![bittersweet]()
Author : Iefabings
Main Cast :
- EXO’s Kai as Kim Jongin
- Red Velvet’s Seulgi as Kang Seulgi
- EXO’s Sehun as Oh Sehun
Supporting Cast :
- EXO’s Baekhyun as Byun Baekhyun
- Kim Yoonhye
- Red Velvet’s Wendy as Son Seungwan
- Wu Yi Fan as Kris
Genre : Romance, hurt, college life, friendship
Rating : PG-13
Length : Multi chapter, currently 15
Previous chapters : The Circle | He’s My Boyfriend | I Hate You | A Weird Dream | Apology | What If | She’s My Girlfriend | Stupid, Dumb, Idiot | Truth Or Dare | Call You Mine | I Feel Warm | Favorite Mistake | We’re Friends, Right? | Love Letter |
^^Selamat Membaca^^
Karma has no menu. You get served what you deserved.
– Anonymous –
***
Keesokan harinya, Sehun menepati janji. Tepat pukul 6 pagi dia sudah menekan bel apartemen, sehingga Seulgi membukakannya dalam keadaan masih memakai piyama dan jelas belum mandi. Sempat ternganga beberapa detik dan hanya bisa memperhatikan Sehun yang masuk seenaknya tanpa dipersilakan.
“Kau mau mengajakku kencan apa kuliah pagi?” tanyanya heran.
“Kau sendiri ingin kencan apa kuliah?” Sehun balik bertanya.
“Bodoh. Ini kan liburan.”
“Lantas kenapa bertanya? Kita kan sudah janjian akan kencan hari ini,” timpal Sehun sambil membuka kulkasnya.
“Sehun, ini masih jam 6 pagi. Kau berangkat dari rumah jam berapa?”
“Jam berapa ya?” Sehun memasang ekspresi berpikir. “Jam 5 mungkin,” jawabnya kemudian dengan mengangkat bahu.
“Ke Lotte World jam segini pun belum ada wahana yang buka.”
“Siapa yang bilang kita akan ke Lotte World sekarang?”
“Hah?”
“Buatkan aku sarapan, yeobo,” perintah Sehun sembari duduk di meja makan dan menopang dagunya. Melihat senyum polos khas anak kecil di wajah kekasihnya, Seulgi bisa apa selain tersenyum.
“Kau ingin makan apa?” tanyanya.
“Apa saja asal bisa sarapan berdua denganmu. Kalau kau ingin kita ke restoran fastfood juga boleh.”
“Tidak, aku tidak biasa sarapan fastfood,” sahutnya cepat. Kini Seulgi merebus telur dan menyiapkan roti tawar beserta sayurnya. Saat hendak berbalik untuk mengambil mentega, gerakannya terkunci lantaran Sehun memeluknya dari belakang.
“Kau makan ini setiap hari?”
“Sehun… aku belum mandi,” peringat Seulgi saat merasakan hidung Sehun mulai menyapa kulit lehernya. Biar bagaimana pun itu membuat jantungnya berdebar dan gugup luar biasa.
“Aku ingin sarapan seperti ini setiap hari… bagaimana?”
“Sehun….” Seulgi mulai menggigit bibirnya karena Sehun tidak mau berhenti.
“Apa?” Sehun memberi satu kecupan di sisi lehernya sebelum mencomot satu irisan tomat yang Seulgi buat. “Aku hanya ingin mencicipi ini,” tambahnya tanpa rasa berdosa.
Akhirnya Seulgi bisa bernafas lega dan bisa melanjutkan persiapan sarapannya. Dia jadi lupa tentang pertanyaan besarnya yang sempat muncul semalam.
