![CoverUnlogical]()
Title : Unlogical Married (Chapter 1)
Main Cast :
- Oh Se Hun
- Seo Young Ji (OC)
Other :
- Do Kyung Soo
- Park Chan Yeol
- Byun Baek Hyun
- Baek Dam Bi (OC)
- Oh Dong Hoon (OC)
- Hong Jang Mi (OC)
- Son Na Ra (OC)
- etc
Genre : Comedy-Romance, Marriage-life
Author : Lee Young
Lenght : Multichapter
Rate : PG-17
Summary : Let’s make it more logic
Note : Pertama-tama, makasih banget sudah merespon teaser Unlogical Married dengan sangat baik. Saya sayang kalian, karena saya cuma butiran debu tanpa kalian *terharu. Ini Chapter 1 yang saya janjikan, dan semoga nggak mengecewakan *amiin. Chapter 1 mungkin adalah chapter terpanjang dalam rangkaian fanfiksi ini, karena chapter ini berisi perkenalan dan latar belakang masalah (skripsi, kale -,-)). Jadi, I hope you enjoy it *doa
(Chapter 1)
Seoul, Januari 1995
Suasana hening menjadi yang mendominasi ruang persegi dengan seabrek perabotan medis yang tertata rapi. Satu meja terletak gagah tepat di tengah ruangan, dengan tiga kursi yang saling berhadapan. Dua diantaranya, menghadap ke jendela– kearah satu kursi lain dengan warna berbeda. Jika dua kursi berwarna putih, maka kursi yang satu berwarna kehitaman dengan sedikit busa di bagian lengan dan sandarannya.
Tak berselang lama, tiga orang masuk ke dalam. Beringsut cepat untuk duduk di kursi. Satu diantaranya, menghela napas lalu menatap pria berusia 35 tahun yang duduk di hadapannya. Pria itu, menelan ludah berat. Berharap mendengar hal baik dari hasil pemeriksaannya barusan.
“Aku harap, anda tidak putus asa setelah hari ini,” kata orang berjas putih itu lirih. Nametag sederhananya terbaca Gong Gi Hyun. Seorang dokter kardiovaskuler di daerah Seoul.
“Ken…kenapa…euisa-nim?,” tanyanya terbata.
Gi Hyun menghela napas berat, “Jantung anda tak selamanya bisa bertahan lebih baik dari sebelumnya, Dong Hoon sajangnim,” jawab Gi Hyun tanpa basa-basi.
“Tapi, kau masih bisa berusaha agar tetap sehat. Atau kalau tidak, melakukan prosedur ulang juga merupakan pilihan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak,” lanjut Gi Hyun.
Dong Hoon tampak menahan napas. Pria itu menggenggam erat jemari istrinya yang duduk di samping. Tampak sorot mata istri Dong Hoon penuh dengan kesedihan.
“Prosedur ulang? Operasi ulang, begitu?,” tanya Dong Hoon kemudian. Gi Hyun membalas dengan anggukan singkat, “Itu satu-satunya jalan,” jawab Gi Hyun.
“Apa tidak ada jalan lain? Aku sudah lelah seperti ini terus. Jantungku bukan barang yang bisa ditambal seenaknya,” Dong Hoon terdengar kecewa.
“Aku tahu, Dong Hoon-ssi. Aku pun tak ingin jika terus-terusan melihat anda yang terbaring di ruang operasi, membedah dada anda, dan menambal-nya. Tapi mau bagaimana lagi? Katup jantung anda sudah sulit untuk ditanggani, setidaknya dengan kondisi peralatan medis kami yang terbatas. Entah jika 10 atau 15 tahun lagi. Tapi untuk waktu ini, tidak bisa. Lagipula sebenarnya anda hidup karena diri anda sendiri. Belum ada pasien bocor jantung yang bertahan seperti anda. Dengan kata lain, anda luar biasa–entah sampai kapan,” suara Gi Hyun melirih di ujung kalimat.
Dong Hoon menggeleng sekilas, lalu terkekeh hambar. Pria itu menatap dokter di hadapannya tajam, “Luar biasa diantara orang yang berakhir mati karena kasus yang sama, maksud anda? Bagus sekali”
“Bukan begitu maksudku, tapi– ”
“Berapa lama?,” Dong Hoon memotong penjelasan Gi Hyun. Gi Hyun menaikkan satu alisnya.
“Berapa lama aku bisa bertahan dengan jantung ini, Gi Hyun euisa-nim?,” lanjut Dong Hoon.
Gi Hyun menghela napas. Pria itu menatap pasiennya lekat, “Paling tidak, 20 tahun. Itu perhitungan kasarku”
Dong Hoon tak langsung menjawab. Pria itu menatap permukaan meja, sebelum akhirnya tersenyum lembut. “Aku kira, itu cukup”
Gi Hyun mengerutkan keningnya heran. Dong Hoon memalingkan wajah, untuk menatap kearah perut istrinya yang membesar. Istri Dong Hoon tengah hamil 6 bulan.
Pria itu mengelus lembut perut wanita di sampingnya, membuat suasana haru segera menguasai ruangan. Istri Dong Hoon tampak mengusap ujung-ujung mata, dan tersenyum kaku menanggapi tingkah suaminya.
“Duapuluh tahun, rasanya sudah cukup untuk hidup bersama istri dan anakku. Duapuluh tahun pun cukup bagiku untuk bertahan demi melihat anakku menikah nantinya,” Dong Hoon terkekeh bahagia. Dia mendongak, menatap istrinya yang mati-matian menahan airmata. “Yeobo… kau tidak keberatan kan jika dia menikah di usia muda? Aku ingin melihat pesta pernikahannya sebelum aku pergi. Bagaimana?”
Istri Dong Hoon tak segera menjawab. Satu bulir airmata menetes ketika wanita itu mengangguk samar. Istri Dong Hoon–Hong Jang Mi, segera tersenyum kepada suaminya.
“Tentu saja…” suara Jang Mi terdengar bergetar, “Menikah muda bukan sesuatu yang buruk. Tidak apa-apa…. aku yakin, dia akan melakukan semua hal demi ayahnya. Semuanya”
Dong Hoon tersenyum cerah, lalu melanjutkan mengelus perut buncit Jang Mi yang masih menahan airmata.
(Chapter 1)
Seoul, 2015
“Hot News
Tim Basket SMA Seung Ri berhasil meraih medali perak pertamanya untuk turnamen musim panas di tingkat regional”
cr : Klub Jurnalistik Sekolah
–
멍지 : Daeeeebaaak…. aku dengar, klub basket kita mendapat medali perak!!! Aku tak menyangka!
기린 : Jinjja? Waah… bukankah turnamen kemarin mereka hanya lalat? Wing…wing..wing.. tak bisa apa-apa.. aigooo….
멍지 : Eoh, ini nyata!! Kau bisa pastikan sendiri jika kau mau.
꾹이 : Ya! Ya! Ya! Grup obrolan macam apa ini? Aigoo…. membicarakan klub basket sekolah, eoh? Mereka sudah hebat, tahu! Leader baru mereka keren.
멍지 : Siapa memang?
기린 : Iya, siapa?
꾹이 : Oh-Se-Hun.
