「Ten Years Forwarded」
A fanfiction by marceryn
Rating : PG-15
Length : Multichapter
Genre : AU, Soft-romance, fantasy, married-life
Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Danbi [OC], supporting by EXO’s members and others OCs
Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.
fanfiksi ini dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi
~ ten years forwarded~
Ryu Danbi kembali ke hari pertama SMAnya. Bahkan setelah bertahun-tahun—ditambah sepuluh tahun tambahan yang hilang—ia masih mengingat rasa gugup dan kegelisahannya memasuki kelas baru, dipaksa bergaul dengan orang-orang sebaya yang sama sekali tidak dikenalnya, mempelajari pelajaran-pelajaran wajib yang tidak pernah disukainya. Tapi toh Danbi tidak punya pilihan selain datang ke sini setiap lima hari dalam seminggu sampai lulus nanti. Kalau ia benar-benar ingin pergi dari kota ini, ia harus mulai dari membiasakan diri.
Membayangkannya saja membuat beban tak kasat mata di tumitnya semakin berat.
Suara letusan yang timbul tepat ketika Danbi membuka pintu kelas turut serta membuat perasaannya semakin buruk.
Laki-laki jangkung yang bertanggung jawab dengan pistol mainannya yang berisik itu hanya tertawa keras dan berteriak bersama setengah lusin laki-laki dan empat perempuan yang tampaknya sama kekanak-kanakannya, “SELAMAT DATANG!”
Danbi yang masih kaget sama sekali tidak tertawa, tapi orang-orang yang sudah ada di dalam sana tidak sadar. Sepertinya semua orang di sini sudah berteman dan hanya Danbi yang orang asing. Dan itu membuatnya tidak nyaman.
Tapi kemudian gelak tawa mereda, dan laki-laki itu menghampirinya, lantas mengulurkan tangannya yang panjang dengan seulas senyum lebar. “Annyeong! Aku Park Chanyeol. Neon—kau?”
Danbi perlu mendongak untuk menatapnya. Perasaannya setengah mati kesal, marah, malu, tapi ia dengan enggan menjabat tangan yang ternyata hangat itu. “Ryu Danbi.”
Chanyeol menutup pintu di belakang Danbi dan berseru lantang, “Nah, semuanya, siap-siap untuk korban berikutnya! Haha~” Lalu ia berkata pada Danbi, “Bergabunglah dengan yang lain. Kau hanya perlu berteriak ‘selamat datang’ saat aku menembak. Oke?” dan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
Danbi ingin menjawab, Tidak oke sama sekali, tapi Chanyeol sudah kembali ke tempat persembunyiannya di belakang meja guru, dan yang lain bersiap di tempat masing-masing. Selama sedetik Danbi hanya berdiri di sana, seperti orang yang baru tersadar dari trans, berpikir bahwa mungkin segalanya tidak akan seburuk bayangannya.
***
Danbi mengerjap-ngerjap untuk membiasakan diri terhadap cahaya matahari yang menusuk kelopak matanya. Ia beringsut turun perlahan dari tempat tidur dan mengusap-usap matanya dengan punggung tangan, kemudian merentangkan kedua tangannya ke atas dan menguap lebar-lebar. Danbi memerhatikan sekitarnya dan mengernyitkan dahi. Ia tidak ingat berjalan ke kamar semalam. Semoga ia bukannya mengigau. Itu jelas akan memalukan.
Danbi melongokkan kepalanya keluar. Terdengar suara televisi dari ruang tengah, dan suara berat Chanyeol yang menjerit-jerit—Danbi tidak yakin apakah laki-laki itu sedang bernyanyi ataukah otaknya mengalami arus pendek—dari arah dapur.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Danbi setengah berteriak ketika menemukan Chanyeol di depan kompor, memakai celemek biru pucat dan menari—kalau gerakan acak yang aneh itu bisa disebut tarian—dengan sudip stainless steel di tangan. Di sekelilingnya, dapur terlihat seperti baru dijadikan lahan peperangan.