***
Kencan sehari yang berharga. Seulgi merasa menjadi ratu sehari dan Sehun adalah rajanya. Tak ada satu pun keinginannya yang tidak dipenuhi oleh Sehun. Wahana apa pun yang dia tunjuk, eskrim, cotton candy, sudah ia dapatkan. Bahkan perhatian Sehun sejak pagi sampai sore hari hanya tertuju padanya. Seulgi benar-benar melupakan rasa kesalnya semalam atas kebohongan Sehun. Melihat betapa perhatiannya Sehun hari ini dia langsung menyimpulkan bahwa semalam itu memang kebetulan dia tidak ingin momen pertemuan dengan kawannya diganggu siapa pun. Seulgi tidak memusingkannya lagi. Yang paling penting sekarang Sehun tidak berubah sikap padanya. Sepertinya dia yang terlalu curigaan.
“Senang tidak, hari ini?” tanya Sehun saat mereka berjalan ke parkiran. Hari sudah beranjak sore. Sebenarnya enggan meninggalkan Lotte World, tapi karena (sepertinya) semua wahana dan tempat sudah mereka nikmati, mereka memutuskan untuk pulang.
“Hmm,” Seulgi mengulum cotton candy sampai habis baru menjawab. “Sangat.”
“Baguslah,” Sehun tersenyum lalu mengecup bibir Seulgi sekilas. “Mau makan siang dulu sebelum pulang?”
Barulah Seulgi ingat, saking asyiknya bermain mereka lupa makan siang. “Benar juga.”
“Mau makan dimana?”
“Terserah saja, yang dekat sini juga boleh,” jawab Seulgi sekenanya.
Sehun mengerti, langsung melajukan mobilnya keluar Lotte World. Dia memilih restoran secara asal karena Seulgi juga tidak terlalu rewel soal makanan. Tiba di sana, Sehun cepat-cepat turun dan berlari tergesa untuk membukakan pintu dan memperlakukan Seulgi seperti putri bangsawan. Seulgi tertawa lebar, langsung menggamit lengan Sehun masuk.
“Aku mau ke kamar mandi dulu,” pamit Seulgi sebelum sempat duduk.
“Ah, ya, aku cari meja kosong,” sahut Sehun.
Seulgi berlari kecil ke kamar mandi dan setibanya di sana langsung masuk ke salah satu bilik. Dia bisa mendengar suara langkah kaki yang masuk dan air yang mengalir dari kran wastafel. Setelah urusannya selesai, ia mencuci tangannya di wastafel, bersebelahan dengan seorang gadis yang baru masuk tadi.
“Whoa, wajahmu kelihatan tidak asing,” pekik gadis itu—membuat Seulgi refleks mendongak. “Aku lihat dimana ya?”
Wajah gadis yang memekik itu juga tak asing. Dia merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Seulgi padanya. Mereka saling tatap melalui cermin, tanpa menoleh satu sama lain.
“Ah, sekarang aku ingat. Kau gadis yang ada di ponselnya Jongin.”
“Hah?” untuk sekian detik dia terperangah. Kemudian setelah diteliti kembali, Seulgi pun ingat siapa gadis ini. Jelas saja dia merasa pernah melihatnya, dia adalah gadis yang bersama Jongin kemarin. Ya, gadis yang ‘katanya’ akan menggantikan posisi Seulgi dari hati Jongin.
“Tidak salah lagi. Wajahmu memenuhi ponselnya. Jongin bilang, dia sangat mencintaimu dan berusaha move on darimu.”
Pernyataan blak-blakan gadis tersebut membuat Seulgi tidak tahu harus menampakkan ekspresi wajah yang bagaimana. Heran kenapa dia mengatakannya seenteng itu. Dan lagi, kenyataan bahwa dia sudah melihat isi ponsel Jongin membuktikan betapa dekatnya mereka.
“Kami hanya teman,” kata Seulgi datar. Dia bahkan tidak punya mood untuk mengajak gadis ini kenalan. Entah kenapa. Padahal biasanya dia selalu ramah pada semua orang, bahkan yang baru pertama dia temui sekali pun.
“Iya, dia juga mengatakan itu. Sekarang kalian hanya teman biasa,” ucap Yoonhye. “Dan sebenarnya sekarang kami pacaran.”
“Oh,” sahut Seulgi singkat. Ya, memangnya jawaban apa lagi yang harus ia ucapkan? Apa perlu memberi ucapan selamat? “Selamat ya.”