기린 : Waaah… Se Hun kelas 2-4? Yang sempat tinggal kelas itu? Daebak!
꾹이 : Geureochi….
멍지 : Oh Se Hun? Siapa Oh Se Hun?
도니: Grup apa ini? Siapa yang memasukkanku ke dalam grup ini?
도니: Girin? Kkooki? Meongji? Ini obrolan seputar running man?
멍지 : meeooong…. 멍멍멍…..
cr : SNS
–
“Aku pikir ini kabar yang luar biasa. Sekolah kita belum pernah sekali pun berhasil mendapatkan medali untuk turnamen musim panas,” seorang siswa laki-laki berbicara kepada teman yang berjalan di sampingnya sebari membawa nampan makan siang.
“Dan ketika kau melihatnya melompat… wuiiiiiis….,” kini siswa lain yang sudah duduk di meja makan panjang kantin sekolah, tampak berlebihan menggerakkan tangannya ke udara. Memeragakan cara Se Hun melompat. “…seperti di anime,” lanjutnya dramatis. Teman-temannya menyambut dengan ber-wah ria.
“Aigoooo…. oppa begitu tampan ketika memasukkan bola basket ke ring. Dia keren sekali….,” tak begitu jauh dari gerombolan heboh yang hiperbolis memeragakan gerakan Se Hun, beberapa siswi sibuk mengepalkan tangan di depan dada.
“Aaah.. pangeranku….”
Siang ini, tidak ada siswa SMA Seung Ri yang tidak membicarakan klub basket sekolah yang berhasil meraih medali perak turnamen musim panas beberapa saat lalu.
Perak.
Ya, hanya perak. Tapi, bagi sekolah yang sudah sejak 10 tahun terakhir tak bisa apa-apa di setiap turnamen, medali perak jelas merupakan hal besar. Terlebih, SMA Seung Ri bukan SMA favorit. Dilihat dari segi manapun, sama saja. Tidak ada favorit-favoritnya sama sekali.
Suasana kantin masih kondusif, hingga sosok manusia yang sejak tadi menjadi topik pembicaraan seluruh penghuni kantin muncul dari kejauhan.
Seluruh mata langsung tertuju kepadanya. Gerakan menyendok makanan pun terhenti seketika. Semua menoleh. Slow. Motion.
Se Hun berjalan dengan langkah lebar sebari tersenyum menggoda. Laki-laki berkulit putih susu itu sesekali mengedipkan matanya kepada para siswi yang sibuk ternganga.
“Kyaaaaa…..”
Se Hun tertawa bahagia ala drama. Masih Sloooow. Moootion.
Dia mengibaskan anak rambutnya. Tsaaah. Wink. Tanda love kecil-kecil seakan bertebaran.
Seorang siswi bertubuh gempal melemparkan ciuman jauh. Bibirnya monyong, mencium telapak tangan yang telah terbuka lebar. Ciuman dilemparkan kepada Oh Se Hun.
Se Hun membuat gerakan seakan menangkap, lalu pura-pura membalas ciuman maya barusan. Se Hun terus saja melangkah riang untuk menyahut nampan. Semua. Masih. Ter-pe-so-na.
“Dia sedang menikmati popularitas dadakan, atau gila, eh?,” Baek Hyun bertanya kepada siapa pun yang berada di sekelilingnya. Total mereka 3 orang. 4 termasuk Se Hun. Ya, empat serangkai bisa dibilang.
Chan Yeol menghela napas. Laki-laki jangkung itu menatap Se Hun yang masih asik dengan imajinasi-nya di kejauhan. Konyol.
“PSTD? Mungkin dia terkena bola basket setelah pertandingan kemarin,” sambung Chan Yeol. “Bagaimana menurutmu?,” Chan Yeol melirik Kyung Soo yang sudah menatap tak suka. Se Hun benar-benar memalukan.
Kyung Soo menggeleng, “Molla. Mungkin dia stress karena tak bisa mengikuti jejak kita,” jawab Kyung Soo asal. Laki-laki bertubuh mungil itu segera berjalan menuju ke arah deretan panci-panci besar.
“Jejak?,” Chan Yeol gagal paham. Laki-laki itu menatap Baek Hyun dengan keningnya yang terlipat. Minta penjelasan.
Baek Hyun mengangguk sok paham, sebari menepuk bahu Chan Yeol. Laki-laki berdagu lancip itu pun segera menyusul Kyung Soo. Dia tidak ingin batal makan siang hanya karena sibuk berkomentar.
“Ya! Ya! Jelaskan padaku tentang jejak yang kau maksud? Jejak apa, eoh?,” Chan Yeol rusuh mengejar Baek Hyun dan Kyung Soo yang sudah sibuk mengambil makan siang. Se Hun masih tebar pesona ke seluruh penjuru kantin.
Kyung Soo mengayunkan tangannya cepat, “Jejak kakimu,” balasnya– lagi-lagi asal.
Chan Yeol semakin tidak mengerti. Wajah laki-laki itu tampak begitu bodoh ketika dia tengah antri mengambil makan siang.
“Sepatuku bersih, jadi tidak mungkin meninggalkan jejak”
“Aish..jinjja…” gumam Baek Hyun lalu segera kabur menyusul Kyung Soo.
***
Kyung Soo mendengus sebal ketika tangannya selalu gagal memasukkan makanan ke dalam mulut. Seseorang selalu saja menyenggol tubuh mungilnya. Ah, bukan seseorang. Tapi segerombolan orang-orang. Gadis-gadis, lebih tepatnya.
Baek Hyun yang duduk di depan Kyung Soo hanya menatap jengah sebari bersedagu dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya, memegang buah pisang. Dia mengunyah pisangnya pelan. Perhatiannya hanya terfokus pada Se Hun yang dikelilingi oleh belasan siswi untuk sekedar minta tanda tangan dan foto. Miris–Baek Hyun belum pernah merasa dipuja hingga seperti itu.
“Oppa… sekarang giliranku… satu…dua….”
“TIGA!,” Chan Yeol nyengir lebar. Laki-laki itu segera bergerak cepat untuk berada di depan lensa kamera. Cekreeek. Alhasil, wajah bulat Chan Yeol menutupi separuh wajah Se Hun. Laki-laki jangkung itu segera kembali bersikap normal ketika gadis yang diganggunya barusan, memberengut. Hendak protes. Tapi, tidak jadi. Gadis itu kembali mengulang ajang fotonya bersama Se Hun. Kali ini tanpa berhitung terlalu lama– keburu diganggu Chan Yeol. Hasilnya jelek, lagi!
Chan Yeol pura-pura merasa tak bersalah ketika gadis-gadis menatapnya setengah sebal setengah sungkan–atau takut? Chan Yeol sadar posisi. Anak kelas 3 boleh jadi yang paling rajin–mantan preman sekolah ketika kelas 2 tahun kemarin. Tapi, untuk urusan senioritas. Kelas 3, rajanya.
“Oppa… bisakah kau tanda tangan disini? Lalu disini? Disini juga boleh!”
Se Hun tertawa keren–karena dia memang keren, lalu dengan gerakan sok berwibawa menyambut ballpoint yang dijulurkan oleh para gadis, “Tidak apa-apa jika tanda tangan di kertas kosong seperti ini?”