Chanyeol melompat berbalik dan tersenyum secerah matahari. “Oh, hey there. Kita kehabisan roti, jadi aku membuat wafel. Haha~”
“Memangnya kau tahu cara membuatnya?”
Chanyeol membusungkan dadanya dan merentangkan tangan dengan gaya sok. “Alatnya ada. Aku tinggal mencari bahannya di internet dan taraa! It’s just a piece of cake—mudah sekali.”
Danbi bersedekap dengan tatapan frustasi. Ini khas Park Chanyeol sekali. “Yeah. Dan kau membom dapurku.”
“Hei, ini dapurku juga.”
“Kau tidak pernah membersihkannya.”
“Aku berencana melakukannya nanti.”
Danbi mencibir. “Terserahlah. Apa aku perlu membantu?”
“Tidak, aku bisa sendiri. Lagipula, kau tidak terlihat seperti orang yang bisa memasak.”
Danbi menelan keramahannya bulat-bulat. “Lupakan saja. Aku juga hanya basa-basi.”
Chanyeol menyengir tanpa dosa, lalu menunjuk kursi di depan meja makan dengan sudip di tangannya. “Duduklah. Sebentar lagi aku selesai.”
“Kau belum mematikan televisi,” Danbi mendadak teringat.
“Oh, iya, aku lupa. Tadi habis menonton berita.”
“Memangnya kau mengerti apa yang dikatakan penyiarnya?”
“Kau bercanda?” Chanyeol memasang tampang tersinggung. “Tentu saja tidak.”
Danbi mendengus, kemudian berjalan ke ruang tengah, mematikan televisi, dan kembali ke dapur. “Kita harus menambahkan satu hal lagi ke daftar peraturan,” katanya dengan nada menggerutu. “Matikan televisi, lampu, dan elektronik lainnya jika tidak digunakan lagi.”
Chanyeol menggangguk-angguk dengan seulas senyum seolah berkata, Ya, ya, lakukan semaumu.
Danbi duduk dan melipat tangan di atas meja makan. Ia memikirkan lagi mimpinya semalam—pertemuan pertamanya dengan laki-laki hiperaktif yang menyebalkan, yang tanpa sadar menjadi objek pengamatannya selama tiga tahun SMA, lantas mendorongnya untuk mengikutinya ke universitas yang sama. Laki-laki yang membuatnya melupakan tujuannya lari dari orangtuanya dan melakukan apa pun agar bisa selalu bersamanya, tidak peduli laki-laki itu sadar atau tidak.
Sekarang keinginannya terwujud, bukan? Di sini, Park Chanyeol praktis jadi miliknya seorang, tanpa perdebatan, tanpa pesaing lain. Tapi… kenapa Danbi masih belum merasa puas?
Semenit kemudian, Chanyeol menyajikan ke hadapannya sepiring wafel dengan saus madu dan tiga gelas tinggi dengan isi yang berbeda-beda dan sukses membuyarkan lamunan singkatnya.
“Apa-apaan?” Danbi menunjuk gelas-gelas itu dengan wajah berkerut dalam.
“Ini jus campuran apel, tomat, dan jeruk lemon,” Chanyeol menjelaskan dengan gaya guru bicara pada anak umur lima tahun dan menunjuk gelas di sebelah kirinya. “Ini susu kedelai,” ia menunjuk gelas yang di tengah. “Dan ini air rebusan jahe,” tunjuknya pada gelas di kanan.
“Hah?!” Hanya itu yang bisa Danbi katakan.
“Aku membaca di internet, katanya ini bagus untuk mengatasi mual.”
“Semuanya?”
Chanyeol mengangguk-angguk. “Ayo, minum. Lalu habiskan sarapanmu.”
“Yang benar saja,” Danbi memprotes. “Aku tidak mau. Aku tidak suka. Kau saja lakukan.”
“Kau pikir aku yang hamil?” balas Chanyeol. “Kalau kau tidak mau minum semua, coba satu saja.”
Danbi bergeming. Ia menatap Chanyeol seolah laki-laki itu adalah makhluk paling janggal yang pernah ditemuinya.
“Hei, setidaknya hargai usahaku. Aku sampai keluar pagi-pagi, tahu tidak.”