“Terima kasih,” jawab gadis itu sambil tersenyum. “Aku tidak akan merasa cemburu padamu. Kau hanya bagian dari masa lalunya, jadi kalau mau bertemu kapan saja tidak apa-apa.”
Gadis ini… serius sudah menjadi pacar Jongin? Entah kenapa Seulgi tidak suka padanya. Walau nada bicaranya sopan dan manis, tapi ada aura sinis dan angkuh di sana. Seolah dia ingin menegaskan bahwa dirinya dan Jongin telah bersama, juga bahwa Seulgi bukan siapa-siapa lagi.
“Aku duluan ya,” pamit Seulgi—merasa obrolan itu tidak ada untungnya.
“Aku juga sudah selesai.”
Seulgi mempercepat langkahnya, takut gadis—yang belum dia ketahui namanya itu—berhasil mengikutinya. Dia sedang tidak ingin membahas tentang Jongin, apa pun itu. Tapi sayang sekali keinginannya tak terpenuhi. Saat dalam perjalanan kembali pada Sehun, dia malah berpapasan dengan Jongin. Oh, rupanya mereka sedang berkencan. Seulgi berniat untuk pura-pura tidak melihat, terus berjalan tanpa melirik Jongin sedikit pun.
“Seulgi,” sayang sekali Jongin malah memanggilnya saat dia lewat begitu saja. Mau tak mau Seulgi berbalik dan membalas sapaan itu.
“Hai,” sapanya singkat. Sialnya, gadis tadi—pacar baru Jongin—kini tiba di tengah-tengah mereka.
“Kau sedang apa?” tanya Jongin, tertuju pada Seulgi.
“Kau sendiri?” tanya Seulgi dengan tatapan yang diarahkan padanya dan gadis itu bergantian. Dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak terdengar ketus. Tidak bisa dipahami kenapa perasaannya jadi sekesal ini pada Jongin.
“Aku…” Jongin melirik gadis yang berdiri di sampingnya. “Ah, ini Yoonhye.”
“Sudah bertemu dengannya tadi,” sahutnya cepat.
“Tapi kami belum kenalan,” sekarang rasanya Seulgi ingin membungkam mulut Yoonhye.
“Kenalan lah. Seulgi, ini Yoonhye. Yoonhye, ini Seulgi,” kata Jongin.
“Maaf, aku sedang terburu-buru. Sehun menungguku. Sampai nanti,” Seulgi buru-buru mengambil langkah menjauh. Dari sekian banyaknya tempat, kenapa mereka harus makan di sini juga?
Dengan dengusan dan wajah yang ditekuk dia mencari sosok Sehun yang tadi katanya akan mencari tempat duduk. Nyatanya, di dalam restoran itu sama sekali tak tampak pemuda bertubuh tinggi dengan kulit seputih susu. Heran kemana perginya Sehun. Apa dia ke toilet juga? Dia merogoh ponsel untuk menelpon Sehun dan bertanya dia dimana. Tapi sepertinya tidak perlu, karena ternyata ada satu notifikasi pesan dari Sehun.
[Text from Sehun]
Sayang, maaf mendadak aku ada urusan dan harus pergi. Tidak apa kan, pulang sendirian? Maaf maaf maaf.
“Hah? Apa-apaan?” dengusnya gusar, benar-benar tidak menyangka Sehun meninggalkannya begitu saja. Ini sangat keterlaluan menurutnya. Memangnya urusan semendadak apa yang bisa membuat Sehun langsung pergi dan dengan mudahnya menyuruh Seulgi pulang sendiri? Padahal hari ini terasa begitu sempurna—awalnya. Lalu ia badmood karena bertemu dengan Jongin dan pacar barunya, ditambah sekarang Sehun pergi rasanya Seulgi ingin menangis di tempat itu juga. Kencan berharganya berubah menyebalkan.
***
“Jadi guru les?”
Seungwan mengangguk mantap.
“Semua mata pelajaran anak SMA?”
Seungwan mengangguk lagi.