“Gwenchanna, oppa. Dimana pun, asal itu tanda tanganmu,” balas gadis-gadis ceria.
“Dimana pun? Bagaimana jika oppa tanda tangan di hatimu saja?,” Wink.
Oh. My. God.
“Kyaaaaa……”
Se Hun terkekeh bahagia mendapati kedipannya manjur membuat anak orang berteriak histeris. Laki-laki itu segera membubuhkan tanda tangan ke segala hal yang ada di hadapannya.
Baek Hyun yang memperhatikan langsung ternganga– setengah heran setengah jijik. Baek Hyun sampai ingin muntah dibuatnya. Laki-laki itu segera membuat gerakan seakan ingin melemparkan kulit pisang kepada Se Hun.
Gadis-gadis yang tengah heboh langsung terdiam, menatap keheranan kakak tingkat berdagu lancip mereka. Hening. Beberapa diantaranya mundur beberapa langkah. Terlebih ketika Kyung Soo meletakkan sendoknya dengan gerakan kasar, dan Chan Yeol meneguk minumnya cepat-cepat.
Ketiganya langsung memasang wajah sangar.
Tidak mungkin!!!! (y*0*)y
“Op..opp…oppa…sepertinya aku harus hhe-hee.. kembali ke kelas,” satu dua gadis mulai kabur. Beberapa sibuk berunding untuk tetap antri minta tanda tangan atau kabur.
“Aku…aku juga…,” satu lagi.
Se Hun kebingungan. Para gadis segera mengambil barang-barang yang semula berserakan di hadapan Se Hun, “Wae? Wae? Wae? Oppa belum tanda tangani semuanya,” tanya Se Hun polos.
“Besok, besok saja oppa…” teriak beberapa gadis. Mereka mempercepat langkah sebari sesekali menoleh ke belakang. Aura hitam menyelubungi ketiga laki-laki yang duduk di sekitar Se Hun. Membuat para gadis yang melihat malah semakin mempercepat langkah. Mengerikan!!
“Geurae… kalau begitu besok oppa juga akan…”
Brak.
“Oh Se Hun!!”
“Jongshincharyo!!”
Tidak jelas siapa yang menggebrak meja dan siapa yang berteriak, tapi hal itu cukup membuat Se Hun menoleh kearah tiga temannya dengan wajah konyol.
“Wae?,” tanya Se Hun polos.
Baek Hyun mendengus. Laki-laki itu melempar kulit pisangnya ke sembarang tempat.
“Aigooo.. anak ini menyebalkan sekali! Ya! Jongshincharyo!!! Ada apa denganmu yang sok keren itu, Oh Se Hun?,” gertak Baek Hyun. Laki-laki itu sudah mirip banteng rodeo, mendengus berulang kali sebari menatap Se Hun tajam.
“Bagaimana kalau oppa tanda tangan di hatimu… geurae kalau begitu besok oppa akan.. Oppa kakimu!!!,” lanjut Baek Hyun setelah menirukan kalimat Se Hun barusan.
Se Hun mengerutkan keningnya. Kenapa mendadak teman-temannya jadi sewot begini?
“Wae? Aku hanya mencoba berinteraksi dengan mereka. Ada yang salah?”
“Semuanya!!!,” ketiganya menjawab bersamaan. Se Hun sontan memundurkan tubuh hingga hampir terjungkal ke belakang.
Kini giliran Chan Yeol yang mendengus, “Ya! Oh Se Hun. Kau tahu, sikapmu benar-benar menjijikan. Kau tak perlu tebar pesona hingga seperti itu. Bersikaplah biasa saja”
“Aku sudah bersikap biasa saja,” Se Hun membuka kedua tangannya ke samping. Sebelum dia mengibaskan anak rambutnya yang berwarna kecoklatan, “Lagipula, pesonaku memang tak bisa ditolak. Aku leader tim basket sekolah. Aigooo… sulit dipercaya,” Se Hun malah semakin menjadi memuji dirinya sendiri.
Baek Hyun sudah hampir mencakar-cakar wajah Se Hun jika Chan Yeol tak langsung menghalanginya. Kyung Soo yang duduk tepat di samping Se Hun tampak menghela napas. Dari keempat siswa imbisil itu memang Kyung Soo yang paling lurus pikirannya.
“Oh Se Hun,” panggil Kyung Soo.
Se Hun yang entah sejak kapan sudah sibuk mengedipkan mata ke beberapa gadis yang lewat, menoleh.
“Ne?”
“Kau harus bisa mengenali batas wajar. Benar jika tim basket sekolah kita menjadi sedikit lebih unggul semenjak kau masuk. Tapi bukan berarti kau langsung merasa populer seperti ini. Kau tahu? Kadang kepercayaan tinggi malah berpotensi menusukmu dari belakang,” ungkap Kyung Soo.
Se Hun berdehem. Menohok sekali.
“Ehem…. jadi, maksudmu aku sudah berlebihan, begitu?”
“Geurae.. sangat berlebihan. Sangat!!!,” sambung Baek Hyun yang langsung dikeplak oleh Chan Yeol. Se Hun tengah berbicara dengan Kyung Soo, bodoh–mata Chan Yeol terbaca demikian.
Kyung Soo melirik sekilas, sebelum kembali menatap Se Hun yang menggerakkan tangannya ke udara– ingin menghajar Baek Hyun saat ini juga. Laki-laki itu mengangguk. “Ye, kau berlebihan,” kata Kyung Soo.
“Bukannya kami iri atau semacamnya. Walau pun yaaa…. kami memang belum pernah sih diperlakukan seperti itu,” kriik. Baek Hyun dan Chan Yeol cengo menatap Kyung Soo.
Hening.
“Ehem.. maksudku, jangan pernah berpikir jika kami iri,” lanjut Kyung Soo. Baek Hyun-Chan Yeol langsung mengangguk mengiyakan.
“Kami hanya tidak ingin kau tertipu oleh popularitas ini, Se Hun. Keberhasilan bukan sesuatu yang harus kau tanggapi hingga seperti itu,” lanjut Kyung Soo.
Se Hun menghela napas. Wajahnya berubah jengah. Entah kenapa, nasehat Kyung Soo seakan terdengar : ‘Keberhasilanmu itu bukan apa-apa jika dibandingkan kami yang tidak tinggal kelas, Se Hun’. Berlebihan memang. Tapi bukankah ini semua hak Se Hun? Sikap bagaimana pun yang laki-laki itu tunjukkan akan tetap menjadi konsekuensi dalam hidup Se Hun?
“Ini hidupku tapi kenapa kau yang pusing, eoh?,” tanya Se Hun dengan nada malas.
“Apa?,” pekik Baek Hyun tak percaya.
“Ya! Se Hun-a. Kami hanya mencoba memberimu nasehat. Tidak lebih. Tapi kau malah menanggapi dengan cara seperti itu. Kau tahu, aku hanya tak ingin melihatmu semakin jauh tertinggal di belakang,” omel Baek Hyun.