Danbi berdecak. “Astaga, baiklah.” Ia menarik napas dalam-dalam, menatap gelas-gelas terkutuk itu satu persatu, lalu mengulurkan tangan dengan enggan pada gelas air jahe. Tapi ia berhenti sebelum bibirnya menyentuh tepi gelas dan bertanya memelas, “Apa aku benar-benar harus meminumnya?”
Chanyeol memiringkan kepalanya sedikit dan tersenyum membujuk—sayangnya tidak begitu mempan.
“Oke. Tapi belikan aku cheese cake.”
Chanyeol tertawa pendek. “Oke. Kita akan membeli cheese cake-mu setelah pulang dari Central Park.”
Danbi melongo. “Apa?”
“Kau tidak bisa tinggal di rumah seharian,” kata Chanyeol, seolah itu sudah menjelaskan segalanya. “Kau harus bergerak sesekali, itu membantu sirkulasi darah. Aku membacanya di internet.”
“Kau perlu berhenti membaca artikel di internet,” gerutu Danbi.
***
Jadi setengah jam kemudian mereka berdua meninggalkan apartemen dan turun dengan lift. Di sana, mereka bertemu dengan bibi berambut putih keperakan yang pernah berpapasan dengan Danbi dulu. Bibi itu langsung menyapa ceria, “Oh, hello. Going somewhere?”
Danbi tersenyum padanya dan baru akan menjawab, tapi Chanyeol menyela lebih cepat, “I’m taking her for a date.”
Danbi sontak menyikut Chanyeol untuk protes—kencan apanya?—tapi laki-laki itu malah terkekeh dan melingkarkan satu tangannya yang panjang di pundak Danbi seperti seorang suami yang berbahagia.
Danbi terpaksa ikut menyengir lebar, tapi pada Chanyeol ia mendesis, “Jangan bercanda.”
“Bekerja samalah, atau kita akan kelihatan aneh,” gumam Chanyeol riang.
Senyum di wajah bibi itu melebar karena ia tidak mengerti satu pun kata yang diucapkan kedua orang itu. “That’s good. It has been long enough since the last time I saw you two together.”
Bibi itu mengoceh semangat sampai mereka bertiga tiba di lantai dasar dan berpisah jalan.
Danbi meninju pelan perut Chanyeol setelah bibi itu berlalu. “Akting yang bagus.”
Chanyeol mengusap-usap tempat yang baru dipukul Danbi, tapi bibirnya mau tidak mau tersenyum.
Mereka menyusuri trotoar pejalan kaki di sepanjang 75th Street bersisian, memerhatikan mobil, taksi, bus, dan pesepeda berlalu-lalang di jalan raya di sebelah kanan dan bangunan-bangunan persegi menjulang tinggi di sebelah kiri. Laki-laki jangkung berambut pirang memakai pakaian jogging berlari bersama seekor anjing pudel. Sekumpulan anak-anak bertopi kuning berlari-lari. Chanyeol melihat pasangan yang berjalan santai sambil mendorong kereta bayi, dan berpikir apakah ia akan terlihat seperti itu juga bersama Danbi beberapa bulan lagi.
Pikiran yang lucu, dalam arti menyenangkan.
“Itu Alice dari Alice In Wonderland, kan?” kata Chanyeol ketika mereka tiba di Central Park dan melihat patung anak gadis dikelilingi berbagai binatang. Beberapa anak-anak sedang memanjatnya dan berpose untuk foto.
“Kurasa begitu,” jawab Danbi, tidak punya ide bagaimana Chanyeol tahu dongeng anak-anak itu.
Chanyeol menunjuk patung itu mata berbinar-binar senang. “Aku mau memanjat juga.”
Danbi langsung menahan lengan Chanyeol. “Astaga, kau bukan anak kecil lagi.”
“Oh, ayolah.” Chanyeol melepaskan diri dengan mudah dan langsung bergabung dengan kumpulan anak-anak.