“Kenapa bukan kau saja?” Seulgi melahap big macnya dengan brutal. Pasca ditinggalkan Sehun di restoran tadi dia langsung menelpon Seungwan dan benar-benar menangis saat curhat tentang kejadian menyebalkan itu. Ujung-ujungnya Seungwan malah menawarinya pekerjaan.
“Pertama, kau itu sangat pintar. Dilihat dari nilai saja kau jauh lebih tinggi,” kata Seungwan sambil mengilustrasikan perbedaan nilai mereka dengan kedua tangan. “Kedua, kau bilang bosan menganggur kan. Ditambah sekarang kesal pada Sehun, pasti waktunya tidak akan banyak tersita untuk kencan.”
“Jadi kau senang kalau aku dicampakkan oleh Sehun?” tanyanya tak percaya.
“Tidak usah berlebihan. Sehun hanya menyuruhmu pulang sendiri, bukan mencampakkan,” kata Seungwan datar.
“Sama saja.”
“Beda.”
“Iya lalu aku harus mengajar dimana?”
Senyum Seungwan melebar lantaran tawarannya mendapat respon positif dari Seulgi. “Ini alamatnya,” diambilnya ponsel Seulgi dan membuka aplikasi note untuk mengetikkan alamat rumah yang dimaksud. “Anaknya baik, kok. Ayahnya adalah teman baik appa.”
“Aku tidak janji nanti hasilnya akan memuaskan. Aku tidak pernah mengajari anak kecil.”
“Dia sudah SMA, Seulgi-ah.”
“Intinya lebih muda dariku.”
“Dia sangat ingin masuk kedokteran dalam ujian masuk universitas tahun depan karena tuntutan orang tua.”
“Kalau dia tidak minat ya pasti susah.”
“Ayolah, Seulgi,” Seungwan menggenggam tangan Seulgi penuh harap. Tak lupa beraegyeo agar Seulgi bisa luluh.
“Iya, akan ku lakukan. Hentikan ekspresi itu,” timpalnya sambil memutar bola mata. “Padahal niatku ingin curhat, malah diberi pekerjaan.”
“Oh, iya, curhatnya. Aku yakin kalau nanti Sehun datang dan meminta maaf dengan ‘cara’nya, pasti akan langsung kau maafkan.”
“Sok tahu. Aku akan marah cukup lama untuk kejadian ini. Lihat saja.”
“Iya, kita lihat saja. Kalau aku benar, traktir aku ya,” kata Seungwan.
Mustahil dia akan memaafkan Sehun secepat itu. Atau lebih tepatnya, dia berjanji untuk tidak akan. Siapa yang tidak marah kalau ditinggal begitu saja saat kencan?
***
Namanya Kim Yeri. Minat terbesarnya adalah fashion. Sejauh yang Seulgi lihat, kemampuannya dalam mata pelajaran MIPA sangat rendah. Dia jadi tidak yakin Yeri bisa lulus tes masuk universitas. Sialnya, ini adalah tanggung jawab besar untuk bisa membawanya masuk kedokteran. Memang dibayar sih, tapi ini jadi beban yang cukup berat. Dengan sabar dia menjelaskan semuanya mulai dari dasar. Hari pertama saja dia sudah kelelahan mengajar. Durasi belajar yang awalnya direncanakan hanya sebatas 2 jam terpaksa melebar hingga 3 jam lebih dan dia baru bisa pulang saat waktu makan malam.
“Makan malam di sini saja,” ajak Ibu Yeri saat Seulgi berniat pulang.
“Sebenarnya, sudah ada janji dengan teman,” kata Seulgi beralasan. Itu bohong besar. Dia hanya merasa sungkan karena ini hari pertama mengajar dan belum begitu dekat dengan mereka, pasti sangat canggung jika makan bersama.
“Baiklah, kalau begitu hati-hati ya. Coba kakak Yeri sudah pulang, akan ku suruh dia mengantarmu.”
“Tidak perlu, ahjumma. Masih bisa naik bus jam segini.”