“Setidaknya, walau kita ber-empat tidak bisa lulus bersama, tapi aku ingin kita ber-empat mendapatkan kehidupan yang setara,” lanjut Baek Hyun. Suara laki-laki itu menajam di ujung kalimat. Baek Hyun, kecewa. Laki-laki berdagu lancip itu mengangkat kakinya untuk keluar bangku sebari membawa nampan. Diikuti oleh Chan Yeol yang hanya menatap Se Hun–Baek Hyun benar.
Se Hun terkekeh tak percaya. Kenapa suasana malah jadi canggung seperti ini?
“Apa? Tak bisa dipercaya…” gumam Se Hun.
Kyung Soo yang masih duduk di samping Se Hun menghela napas. “Baek Hyun benar, Se Hun. Kami ingin kehidupan kita setara. Cukup satu saja yang membedakan kita. Kelulusan. Selebihnya itu, aku setuju dengan semua yang Baek Hyun katakan,” kata Kyung Soo lirih.
Se Hun sengaja tak menggubris. Laki-laki itu pura-pura sibuk menyendok sup rumput laut. Kyung Soo mengerdikkan bahunya. Well, sepertinya Se Hun tetap tidak akan pernah peduli.
Kyung Soo beranjak dari bangku sebari mengangkat nampan. Laki-laki itu menepuk bahu Se Hun–sedikit meremasnya.
“Aku duluan. Selamat makan,” kata Kyung Soo sebelum mulai melangkah meninggalkan Se Hun sendirian.
Se Hun menghela napas. Sial. Mood-nya hilang dalam sekejap.
“Tsk, gila…” gumam Se Hun.
***
“Dua puluh tahun,” seorang pria paruh baya tersenyum ketika melihat kalender yang berdiri tegak di meja kerjanya. Pria itu menghela napas, bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.
Istrinya masuk membawa nampan berisi satu piring makanan, satu gelas, dan botol kecil obat.
Dong Hoon tersenyum, menyambut.
“Kau tidak istirahat, yeobo?,” tanya istrinya lembut. Dong Hoon terkekeh. Laki-laki itu menatap istrinya yang mulai menyiapkan kapsul-kapsul pendukung kehidupannya.
“Kau tahu? Satu tahun lagi, tepat dua puluh tahun semenjak dokter Gi Hyun memberiku perkiraan kasar itu,” kata Dong Hoon.
Jang Mi–istri Dong Hoon tersenyum lembut. Wanita paruh baya itu menyerahkan beberapa kapsul kepada suaminya. Dong Hoon menyambutnya, lalu menelannya dengan air putih dalam gelas.
“Kau sudah berniat memberi tahu maksudmu? Tentang pernikahan?,” tanya Jang Mi setelah Dong Hoon selesai menelan obat.
“Bagaimana kalau menurutmu? Anak itu…,” Dong Hoon menggeleng, “….aku tak bisa membayangkan anak itu menikah di usia semuda ini. 19 tahun,” lanjut Dong Hoon.
“Aku pun, iya. Tapi, aku mendukung rencanamu. Lagipula kau hanya ingin melihat ritualnya saja,kan? Tidak mungkin kita melepaskan seorang anak berusia 19 tahun untuk mengarungi rumah tangga yang sebenarnya, yeobo. Bahkan dia belum lulus SMA,” kata Jang Mi.
Dong Hoon terdiam. Hanya melihat ritual? Jadi pernikahan yang akan dilihat Dong Hoon nanti hanya untuk main-main saja? Demi menyenangkan hatinya yang sebentar lagi akan meninggal?
Dong Hoon menghela napas. Pria itu menggeleng tegas. “Ani. Aku ingin yang sebenarnya. Pernikahan bukan sebuah permainan ritual. Lagipula, dia bisa bekerja. Aku bisa membiarkannya bekerja di perusahaan ini, jika aku mau. Menjadi kurir angkut sudah cukup untuknya”
Jang Mi tersentak, “Apa? Jadi kau ingin anakmu menjadi pegawai rendahan?”
“Kau bilang dia belum lulus SMA”
“Tapi tidak seperti itu juga. Dia anakmu! Kau tak bisa jika– ”
“Jang Mi, jal deureo. Aku pun tak ingin membuatnya menjadi kurir di sepanjang hidupnya kau tahu? Kita biarkan saja dia belajar bagaimana harus hidup. Dia harus belajar memenuhi kebutuhannya sendiri, Jang Mi. Lagipula, anak itu sudah terlalu sering dimanja. Dia menjadi sosok keras kepala yang selalu melakukan semua hal seenaknya,” kata Dong Hoon sebari terus mengingat sikap anak semata wayang mereka.
“Astaga, aku tak bisa percaya. Yeobo… bagaimana pun juga, Se Hun masih dalam masa remaja. Dia masih dalam proses belajar”
“Belajar apanya yang hingga tinggal kelas, eoh? Dia hanya hebat dalam bermain basket, selebihnya itu nol besar. Se Hun harus belajar menjadi manusia yang sebenarnya, Jang Mi. Menjadi seorang laki-laki sejati”
Jang Mi menggelengkan kepalanya, heran. Kadang suaminya memang keras kepala–sama seperti Oh Se Hun.
“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu, yeobo. Awalnya, kau hanya ingin melihat pernikahan anakmu sebelum kau tak sempat melihatnya, tapi semakin lama kau berbicara masalah kedewasaan.”
Jang Mi menghela napas, “Lagipula siapa yang mau menikah dengan seorang laki-laki yang belum dewasa, eoh? Tidak ada. Jika kau memilih menjodohkan Se Hun, itu malah akan mempermalukan keluarga kita. Menurunkan harkat dan martabat kita, yeobo,” jelas Jang Mi panjang lebar.
Dong Hoon tak segera menjawab. Laki-laki itu menatap istrinya sejenak,
“Pasti ada yang bersedia, Jang Mi. Aku yakin”
***
Perumahan Elite, Gangnam.
Blam!
“Aigoo…inom!! Sampai kapan kau bersikap kasar seperti itu, eoh?! Menyusahkan orangtua saja!,” teriakan wanita paruh baya menggema di setiap sudut rumah sesaat setelah seorang gadis membanting pintu keluar.
Lagi-lagi, pertengkaran besar terjadi diantara ibu dan anak.
“Menyusahkan katamu?!! Ya!! Eomma!! Bahkan aku makan dengan uang hasil jerih payahku sendiri. Aku tinggal juga menyewa sebuah apartemen sendiri. Menyusahkan yang bagaimana lagi yang kau maksud? Aigooo kau yang membuatku gila, ara?!,” gadis itu membalas berteriak dari luar.
Dia mendengus sebal. Tidak bisa dibiarkan lagi. Ibunya sudah terlalu sering merendahkannya hingga titik terendah level kemanusiaan. Padahal, siang ini dia berkunjung untuk bertanya kabar.
Pintu mendadak terbuka, kasar. Wajah ibunya menyembul dengan amarah yang begitu besar. Wanita paruh baya itu pun mendengus tak kalah menyeramkan dari Young Ji.
“Menyusahkanku karena membuatku malu! Lihat dirimu!! Usiamu sudah hampir 30 tahun tapi kau masih sibuk dengan gulungan kain-kain itu. Aku merasa sudah membuang uang banyak hanya untuk membuatmu secantik ini tapi akhirnya kau menjadi perawan tua!!! Kau tak tahu betapa bingungnya aku ketika hadir ke reuni beberapa saat lalu? Teman-temanku sudah memiliki cucu, kau tahu?! Tapi aku harus malu karena aku terancam memiliki anak perawan tua!!”