Danbi tadinya berpikir untuk menyembunyikan mukanya dan mengunci apartemen kapan pun Chanyeol mengusulkan untuk jalan-jalan lagi, tapi pemandangan itu ternyata tidak memalukan. Chanyeol berbaur dengan siapa pun dengan mudah, bahkan anak-anak asing sekali pun. Mereka memeriksa bagian-bagian patung bersama dan tertawa dan berpose aneh.
“Ya, Ryu Danbi! Kemarilah!”
Lantas Danbi mendapati dirinya bergabung dan mereka bermain bersama-sama. Mereka menghabiskan sepanjang siang itu menonton kapal-kapal remote control bermain di Danau Konservatori, mengunjungi rumah penguin sampai beruang kutub di Kebun Binatang Central Park, dan—sesuai keinginan Danbi—smencicipi banyak sekali kue di restoran dessert di 78th Street sebelum pulang.
Dan itu, bisa dibilang, adalah hari terbaik sepanjang hidup Ryu Danbi.
***
Satu-satunya perubahan paling jelas dalam hubungan mereka adalah; sekarang Danbi tidak lagi segan untuk mengomel tentang apa saja dan kapan saja.
Misalnya siang itu.
“YA, PARK CHANYEOL!”
Teriakan Danbi menggema ke sepenjuru apartemen. Bahkan Chanyeol yang sedang duduk di depan komputer, menggubah lagu, terlompat kaget di kursinya karena suara Danbi menembus dentuman musik di headphone-nya.
Chanyeol melepas headphone dan berbalik, bertepatan dengan pintu dibanting terbuka dan Danbi muncul dengan wajah garang.
“Apa?” tanya Chanyeol polos.
Danbi menyorongkan gagang vacuum cleaner dan kain lap. “Kenapa kau duduk bersantai di sana? Kita punya peraturan, kau harus membantuku beres-beres.”
“Aku sedang bekerja sekarang. Nanti saja,” kata Chanyeol, tidak mengerti kenapa Danbi perlu membesar-besarkan masalah rumah, terutama saat bagian otaknya yang jenius sedang bekerja.
“Sekarang,” tegas Danbi. “Bangun dan bersihkan lantai ruang tengah. Sekarang, Park Chanyeol.”
“Aku sedang sibuk sekali, ada lagu yang perlu diselesaikan,” Chanyeol berkeras.
“Kerjakan. Sekarang. Juga.”
Sepasang mata Danbi membulat dan Chanyeol heran bagaimana seorang perempuan bertubuh mungil bisa begitu menyeramkan. Jadi ia bangkit dari kursinya dengan tidak rela dan mulai bekerja.
Di hari lainnya.
“YA, PARK CHANYEOL!”
Chanyeol terlonjak di sofa dan menoleh ke arah sumber teriakan. “Apa?”
Danbi berderap dengan gumpalan kaus hitam dan celana training di tangannya. “Kenapa kau meninggalkan ini di kamar mandi? Kau lupa peraturan kedua? Pakaian kotor tidak boleh berserakan di mana-mana.”
Chanyeol lupa memasukkan cuciannya ke dalam mesin cuci pagi tadi karena telepon dari ibunya—yang hanya ingin bilang kalau beliau mengirim paket untuk mereka.
“Ya, aku tidak meninggalkannya di mana-mana. Aku meninggalkannya di kamar mandiku,” Chanyeol membela diri. “Dan, apa kau lupa kalau tidak boleh mengintip cucian orang lain? Untuk apa juga kau masuk ke kamar mandiku?”
Danbi mendelik. “Aku tidak masuk ke sana, aku hanya tidak sengaja melihatnya. Kenapa kau mengalihkan pembicaraan? Cepat cuci pakaianmu!”
Jadi Chanyeol berdiri dari sofa dan melakukannya sambil bersungut-sungut.
Lalu di kesempatan berikutnya.
“YA, PARK CHANYEOL!”
Chanyeol menghela napas pada mangkuk serealnya, berdiri dari kursi makan dan berjalan ke ruang tengah. “Apalagi?”
