagi. “Sebentar lagi jam pertama dimulai, Sehun-ssi. Aku pamit,” kata Joonmyun sambil menepuk pundak Sehun.

Sehun menangguk, “Sukses untuk hari ini”

Tapi belum sempat Joonmyun keluar dari ruang guru, “Sehun seonsaengnim!!!,” suara Sooyoung terdengar dari arah luar. Gadis itu terengah di ambang pintu dengan wajah yang pucat.

Sehun mengerutkan keningnya, lalu bangkit dari tempat duduk.

“Wae geurae Sooyoung-a?

Sooyoung menelan ludahnya. Tangannya terangkat dan dia langsung memberikan ponsel warna merah jambunya kepada Sehun.”Baekhyun kabur, saem!”

“Apa?!”

“Ne. Orang tuanya menghubungiku””

***

Tampak tuan Byun mengusap wajahnya frustasi. Laki-laki paruh baya itu sudah berulang kali menceritakan penyesalannya hingga membuat anak samata wayangnya kabur entah kemana. Sementara ibu Baekhyun tampak tertunduk, menangis miris karena anaknya kabur.

Sekarang Sehun, Miyoung, dan Sooyoung tengah ada di antara keluarga kecil ini.

“Aku sama sekali tidak tau harus bagaimana lagi, seonsaengnim. Ponselnya non aktif ketika aku berusaha menghubunginya,” kata ayah Baekhyun.

Sehun menarik napasnya dalam. Dia sama sekali tidak tau jika semalam Baekhyun tengah dalam proses melarikan diri dari rumah. Seandainya saja dia tau, dia pasti akan menyeret anak itu untuk pulang. Dan sungguh, Sehun sama sekali tidak tega untuk menceritakan kepada kedua orang itu jika dia bertemu dengan Baekhyun semalam.

“Mungkin saya bisa membantu kalian, tuan,” kata Sehun.

Miyoung mengangguk. “Mungkin kami bisa mencarinya di gang yang berdekatan dengan kedai soju di kota ini,” jawab Miyoung.

“Kedai soju?,” kening tuan Byun mengerut. Sementara mata Sehun sudah melebar karena kaget. Dia lupa jika Miyoung juga melihat keberadaan Baekhyun semalam.

Tapi dengan wajah tenang, Miyoung mengangguk.”Karena disana banyak tempat kosong untuk sekedar menumpang tidur. Logis,kan?”

Sehun menghembuskan napas lega, lalu mengangguk. “Benar juga, tuan. Mungkin kami bisa mencarinya dari sana”

“Sungguh kalian akan mencarinya?”

Sehun mengangguk, “Kami akan berusaha”

Secara mendadak, suara isakan ibu Sehun terdengar keras. Wanita itu semakin tertunduk dalam. “Aku yang salah, saem hingga Baekhyun kabur seperti ini. aku yang salah,” kata ibu Baekhyun.

“Aku sama sekali tidak tau diri karena terus bertengkar dengan suamiku. Aku selalu berteriak tak tau diri. Aku selalu mengeluhkan tentang pertengkaran diriku dan suamiku kepada baekhyun. Aku yang salah, saem. Aku yang salah saem,” lanjut ibu Baekhyun. Tampak pundak ayah baekhyun naik-turun, bergetar. Dia juga terisak.

Miyoung mendesah lalu memajukan dirinya. Setelah itu, dia merengkuh ibu Baekhyun ke dalam pelukannya. Mengelus punggungnya lembut, sambil berbisik, “Semua akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja”

***

Miyoung menutup pintu mobil. Dia langsung memegang kemudi, dan segera menatap lurus ke depan. Sama sekali tidak berminat untuk menghidupkan mesin mobil. Pikirannya berlarian kesana-kemari. Bingung juga dia akan mencari Baekhyun kemana.

“Kau pikir, kita akan menemukan Baekhyun Sehun-a?” tanya Miyoung lirih. Sehun menghela napas. Dia pun juga tidak tau.

“Mungkin”

Miyoung langsung menoleh, “Aku sama sekali tidak tau jika semalam Baekhyun tengah berusaha melarikan diri. Seketika itu aku menyesal telah bersenang-senang dan melupakan status kita sebagai guru!”

BREM… Miyoung menghidupkan mesin. Tangannya kasar mengatur gigi, dan kakinya dengan kasar menginjak gas. Dia marah pada dirinya sendiri. Marah sekali.

Sehun tersentak dengan perubahan drastis Miyoung.  Selain takut dengan kecepatan mobil yang dikemudikan Miyoung. “Miyoung-a, hya, hati-hati!”

Miyoung tetap diam. Matanya memandang ke depan. Matanya berkaca. Wajahnya mengeras. Kelembutan itu seakan luntur dari wajah Miyoung. Yang ada hanya kemarahan.

“Miyoung!”

Pertahanan Miyoung runtuh. Dia membanting stir ke kiri, dan langsung menghentikan mobilnya. Setelah itu dia terisak. Menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangan di atas stir mobil. Miyoung sungguh menyesal karena sempat berkata jika dia melepas tanggung jawabnya sebagai guru hanya untuk bersenang-senang.

“Aku bodoh, Sehun. Sungguh.. bodoh sekali,” kata Miyoung tersendat karena isaknya.

Sehun menggeleng. Kenapa keadaan seakan berbalik seperti ini? Biasanya Miyoung yang menguatkan dirinya. Biasanya Miyoung yang marah-marah karena Sehun putus asa karena usahanya. Tapi kenapa sekarang…

“Kau tidak bodoh, Miyoung. Sama sekali tidak”

“Aku yang mengajakmu melupakan profesi kita Sehun. Aku yang membuat kita kehilangan feeling untuk menerka apa yang akan Baekhyun lakukan. Aku!! Kau dengarkan? Aku yang salah!!,” Miyoung berteriak.

Jelas sekali gadis itu tertekan dengan kejadian semalam.

“Tidak ada yang salah, Miyoung!”

Miyoung masih terisak. Sehun menghela napas. Perlahan, dia menggerakkan tubuhnya, untuk menghadap Miyoung. Tangannya meraih pundak Miyoung, lembut. Dan untuk yanyg kesekian kalinya, dia memeluk gadis itu. Mengelus lembut rambut Miyoung yang panjang terurai. Membiarkan helaan napasnya terasa hangat di daun telinga Miyoung. Berbisik lembut, “Tidak ada yang salah. Kita bekerja bersama, Miyoung. Baekhyun pasti akan ketemu. Pasti! Aku berjanji”

Dan siang ini, diantara masalah-masalah kehidupan lainnya. Sungguh, ada satu kejadian manis yang selalu membuktikan, jika perasaan memang tidak harus diungkapkan dengan kata-kata. Tidak harus selalu diyakinkan dengan barisan kalimat.

Janji baru kembali terukir untuk Sehun. Laki-laki yang baik, akan mendapat wanita baik. Janji baru untuk Sehun, yang berlaku untuk semua orang di dunia ini.

***

Disaat yang bersamaan, Baekhyun duduk di pinggir sungai kecil. Entah di kota sebelah mana. Laki-laki itu menatap datar ke badan sungai. Tanpa sadar jika segerombolan siswa berseragam SMA tengah berdiri di belakangnya, sambil mengayunkan tongkat baseball berulang kali.

“Mangsa baru, heh?” gumam salah satu diantara mereka.

TBC


Unlogical Married (Chapter 1)

$
0
0

CoverUnlogical

Title : Unlogical Married (Chapter 1)

Main Cast :

  • Oh Se Hun
  • Seo Young Ji (OC)

Other :

  • Do Kyung Soo
  • Park Chan Yeol
  • Byun Baek Hyun
  • Baek Dam Bi (OC)
  • Oh Dong Hoon (OC)
  • Hong Jang Mi (OC)
  • Son Na Ra (OC)
  • etc

Genre : Comedy-Romance, Marriage-life

Author : Lee Young

Lenght : Multichapter

Rate : PG-17

Summary : Let’s make it more logic 

Note : Pertama-tama, makasih banget sudah merespon teaser Unlogical Married dengan sangat baik. Saya sayang kalian, karena saya cuma butiran debu tanpa kalian *terharu. Ini Chapter 1 yang saya janjikan, dan semoga nggak mengecewakan *amiin. Chapter 1 mungkin adalah chapter terpanjang dalam rangkaian fanfiksi ini, karena chapter ini berisi perkenalan dan latar belakang masalah (skripsi, kale -,-)). Jadi, I hope you enjoy it *doa

(Chapter 1)

Seoul, Januari 1995

Suasana hening menjadi yang mendominasi ruang persegi dengan seabrek perabotan medis yang tertata rapi. Satu meja terletak gagah tepat di tengah ruangan, dengan tiga kursi yang saling berhadapan. Dua diantaranya, menghadap ke jendela– kearah satu kursi lain dengan warna berbeda. Jika dua kursi berwarna putih, maka kursi yang satu berwarna kehitaman dengan sedikit busa di bagian lengan dan sandarannya.

Tak berselang lama, tiga orang masuk ke dalam. Beringsut cepat untuk duduk di kursi. Satu diantaranya, menghela napas lalu menatap pria berusia 35 tahun yang duduk di hadapannya. Pria itu, menelan ludah berat. Berharap mendengar hal baik dari hasil pemeriksaannya barusan.

“Aku harap, anda tidak putus asa setelah hari ini,” kata orang berjas putih itu lirih. Nametag sederhananya terbaca Gong Gi Hyun. Seorang dokter kardiovaskuler di daerah Seoul.

“Ken…kenapa…euisa-nim?,” tanyanya terbata.

Gi Hyun menghela napas berat, “Jantung anda tak selamanya bisa bertahan lebih baik dari sebelumnya, Dong Hoon sajangnim,” jawab Gi Hyun tanpa basa-basi.

“Tapi, kau masih bisa berusaha agar tetap sehat. Atau kalau tidak, melakukan prosedur ulang juga merupakan pilihan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak,” lanjut Gi Hyun.

Dong Hoon tampak menahan napas. Pria itu menggenggam erat jemari istrinya yang duduk di samping. Tampak sorot mata istri Dong Hoon penuh dengan kesedihan.

“Prosedur ulang? Operasi ulang, begitu?,” tanya Dong Hoon kemudian. Gi Hyun membalas dengan anggukan singkat, “Itu satu-satunya jalan,” jawab Gi Hyun.

“Apa tidak ada jalan lain? Aku sudah lelah seperti ini terus. Jantungku bukan barang yang bisa ditambal seenaknya,” Dong Hoon terdengar kecewa.

“Aku tahu, Dong Hoon-ssi. Aku pun tak ingin jika terus-terusan melihat anda yang terbaring di ruang operasi, membedah dada anda, dan menambal-nya. Tapi mau bagaimana lagi? Katup jantung anda sudah sulit untuk ditanggani, setidaknya dengan kondisi peralatan medis kami yang terbatas. Entah jika 10 atau 15 tahun lagi. Tapi untuk waktu ini, tidak bisa. Lagipula sebenarnya anda hidup karena diri anda sendiri. Belum ada pasien bocor jantung yang bertahan seperti anda. Dengan kata lain, anda luar biasa–entah sampai kapan,” suara Gi Hyun melirih di ujung kalimat.