Seo Young Ji ternganga lebar. Dia hampir tersedak karena mendengar seluruh omelan ibunya. Konyol. Jadi hanya karena itu ibunya selalu merendahkannya?
“Apa? Jadi hanya karena itu? Aigooo.. sulit dipercaya,” desis Young Ji.
“Hanya karena itu katamu?! Aigooo gadis ini….”
“Ya!! Kau tahu berapa usiaku saat ini? 60 tahun! Dan kau membuatku semakin menua setiap harinya, Young Ji. Kau ingin melihat ibumu mati mengenaskan? Iya?!!!”
Seo Young Ji menghela napas. Mendengar seluruh kalimat ibunya membuat kepalanya berdenyut. Gadis itu memejamkan mata sejenak, lalu menatap ibunya dalam.
“Eomma… asal kau tahu, di luar sana, tidak ada satupun pria yang berani mendekatiku,” kata Young Ji, “Aku memang cantik, molek, dan seksi. Tapi kau juga harus melihat karirku. Pria yang pernah menyukaiku mundur teratur!”
Ibu Young Ji–Baek Dam Bi terkekeh tak percaya, “Apa aku harus percaya? Minggu lalu temanku bilang jika anaknya tertarik kepadamu. Kau tahu, dia dokter spesialis ternama!!! Kau yang terlalu mengada-ada. Banyak permintaan”
“Tapi anak temanmu itu terlalu banyak aturan. Dia ingin wanita yang selalu berdiam diri di rumah. Memasak. Duduk di depan televisi, dan hanya keluar untuk menemaninya jika diundang untuk sebuah jamuan makan malam,” wajah Young Ji berkerut–tak setuju dengan semua persyaratan menjadi istri yang pernah diterimanya, dulu.
“Kau tahu aku bukan wanita yang seperti itu! Aku aktif. Hiper-aktif, malah. Aku berkarir, eomma!!,” Young Ji lebih mirip merengek daripada memberikan penjelasan.
Dam Bi menghela napas pasrah. Anak gadisnya itu sudah tak tertolong sama sekali. Karir Young Ji yang melejit di usia ke-27 membuat gadis itu angkuh dan tak mau diatur sama sekali.
“Kau benar-benar ingin melihatku mati mengenaskan, Young Ji. Aku tak menyangka,” kata Dam Bi lirih.
Blam. Dam Bi membanting pintunya keras. Membuat Young Ji memejamkan matanya. Wajah gadis itu mengeras. Masalah ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling.
***
Alunan musik terdengar menggema di dalam ruang dengan deretan baju-baju berbagai model dan harga, serta barisan cermin yang ada di setiap sudut ruang. Lima buah tirai tampak tersebar di dalam ruangan. Beberapa orang sibuk keluar masuk, dengan pelayan yang menunggu di luar. Membawakan setelan baju yang diinginkan.
Kesibukan di butik ini selalu meningkat setiap harinya. Baju rancangan desaigner muda Seo Young Ji memang tengah terkenal akhir-akhir ini. Ya, Seo Young Ji–gadis yang baru saja diomeli oleh ibunya untuk segera menikah.
Kini, gadis itu tengah sibuk mengarahkan pegawai untuk melayani pelanggan sebaik yang mereka bisa. Terkadang, Young Ji tersenyum, menyalami pelanggan berstatus sosial tinggi yang datang. Membawa mereka berkeliling butik. Menjelaskan desain hingga menjadi penasehat mode dadakan.
Waktu berlalu begitu cepat. Pukul 7 malam. Young Ji menghela napas ketika tidak ada lagi orang yang menghampirinya secara eksklusif. Dia berjalan menuju sofa yang berada di bagian depan butik. Sengaja ingin melihat suasana butik sebari menikmati satu cup kopi panas.
Young Ji hanya terdiam, hingga ucapan ibunya kembali terngiang di telinganya. Wajah ibunya seperti muncul di hadapannya. Gadis itu menghembuskan napas keras, lalu menghantamkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Bertengkar dengan ibumu lagi?,” suara kecil sahabatnya terdengar. Young Ji mendongak, dan mendapati Na Ra sudah berdiri di dekat sofa. Gadis itu tersenyum sebelum duduk di samping Young Ji. Na Ra meletakkan tas mahalnya ke meja.
“Rutinitas,” jawab Young Ji pendek.
Na Ra terbahak mendengarnya. Bisa-bisanya bertengkar disebut sebagai rutinitas.
“Konyol. Kau bisa menjadi anak durhaka jika seperti ini terus. Sepertinya kau harus bertanya kenapa ibumu selalu marah-marah setiap kau pulang,” kata Na Ra.
Young Ji segera menghela napas, “Aku sudah tahu alasannya. Ibuku ingin aku untuk segera menikah,” jawab Young Ji jengah.
“Wow, menikah?,” mata Na Ra membulat. Gadis itu pura-pura kaget sebelum akhirnya semakin terbahak. Sudah Na Ra duga.
“Aigooo.. aku tak menyangka jika firasatku benar. Hhaa-haa-ha.. kau disuruh menikah hha-haa-haa”
“Tidak lucu”
Na Ra mengusap ujung matanya, “Maafkan aku, tapi bagiku ini lucu sekali. Baru kemarin kau menolak lamaran pria, tapi hari ini ibumu menyuruhmu menikah”
“Sudah aku bilang aku tidak mau menikah dengan pria yang terlalu banyak aturan. Dia yang melamarku tapi dia juga yang memberiku syarat. Dia pikir aku apa? Aku Seo Young Ji, pemilik Young’s B Collection,” sombong Young Ji. Na Ra menggelengkan kepalanya.
“Young Ji-a.. aku pikir kau harus sedikit mengurangi tingkah keangkuhanmu. Bagaimana pun juga, kau tidak mungkin terus melajang seperti ini,” kata Na Ra–sedikit khawatir dengan nasib Young Ji.
Young Ji memutar bola matanya, “Sekarang kau mulai berbicara seperti ibuku, Na Ra”
“Aku hanya bertingkah layaknya seorang sahabat. Well, aku tahu jika aku pun belum menikah. Tapi aku punya Kim Jong In. Dia baru melamarku tiga hari lalu. Sebagai sahabat, aku ingin kau merasakan apa yang aku rasakan, Young Ji. Menjadi wanita yang seutuhnya,” Na Ra berakhir menyentuh dadanya sendiri sebari mengangguk khidmat.
Young Ji mendesis, “Kau berkata seakan aku tidak ingin menikah. Aku pun sangat ingin menikah, Na Ra. Ingin hamil dan punya anak. Tapi jika harus tinggal di rumah? Masak dan membersihkan sudut rumah?,” wajah Young Ji berubah pias.