“Di mana kutaruh ponselku?” tanya Danbi sambil berkacak pinggang. Wajahnya pucat, ditambah rambutnya berantakan, dan bahkan belum mandi. Benar-benar pemandangan yang menghilangkan selera makan. “Kau tidak menyembunyikannya, kan?”
“Memangnya aku sejahil itu?” Chanyeol ingin membalas begitu, tapi ia terlalu lelah dan malah berkata, “Jangan marah-marah terus. Bisa-bisa bayiku lahir dengan temperamen yang buruk, tahu tidak.”
Danbi melotot dan pipinya merona tipis. “Astaga, apakah kau perlu mengatakannya seperti itu?”
Jadi suatu kali, Chanyeol membalasnya.
“Lupakan saja peraturannya.”
Danbi melongo ketika malam itu Chanyeol tiba-tiba menyeruak masuk ke kamar tanpa repot-repot mengetuk dan menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Laki-laki itu mengibas-ibaskan tangannya, membuat berantakan sprei. Kaki panjangnya menjuntai dan bergoyang-goyang riang.
“Ah~ nyamannya.”
Danbi mengerjap-ngerjap, tidak mengerti apa yang terjadi. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Tidak ada gunanya juga masih menempelkan peraturan itu. Tidak satu pun dari kita mematuhinya lagi.” Chanyeol berguling-gulingan di tempat tidur, kemudian berbaring menyamping dengan satu tangan menopang kepalanya seperti raja kekenyangan, dan berkata sok seksi dengan suara beratnya, “Come here, Baby~ hehe.”
Danbi menimpuk Chanyeol dengan sandal kamar mandi dari kakinya. Syukurnya Chanyeol berhasil mengelak tepat waktu.
“Kau sungguh galak,” katanya, mengelus dahinya yang sedetik lalu bisa saja jadi landasan sandal. “Aku kan hanya bercanda.”
“Dasar mesum,” Danbi mengumpat.
“Ya!”
“Menyingkir dari sana!”
“This is America. I do what I want,” balas Chanyeol dan menjulurkan lidahnya. Menilik lancarnya ia mengatakan kalimat itu, berani taruhan ia sudah menghafalkannya seharian.
“Cih.” Danbi merangkak naik ke tempat tidur dan mendesak Chanyeol sampai ke tepi—yang protes berkepanjangan—kemudian memasang barikade di tengah-tengah dengan sebanyak mungkin bantal, boneka, dan selimut. “Oke, ini dia. Jangan melewati batas ini. Jangan menendang-nendang. Dan kalau kau berani menyentuhku, aku akan menggorok lehermu.”
Chanyeol sontak memegang-megang lehernya seolah memastikannya masih ada di sana. “Menyeramkan sekali. Tapi baiklah. Aku juga tidak akan mengambil risiko melakukan apa pun yang membahayakan bayiku.”
“YA!!” Danbi meraik salah satu bantal dan memukuli Chanyeol. Dalam tiap pukulannya, ia berseru, “Berhenti-mengatakan-hal-menggelikan-seperti-itu!”
Chanyeol bersembunyi di balik punggungnya yang lebar. “Astag—iy—aw! Aku mengerti!”
Yah, begitulah bagaimana hari-hari ceria mereka berlalu.
***
Sore itu, mereka berdua duduk bersebelahan di sofa, menonton kartun. Atau tepatnya Danbi yang menonton kartun dengan serius dan sesekali tertawa, sedangkan Chanyeol menghabiskan sebagian besar waktu untuk memerhatikan gadis itu.
Mau tidak mau Danbi menyadari dirinya sedang diperhatikan, jadi ia mendelik pada Chanyeol dan berkata ketus, “Apa? Ada sesuatu yang aneh di wajahku?”
“Tidak.”
“Lalu kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Aku sedang berpikir.”
Danbi meluruskan kembali kepalanya dan memasukkan beberapa potong keripik kentang ke dalam mulut. “Oh, itu kejutan.”
Chanyeol mengabaikan sarkasme gadis itu seraya meraup keripik dari mangkuk di pangkuan Danbi dan berkata, “Kupikir, tidak masalah seandainya kita memang tidak bisa kembali ke sepuluh tahun yang lalu.”