Dong Hoon menggeleng sekilas, lalu terkekeh hambar. Pria itu menatap dokter di hadapannya tajam, “Luar biasa diantara orang yang berakhir mati karena kasus yang sama, maksud anda? Bagus sekali”

“Bukan begitu maksudku, tapi– ”

“Berapa lama?,” Dong Hoon memotong penjelasan Gi Hyun. Gi Hyun menaikkan satu alisnya.

“Berapa lama aku bisa bertahan dengan jantung ini, Gi Hyun euisa-nim?,” lanjut Dong Hoon.

Gi Hyun menghela napas. Pria itu menatap pasiennya lekat, “Paling tidak, 20 tahun. Itu perhitungan kasarku”

Dong Hoon tak langsung menjawab. Pria itu menatap permukaan meja, sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Aku kira, itu cukup”

Gi Hyun mengerutkan keningnya heran. Dong Hoon memalingkan wajah, untuk menatap kearah perut istrinya yang membesar. Istri Dong Hoon tengah hamil 6 bulan.

Pria itu mengelus lembut perut wanita di sampingnya, membuat suasana haru segera menguasai ruangan. Istri Dong Hoon tampak mengusap ujung-ujung mata, dan tersenyum kaku menanggapi tingkah suaminya.

“Duapuluh tahun, rasanya sudah cukup untuk hidup bersama istri dan anakku. Duapuluh tahun pun cukup bagiku untuk bertahan demi melihat anakku menikah nantinya,” Dong Hoon terkekeh bahagia. Dia mendongak, menatap istrinya yang mati-matian menahan airmata. “Yeobo… kau tidak keberatan kan jika dia menikah di usia muda? Aku ingin melihat pesta pernikahannya sebelum aku pergi. Bagaimana?”

Istri Dong Hoon tak segera menjawab. Satu bulir airmata menetes ketika wanita itu mengangguk samar. Istri Dong Hoon–Hong Jang Mi, segera tersenyum kepada suaminya.

“Tentu saja…” suara Jang Mi terdengar bergetar, “Menikah muda bukan sesuatu yang buruk. Tidak apa-apa…. aku yakin, dia akan melakukan semua hal demi ayahnya. Semuanya”

Dong Hoon tersenyum cerah, lalu melanjutkan mengelus perut buncit Jang Mi yang masih menahan airmata.

 (Chapter 1)

Seoul, 2015

 

“Hot News

Tim Basket SMA Seung Ri berhasil meraih medali perak pertamanya untuk turnamen musim panas di tingkat regional”

cr : Klub Jurnalistik Sekolah

멍지 : Daeeeebaaak…. aku dengar, klub basket kita mendapat medali perak!!! Aku tak menyangka!

기린 : Jinjja? Waah… bukankah turnamen kemarin mereka hanya lalat? Wing…wing..wing.. tak bisa apa-apa.. aigooo….

멍지 : Eoh, ini nyata!! Kau bisa pastikan sendiri jika kau mau.

꾹이 : Ya! Ya! Ya! Grup obrolan macam apa ini? Aigoo…. membicarakan klub basket sekolah, eoh? Mereka sudah hebat, tahu! Leader baru mereka keren.

멍지 : Siapa memang?

기린 : Iya, siapa?

꾹이 : Oh-Se-Hun.

기린 : Waaah… Se Hun kelas 2-4? Yang sempat tinggal kelas itu? Daebak!

꾹이 : Geureochi….

멍지 : Oh Se Hun? Siapa Oh Se Hun?

도니: Grup apa ini? Siapa yang memasukkanku ke dalam grup ini?

도니: Girin? Kkooki? Meongji? Ini obrolan seputar running man?

멍지 : meeooong…. 멍멍멍…..

cr : SNS

“Aku pikir ini kabar yang luar biasa. Sekolah kita belum pernah sekali pun berhasil mendapatkan medali untuk turnamen musim panas,” seorang siswa laki-laki berbicara kepada teman yang berjalan di sampingnya sebari membawa nampan makan siang.

“Dan ketika kau melihatnya melompat… wuiiiiiis….,” kini siswa lain yang sudah duduk di meja makan panjang kantin sekolah, tampak berlebihan menggerakkan tangannya ke udara. Memeragakan cara Se Hun melompat. “…seperti di anime,” lanjutnya dramatis. Teman-temannya menyambut dengan ber-wah ria.

“Aigoooo…. oppa begitu tampan ketika memasukkan bola basket ke ring. Dia keren sekali….,” tak begitu jauh dari gerombolan heboh yang hiperbolis memeragakan gerakan Se Hun, beberapa siswi sibuk mengepalkan tangan di depan dada.

“Aaah.. pangeranku….”

Siang ini, tidak ada siswa SMA Seung Ri yang tidak membicarakan klub basket sekolah yang berhasil meraih medali perak turnamen musim panas beberapa saat lalu.

Perak.

Ya, hanya perak. Tapi, bagi sekolah yang sudah sejak 10 tahun terakhir tak bisa apa-apa di setiap turnamen, medali perak jelas merupakan hal besar. Terlebih, SMA Seung Ri bukan SMA favorit. Dilihat dari segi manapun, sama saja. Tidak ada favorit-favoritnya sama sekali.

Suasana kantin masih kondusif, hingga sosok manusia yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan seluruh penghuni kantin muncul dari kejauhan.

Seluruh mata langsung tertuju kepadanya. Gerakan menyendok makanan pun terhenti seketika. Semua menoleh. Slow. Motion.

Se Hun berjalan dengan langkah lebar sebari tersenyum menggoda. Laki-laki berkulit putih susu itu sesekali mengedipkan matanya kepada para siswi yang sibuk ternganga.

“Kyaaaaa…..”

Se Hun tertawa bahagia ala drama. Masih Sloooow. Moootion.

Dia mengibaskan anak rambutnya. Tsaaah. Wink. Tanda love kecil-kecil seakan bertebaran.

Seorang siswi bertubuh gempal melemparkan ciuman jauh. Bibirnya monyong, mencium telapak tangan yang telah terbuka lebar. Ciuman dilemparkan kepada Oh Se Hun.

Se Hun membuat gerakan seakan menangkap, lalu pura-pura membalas ciuman maya barusan. Se Hun terus saja melangkah riang untuk menyahut nampan. Semua. Masih. Ter-pe-so-na.

“Dia sedang menikmati popularitas dadakan, atau gila, eh?,” Baek Hyun bertanya kepada siapa pun yang berada di sekelilingnya. Total mereka 3 orang. 4 termasuk Se Hun. Ya, empat serangkai bisa dibilang.

Chan Yeol menghela napas. Laki-laki jangkung itu menatap Se Hun yang masih asik dengan imajinasi-nya di kejauhan. Konyol.

“PSTD? Mungkin dia terkena bola basket setelah pertandingan kemarin,” sambung Chan Yeol. “Bagaimana menurutmu?,” Chan Yeol melirik Kyung Soo yang sudah menatap tak suka. Se Hun benar-benar memalukan.

Kyung Soo menggeleng, “Molla. Mungkin dia stress karena tak bisa mengikuti jejak kita,” jawab Kyung Soo asal. Laki-laki bertubuh mungil itu segera berjalan menuju ke arah deretan panci-panci besar.

“Jejak?,” Chan Yeol gagal paham. Laki-laki itu menatap Baek Hyun dengan keningnya yang terlipat. Minta penjelasan.

Baek Hyun mengangguk sok paham, sebari menepuk bahu Chan Yeol. Laki-laki berdagu lancip itu pun segera menyusul Kyung Soo. Dia tidak ingin batal makan siang hanya karena sibuk berkomentar.

“Ya! Ya! Jelaskan padaku tentang jejak yang kau maksud? Jejak apa, eoh?,” Chan Yeol rusuh mengejar Baek Hyun dan Kyung Soo yang sudah sibuk mengambil makan siang. Se Hun masih tebar pesona ke seluruh penjuru kantin.

Kyung Soo mengayunkan tangannya cepat, “Jejak kakimu,” balasnyalagi-lagi asal.

Chan Yeol semakin tidak mengerti. Wajah laki-laki itu tampak begitu bodoh ketika dia tengah antri mengambil makan siang.

“Sepatuku bersih, jadi tidak mungkin meninggalkan jejak”

“Aish..jinjja…” gumam Baek Hyun lalu segera kabur menyusul Kyung Soo.

***

Kyung Soo mendengus sebal ketika tangannya selalu gagal memasukkan makanan ke dalam mulut. Seseorang selalu saja menyenggol tubuh mungilnya. Ah, bukan seseorang. Tapi segerombolan orang-orang. Gadis-gadis, lebih tepatnya.

Baek Hyun yang duduk di depan Kyung Soo hanya menatap jengah sebari bersedagu dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, memegang buah pisang. Dia mengunyah pisangnya pelan. Perhatiannya hanya terfokus pada Se Hun yang dikelilingi oleh belasan siswi untuk sekedar minta tanda tangan dan foto. Miris–Baek Hyun belum pernah merasa dipuja hingga seperti itu.

“Oppa… sekarang giliranku… satu…dua….”

“TIGA!,” Chan Yeol nyengir lebar. Laki-laki itu segera bergerak cepat untuk berada di depan lensa kamera. Cekreeek. Alhasil, wajah bulat Chan Yeol menutupi separuh wajah Se Hun. Laki-laki jangkung itu segera kembali bersikap normal ketika gadis yang diganggunya barusan, memberengut. Hendak protes. Tapi, tidak jadi. Gadis itu kembali mengulang ajang fotonya bersama Se Hun. Kali ini tanpa berhitung terlalu lama– keburu diganggu Chan Yeol. Hasilnya jelek, lagi!

Chan Yeol pura-pura merasa tak bersalah ketika gadis-gadis menatapnya setengah sebal setengah sungkanatau takut? Chan Yeol sadar posisi. Anak kelas 3 boleh jadi yang paling rajinmantan preman sekolah ketika kelas 2 tahun kemarin. Tapi, untuk urusan senioritas. Kelas 3, rajanya.

“Oppa… bisakah kau tanda tangan disini? Lalu disini? Disini juga boleh!”

Se Hun tertawa keren–karena dia memang keren, lalu dengan gerakan sok berwibawa menyambut ballpoint yang dijulurkan oleh para gadis, “Tidak apa-apa jika tanda tangan di kertas kosong seperti ini?”

“Gwenchanna, oppa. Dimana pun, asal itu tanda tanganmu,” balas gadis-gadis ceria.

“Dimana pun? Bagaimana jika oppa tanda tangan di hatimu saja?,” Wink.

Oh. My. God.

“Kyaaaaa……”

Se Hun terkekeh bahagia mendapati kedipannya manjur membuat anak orang berteriak histeris. Laki-laki itu segera membubuhkan tanda tangan ke segala hal yang ada di hadapannya.

Baek Hyun yang memperhatikan langsung ternganga– setengah heran setengah jijik. Baek Hyun sampai ingin muntah dibuatnya. Laki-laki itu segera membuat gerakan seakan ingin melemparkan kulit pisang kepada Se Hun.

Gadis-gadis yang tengah heboh langsung terdiam, menatap keheranan kakak tingkat berdagu lancip mereka. Hening. Beberapa diantaranya mundur beberapa langkah. Terlebih ketika Kyung Soo meletakkan sendoknya dengan gerakan kasar, dan Chan Yeol meneguk minumnya cepat-cepat.