“Terima kasih banyak ya, sudah bersedia mengajari Yeri. Kalau ada yang kau butuhkan, jangan sungkan untuk bilang.”
“Ne,” ucap Seulgi kemudian membungkuk dan berbalik pergi. Keluarga yang baik. Sikap hangat mereka malah membuat Seulgi makin terbebani. Takut nanti Yeri gagal dalam ujian dan mereka akan kecewa. Sepertinya dia memang harus berusaha mengajar dengan sungguh-sungguh.
Jalanan di komplek tempat Yeri tinggal cukup tenang. Seulgi sedang berjalan menuju halte terdekat saat dirasakannya rasa lapar makin melilit. Beruntung ada minimarket beberapa meter di depan. Setidaknya bisa mengganjal perut sementara dengan satu cup ramyun dan kimchi instan. Seulgi pun berlari kecil ke arah minimarket tersebut. Tiba di sana ia langsung menghampiri rak penuh ramyun berbagai merk. Tak lupa mengambil satu kimchi instan di rak lain dan berlari kecil lagi ke arah kasir untuk membayar. Setelah melakukan pembayaran, ia memasak ramyunnya dengan dispenser yang tersedia. Tinggal menunggu sekitar 3 menit hingga ramyunnya siap makan. Dia hendak duduk di tempat makan yang tersedia di sana saat pundaknya merasakan tepukan yang cukup mengagetkan.
“Eh?” matanya melebar saat tahu itu adalah Jongin. Kebetulan sekali bertemu di sini. “Kau ada dimana-mana,” komentarnya dengan nada datar.
“Takdir?” Jongin mengangkat bahu.
“Takdir apanya…” Seulgi menarik kursi dan duduk menghadap ke luar.
“Takdir untuk selalu berada di dekatmu,” ucapnya sambil tertawa pelan. “Bercanda. Tunggu sebentar, aku mau ramyun juga.”
Seperti Seulgi peduli saja. Sejak melihat Jongin bersama Yoonhye, entah mengapa ada rasa marah dalam dirinya. Apa mungkin dia merasa cemburu? Mungkin benar sebelumnya dia ‘pernah’ memiliki perasaan lebih pada Jongin (terlalu takut menyebutnya cinta), tapi hey, dia sudah memutuskan untuk meninggalkannya dan memilih Sehun. Rasa cemburu terhadap Yoonhye bukanlah hal yang pantas.
Sekembalinya Jongin, dia hanya menikmati ramyun dan kimchinya. Sempat melirik sedikit, hanya sedikit dan sekilas. Tidak mau Jongin berpikir berlebihan seperti dia merindukannya—mungkin? Atau justru Seulgi yang berpikir terlalu jauh. Dia menepuk punggung tangan Jongin dengan berani saat pemuda itu kedapatan mengambil kimchinya tanpa izin.
“Aku hanya tertarik saat melihatmu makan ini, mau kembali ke sana untuk ambil satu rasanya malas,” dia membela diri dan Seulgi hanya melempar tatapan ibu-tiri-tidak-kenal-ampun. “Astaga, pelit sekali,” tapi Jongin kembali ‘mencuri’ kimchinya.
“Kimchiku jadi habis.”
“Wah, ternyata enak makan ini dengan kimchi,” komentar Jongin kemudian ‘mencuri’ lagi.
“Pencuri,” timpal Seulgi yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa.
“Pencuri hatimu?”
“Hati Yoonhye.”
“Yoonhye?” Jongin malah tertawa. “Sepertinya kau cemburu.”
“Oh, ayolah, tidak sama sekali,” balas Seulgi cepat.
“Jadi kau merasa baik-baik saja jika aku bersama gadis lain?” mendadak suara Jongin terdengar serius dan saat Seulgi meliriknya—oh—tatapan itu lagi.
“Jongin, bukankah kita sudah menegaskan ini? Lagipula kau sudah menjadikannya pacarmu, berarti kau mulai—“
“Move on? Apa kau benar-benar berpikir aku sudah move on darimu? Sebegitu mudahnya?” terdengar desahan pelan dari Jongin. “Bisa-bisanya.”