Danbi memutar bola matanya. “Lelucon apalagi ini?”
“Aku serius,” kata Chanyeol, dan ia memang terdengar serius. “Kurasa kita akan baik-baik saja, melanjutkan kehidupan kita di sini seterusnya. Seperti yang sudah kita lakukan sekarang.”
Danbi tertawa hambar mendengarnya. “Apa kau salah makan sesuatu tadi pagi?”
Chanyeol mengabaikan sikap sinisnya sekali lagi dan bertanya, “Apa yang kaupikirkan tentangku?”
“Kau? Kau berisik, aneh, hiperaktif, dan menyebalkan.”
“Tapi kau suka.”
Wajah Danbi merona tanpa disuruh. Ia benar-benar tidak perlu diingatkan mengenai hal itu, kalau perlu seumur hidupnya. “Itu cerita lama. Sudah tidak penting.”
“Memangnya kenapa?”
Danbi mendengus sebal. Ia tidak ingin meladeni orang ini lebih lama, bisa-bisa korslet otaknya menular. “Aku mau mengambil keripik kentang lagi.”
Danbi hendak berdiri, tapi Chanyeol sigap meraih tangan gadis itu dan menariknya sehingga tubuh Danbi tersentak kembali ke sofa. Mereka beradu pandang selama beberapa saat, kemudian Chanyeol bertanya datar, “Ya, kenapa kita tidak coba berkencan?”
Semua pertanyaan di benak Danbi mendadak buyar. “Hah?”
“Kencan,” ulang Chanyeol. “Lupakan saja apa yang sudah terjadi—toh kita memang tidak ingat apa-apa—dan mulai semuanya dari awal lagi. Bagaimana menurutmu? Kita bisa mulai dari berkencan sungguhan.”
Danbi hanya membeku selama sedetik sebelum tertawa terbahak-bahak. Tapi ketika Chanyeol membalas tawanya dengan keheningan, tawanya tersumpal. Ia menatap mata laki-laki itu, mencari tanda-tanda apakah ini hanya salah satu leluconnya yang kejam, tapi Chanyeol terlihat sungguh-sungguh sampai terasa menakutkan. Danbi menarik tangannya yang dipegang Chanyeol dan meletakkan punggung tangannya di dahi laki-laki itu. “Apakah kau baik-baik saja?” tanyanya serius.
“Seratus persen,” jawab Chanyeol, sama seriusnya. “Apa yang salah dengan mengajak istriku sendiri berkencan?”
Danbi menggeleng-geleng dengan wajah takjub. “Wah… kurasa kau benar-benar sakit.”
“Jadi?”
“Kau harus pergi ke rumah sakit.”
“Bukan itu. Maksudku kencan.”
Danbi menegakkan punggung dan bersedekap. “Dan kenapa kita harus melakukannya?”
“Karena aku ingin melakukannya,” jawab Chanyeol tanpa ragu setitik pun.
Danbi tertawa dengan wajah bosan. “Aku tidak bisa mengerti jalan pikiranmu.”
Chanyeol membuka mulut, tapi apa pun yang hendak dikatakannya disela oleh ponsel di atas meja yang berdering. Chanyeol hanya melihat nama yang tertera di layarnya sekilas dan mengangkatnya tanpa beranjak dari sana. “Oh, Sojung-ssi.”
Telinga Danbi menegak tanpa sadar. Itu nama perempuan. Danbi belum pernah melihat satu pun teman Chanyeol yang orang Korea di sini. Sebenarnya, ia belum pernah melihat teman Chanyeol yang mana pun. Bagaimana pun Danbi kan tidak peduli.
“Tidak, aku tidak jadi pulang. Ada sesuatu terjadi—apa?” Chanyeol mendengarkan beberapa saat, mengangguk-angguk, lalu berkata singkat sebelum mengakhiri panggilan, “Aku mengerti. Aku akan datang besok.”
“Siapa?” pertanyaan itu meluncur sebelum Danbi sempat menutup mulut.
Chanyeol meletakkan ponselnya kembali ke atas meja dengan acuh. “Penerjemah di kantor.”