Young Ji menggeleng berlebihan, “Aku tak tahu bagaimana nasib Young’s B-ku yang paling berharga ini. Butik ini sudah seperti anakku sendiri, Na Ra”
Na Ra menghela napas. Seo Young Ji mulai lagi. Bahkan sekarang Young Ji sudah menelungkupkan tangannya ke wajah, sebari sesekali mengelus tembok butik dan bergumam tak jelas. Minta maaf ke butik. Bilang jika Young Ji begitu menyayangi butik. Sungguh… Young Ji seperti orang gila yang pacaran dengan tembok butik.
Na Ra sudah berniat menepuk pipi Young Ji ketika seorang pria paruh baya tampak menghampiri.
“Permisi, tapi bisakah aku bertemu dengan pemilik butik ini?,” pertanyaan itu sukses membuat Na Ra menggapai-gapaikan tangannya kearah Young Ji. Seseorang mencarinya!
***
“Kau berkata seakan aku tidak ingin menikah. Aku pun sangat ingin menikah Na Ra. Ingin hamil dan punya anak. Tapi jika harus tinggal di rumah? Masak dan membersihkan sudut rumah?,” wajah Dong Hoon mengerut seketika.
Telinga Dong Hoon begitu sensitif ketika mendengar kalimat barusan.
Gerakan tangannya yang tengah memilih gaun untuk hadiah ulang tahun istrinya, terhenti. Pria itu menajamkan pendengaran, sebari melirik kearah sumber suara. Dia tahu siapa gadis itu. Salah satunya adalah Seo Young Ji– pemilik butik ini.
“Aku tak tahu bagaimana nasib Young’s B-ku yang paling berharga ini. Butik ini sudah seperti anakku sendiri, Na Ra,” kalimat terakhir Young Ji membuat Dong Hoon menghela napas.
Dasar wanita karir. Gadis itu harus berubah banyak jika ingin menikah dan punya anak.
Dong Hoon tersentak.
Hei, tunggu dulu–apa? Harus berubah jika ingin menikah dan punya anak? Dong Hoon semakin melipat keningnya. Dong Hoon menoleh, menatap Young Ji yang sudah bertingkah aneh terhadap tembok butik ini.
Satu ide gila melintas begitu saja. Bagaimana jika membuat dua orang yang tak tahu sikap, belajar bersama?
Dong Hoon menarik sebuah napas panjang. Dia segera berbalik lalu mendekat. Pria itu tersenyum, “Permisi, tapi bisakah aku bertemu dengan pemilik butik ini?”
Teman Young Ji segera menggapai-gapaikan tangannya untuk membuat gadis itu menoleh. Young Ji segera menatapnya kelabakan. Gadis itu membungkuk hormat. “Oh, Selamat malam tuan Oh Dong Hoon”
Ya, tentu saja. Young Ji mengenal Oh Dong Hoon. Pria itu adalah CEO sebuah perusahaan konveksi yang cukup terkenal. Kebanyakan kain yang digunakan Young Ji dipasok dari sana
Young Ji tampak membenarkan anak rambutnya, “Kapan anda datang tuan? Saya tidak melihatnya,” kata Young Ji sopan– sedikit salah tingkah.
Dong Hoon terkekeh. “Lima menit lalu. Aku kesini untuk mencari gaun hadiah ulang tahun istriku, Young Ji-ssi”
Young Ji tersenyum hormat, “Ah, tentu saja, gaun disini cocok untuk hadiah ulang tahun. Dan, saya bisa menemani anda, tuan. Jika anda tak keberatan”
***
“Jadi, kau sudah 27 tahun?,” pertanyaan itu terlontar ketika Dong Hoon menyibak baju-baju yang tergantung di tengah butik.
Young Ji mengangguk.
“Aigooo.. aku tidak menyangka. Aku kira kau lebih muda,” kekeh Dong Hoon.
“Anda bisa saja, tuan,” Young Ji tersipu malu. Tak dipungkiri, gadis itu memang cantik dan terawat. Perawatan sudah menjadi hal wajib bagi Young Ji sejak gadis itu duduk di bangku kuliah. Kewajiban yang dicetuskan oleh ibunya sendiri.
“Aku serius. Alangkah bahagianya suamimu di rumah,” Dong Hoon berkata sebari menarik sebuah gaun yang digantung di tengah. Dia menyerahkannya kepada pegawai yang berdiri di belakang.
Young Ji tersenyum, “Terima kasih. Tapi, saya belum memiliki suami”
Dong Hoon segera menatap Young Ji. Pria itu membuat wajah pura-pura terkejut. Akting yang luar biasa dari Oh Dong Hoon. “Benarkah? Ah, sayang sekali”
Young Ji meringis. Kata ‘sayang sekali’ yang dilontarkan Dong Hoon terdengar ‘mengenaskan sekali’ di telinga Young Ji. Mendadak sindrom harus-segera-menikah menyerang Young Ji. Membuat gadis itu merasa kikuk seketika.
“Ye… sayang sekali…hhe-hee…”
“Kira-kira, kenapa kau belum menikah, Young Ji-ssi? Kau sudah sangat sempurna. Cantik, dan berkarir,” Dong Hoon semakin memancing.
Young Ji diam-diam memainkan jemarinya di depan perut. Bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin, kan dia bilang dia tidak suka pria yang suka mengatur? Tidak mungkin juga dia bilang jika banyak pria yang takut mendekatinya? Harga dirinya bisa jatuh dalam sekejap.
“Saya?,” Young Ji terkekeh aneh, “Saya hanya belum menemukan pria yang cocok,” kilah Young Ji.
“Benarkah? Waah.. kebetulan sekali,” Dong Hoon membulatkan matanya. Pria itu semakin serius menatap Young Ji, “Anakku juga belum menemukan seorang wanita yang cocok untuk dijadikan istri”
“Ne?”
“Iya, anakku juga sedang mencari calon istri. Kriterianya sebenarnya tidak begitu muluk, hanya orang yang mau menikah dengannya saja. Karena dia sudah menawarkan diri ke semua gadis tapi tidak ada yang cocok,” Dong Hoon mengibaskan tangannya.
“Padahal dia cukup tampan dan bertalenta. Kau suka pemain basket? Ah, anakku pemain basket yang luar biasa hebat,” Dong Hoon berakhir mengacungkan jempol.
Wajah Young Ji berkerut. Kenapa tiba-tiba topik pembicaraan mereka bisa melenceng sejauh ini? Dan apa? Anak Dong Hoon sedang mencari calon istri? Jangan bilang kalau Dong Hoon ingin mengenalkan anaknya kepada Young Ji?
“Maaf tap– ”
“Kebetulan besok kami mengadakan sebuah pesta kecil untuk ulang tahun istriku. Datanglah, dan buat sebuah perbincangan ringan dengan anakku. Siapa tahu kalian cocok.”
Sial! Baru saja Young Ji ingin menolak.
Gadis itu segera menelan ludah. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lihatlah! Wajah Dong Hoon begitu cerah setelah mengatakan undangannya. Young Ji tidak mungkin menghancurkannya dengan menolak semua itu, kan?
Young In menghela napas panjang. Baiklah...jika dia harus bertemu dengan anak Oh Dong Hoon, tidak apa-apa.
Young Ji tinggal menolaknya saja jika anak Dong Hoon berakhir melamar dengan seabrek kualifikasi menjadi-ibu-rumah-tangga-yang-baik.