Ketiganya langsung memasang wajah sangar.

Tidak mungkin!!!! (y*0*)y

“Op..opp…oppa…sepertinya aku harus hhe-hee.. kembali ke kelas,” satu dua gadis mulai kabur. Beberapa sibuk berunding untuk tetap antri minta tanda tangan atau kabur.

“Aku…aku juga…,” satu lagi.

Se Hun kebingungan. Para gadis segera mengambil barang-barang yang semula berserakan di hadapan Se Hun, “Wae? Wae? Wae? Oppa belum tanda tangani semuanya,” tanya Se Hun polos.

“Besok, besok saja oppa…” teriak beberapa gadis. Mereka mempercepat langkah sebari sesekali menoleh ke belakang. Aura hitam menyelubungi ketiga laki-laki yang duduk di sekitar Se Hun. Membuat para gadis yang melihat malah semakin mempercepat langkah. Mengerikan!!

“Geurae… kalau begitu besok oppa juga akan…”

Brak.

“Oh Se Hun!!”

“Jongshincharyo!!”

Tidak jelas siapa yang menggebrak meja dan siapa yang berteriak, tapi hal itu cukup membuat Se Hun menoleh kearah tiga temannya dengan wajah konyol.

“Wae?,” tanya Se Hun polos.

Baek Hyun mendengus. Laki-laki itu melempar kulit pisangnya ke sembarang tempat.

“Aigooo.. anak ini menyebalkan sekali! Ya! Jongshincharyo!!! Ada apa denganmu yang sok keren itu, Oh Se Hun?,” gertak Baek Hyun. Laki-laki itu sudah mirip banteng rodeo, mendengus berulang kali sebari menatap Se Hun tajam.

Bagaimana kalau oppa tanda tangan di hatimu… geurae kalau begitu besok oppa akan.. Oppa kakimu!!!,” lanjut Baek Hyun setelah menirukan kalimat Se Hun barusan.

Se Hun mengerutkan keningnya. Kenapa mendadak teman-temannya jadi sewot begini?

“Wae? Aku hanya mencoba berinteraksi dengan mereka. Ada yang salah?”

“Semuanya!!!,” ketiganya menjawab bersamaan. Se Hun sontan memundurkan tubuh hingga hampir terjungkal ke belakang.

Kini giliran Chan Yeol yang mendengus, “Ya! Oh Se Hun. Kau tahu, sikapmu benar-benar menjijikan. Kau tak perlu tebar pesona hingga seperti itu. Bersikaplah biasa saja”

“Aku sudah bersikap biasa saja,” Se Hun membuka kedua tangannya ke samping. Sebelum dia mengibaskan anak rambutnya yang berwarna kecoklatan, “Lagipula, pesonaku memang tak bisa ditolak. Aku leader tim basket sekolah. Aigooo… sulit dipercaya,” Se Hun malah semakin menjadi memuji dirinya sendiri.

Baek Hyun sudah hampir mencakar-cakar wajah Se Hun jika Chan Yeol tak langsung menghalanginya. Kyung Soo yang duduk tepat di samping Se Hun tampak menghela napas. Dari keempat siswa imbisil itu memang Kyung Soo yang paling lurus pikirannya.

“Oh Se Hun,” panggil Kyung Soo.

Se Hun yang entah sejak kapan sudah sibuk mengedipkan mata ke beberapa gadis yang lewat, menoleh.

“Ne?”

“Kau harus bisa mengenali batas wajar. Benar jika tim basket sekolah kita menjadi sedikit lebih unggul semenjak kau masuk. Tapi bukan berarti kau langsung merasa populer seperti ini. Kau tahu? Kadang kepercayaan tinggi malah berpotensi menusukmu dari belakang,” ungkap Kyung Soo.

Se Hun berdehem. Menohok sekali.

“Ehem…. jadi, maksudmu aku sudah berlebihan, begitu?”

“Geurae.. sangat berlebihan. Sangat!!!,” sambung Baek Hyun yang langsung dikeplak oleh Chan Yeol. Se Hun tengah berbicara dengan Kyung Soo, bodoh–mata Chan Yeol terbaca demikian.

Kyung Soo melirik sekilas, sebelum kembali menatap Se Hun yang menggerakkan tangannya ke udara– ingin menghajar Baek Hyun saat ini juga. Laki-laki itu mengangguk. “Ye, kau berlebihan,” kata Kyung Soo.

“Bukannya kami iri atau semacamnya. Walau pun yaaa…. kami memang belum pernah sih diperlakukan seperti itu,” kriik. Baek Hyun dan Chan Yeol cengo menatap Kyung Soo.

Hening.

“Ehem.. maksudku, jangan pernah berpikir jika kami iri,” lanjut Kyung Soo. Baek Hyun-Chan Yeol langsung mengangguk mengiyakan.

“Kami hanya tidak ingin kau tertipu oleh popularitas ini, Se Hun. Keberhasilan bukan sesuatu yang harus kau tanggapi hingga seperti itu,” lanjut Kyung Soo.

Se Hun menghela napas. Wajahnya berubah jengah. Entah kenapa, nasehat Kyung Soo seakan terdengar : ‘Keberhasilanmu itu bukan apa-apa jika dibandingkan kami yang tidak tinggal kelas, Se Hun’. Berlebihan memang. Tapi bukankah ini semua hak Se Hun? Sikap bagaimana pun yang laki-laki itu tunjukkan akan tetap menjadi konsekuensi dalam hidup Se Hun?

“Ini hidupku tapi kenapa kau yang pusing, eoh?,” tanya Se Hun dengan nada malas.

“Apa?,” pekik Baek Hyun tak percaya.

“Ya! Se Hun-a. Kami hanya mencoba memberimu nasehat. Tidak lebih. Tapi kau malah menanggapi dengan cara seperti itu. Kau tahu, aku hanya tak ingin melihatmu semakin jauh tertinggal di belakang,” omel Baek Hyun.

“Setidaknya, walau kita ber-empat tidak bisa lulus bersama, tapi aku ingin kita ber-empat mendapatkan kehidupan yang setara,” lanjut Baek Hyun. Suara laki-laki itu menajam di ujung kalimat. Baek Hyun, kecewa. Laki-laki berdagu lancip itu mengangkat kakinya untuk keluar bangku sebari membawa nampan. Diikuti oleh Chan Yeol yang hanya menatap Se Hun–Baek Hyun benar.

Se Hun terkekeh tak percaya. Kenapa suasana malah jadi canggung seperti ini?

“Apa? Tak bisa dipercaya…” gumam Se Hun.

Kyung Soo yang masih duduk di samping Se Hun menghela napas. “Baek Hyun benar, Se Hun. Kami ingin kehidupan kita setara. Cukup satu saja yang membedakan kita. Kelulusan. Selebihnya itu, aku setuju dengan semua yang Baek Hyun katakan,” kata Kyung Soo lirih.

Se Hun sengaja tak menggubris. Laki-laki itu pura-pura sibuk menyendok sup rumput laut. Kyung Soo mengerdikkan bahunya. Well, sepertinya Se Hun tetap tidak akan pernah peduli.

Kyung Soo beranjak dari bangku sebari mengangkat nampan. Laki-laki itu menepuk bahu Se Hun–sedikit meremasnya.

“Aku duluan. Selamat makan,” kata Kyung Soo sebelum mulai melangkah meninggalkan Se Hun sendirian.

Se Hun menghela napas. Sial. Mood-nya hilang dalam sekejap.

“Tsk, gila…” gumam Se Hun.

***

“Dua puluh tahun,” seorang pria paruh baya tersenyum ketika melihat kalender yang berdiri tegak di meja kerjanya. Pria itu menghela napas, bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.

Istrinya masuk membawa nampan berisi satu piring makanan, satu gelas, dan botol kecil obat.

Dong Hoon tersenyum, menyambut.

“Kau tidak istirahat, yeobo?,” tanya istrinya lembut. Dong Hoon terkekeh. Laki-laki itu menatap istrinya yang mulai menyiapkan kapsul-kapsul pendukung kehidupannya.

“Kau tahu? Satu tahun lagi, tepat dua puluh tahun semenjak dokter Gi Hyun memberiku perkiraan kasar itu,” kata Dong Hoon.

Jang Mi–istri Dong Hoon tersenyum lembut. Wanita paruh baya itu menyerahkan beberapa kapsul kepada suaminya. Dong Hoon menyambutnya, lalu menelannya dengan air putih dalam gelas.

“Kau sudah berniat memberi tahu maksudmu? Tentang pernikahan?,” tanya Jang Mi setelah Dong Hoon selesai menelan obat.

“Bagaimana kalau menurutmu? Anak itu…,” Dong Hoon menggeleng, “….aku tak bisa membayangkan anak itu menikah di usia semuda ini. 19 tahun,” lanjut Dong Hoon.

“Aku pun, iya. Tapi, aku mendukung rencanamu. Lagipula kau hanya ingin melihat ritualnya saja,kan? Tidak mungkin kita melepaskan seorang anak berusia 19 tahun untuk mengarungi rumah tangga yang sebenarnya, yeobo. Bahkan dia belum lulus SMA,” kata Jang Mi.

Dong Hoon terdiam. Hanya melihat ritual? Jadi pernikahan yang akan dilihat Dong Hoon nanti hanya untuk main-main saja? Demi menyenangkan hatinya yang sebentar lagi akan meninggal?

Dong Hoon menghela napas. Pria itu menggeleng tegas. “Ani. Aku ingin yang sebenarnya. Pernikahan bukan sebuah permainan ritual. Lagipula, dia bisa bekerja. Aku bisa membiarkannya bekerja di perusahaan ini, jika aku mau. Menjadi kurir angkut sudah cukup untuknya”

Jang Mi tersentak, “Apa? Jadi kau ingin anakmu menjadi pegawai rendahan?”

“Kau bilang dia belum lulus SMA”

“Tapi tidak seperti itu juga. Dia anakmu! Kau tak bisa jika– ”

“Jang Mi, jal deureo. Aku pun tak ingin membuatnya menjadi kurir di sepanjang hidupnya kau tahu? Kita biarkan saja dia belajar bagaimana harus hidup. Dia harus belajar memenuhi kebutuhannya sendiri, Jang Mi. Lagipula, anak itu sudah terlalu sering dimanja. Dia menjadi sosok keras kepala yang selalu melakukan semua hal seenaknya,” kata Dong Hoon sebari terus mengingat sikap anak semata wayang mereka.

“Astaga, aku tak bisa percaya. Yeobo… bagaimana pun juga, Se Hun masih dalam masa remaja. Dia masih dalam proses belajar”

“Belajar apanya yang hingga tinggal kelas, eoh? Dia hanya hebat dalam bermain basket, selebihnya itu nol besar. Se Hun harus belajar menjadi manusia yang sebenarnya, Jang Mi. Menjadi seorang laki-laki sejati”

Jang Mi menggelengkan kepalanya, heran. Kadang suaminya memang keras kepala–sama seperti Oh Se Hun.

“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, yeobo. Awalnya, kau hanya ingin melihat pernikahan anakmu sebelum kau tak sempat melihatnya, tapi semakin lama kau berbicara masalah kedewasaan.”