“Oh.”
Sedetik hening, lalu Chanyeol melanjutkan tanpa ditanya, “Namanya Choi Sojung. Iya, dia perempuan. Orang Seoul. Umurnya 27 tahun. Dia menanyakan apakah aku bisa pergi ke kantor besok untuk melihat hasil final album.”
“Aku tidak peduli.”
“Yah, siapa tahu kau penasaran.” Chanyeol menyengir jahil pada Danbi yang mendelik ganas padanya. “Kemarikan mangkuknya. Aku akan mengambil keripik lagi.”
Danbi menyerahkan mangkuk dari pangkuannya pada Chanyeol, lantas laki-laki itu membawanya ke dapur. Semenit kemudian ia kembali dengan semangkuk penuh keripik kentang.
“Aku ingin nonton pertunjukan teater.”
Chanyeol menoleh dengan mulut setengah terbuka. “Apa?” katanya dengan suara teredam karena banyaknya keripik kentang yang ia jejalkan ke dalam mulut.
“Aku ingin nonton pertunjukan teater,” ulang Danbi.
“Eh. Yeah,” balas Chanyeol, tidak punya ide apa yang harus dikatakannya.
Danbi mendengus ketus, tapi sudut-sudut bibirnya berkedut oleh senyum. “Aku punya standar dalam berkencan. Jalan-jalan ke Central Park bukan gayaku.”
Baru detik berikutnya Chanyeol paham. Dan seandainya potongan-potongan keripik itu tidak ada di dalam mulutnya, ia pasti sudah tertawa.
***
Chanyeol tidak mengerti kenapa semua orang tersenyum lebar padanya ketika ia memasuki gedung perusahaan musik, tapi karena Chanyeol sendiri sedang bahagia, ia membalas mereka semua dengan membungkuk dan menyapa riang.
Bahkan Choi Sojung yang sudah menunggunya di lantai studio.
“Mister Park! Senang melihat Anda lagi. Saya sudah mendengar kabar besar itu. Selamat!”
Chanyeol sempat berpikir apakah ada penghargaan entah dari mana yang dianugerahkan padanya—yah, siapa tahu—tapi sepertinya terlalu tidak masuk akal. Ataukah semua orang di sini bisa membaca pikirannya?
“Kabar besar apa?” Chanyeol balas bertanya.
“Semua orang sudah tahu Anda membatalkan kepulangan karena istri Anda sedang mengandung,” kata Sojung dengan nada bersekongkol. “Mister Do yang memberitahu kami semua. Itu berita hebat!”
Oh. Telinga Chanyeol rasanya memanas. Tentu saja, siapa lagi yang akan menyebarkan berita itu selain Do Kyungsoo. Sungguh sahabat sejati.
“Kuharap tidak apa-apa meminta Anda datang hari ini,” kata Sojung dengan sedikit sentuhan meminta maaf. “Desain cover sudah disetujui perusahaan. Rekaman dan mixing sudah selesai kemarin, dan orang studio akan mulai tahap mastering. Mereka bilang sebaiknya melibatkan Anda, kalau bisa.”
“Aku mengerti.” Chanyeol melompat-lompat kecil dengan tumitnya. “Ja, ja, ayo mulai.”
Sebenarnya Chanyeol tidak banyak melakukan apa-apa. Ia hanya mendengarkan, mengangguk, berkomentar, mendengarkan lagi, dan tanpa sadar setengah harinya berlalu begitu saja. Ketika jam istirahat siang, Chanyeol tinggal sendirian di studio, mencoba merangkai nada dengan gitar untuk lagu barunya yang masih jauh dari selesai karena ia kesulitan berpikir di rumah, dengan Danbi yang berisik dan sebagainya.
Tapi Chanyeol tidak keberatan. Entah kenapa dan sejak kapan, kehadiran gadis itu saja membuatnya senang, membuat Chanyeol melupakan kekosongan yang ada dalam dirinya. Melihat Danbi membuat Chanyeol terus berpikir bahwa mungkin Kyungsoo benar. Ada alasan kenapa ia memilih Danbi, dan alasan itu pasti alasan yang bagus.