“Bagaimana Young Ji? Kau bersedia?”
Young Ji tersenyum. Dia mengangguk, “Ye, tuan. Saya akan datang”
***
“Apa?!!!” suara Se Hun menggema di sepanjang penjuru rumah.
Laki-laki itu tengah menjalani hobinya dalam bidang IT–koding aplikasi, ketika ibu masuk ke kamar dan berkata jika Se Hun harus menikah.
Awalnya Se Hun menganggap ibunya hanya bercanda. Tapi melihat ekspresi wajah ibu yang begitu serius membuat rahang Se Hun ternganga lebar. Menikah? Oh, ayolah… ibunya mengatakan ‘Oh Se Hun, kau harus menikah’, seperti berkata ‘Oh Se Hun, kau harus mandi’. Gila, kan?
“Ulangi lagi. Ulangi lagi, eomma. Aku ingin mendengarnya sekali lagi,” Se Hun masih tidak percaya. Laki-laki itu menggerak-gerakkan tangan dengan wajahnya yang berkerut aneh. Meminta kejelasan ulang. Lagipula siapa sih yang bisa percaya jika di usiamu yang masih 19 tahun, dan kau masih berstatus sebagai seorang siswa kelas 2 SMA, tapi ibumu mendadak berkata jika kau harus menikah? Terpikir menjadi mahasiswa pun belum. Lah ini… malah suami? Gila!
Jang Mi menghela napas, “Aku tahu jika ini sulit kau terima, Oh Se Hun. Tapi, ayahmu menginginkannya,” ulang Jang Mi.
Se Hun semakin ternganga lebar.
Hey, maaan… dia seorang laki-laki. Tanggung jawab seorang laki-laki di dalam rumah tangga sangat besar. Semua orang tahu akan hal itu. Mencari uang. Membina istri. Mendidik anak. Crap. Mengurus diri sendiri saja Se Hun masih belum bisa. Pasti ini salah. Pasti ini April mop–karena memang hari ini tepat sekali tanggal 1 April.
“Eomma… katakan sekarang…” kata Se Hun tiba-tiba.
Kening Jang Mi berkerut, “Katakan apa?”
“Apriiill mooop,” Se Hun memberi contoh, “Katakan sekarang saja, eomma. Ini April mop,kan?”
“Aigooo jinjja…” Jang Mi mendengus, “Oh Se Hun, sejak kapan keluarga kita mengikuti tradisi April mop? Kau masih belum percaya?”
“Bagaimana aku bisa percaya, eomma?! Kau tahu usiaku baru 19 tahun!!!!”
“Ye, kami tahu. Aku yang melahirkanmu. Makanya kau harus menikah di usiamu yang ke-19, Se Hun”
“Tapi, kenapa?,” rengek Se Hun.
Jang Mi tidak segera menjawab. Wanita itu menghela napas. Dia tidak mungkin memberi tahu Se Hun jika Dong Hoon– ayah Se Hun sudah didiagnosa tak lagi berumur panjang. Dan melihat Se Hun menikah adalah satu keinginan besar yang membuat Dong Hoon mampu bertahan hingga detik ini. Sebelum jantungnya semakin melemah. Karena Se Hun masih belum tahu. Yang Se Hun tahu hanya sebatas ayahnya yang memiliki penyakit jantung. Tidak lebih.
“Kau harus menikah. Itu saja!”
“Itu saja?,” Se Hun terkekeh tak percaya.
“Eomma.. jika itu alasannya, maka aku pun demikian. Aku tak ingin menikah. Kenapa? Karena aku memang tak ingin. Itu saja,” balas Se Hun.
Jang Mi kembali menghela napas. Wanita itu mendekati Se Hun yang sudah mendengus dan berbalik menatap laptop di hadapannya. Tangannya membelai rambut kecoklatan Se Hun.
“Oh Se Hun…” panggil Jang Mi, lembut.
“Banyak hal yang belum kau ketahui alasannya jika kau tak menjalaninya. Maafkan aku yang tak bisa mengatakannya sekarang, tapi aku berjanji, kau akan tahu nanti,” ucap Jang Mi lirih.
Wajah Se Hun tampak mengeras. Jemarinya masih bergerak lincah di atas kibor–mengetikkan kode-kode rumit untuk sebuah aplikasi game yang tengah dia modifikasi. Tapi, sudah lima kali kode yang diketik Se Hun salah. Konsentrasi laki-laki itu hilang. Se Hun berakhir mengusap wajahnya frustasi. Ini semua benar-benar gila.
Belaian lembut Jang Mi di kepala Se Hun kini beralih ke punggung. Wanita itu tahu persis bagaimana perasaan anaknya. Dia pun tak tega. Tapi, apa boleh buat… dia sudah berjanji mengijinkan Dong Hoon menikahkan anak mereka di usia yang masih sangat muda.
Helaan napas Se Hun terdengar menggantung diantara keheningan kamar.
Laki-laki itu masih menelangkupkan tangannya di wajah. Dia boleh jadi menolak untuk menikah, tapi satu pertanyaan tetap melintas di kepalanya.
“Jika ayah menginginkanku menikah sekarang, aku harus menikah dengan siapa? Tidak ada yang menginginkan suami seorang pengangguran,” ucap Se Hun lirih. Sebelum laki-laki itu kembali menyibakkan anak rambutnya ke belakang. Frustasi.
Jang Mi tersenyum, “Seseorang yang memang ditakdirkan menikah denganmu. Istrimu tentu saja”
Cukup. Se Hun sudah tak ingin mendengarnya lebih jauh lagi. Membayangkan dia benar-benar menikah, membuat Se Hun merasa ketakutan. Semua ini mengerikan.
***
Sinar temaram lampu kamar menemani Se Hun yang sudah terbaring di ranjang malam ini. Sejak ibunya berkata jika dia harus menikah, Se Hun menjadi lebih pendiam dan sama sekali tak keluar kamar. Laki-laki itu sibuk merenung, berpikir, hingga membayangkan segala hal terkait pernikahan. Dan semua itu berakhir dengan sebuah helaan napas panjang. Menikah masih menjadi hal yang jauh dari otak remaja ingusan sepertinya. Ya, sekarang Se Hun sadar betapa muda nya dia.
Laki-laki itu meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Mendadak, dia merasa bersalah kepada ketiga sahabatnya. Tidak seharusnya dia menganggap kalimat Baek Hyun tentang kesetaraan hidup hanya sebuah lelucon saja.
Baek Hyun benar. Se Hun bisa jadi memiliki kehidupan yang 180 derajat berbeda dari para sahabatnya. Se Hun sempat lupa jika masa depannya tidak ditentukan oleh medali perak, popularitas, kekayaan orang tua, atau pun tampang. Masa depan Se Hun berjalan, merambat bersama takdir yang jatuh dengan cara tak terduga. Seperti saat ini, ketika dia tahu dia harus menikah.
Se Hun menghela napas. Jemarinya bergerak cepat di atas layar ponsel yang menyala putih di keremangan.
Add Baek Hyun, Chan Yeol, Kyung Soo
Se Hun : Maafkan aku….
Se Hun terdiam menatap ponsel. Menunggu tanggapan dari para sahabatnya.