Jang Mi menghela napas, “Lagipula siapa yang mau menikah dengan seorang laki-laki yang belum dewasa, eoh? Tidak ada. Jika kau memilih menjodohkan Se Hun, itu malah akan mempermalukan keluarga kita. Menurunkan harkat dan martabat kita, yeobo,” jelas Jang Mi panjang lebar.

Dong Hoon tak segera menjawab. Laki-laki itu menatap istrinya sejenak,

“Pasti ada yang bersedia, Jang Mi. Aku yakin”

***

Perumahan Elite, Gangnam.

Blam!

“Aigoo…inom!! Sampai kapan kau bersikap kasar seperti itu, eoh?! Menyusahkan orangtua saja!,” teriakan wanita paruh baya menggema di setiap sudut rumah sesaat setelah seorang gadis membanting pintu keluar.

Lagi-lagi, pertengkaran besar terjadi diantara ibu dan anak.

“Menyusahkan katamu?!! Ya!! Eomma!! Bahkan aku makan dengan uang hasil jerih payahku sendiri. Aku tinggal juga menyewa sebuah apartemen sendiri. Menyusahkan yang bagaimana lagi yang kau maksud? Aigooo kau yang membuatku gila, ara?!,” gadis itu membalas berteriak dari luar.

Dia mendengus sebal. Tidak bisa dibiarkan lagi. Ibunya sudah terlalu sering merendahkannya hingga titik terendah level kemanusiaan. Padahal, siang ini dia berkunjung untuk bertanya kabar.

Pintu mendadak terbuka, kasar. Wajah ibunya menyembul dengan amarah yang begitu besar. Wanita paruh baya itu pun mendengus tak kalah menyeramkan dari Young Ji.

“Menyusahkanku karena membuatku malu! Lihat dirimu!! Usiamu sudah hampir 30 tahun tapi kau masih sibuk dengan gulungan kain-kain itu. Aku merasa sudah membuang uang banyak hanya untuk membuatmu secantik ini tapi akhirnya kau menjadi perawan tua!!! Kau tak tahu betapa bingungnya aku ketika hadir ke reuni beberapa saat lalu? Teman-temanku sudah memiliki cucu, kau tahu?! Tapi aku harus malu karena aku terancam memiliki anak perawan tua!!”

Seo Young Ji ternganga lebar. Dia hampir tersedak karena mendengar seluruh omelan ibunya. Konyol. Jadi hanya karena itu ibunya selalu merendahkannya?

“Apa? Jadi hanya karena itu? Aigooo.. sulit dipercaya,” desis Young Ji.

“Hanya karena itu katamu?! Aigooo gadis ini….”

“Ya!! Kau tahu berapa usiaku saat ini? 60 tahun! Dan kau membuatku semakin menua setiap harinya, Young Ji. Kau ingin melihat ibumu mati mengenaskan? Iya?!!!”

Seo Young Ji menghela napas. Mendengar seluruh kalimat ibunya membuat kepalanya berdenyut. Gadis itu memejamkan mata sejenak, lalu menatap ibunya dalam.

“Eomma… asal kau tahu, di luar sana, tidak ada satupun pria yang berani mendekatiku,” kata Young Ji, “Aku memang cantik, molek, dan seksi. Tapi kau juga harus melihat karirku. Pria yang pernah menyukaiku mundur teratur!”

Ibu Young Ji–Baek Dam Bi terkekeh tak percaya, “Apa aku harus percaya? Minggu lalu temanku bilang jika anaknya tertarik kepadamu. Kau tahu, dia dokter spesialis ternama!!! Kau yang terlalu mengada-ada. Banyak permintaan”

“Tapi anak temanmu itu terlalu banyak aturan. Dia ingin wanita yang selalu berdiam diri di rumah. Memasak. Duduk di depan televisi, dan hanya keluar untuk menemaninya jika diundang untuk sebuah jamuan makan malam,” wajah Young Ji berkerut–tak setuju dengan semua persyaratan menjadi istri yang pernah diterimanya, dulu.

“Kau tahu aku bukan wanita yang seperti itu! Aku aktif. Hiper-aktif, malah. Aku berkarir, eomma!!,” Young Ji lebih mirip merengek daripada memberikan penjelasan.

Dam Bi menghela napas pasrah. Anak gadisnya itu sudah tak tertolong sama sekali. Karir Young Ji yang melejit di usia ke-27 membuat gadis itu angkuh dan tak mau diatur sama sekali.

“Kau benar-benar ingin melihatku mati mengenaskan, Young Ji. Aku tak menyangka,” kata Dam Bi lirih.

Blam. Dam Bi membanting pintunya keras. Membuat Young Ji memejamkan matanya. Wajah gadis itu mengeras. Masalah ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling.

***

Alunan musik terdengar menggema di dalam ruang dengan deretan baju-baju berbagai model dan harga, serta barisan cermin yang ada di setiap sudut ruang. Lima buah tirai tampak tersebar di dalam ruangan. Beberapa orang sibuk keluar masuk, dengan pelayan yang menunggu di luar. Membawakan setelan baju yang diinginkan.

Kesibukan di butik ini selalu meningkat setiap harinya. Baju rancangan desaigner muda Seo Young Ji memang tengah terkenal akhir-akhir ini. Ya, Seo Young Ji–gadis yang baru saja diomeli oleh ibunya untuk segera menikah.

Kini, gadis itu tengah sibuk mengarahkan pegawai untuk melayani pelanggan sebaik yang mereka bisa. Terkadang, Young Ji tersenyum, menyalami pelanggan berstatus sosial tinggi yang datang. Membawa mereka berkeliling butik. Menjelaskan desain hingga menjadi penasehat mode dadakan.

Waktu berlalu begitu cepat. Pukul 7 malam. Young Ji menghela napas ketika tidak ada lagi orang yang menghampirinya secara eksklusif. Dia berjalan menuju sofa yang berada di bagian depan butik. Sengaja ingin melihat suasana butik sebari menikmati satu cup kopi panas.

Young Ji hanya terdiam, hingga ucapan ibunya kembali terngiang di telinganya. Wajah ibunya seperti muncul di hadapannya. Gadis itu menghembuskan napas keras, lalu menghantamkan punggungnya ke sandaran sofa.

“Bertengkar dengan ibumu lagi?,” suara kecil sahabatnya terdengar. Young Ji mendongak, dan mendapati Na Ra sudah berdiri di dekat sofa. Gadis itu tersenyum sebelum duduk di samping Young Ji. Na Ra meletakkan tas mahalnya ke meja.

“Rutinitas,” jawab Young Ji pendek.

Na Ra terbahak mendengarnya. Bisa-bisanya bertengkar disebut sebagai rutinitas.

“Konyol. Kau bisa menjadi anak durhaka jika seperti ini terus. Sepertinya kau harus bertanya kenapa ibumu selalu marah-marah setiap kau pulang,” kata Na Ra.

Young Ji segera menghela napas, “Aku sudah tahu alasannya. Ibuku ingin aku untuk segera menikah,” jawab Young Ji jengah.

“Wow, menikah?,” mata Na Ra membulat. Gadis itu pura-pura kaget sebelum akhirnya semakin terbahak. Sudah Na Ra duga.

“Aigooo.. aku tak menyangka jika firasatku benar. Hhaa-haa-ha.. kau disuruh menikah hha-haa-haa”

“Tidak lucu”

Na Ra mengusap ujung matanya, “Maafkan aku, tapi bagiku ini lucu sekali. Baru kemarin kau menolak lamaran pria, tapi hari ini ibumu menyuruhmu menikah”

“Sudah aku bilang aku tidak mau menikah dengan pria yang terlalu banyak aturan. Dia yang melamarku tapi dia juga yang memberiku syarat. Dia pikir aku apa? Aku Seo Young Ji, pemilik Young’s B Collection,” sombong Young Ji. Na Ra menggelengkan kepalanya.

“Young Ji-a.. aku pikir kau harus sedikit mengurangi tingkah keangkuhanmu. Bagaimana pun juga, kau tidak mungkin terus melajang seperti ini,” kata Na Ra–sedikit khawatir dengan nasib Young Ji.

Young Ji memutar bola matanya, “Sekarang kau mulai berbicara seperti ibuku, Na Ra”

“Aku hanya bertingkah layaknya seorang sahabat. Well, aku tahu jika aku pun belum menikah. Tapi aku punya Kim Jong In. Dia baru melamarku tiga hari lalu. Sebagai sahabat, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan, Young Ji. Menjadi wanita yang seutuhnya,” Na Ra berakhir menyentuh dadanya sendiri sebari mengangguk khidmat.

Young Ji mendesis, “Kau berkata seakan aku tidak ingin menikah. Aku pun sangat ingin menikah, Na Ra. Ingin hamil dan punya anak. Tapi jika harus tinggal di rumah? Masak dan membersihkan sudut rumah?,” wajah Young Ji berubah pias.

Young Ji menggeleng berlebihan, “Aku tak tahu bagaimana nasib Young’s B-ku yang paling berharga ini. Butik ini sudah seperti anakku sendiri, Na Ra”

Na Ra menghela napas. Seo Young Ji mulai lagi. Bahkan sekarang Young Ji sudah menelungkupkan tangannya ke wajah, sebari sesekali mengelus tembok butik dan bergumam tak jelas. Minta maaf ke butik. Bilang jika Young Ji begitu menyayangi butik. Sungguh… Young Ji seperti orang gila yang pacaran dengan tembok butik.

Na Ra sudah berniat menepuk pipi Young Ji ketika seorang pria paruh baya tampak menghampiri.

“Permisi, tapi bisakah aku bertemu dengan pemilik butik ini?,” pertanyaan itu sukses membuat Na Ra menggapai-gapaikan tangannya kearah Young Ji. Seseorang mencarinya!

***

“Kau berkata seakan aku tidak ingin menikah. Aku pun sangat ingin menikah Na Ra. Ingin hamil dan punya anak. Tapi jika harus tinggal di rumah? Masak dan membersihkan sudut rumah?,” wajah Dong Hoon mengerut seketika.

Telinga Dong Hoon begitu sensitif ketika mendengar kalimat barusan.

Gerakan tangannya yang tengah memilih gaun untuk hadiah ulang tahun istrinya, terhenti. Pria itu menajamkan pendengaran, sebari melirik kearah sumber suara. Dia tahu siapa gadis itu. Salah satunya adalah Seo Young Ji– pemilik butik ini.

“Aku tak tahu bagaimana nasib Young’s B-ku yang paling berharga ini. Butik ini sudah seperti anakku sendiri, Na Ra,” kalimat terakhir Young Ji membuat Dong Hoon menghela napas.

Dasar wanita karir. Gadis itu harus berubah banyak jika ingin menikah dan punya anak.

Dong Hoon tersentak.

Hei, tunggu dulu–apa? Harus berubah jika ingin menikah dan punya anak? Dong Hoon semakin melipat keningnya. Dong Hoon menoleh, menatap Young Ji yang sudah bertingkah aneh terhadap tembok butik ini.

Satu ide gila melintas begitu saja. Bagaimana jika membuat dua orang yang tak tahu sikap, belajar bersama?

Dong Hoon menarik sebuah napas panjang. Dia segera berbalik lalu mendekat. Pria itu tersenyum, “Permisi, tapi bisakah aku bertemu dengan pemilik butik ini?”