Dan terlepas dari itu, Chanyeol menyadari ada bagian dari dirinya saat ini yang ingin mencintai gadis itu. Ia bisa mencintai gadis itu sekali lagi—kalau memang sebelum ini ia telah mencintainya.
Hei, itu mungkin saja, kan?
“Anda masih di sini?”
Suara itu menyentakkan Chanyeol. Ia menoleh dan melihat Sojung berdiri di ambang pintu. “Eo. Ada apa?”
“Kami kehilangan Anda saat makan siang. Turunlah dan bergabung dengan kami.”
Chanyeol mengangguk. Ia bangkit dan menyandarkan gitarnya di dekat meja panel kendali, lalu mengikuti Sojung keluar.
“Omong-omong, apa kau pernah menonton pertunjukkan teater?” tanya Chanyeol ketika mereka berdua berada di dalam lift.
“Pernah, satu kali di Broadway.”
“Kau bisa membantuku mencarikan tiketnya?”
Sojung mengerjap-ngerjap. “Bisa. Anda mau menonton apa?”
“Apa saja, tidak masalah untukku,” jawab Chanyeol. “Bukan aku yang mau menonton.”
“Aah!” Sojung langsung mengangguk-angguk seolah-olah satu kalimat itu saja sudah cukup menjelaskan. “Baiklah. Akan kukabari lagi setelah aku mendapat tiketnya.”
“Kau keren. Gomawo.” Chanyeol tersenyum lebar dan menepuk pundak Sojung. “Kalau ada yang kaubutuhkan, katakan saja padaku.”
Pintu lift terbuka, dan tahu-tahu seorang perempuan pirang bertubuh mungil berkata, “Oh, Mister Park.”
Gadis pirang itu mengatakan sesuatu, yang lambat dicerna karena logat Inggris yang kental, tapi Sojung menerjemahkannya dengan cepat, “Dia bilang Anda punya tamu. Dia menunggu di kantor Anda sekarang.”
“Oh, ya? Baiklah. Kalau begitu, Sojung-ssi, kau ke bawah duluan saja.”
“Ne.”
Chanyeol berpisah dengan Sojung di lift dan berjalan dengan langkah lebar menuju kantornya.
Gadis yang duduk di depan meja kantornya sontak menoleh ketika pintu kantor dibuka. Sepasang irisnya yang hitam pekat langsung berserobok dengan mata Chanyeol, dan Chanyeol membeku di ambang pintu.
Gadis itu berdiri dan tersenyum. “Oraenmanida—lama tidak bertemu, Chan-ah.”
Sepuluh tahun yang telah berlalu seolah tidak menyentuhnya sama sekali. Bibir mungilnya, matanya, rambut hitam panjangnya yang tergerai melewati bahu, tubuhnya yang ramping, semua masih tampak sama seperti terakhir kali Chanyeol melihatnya. Bahkan suara manisnya ketika menyebut nama kecil itu pun masih sama.
Chanyeol hanya berdiri di sana seperti orang bodoh, tidak peduli siapa dan di mana dirinya. Detak jantungnya yang terhenti sejenak perlahan mulai berdebar, keras dan cepat, seiring detak waktu dalam dunianya.
Kemudian ia mendengar dirinya sendiri berkata, “Baek Jinhye.”
=to be continued=
Hehe. Aku kembali lagi ke sini *labil* Aku baru bisa baca FF chapter 5-ku hari Sabtu, dan ternyata banyak banget typo ya -_- tapi terima kasih sekali untuk respon yang selalu menyenangkan. Kalian para pembaca sungguh luar biasa (iya, luar biasa sabar) kekeke. Aku menerima kritik-saran-masukan untuk kelanjutan FF ini *cieee* *ketahuan otaknya mulai stuck(?)* Oke itu saja. Thanks for reading! *tebar cinta(?)*
N.B : maaf sekali kalo makin ke sini Chanyeol-nya semakin OOC. Dianya yang nyebelin sih #plak #apaan
XOXO!