Chan Yeol : Wohoiii…. tidak biasanya minta maaf duluan
Kyung Soo : :D
Se Hun : Aku salah, makanya aku minta maaf.
Chan Yeol : Bagus. Tapi permintaan maafmu permanen,kan? Tidak diulangi lagi?
Baek Hyun : Iya, iya. Aku maafkan…. Maafkan aku juga.
Chan Yeol : Kalian berdua mengharukan. Pacaran saja sana!
Baek Hyun : Kenapa, sayang? Kau cemburu?
Chan Yeol : Jijik!
Baek Hyun : Aku mencintaimu :*
Chan Yeol : Aku membencimu
Baek Hyun : Aku lebih membencimu… :p
Kyung Soo : Aku membenci kalian berdua.
Baek Hyun : Oh.. kau juga cemburu?
Kyung Soo : Gila! Eh, Chan Yeol, ayo kita carikan Baek Hyun pacar.
Baek Hyun : Terimakasih. Tidak perlu, aku sudah tenar.
Chan Yeol : Susah mencarikannya pacar. Satu minggu ini dia sudah ditolak dua gadis.
Kyung Soo : Hhahhahahahaha puaaaasss
Chan Yeol : Tragis… lololol
Kyung Soo : Melankolis…
Baek Hyun : -___- aku tidak ditolak, hanya belum beruntung. Akan ku buktikan besok!
Kyung Soo : Belum beruntung? Kau pikir lotre? Hidupmu yang tak beruntung.
Chan Yeol : Sakiiiit :p :p :p
***
Dong Hoon tersenyum ketika seorang gadis dengan dress soft-pink membungkuk di hadapannya. Seo Young Ji tampak begitu cantik dengan balutan pakaian dan make up sederhana.
Hari ini hari Kamis, tapi Dong Hoon secara khusus meminta semua orang mengosongkan agenda untuk jamuan ulang tahun plus pertemuan antara Seo Young Ji dan keluarganya.
Young Ji tersenyum. Rambut berombak gadis itu tampak sedikit bergoyang karena gerak tubuhnya. Bibirnya merah muda. Matanya lentik. Warna kulitnya merona.
“Kau cantik sekali hari ini, Young Ji-ssi,” puji Dong Hoon. Laki-laki itu membuka telapak tangannya, mempersilakan Young Ji untuk langsung saja menuju ke ruang makan.
Young Ji tersenyum, lalu melangkah masuk. Lagi-lagi, dia harus membungkuk-bungkuk hormat ketika seorang wanita paruh baya muncul dari dalam.
“Aigooo… ini Seo Young Ji? Cantik sekali….” Jang Mi heboh menyambut Young Ji. Young Ji semakin tersipu.
Se Hun yang berjalan di belakang Jang Mi dengan kedua tangannya yang masuk ke dalam saku celana hanya melirik sekilas. Laki-laki itu langsung duduk di meja makan. Sengaja bersikap dingin–berusaha membuat gadis itu tak suka dengannya.
“Terimakasih. Anda juga cantik sekali,” Young Ji balik memuji.
“Ah, kau bisa saja. Oh ya, perkenalkan, Oh Se Hun,” Jang Mi melirik Se Hun, mengarahkan pandangan Young Ji agar menatap laki-laki itu.
Dong Hoon yang menyusul terdengar terkekeh, “Oh Se Hun, jangan terlalu gugup seperti itu,” goda Dong Hoon.
Young Ji menoleh kearah Se Hun yang mulai memutar bola matanya. Siapa yang gugup coba? Se Hun hanya tak ingin Young Ji menyukainya. Tapi, laki-laki itu tetap saja berdiri lalu membungkuk–memperkenalkan diri.
Young Ji membalas sapaan Se Hun. Kening Young Ji berkerut samar, heran dengan sikap dingin Se Hun. Tidak biasanya! Biasanya, kebanyakan pria akan langsung menyukai Young Ji di pandangan pertama mereka, tapi Se Hun terkesan acuh. Laki-laki itu juga terlihat sedikit….. lebih muda.
“Se Hun sedikit malu, Young Ji,” bisik Dong Hoon. Semua terkekeh, kecuali Se Hun.
“Silakan Young Ji, duduk,” lanjut Dong Hoon mempersilakan.
Kursi di ruang makan sudah diatur sedemikian rupa, sehingga membuat Se Hun – Young Ji duduk saling berdampingan. Hampir tak ada kata yang keluar jika Dong Hoon tak memancing keduanya untuk bicara. Jamuan siang hari ini hanya dipenuhi oleh gelegak tawa Dong Hoon dan Jang Mi.
“Se Hun-a… kenapa kau tak mencoba bicara dengan Seo Young Ji? Siapa tahu kalian cocok,” Dong Hoon mulai memancing Se Hun. Pria itu sudah gemas dengan tingkah Se Hun yang mendiamkan Young Ji begitu saja. Seakan menganggap jika gadis itu tak pernah ada.
Se Hun menurunkan minuman yang baru diteguknya. Dia menoleh, menatap Young Ji datar.
Young Ji tersenyum sopan sebari mengunyah makanannya.
“Aku Oh Se Hun, 19 tahun. Siswa SMA Seung Ri, kelas 2-4”
Krikk
“Uhuk…” Young Ji segera menutup mulutnya dengan telapak tangan. Gadis itu kelabakan meraih gelas dan meneguknya cepat.
Dong Hoon dan Jang Mi yang mendengar hanya membulatkan mata tak percaya. Bisa-bisanya Se Hun mengacaukan pertemuan pertama ini?!
“A..aigooo… gwenchanna?,” tanya Jang Mi. Young Ji mengangguk, masih dengan air yang memenuhi mulutnya. Gadis itu segera menoleh kearah Se Hun. Dengan mata yang membulat lebar.
“Maaf… tapi… apa?,” Young Ji mencoba untuk tetap bersikap sopan. Gadis itu ingin sekali tak percaya dengan telinganya sendiri.
Se Hun tampak meneguk minumannya, sebelum menoleh kearah Young Ji dan menatap gadis itu lekat. “Usiaku, 19 tahun dan aku harus menikah,” ulang Se Hun ringan.
Apa?!! Jadi anak dari Oh Dong Hoon masih berusia 19 tahun?!! Dan laki-laki inilah yang dimaksud Dong Hoon untuk dijadikan pertimbangan sebagai suami Young Ji? Gila!! Young Ji berakhir ternganga di meja makan.
Seseorang… tolong katakan jika semua ini hanya lelucon! Tidak mungkin dia menikah dengan seorang anak SMA, kan?!! Tidak mungkin!
To Be Continued
Have you got the unlogic point of this ff? Kalau iya, berarti saatnya saya berteriak, yippie.. yaaay!!! :D karena target saya adalah temen-temen bisa bergumam, ‘Hah? Nggak logis!!!’ atau ‘Elaah? Anak SMA kawin sama tante-tante?!!’ , atau mungkin ada yang berkata dengan muka datar, ‘Fanfic apaan nih -_- nggak jelas! Tutup ajalah tab-nya’
Jelas yang terakhir membuat jleb, jleb, jleb, hha-hha… *becanda ding.
Respon kalian saya tunggu :D