Teman Young Ji segera menggapai-gapaikan tangannya untuk membuat gadis itu menoleh. Young Ji segera menatapnya kelabakan. Gadis itu membungkuk hormat. “Oh, Selamat malam tuan Oh Dong Hoon”

Ya, tentu saja. Young Ji mengenal Oh Dong Hoon. Pria itu adalah CEO sebuah perusahaan konveksi yang cukup terkenal. Kebanyakan kain yang digunakan Young Ji dipasok dari sana

Young Ji tampak membenarkan anak rambutnya, “Kapan anda datang tuan? Saya tidak melihatnya,” kata Young Ji sopan– sedikit salah tingkah.

Dong Hoon terkekeh. “Lima menit lalu. Aku kesini untuk mencari gaun hadiah ulang tahun istriku, Young Ji-ssi”

Young Ji tersenyum hormat, “Ah, tentu saja, gaun disini cocok untuk hadiah ulang tahun. Dan, saya bisa menemani anda, tuan. Jika anda tak keberatan”

***

“Jadi, kau sudah 27 tahun?,” pertanyaan itu terlontar ketika Dong Hoon menyibak baju-baju yang tergantung di tengah butik.

Young Ji mengangguk.

“Aigooo.. aku tidak menyangka. Aku kira kau lebih muda,” kekeh Dong Hoon.

“Anda bisa saja, tuan,” Young Ji tersipu malu. Tak dipungkiri, gadis itu memang cantik dan terawat. Perawatan sudah menjadi hal wajib bagi Young Ji sejak gadis itu duduk di bangku kuliah. Kewajiban yang dicetuskan oleh ibunya sendiri.

“Aku serius. Alangkah bahagianya suamimu di rumah,” Dong Hoon berkata sebari menarik sebuah gaun yang digantung di tengah. Dia menyerahkannya kepada pegawai yang berdiri di belakang.

Young Ji tersenyum, “Terima kasih. Tapi, saya belum memiliki suami”

Dong Hoon segera menatap Young Ji. Pria itu membuat wajah pura-pura terkejut. Akting yang luar biasa dari Oh Dong Hoon. “Benarkah? Ah, sayang sekali”

Young Ji meringis. Kata ‘sayang sekali’ yang dilontarkan Dong Hoon terdengar ‘mengenaskan sekali’ di telinga Young Ji. Mendadak sindrom harus-segera-menikah menyerang Young Ji. Membuat gadis itu merasa kikuk seketika.

“Ye… sayang sekali…hhe-hee…”

“Kira-kira, kenapa kau belum menikah, Young Ji-ssi? Kau sudah sangat sempurna. Cantik, dan berkarir,” Dong Hoon semakin memancing.

Young Ji diam-diam memainkan jemarinya di depan perut. Bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin, kan dia bilang dia tidak suka pria yang suka mengatur? Tidak mungkin juga dia bilang jika banyak pria yang takut mendekatinya? Harga dirinya bisa jatuh dalam sekejap.

“Saya?,” Young Ji terkekeh aneh, “Saya hanya belum menemukan pria yang cocok,” kilah Young Ji.

“Benarkah? Waah.. kebetulan sekali,” Dong Hoon membulatkan matanya. Pria itu semakin serius menatap Young Ji, “Anakku juga belum menemukan seorang wanita yang cocok untuk dijadikan istri”

“Ne?”

“Iya, anakku juga sedang mencari calon istri. Kriterianya sebenarnya tidak begitu muluk, hanya orang yang mau menikah dengannya saja. Karena dia sudah menawarkan diri ke semua gadis tapi tidak ada yang cocok,” Dong Hoon mengibaskan tangannya.

“Padahal dia cukup tampan dan bertalenta. Kau suka pemain basket? Ah, anakku pemain basket yang luar biasa hebat,” Dong Hoon berakhir mengacungkan jempol.

Wajah Young Ji berkerut. Kenapa tiba-tiba topik pembicaraan mereka bisa melenceng sejauh ini? Dan apa? Anak Dong Hoon sedang mencari calon istri? Jangan bilang kalau Dong Hoon ingin mengenalkan anaknya kepada Young Ji?

“Maaf tap– ”

“Kebetulan besok kami mengadakan sebuah pesta kecil untuk ulang tahun istriku. Datanglah, dan buat sebuah perbincangan ringan dengan anakku. Siapa tahu kalian cocok.”

Sial! Baru saja Young Ji ingin menolak.

Gadis itu segera menelan ludah. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lihatlah! Wajah Dong Hoon begitu cerah setelah mengatakan undangannya. Young Ji tidak mungkin menghancurkannya dengan menolak semua itu, kan?

Young In menghela napas panjang. Baiklah...jika dia harus bertemu dengan anak Oh Dong Hoon, tidak apa-apa.

Young Ji tinggal menolaknya saja jika anak Dong Hoon berakhir melamar dengan seabrek kualifikasi menjadi-ibu-rumah-tangga-yang-baik.

“Bagaimana Young Ji? Kau bersedia?”

Young Ji tersenyum. Dia mengangguk, “Ye, tuan. Saya akan datang”

***

“Apa?!!!” suara Se Hun menggema di sepanjang penjuru rumah.

Laki-laki itu tengah menjalani hobinya dalam bidang IT–koding aplikasi, ketika ibu masuk ke kamar dan berkata jika Se Hun harus menikah.

Awalnya Se Hun menganggap ibunya hanya bercanda. Tapi melihat ekspresi wajah ibu yang begitu serius membuat rahang Se Hun ternganga lebar. Menikah? Oh, ayolah… ibunya mengatakan ‘Oh Se Hun, kau harus menikah’, seperti berkata ‘Oh Se Hun, kau harus mandi’. Gila, kan?

“Ulangi lagi. Ulangi lagi, eomma. Aku ingin mendengarnya sekali lagi,” Se Hun masih tidak percaya. Laki-laki itu menggerak-gerakkan tangan dengan wajahnya yang berkerut aneh. Meminta kejelasan ulang. Lagipula siapa sih yang bisa percaya jika di usiamu yang masih 19 tahun, dan kau masih berstatus sebagai seorang siswa kelas 2 SMA, tapi ibumu mendadak berkata jika kau harus menikah? Terpikir menjadi mahasiswa pun belum. Lah ini… malah suami? Gila!

Jang Mi menghela napas, “Aku tahu jika ini sulit kau terima, Oh Se Hun. Tapi, ayahmu menginginkannya,” ulang Jang Mi.

Se Hun semakin ternganga lebar.

Hey, maaan… dia seorang laki-laki. Tanggung jawab seorang laki-laki di dalam rumah tangga sangat besar. Semua orang tahu akan hal itu. Mencari uang. Membina istri. Mendidik anak. Crap. Mengurus diri sendiri saja Se Hun masih belum bisa. Pasti ini salah. Pasti ini April mop–karena memang hari ini tepat sekali tanggal 1 April.

“Eomma… katakan sekarang…” kata Se Hun tiba-tiba.

Kening Jang Mi berkerut, “Katakan apa?”

“Apriiill mooop,” Se Hun memberi contoh, “Katakan sekarang saja, eomma. Ini April mop,kan?”

“Aigooo jinjja…” Jang Mi mendengus, “Oh Se Hun, sejak kapan keluarga kita mengikuti tradisi April mop? Kau masih belum percaya?”

“Bagaimana aku bisa percaya, eomma?! Kau tahu usiaku baru 19 tahun!!!!”

“Ye, kami tahu. Aku yang melahirkanmu. Makanya kau harus menikah di usiamu yang ke-19, Se Hun”

“Tapi, kenapa?,” rengek Se Hun.

Jang Mi tidak segera menjawab. Wanita itu menghela napas. Dia tidak mungkin memberi tahu Se Hun jika Dong Hoon– ayah Se Hun sudah didiagnosa tak lagi berumur panjang. Dan melihat Se Hun menikah adalah satu keinginan besar yang membuat Dong Hoon mampu bertahan hingga detik ini. Sebelum jantungnya semakin melemah. Karena Se Hun masih belum tahu. Yang Se Hun tahu hanya sebatas ayahnya yang memiliki penyakit jantung. Tidak lebih.

“Kau harus menikah. Itu saja!”

“Itu saja?,” Se Hun terkekeh tak percaya.

“Eomma.. jika itu alasannya, maka aku pun demikian. Aku tak ingin menikah. Kenapa? Karena aku memang tak ingin. Itu saja,” balas Se Hun.

Jang Mi kembali menghela napas. Wanita itu mendekati Se Hun yang sudah mendengus dan berbalik menatap laptop di hadapannya. Tangannya membelai rambut kecoklatan Se Hun.

“Oh Se Hun…” panggil Jang Mi, lembut.

“Banyak hal yang belum kau ketahui alasannya jika kau tak menjalaninya. Maafkan aku yang tak bisa mengatakannya sekarang, tapi aku berjanji, kau akan tahu nanti,” ucap Jang Mi lirih.

Wajah Se Hun tampak mengeras. Jemarinya masih bergerak lincah di atas kibor–mengetikkan kode-kode rumit untuk sebuah aplikasi game yang tengah dia modifikasi. Tapi, sudah lima kali kode yang diketik Se Hun salah. Konsentrasi laki-laki itu hilang. Se Hun berakhir mengusap wajahnya frustasi. Ini semua benar-benar gila.

Belaian lembut Jang Mi di kepala Se Hun kini beralih ke punggung. Wanita itu tahu persis bagaimana perasaan anaknya. Dia pun tak tega. Tapi, apa boleh buat… dia sudah berjanji mengijinkan Dong Hoon menikahkan anak mereka di usia yang masih sangat muda.

Helaan napas Se Hun terdengar menggantung diantara keheningan kamar.

Laki-laki itu masih menelangkupkan tangannya di wajah. Dia boleh jadi menolak untuk menikah, tapi satu pertanyaan tetap melintas di kepalanya.

“Jika ayah menginginkanku menikah sekarang, aku harus menikah dengan siapa? Tidak ada yang menginginkan suami seorang pengangguran,” ucap Se Hun lirih. Sebelum laki-laki itu kembali menyibakkan anak rambutnya ke belakang. Frustasi.

Jang Mi tersenyum, “Seseorang yang memang ditakdirkan menikah denganmu. Istrimu tentu saja”

Cukup. Se Hun sudah tak ingin mendengarnya lebih jauh lagi. Membayangkan dia benar-benar menikah, membuat Se Hun merasa ketakutan. Semua ini mengerikan.

***

Sinar temaram lampu kamar menemani Se Hun yang sudah terbaring di ranjang malam ini. Sejak ibunya berkata jika dia harus menikah, Se Hun menjadi lebih pendiam dan sama sekali tak keluar kamar. Laki-laki itu sibuk merenung, berpikir, hingga membayangkan segala hal terkait pernikahan. Dan semua itu berakhir dengan sebuah helaan napas panjang. Menikah masih menjadi hal yang jauh dari otak remaja ingusan sepertinya. Ya, sekarang Se Hun sadar betapa muda nya dia.

Laki-laki itu meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Mendadak, dia merasa bersalah kepada ketiga sahabatnya. Tidak seharusnya dia menganggap kalimat Baek Hyun tentang kesetaraan hidup hanya sebuah lelucon saja.

Baek Hyun benar. Se Hun bisa jadi memiliki kehidupan yang 180 derajat berbeda dari para sahabatnya. Se Hun sempat lupa jika masa depannya tidak ditentukan oleh medali perak, popularitas, kekayaan orang tua, atau pun tampang. Masa depan Se Hun berjalan, merambat bersama takdir yang jatuh dengan cara tak terduga. Seperti saat ini, ketika dia tahu dia harus menikah.

Se Hun menghela napas. Jemarinya bergerak cepat di atas layar ponsel yang menyala putih di keremangan.

Add Baek Hyun, Chan Yeol, Kyung Soo

Se Hun : Maafkan aku….

Se Hun terdiam menatap ponsel. Menunggu tanggapan dari para sahabatnya.

Chan Yeol : Wohoiii…. tidak biasanya minta maaf duluan

Kyung Soo : :D

Se Hun : Aku salah, makanya aku minta maaf.

Chan Yeol : Bagus. Tapi permintaan maafmu permanen,kan? Tidak diulangi lagi?

Baek Hyun : Iya, iya. Aku maafkan…. Maafkan aku juga.

Chan Yeol : Kalian berdua mengharukan. Pacaran saja sana!

Baek Hyun : Kenapa, sayang? Kau cemburu?

Chan Yeol : Jijik!

Baek Hyun : Aku mencintaimu :*

Chan Yeol : Aku membencimu

Baek Hyun : Aku lebih membencimu… :p

Kyung Soo : Aku membenci kalian berdua.

Baek Hyun : Oh.. kau juga cemburu?

Kyung Soo : Gila! Eh, Chan Yeol, ayo kita carikan Baek Hyun pacar.

Baek Hyun : Terimakasih. Tidak perlu, aku sudah tenar.

Chan Yeol : Susah mencarikannya pacar. Satu minggu ini dia sudah ditolak dua gadis.

Kyung Soo : Hhahhahahahaha puaaaasss

Chan Yeol : Tragis… lololol

Kyung Soo : Melankolis…

Baek Hyun : -___- aku tidak ditolak, hanya belum beruntung. Akan ku buktikan besok!

Kyung Soo : Belum beruntung? Kau pikir lotre? Hidupmu yang tak beruntung.

Chan Yeol : Sakiiiit :p :p :p

***

Dong Hoon tersenyum ketika seorang gadis dengan dress soft-pink membungkuk di hadapannya. Seo Young Ji tampak begitu cantik dengan balutan pakaian dan make up sederhana.

Hari ini hari Kamis, tapi Dong Hoon secara khusus meminta semua orang mengosongkan agenda untuk jamuan ulang tahun plus pertemuan antara Seo Young Ji dan keluarganya.

Young Ji tersenyum. Rambut berombak gadis itu tampak sedikit bergoyang karena gerak tubuhnya. Bibirnya merah muda. Matanya lentik. Warna kulitnya merona.

“Kau cantik sekali hari ini, Young Ji-ssi,” puji Dong Hoon. Laki-laki itu membuka telapak tangannya, mempersilakan Young Ji untuk langsung saja menuju ke ruang makan.

Young Ji tersenyum, lalu melangkah masuk. Lagi-lagi, dia harus membungkuk-bungkuk hormat ketika seorang wanita paruh baya muncul dari dalam.

“Aigooo… ini Seo Young Ji? Cantik sekali….” Jang Mi heboh menyambut Young Ji. Young Ji semakin tersipu.

Se Hun yang berjalan di belakang Jang Mi dengan kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana hanya melirik sekilas. Laki-laki itu langsung duduk di meja makan. Sengaja bersikap dingin–berusaha membuat gadis itu tak suka dengannya.

“Terimakasih. Anda juga cantik sekali,” Young Ji balik memuji.

“Ah, kau bisa saja. Oh ya, perkenalkan, Oh Se Hun,” Jang Mi melirik Se Hun, mengarahkan pandangan Young Ji agar menatap laki-laki itu.

Dong Hoon yang menyusul terdengar terkekeh, “Oh Se Hun, jangan terlalu gugup seperti itu,” goda Dong Hoon.

Young Ji menoleh kearah Se Hun yang mulai memutar bola matanya. Siapa yang gugup coba? Se Hun hanya tak ingin Young Ji menyukainya. Tapi, laki-laki itu tetap saja berdiri lalu membungkuk–memperkenalkan diri.

Young Ji membalas sapaan Se Hun. Kening Young Ji berkerut samar, heran dengan sikap dingin Se Hun. Tidak biasanya! Biasanya, kebanyakan pria akan langsung menyukai Young Ji di pandangan pertama mereka, tapi Se Hun terkesan acuh. Laki-laki itu juga terlihat sedikit….. lebih muda.

“Se Hun sedikit malu, Young Ji,” bisik Dong Hoon. Semua terkekeh, kecuali Se Hun.

“Silakan Young Ji, duduk,” lanjut Dong Hoon mempersilakan.

Kursi di ruang makan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga membuat Se Hun – Young Ji duduk saling berdampingan. Hampir tak ada kata yang keluar jika Dong Hoon tak memancing keduanya untuk bicara. Jamuan siang hari ini hanya dipenuhi oleh gelegak tawa Dong Hoon dan Jang Mi.

“Se Hun-a… kenapa kau tak mencoba bicara dengan Seo Young Ji? Siapa tahu kalian cocok,” Dong Hoon mulai memancing Se Hun. Pria itu sudah gemas dengan tingkah Se Hun yang mendiamkan Young Ji begitu saja. Seakan menganggap jika gadis itu tak pernah ada.

Se Hun menurunkan minuman yang baru diteguknya. Dia menoleh, menatap Young Ji datar.

Young Ji tersenyum sopan sebari mengunyah makanannya.

“Aku Oh Se Hun, 19 tahun. Siswa SMA Seung Ri, kelas 2-4”

Krikk

“Uhuk…” Young Ji segera menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu kelabakan meraih gelas dan meneguknya cepat.

Dong Hoon dan Jang Mi yang mendengar hanya membulatkan mata tak percaya. Bisa-bisanya Se Hun mengacaukan pertemuan pertama ini?!

“A..aigooo… gwenchanna?,” tanya Jang Mi. Young Ji mengangguk, masih dengan air yang memenuhi mulutnya. Gadis itu segera menoleh kearah Se Hun. Dengan mata yang membulat lebar.

“Maaf… tapi… apa?,” Young Ji mencoba untuk tetap bersikap sopan. Gadis itu ingin sekali tak percaya dengan telinganya sendiri.

Se Hun tampak meneguk minumannya, sebelum menoleh kearah Young Ji dan menatap gadis itu lekat. “Usiaku, 19 tahun dan aku harus menikah,” ulang Se Hun ringan.

Apa?!! Jadi anak dari Oh Dong Hoon masih berusia 19 tahun?!! Dan laki-laki inilah yang dimaksud Dong Hoon untuk dijadikan pertimbangan sebagai suami Young Ji? Gila!! Young Ji berakhir ternganga di meja makan.

Seseorang… tolong katakan jika semua ini hanya lelucon! Tidak mungkin dia menikah dengan seorang anak SMA, kan?!! Tidak mungkin!

To Be Continued

 

Have you got the unlogic point of this ff? Kalau iya, berarti saatnya saya berteriak, yippie.. yaaay!!! :D  karena target saya adalah temen-temen bisa bergumam, ‘Hah? Nggak logis!!!’ atau ‘Elaah? Anak SMA kawin sama tante-tante?!!’ , atau mungkin ada yang berkata dengan muka datar, ‘Fanfic apaan nih -_- nggak jelas! Tutup ajalah tab-nya’

Jelas yang terakhir membuat jleb, jleb, jleb, hha-hha… *becanda ding.

Respon kalian saya tunggu :D


Physics (Drabble)

$
0
0

index

Physics [Drabble.]

A shor fiction by windflower

Kim Jongin & Song Hyojae

G || comedy ,AU

Hyeri melangkahkan kakinya malas menuju kea rah kelasnya, matanya masih menutup, bibirnya juga masih terkunci. Ini efek dari –bergadang semalam.

Hm, apalagi kalau bukan ujian?. Hal yang paling menyebalkan, yang pernah di ketahuinya. Hal yang paling horror jika dia mendengarnya, hal yang paling ia takuti sangat.

Seseorang merangkulnya,

“kau bergadang semalam, hm?”

Hyeri mendongakkan kepalanya, lalu memutarkan bola matanya lagi.

“hm,”

Sehun –pria itu, tertawa kecil

“jangan bodoh, kau terlalu mustahil untuk menjadi seorang murid teladan sepertinya ,hye”

Pria berkulit putih ini, menunjuk kea rah baekhyun –teman sekelasnya. Hyeri yang merasa diri nya terpojokkan oleh sehun segera membuang nafasnya dalam –dalam.

Untung mood nya sedang baik saat ini.

Ya, itu hanya sebuah keberuntungan bagi sehun. Jika tidak, kepalanya pasti sudah ada di belahan dunia lain sekarang.

Hyeri masuk ke dalam kelasnya, menghiraukan chanyeol dan kris yang memanggil –manggil namanya.

lalu duduk di samping luhan,

“hye, kau sudah belajar?”

Wanita ini menghembuskan nafasnya kuat dan menghadapkan tubuhnya kea rah luhan

“fisika terlalu berat untukku luhan”gumam hyeri,

Di susul tertawa keras dari beberapa orang di sana, bahkan chanyeol hampir terjungkal dari kursinya gara –gara gumaman hyeri tadi.

Bodoh memang,

“apa ini lucu?”

Minseok menggeleng, lalu tertawa lagi

“tidak, hanya kau –hahahahahahaha”

Hyeri memutar bola matanya malas, lalu berjalan keluar kelas. Padahal jam fisika tinggal berselang beberapa menit lagi.

Dia berjalan kea rah taman, lalu tersenyum. Biasa nya ini adalah tempatnya untuk menghilangkan penat setelah berjam –jam ada di dalam kelas yang ia sendiri tidak tahu sedang membicarakan apa.

Hyeri benar –benar payah,

Rumus

Teori

Praktik

Ah, seandainya ada perusahaan yang tidak memerlukan otak untuk jalan kerjanya. Pasti hyeri sudah mengambil langkah itu, tanpa harus ada di tempat yang sudah ia singgahi beberapa tahun belakangan ini.

Dia terkejut saat baru membalikkan badannya, jongin tepat ada di depannya dan tersenyum mistis.

Mengerikan.

“hari ini tidak ada fisika hyeri”

Matanya membulat, hatinya seperti hancur berkeping –keping –ah tidak itu terlalu berlebihan. Ah, yang benar saja . dia menyisihkan waktu bermain game nya hanya untuk membaca fisika yang tidak –bahkan tidak akan pernah masuk ke dalam otaknya.

Sialan,

Luhan –Kris –Minseok –Sehun –Chanyeol  dan  Jongdae menjebaknya.

Benar benar tidak tahu diri.

“MWO?!”

-fin-

Apaan apaaannnnn ini gara gara galau karena temen sudah boong aduh aku bisa apa? Huhu sedihnya huhu huhuhuhhuhuhhuu.. karena fisika susah jadinya gini. Orang maunya ff chapter jadinya malah gini yaudahlah ikhlasih aja *apaan si* yaudah bhay, tinggalkan jejakmua di bawah so. –wf.


Dream, True, or False?

$
0
0

Dream, True or False?

Title : Dream, True or False?

Author : SeulRin

Genre : friendship, romance, little bit sad

Length : Oneshoot (1.101 words)

Rating : PG

Main cast : Oh Micha (OC)

Park Chanyeol

Other cast : Oh Sehun

Hwang Myunghee (OC)

Kim Haelin (OC)

Do Kyungsoo

Byun Baekhyun

Micha’s eomma (OC)

Annyeong! Author balik lagi >< kali ini author bawain FF dengan maincast si Mas Cahyo (?). Ini FF kedua author yang berani author kirim setelah My Alarm, dan sepertinya di FF itu masih ada banyak kekurangan. Thanks ya untuk yang sudah memberi kritik dan saran ^^. Semoga di FF ini ada peningkatan.

Happy reading!

/////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Micha’s POV

Kuteguk air mineralku, lalu aku mengetik lagi. Kau pasti tahu apa yang sedang kukerjakan, apalagi kalau bukan tugas kampus yang menumpuk. Dosenku memang selalu memberi tugas yang membuatku harus mengorbankan waktu tidurku. Tapi ditemani dengan sedikit camilan, membuatku semangatku sedikit bertambah. Ingat, hanya sedikit.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah duabelas malam, aku masih mengetik tugas-tugasku. Tiba-tiba smartphone-ku bergetar, rupanya Myunghee meneleponku. Kenapa ia meneleponku semalam ini? Anak itu benar-benar.

“Nde, yoboseyo?”

“Micha-ah, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu,”

“Apa itu?”

“Chanyeol… Ia akan pindah ke Australia,”

Aku terdiam. Mataku yang tadinya setengah tertutup menjadi terbuka penuh. Chanyeol, pindah?

“Darimana kau tahu?”

“Baekhyun baru saja meneleponku. Katanya,besok kita harus berkumpul di kafe seperti biasa. Agar Chanyeol dapat menjelaskan semuanya,”

“Baiklah. Gomawo Myunghee-ah untuk infonya. Aku ingin melanjutkan tugasku dulu. Annyeong,”

Aku langsung memutus hubungan telepon. Kurasa semangatku sudah benar-benar hilang sekarang. Entahlah, berita tadi membuat hatiku sedih. Bagaimana tidak, orang yang ku cintai akan meninggalkanku.

Aku mencintai Chanyeol? Yap, kuakui aku mencintainya. Meskipun tak ada yang mengetahui hal ini. Sahabat-sahabatku seperti Myunghee, Baekhyun, Haelin dan Kyungsoo pun tak mengetahui ini. Biarlah hanya aku dan Tuhan saja yang tahu bahwa aku mencintai seorang Park Chanyeol.

Aku mengenang semua peristiwa yang pernah kami alami berdua sejak kecil. Kami sudah berteman sedari kami TK. Saat aku dan Chanyeol bermain ayunan, berlarian di taman, membuat istana pasir, mengerjakan PR bersama, bahkan dihukum bersama. “Aku tidak akan membiarkan sahabatku sendirian tanpa diriku,” kata-katanya masih teringat di otakku. Benar-benar sahabat yang baik.

Kututup layar laptop-ku, lalu menghempaskan diriku di kasur yang empuk. Aku berusaha untuk tidur, tapi pikiranku masih saja pada Chanyeol.

Kenapa kau akan meninggalkanku?

////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Esoknya, kami berenam berkumpul di kafe tempat kami biasa berkumpul. Kyungsoo memesan enam espresso seperti biasa.

“Kalian semua sudah tahu kan, kalau aku akan pindah ke Australia?” kata Chanyeol. Kami hanya menganggukkan kepala.

“Aku akan menjelaskan semuanya,” Chanyeol menghembuskan nafasnya.

“Sebenarnya sudah lama aku ingin mendapatkan beasiswa ke Australia. Jadi, sejak beberapa bulan yang lalu, aku sudah mencari-cari beasiswa di internet. Setelah ketemu, aku mengikuti syarat-syarat dan beberapa tes yang merepotkan. Syukurlah, aku diterima di salah satu universitas ternama di sana. Appa, Umma, dan Yoora Eonnie juga mendukung keputusanku. Dan aku akan berangkat tiga hari lagi.”

Apa? Tiga hari lagi? kenapa begitu cepat?

“Ehm, aku sepertinya tidak enak badan. Maaf ya, aku harus pulang duluan,” ucapku meninggalkan mereka berlima. Mereka memandangku heran. Entahlah, aku tak peduli. Sekarang aku hanya ingin pergi ke suatu tempat, dan menangis sepuasnya.

Akhirnya aku sampai di tempat ini. Taman. Ini adalah tempat yang menyimpan banyak kenanganku bersama Chanyeol. Di sinilah kami menghabiskan waktu bersama. Hanya kami berdua.

Aku terduduk di kursi taman, memandang lurus ke depan. “Wae? Kenapa kau akan meninggalkanku? Waeyo, Chanyeol-ah? Kau bilang kau tidak akan membiarkan sahabatmu sendirian tanpa dirimu,” air mata tak dapat ditahan lagi. aku menangis.

Kurasakan tangan kananku dipegang oleh seseorang. Kulihat siapa orang itu. Chanyeol. Dia yang memegang tangan kananku.Aku masih terus memandanginya.

“Kau menangis?” tanyanya. Aku hanya terdiam. “Micha, aku minta maaf. Maaf, aku akan meninggalkanmu. Aku… aku tidak bermaksud meninggalkanmu. Yah, inilah cita-citaku sejak dulu. Maaf aku tidak pernah bercerita tentang ini padamu,” ujar Chanyeol panjang lebar.

Dia lalu memelukku erat, sangat erat. Kubalas pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya. “Menangislah sepuasmu,” ucapnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Hingga kurasakan bajunya basah karena air mataku.

Cukup lama ia memelukku. Hingga ia melepaskan pelukannya. “Berapa lama kau akan tinggal di sana?” tanyaku.

“Mungkin sampai lulus,” jawabnya.

“Tapi kau akan ke Korea lagi kan, kalau ada libur?”

“Tentu saja. Tapi lihat-lihat  keadaan dulu…”

Chanyeol menemaniku dalam perjalanan pulang ke rumah. Selama itu kami bernostalgia tentang kejadian-kejadian yang dulu pernah kami alami. Ia pun menceritakan pengalaman lucunya, dan itu membuatku tertawa. Hal itu membuatku sedikit lupa akan kepergiannya nanti tiga hari lagi.

“Terima kasih ya, sudah menemaniku sampai di rumah,” ucapku. Tapi Chanyeol menahan tanganku, aku menatapnya heran. “Last hug before I  go?” aku  mengerti maksudnya. Kupeluk erat dia. Ia pun memelukku erat.

Setelah kurasa cukup, aku perlahan melepas pelukannya. membuka pintu rumahku, dan masuk ke dalam. Sebelumnya aku melambaikan tangan pada Chanyeol. Ia membalasnya sembari tersenyum tulus. Senyuman yang akan kurindukan…

////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

3 days later

At Airport

 

Aku, Myunghee, Haelin, Baekhyun, dan Kyungsoo saat ini sedang di bandara, mengantar Chanyeol. Keluarganya juga ikut mengantar.

Kulihat ia memeluk umma, appa, dan eonnie-nya. Umma-nya menangis, Chanyeol menenangkan umma-nya. Ia juga melakukan tos perpisahan/tau maksudnya kan?/ pada kami berlima.

“Kau… benar-benar akan pergi sekarang?” ia tidak menjawab pertanyaanku, tapi malah memelukku. Lagi.

“Aku pasti kembali. Tunggu saja,” ujarnya, masih memelukku.

Mohon perhatian. Untuk penumpang pesawat Korean Airlines/ngasal/tujuan Sydney, Australia untuk memasuki ruang tunggu di dalam. Terimakasih.

Chanyeol melepas pelukanku. “Aku akan berangkat. Aku pamit ya, doakan agar aku selamat sampai di tujuan,” katanya. Ia berbisik padaku, “Saranghae, Oh Micha,” aku terkejut dengan pernyataannya. Dia lalu melakukan wink sambil sedikit tersenyum.

Perlahan, dirinya menghilang masuk ke dalam. Kami pun meninggalkan bandara.

Di mobil, aku hanya melamun. Melamunkan dirinya, juga pernyataannya tadi bahwa ia mencintaiku. Aku juga mencintaimu, Park Chanyeol.

Aku melamun sampai mengantuk, hingga tanpa sadar aku tertidur di dalam mobil.

////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

“Micha. Micha-ah, ayo bangun. Hari sudah pagi,” kudengar suara umma membangunkan diriku. Kulihat di depanku terdapat laptop, dan juga segelas air mineralku.

Hei, tunggu dulu. Bukankah aku tadi mengantar Chanyeol ke bandara?

“Kau sepertinya tertidur saat mengerjakan tugasmu. Sekarang mandi dan sarapanlah, aku yakin kau lelah, Micha-ah,” ujar umma seakan dapat membaca pikiranku. Umma lalu keluar dari kamarku.

Aku masih bingung, apakah yang tadi itu hanya mimpi atau benar-benar terjadi? Kuambil handphone-ku, dan menelepon Chanyeol.

“Nde, yoboseyo?”

“Ngg.. Chanyeol?”

“Ada apa, Micha-ah?”

“Kau masih di Korea, kan?”

“Hah? Ya iyalah. Lu kata gue di mana?/kok jadi betawi-__-/

Aku tersenyum lega. Ternyata dia masih di Korea.

“Micha? Micha, kau masih di sana?”

“Eh? I, iya. Sudah dulu ya, dadah,”

Kututup teleponku. Hah, syukurlah. Ternyata itu semua hanya mimpi. Mungkin aku kelelahan, sampai bermimpi buruk. Semoga aku tidak mengalami mimpi buruk lagi, dan semoga kejadian di dalam mimpiku hanya menjadi mimpi. Jangan sampai jadi kenyataan…

////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Mohon maaf jika ada kekurangan di FF ini ya, kalian bisa memberi kritik dan saran di komentar J Ghamsahamnida!


Sweet My Love

$
0
0

cover00

Title: Sweet My Love

Author: Azure Ran

Length: Ficlet/ One shoot

Genre: Romance, married-life, fluff

Rating: PG

Cast: -Xi Luhan

-Kim Sera

Disclaimer: My original imagination! Ini juga sudah di post di web lain sebelumnya.

Author’s Note: Yahaha! Saya balik lagiii.. hehe

Ada yang baru nih! Semoga good readers pada suka..

Jangan lupa goreskan komentar kalian ya J

Terima kasih, good readers!

Don’t be plagiarist!

Enjoy..

Sweet My Love ♥

Suasana nyaman dipagi hari adalah suasana yang selalu terasa didalam sebuah rumah bergaya minimalis yang tidak terlalu besar juga tidak sempit ini. Sang penghuni merupakan pasangan suami-istri. Mereka memang tidak pernah terdengar berkelahi atau sekedar beradu mulut. Tapi, bukan berarti mereka belum pernah melakukannya. Mereka pernah bertengkar dan beradu mulut. Dan cukup mereka pula yang mendengar, menyadari, dan memaklumi.

Kesibukan mereka juga yang membuat keduanya tertutup dari para tetangga. Walaupun mayoritas penghuni dilingkungan itu adalah pasangan suami-istri baru atau muda.

Ceklek!

Suara knop pintu, yang menandakan pintu tersebut telah dibuka.

“Sudah selesai?” tanya sang istri pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi.

Laki-laki ini benar-benar menunjukkan tubuh sexynya. Ia hanya mengenakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, dan membiarkan air dari rambut kecoklatannya terjun ke lantai.

“Hari ini aku ingin memakai kemeja kasual saja.” Kata sang suami.

“Baiklah, tuan Xi Luhan..”

“I’m sorry, my Sera..” ucap Luhan sambil duduk ditepi ranjang dan mencium punggung tangan sang istri, Kim Sera.

“Tidak apa-apa, aku kan hanya menyiapkan. Jika kau tidak suka, apa boleh buat?” ujar Sera.

“Aku hanya akan survey lokasi, jadi tidak perlu terlalu formal.”

Sera hanya mengangguk pelan, setelah mendengar penjelasan Luhan.

“Ingin pilih sendiri?” kata Sera saat membuka pintu ruang pakaian milik Luhan.

“Tidak, kau pilihkan saja.” Jawab Luhan ketika merebahkan tubuhnya diatas ranjang sambil mengutak-atik ponsel Sera.

Sera memegang kemeja putih bermotif garis biru pada bagian dada, dan celana jeans hitam.

“Ini. Cepat, nanti aku bisa terlambat.”

“Aku ganti didepanmu ya?”

“Haniiiee!!”

Luhan beranjak mengambil pakaian ditangan Sera dan menukarnya dengan ponsel yang tadi ia pegang.

“Hei, kenapa kau memotret dirimu di ponselku saat tidak memakai baju?!” tanya Sera setelah melihat layar ponselnya.

“Itu hadiah dariku pagi ini!” teriak Luhan dari dalam kamar mandi.

“Huh, dasar.”

“Tolong kancingkan..” pinta Luhan manja, saat membuka pintu kamar mandi.

“Aish, sudah besar tidak bisa mengancingkan pakaianmu sendiri?”

“Aku kan buru-buru, dan kau adalah istriku. Jadi, boleh kan aku bermanja-manja padamu?”

“Tapi aku bukan pengasuhmu baby Lu..”

“Hehe..”

Seperti inilah rutinitas mereka setiap pagi dihari kerja. Manis? Entahlah.

. . .

Tuutt.. tuutt..

Yeoboseyo?”

“Lu-luhan?” tanya Sera terbata saat mendengar suara yang menjawab telponnya.

“Maaf, Sera. Luhan sedang di kamar mandi, dan sepertinya akan lama. Ada pesan?” jelas sang penerima yang membuat Sera tercenung.

Pip!

Sera memutuskan sambungan telponnya.

Tadi itu siapa? Siapa perempuan itu? Kenapa ponsel Luhan ada ditangannya? Luhan..?

Bertubi-tubi pertanyaan pun muncul dipikiran Sera.

Dengan cepat Sera mengambil tas dimejanya. Seperti biasa, Sera menunggu Luhan menjemputnya.

Tapi, sampai 30 menit kemudian Luhan tak kunjung datang. Biasanya Luhan tepat waktu.

Drrtt..

Terlihat nama pemanggil dilayar ponsel Sera. My Lulove. Yang tak lain adalah Luhan.

“Kau dimana?”

“Mm.. sayang, maaf aku tidak bisa menjemputmu.” Ucap Luhan dari seberang telpon.

Eoh? Wae?

“Aku masih ada pekerjaan. Kau pulang naik taksi ya? Langsung pulang dan istirahat. Mianhae..

Ne..

Ada apa dengan Luhan hari ini?

. . .

“Aku pulang.. Sera?” kata Luhan sambil membuka kancing kemejanya.

“Sudah selesai pekerjaannya?” Tanya Sera yang berjalan dari dapur.

“Sudah.”

Baru saja Luhan ingin menarik tubuh Sera, dan berniat mencium keningnya seperti biasa. Tapi, tiba-tiba Sera menolaknya dengan melangkah memasuki kamar. Luhan bingung dengan perlakuan Sera padanya.

“Kau kenapa? Kau marah, karna aku tidak menjemputmu?” Tanya Luhan saat memasuki kamar.

“Kalau boleh aku tahu.. apa sekretarismu seorang perempuan?”

“Kenapa kau..”

“Jawab saja.”

“Bukan. Kau kan mengenalnya, Lee Jungsik. Masih dia. Kenapa?”

“Lalu, siapa yang berani-beraninya memegang ponselmu?!”

“Maksudmu?”

“Kau berada di kamar mandi. Dan yang menjawab telpon dariku adalah seorang perempuan. Apa yang kau lakukan dengan perempuan itu?!” Sera mulai geram.

Luhan mengerutkan alisnya.

“Kau juga tidak bisa menjemputku karna kau sibuk dengan perempuan itu kan?!”

“Sera, kau..”

“Sudah! Itukah alasanmu ingin memakai pakaian kasual? Karna kau sebenarnya tidak akan bekerja. Kau pergi bersama perempuan itu. Iya, kan?”

“Sera.. kau salah paham.”

“Benarkah?”

Sera menatap tajam Luhan. Tapi Luhan malah menunduk. Membuat Sera tidak bisa melihat kejujuran dimata Luhan.

“Pembohong!”

“Sera, kau hanya kelelahan. Sampai membuat emosimu menjadi-jadi.”

Sera diam. Air matanya tak terbendung lagi.

“Tenanglah, akan ku..”

“Cukup. Aku ingin istirahat.”

Sera menaiki ranjang dan membaringkan tubuhnya.

Matanya mulai terpejam. Benar, Sera lelah.

“Aku mengerti perasaanmu. Tapi kau salah paham, sayang.” Bisik Luhan sambil mencium ujung mata Sera yang basah karna air mata.

. . .

Hoamm..

Aku sudah menyiapkan baju dan sarapan untukmu.

Aku pergi lebih dulu.

Tulisan di memo itu terus ditatap oleh Luhan.

“Kim Sera, kau senang sekali membuat suamimu ini merasa bersalah.”

Luhan tersenyum dan mengacak-acak rambutnya.

. . .

“Kapan kau pulang?” Tanya Luhan pada Sera ditelpon.

“Aku pulang malam. Jangan jemput aku, aku akan makan malam dengan teman-teman kantorku.”

“Eoh? Baiklah.. hati-hati.”

Pukul 21:00 KST.

“Kau sudah pulang?” Tanya Luhan saat mendapati Sera didapur yang sedang meneguk air putih.

Sera mengangguk.

Luhan memegang pundak Sera dan menatapnya dengan lembut.

“Seberapa bencikah kau padaku sekarang?”

“Apa maksudmu? Aku tidak membencimu.” Jawab Sera sambil melepas tangan Luhan dari pundaknya, dan berjalan menuju meja kerjanya.

“Tentu. Kau tidak boleh membenciku. Tapi, sekarang kau marah padaku kan?”

“Sudahlah..”

“Sekarang sudah malam. Tidurlah.”

“Ini harus ku presentasikan besok pagi.” Ucap Sera tanpa melihat kearah Luhan.

“Tapi kau harus istirahat.”

Sera tak memperdulikan ucapan Luhan. Sera sibuk dengan pekerjaannya, dan rambut panjangnya ia biarkan terurai melewati daun telinga.

Luhan yang sedang bersandar di sofa pun melihat setiap kesibukan istrinya itu. Luhan beranjak mencari kuncir atau sekedar pita untuk mengikat rambut istrinya.

Ikat rambut berwarna biru muda lah yang Luhan temukan didalam ruangan itu. Kemudian ia ikatkan kuncir rambut itu pada rambut hitam Sera.

“Nah, wajahmu bisa kulihat sekarang. Nyaman tidak?” Tanya Luhan.

Sera mengangguk pelan. Luhan memutar kursi yang diduduki Sera. Dan kini, Luhan memiliki posisi berlutut didepan Sera.

“Pada saat kau menelponku, aku memang tidak sedang bekerja. Aku sedang menuju lokasi kedua. Karna aku melewati rumah Jongdae, jadi aku mengunjunginya sebentar. Kau tahu kan, istrinya baru saja melahirkan? Dan baru pulang dari rumah sakit beberapa hari yang lalu? Aku ingin menjenguk anak Jongdae..”

Sera masih diam dengan wajah datar.

“..Dan pada saat itu aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahku agar tidak mengantuk saat membawa mobil, dan Jongdae juga ikut untuk mengambil air minum didapur. Aku meninggalkan ponselku diatas meja kamar anak Jongdae. Istri Jongdae menjawab telponku karna dia tidak ingin nada dering ponselku mengganggu tidur anaknya..”

Luhan menatap mata Sera, menunjukkan lewat matanya bahwa ia berkata jujur.

Babo.

“Ya, aku memang bodoh. Aku ceroboh.”

Luhan menundukkan kepalanya.

“Tapi, aku tidak bohong..” Luhan mengangkat kepalanya.

“Aku tahu.” Ucap Sera.

“Tahu apa?”

“Jongdae dan istrinya sudah menceritakannya tadi. Mereka juga meminta maaf, karna sudah lancang.”

“Tadi?”

“Saat aku bilang akan makan dengan teman-teman kantorku, sebenarnya aku disuruh berkunjung ke rumah mereka. Aku di telpon oleh istri Jongdae saat bekerja.”

“Beraninya.. kau berbohong padaku?”

“Kau juga tidak mengajakku melihat anak mereka. Kau jahat!” kata Sera sebelum memanyunkan bibirnya.

“Aah.. iya, aku juga salah.”

Luhan menenggelamkan kepalanya dipangkuan Sera.

“Lu.. angkat kepalamu. Aku harus menghukummu karna itu.”

“Hukuman apa?”

Chup!

Sera menempelkan bibir peachnya ke bibir lembut Luhan. Luhan hanya bisa terpejam menikmati serangan dari istrinya itu.

Dan tak lama kemudian Sera melepaskannya.

“Kenapa cepat sekali?” ucap Luhan kecewa.

Luhan mulai mengeluarkan senyuman nakalnya.

“Kau juga mendapat hukuman dariku! Karna kau sudah berbohong.”

“Apa? Mengusap kelopak matamu sampai kau tidur lelap?”

“Bukan itu.”

“Lalu?”

Luhan tersenyum pada Sera. Tiba-tiba, Luhan mengangkat tubuh Sera. Menggendong Sera dengan posisi berhadapan dengannya, dan membawa Sera menuju kamar mereka.

“Apa yang akan kau lakukan?!”

“Tidak mungkin kau tidak tahu.”

“Tapi, pekerjaanku..”

“Bisa kuatur..”

“Laptopnya masih hidup, Luhan!”

“Nanti juga mati sendiri.”

“Luhan!!”

“Apa?”

Babo.

Lampu kamar merekapun mati.

“Lu, kenapa lampunya mati?”

“Aku tidak tahu.”

“Apa kau yang mengaturnya?”

Aniyo.. Tapi, bukankah lebih seru jika gelap seperti ini?”

“Luhaaaaaaann!!!”

END

Wah, Luhan nakal nih.. hehe

Terima kasih ya  yg udah baca J gimana ffnya?

Ekhm! Cek cek sekali lagi, Jangan lupa tulis komentarnya ya..

#AzureRan


Viewing all 4828 articles
Browse latest View live