“Kim Jongin,” Seulgi meletakkan sumpitnya di dalam cup ramyun. “Kau sudah punya pacar baru. Apa masih pantas mengucapkan itu padaku?”
“Karena aku tidak bisa berpura-pura, Kang Seulgi. Kau mungkin bisa dengan mudah berpura-pura mencintai orang. Sedangkan aku sama sekali tidak bisa. Aku masih mencintaimu dan akan selalu begitu.”
“Apa maksudmu—berpura-pura?”
“Semua yang pernah kau katakan padaku tentang perasaanmu. Hanya pura-pura, kan?”
“Apa?” Seulgi menatap Jongin tak percaya. Entah dari mana Jongin mendapat spekulasi demikian.
“Lalu bagaimana bisa sekarang kau baik-baik saja, Seulgi? Jika semua yang pernah kita miliki adalah nyata, kenapa hanya aku yang merasa sakit?”
“Kau tahu apa tentang perasaanku?” Seulgi berdiri dengan amarah di puncak ubun-ubunnya. “Meninggalkan ego agar bisa bersamamu, menyakiti Sehun, mengecewakan teman, itu yang kau katakan hanya pura-pura? Coba pikir, apa menurutmu aku melakukan semua itu hanya karena berpura-pura mencintaimu?” dia menghela nafas frustasi. “Lupakan saja semuanya. Lakukan apa yang kau mau, pikirkan apa yang kau ingin, aku tidak akan peduli lagi,” lalu Seulgi memutuskan untuk pergi saja. Emosinya sudah tak terbendung lagi sekarang.
“Seulgi-ah,” Jongin menahan tangannya, tapi Seulgi yang enggan untuk kembali duduk langsung melepaskannya dan pergi. “Seul! Aku minta maaf!” Jongin bangkit untuk mengikuti Seulgi keluar. Padahal ramyun mereka belum habis sepenuhnya.
Seulgi tidak berbalik, lebih tepatnya tidak ingin berbalik. Efek rasa marahnya karena Jongin bersama Yoonhye, juga ucapan Jongin tadi, semua jadi satu. Dia tak hiraukan suara Jongin yang terus memanggilnya. Langkah Jongin masih setia di belakangnya tanpa ada tanda-tanda ingin menyamai atau mendahului.
“Seulgi-ah, aku tidak bermaksud mengatakan itu padamu,” suara Jongin terdengar melunak. “Hanya merasa begitu sesak karena merindukanmu. Sebenarnya saat di Jeju, aku sengaja memperlihatkan foto Yoonhye padamu. Memang sangat kekanakan,” ceritanya sambil tertawa pelan. “Aku bahkan dengan sengaja meminta tugas yang bisa dekat terus denganmu. Ku pikir, kita bisa memulainya lagi. Oh—bukan. Sebenarnya aku yang terus berharap semuanya bisa kembali lagi. Seulgi, jika kau tidak suka aku bersama gadis lain, aku akan menjauhinya dan kembali menunggumu.”
“Jangan pernah menungguku!” tanpa sadar Seulgi berbalik dan berteriak. Kebetulan jalanan yang mereka lewati itu sepi. Jadi amarahnya bisa ia lampiaskan saat itu juga. “Apa semuanya serba mudah bagimu? Berkenalan dengan gadis baru, mengirim surat cinta padaku, berkencan dengan gadis itu, lalu sekarang masih bisa mengatakan kalau kau akan menungguku? Hati perempuan tidak sesederhana itu, Jongin. Aku memang tidak begitu menyukai Yoonhye, tapi setidaknya hargailah dia sebagai kekasihmu sekarang. Jika kau tidak ingin serius dengannya maka jangan pernah memulai apa pun dengannya.”
Ingin rasanya Seulgi menangis, tapi tidak ingin menangis di hadapan Jongin. Jadi dia hanya menghela nafas panjang dan gusar, lalu berbalik melanjutkan langkahnya untuk pergi. Dia berlari menjauh. Kali ini Jongin tidak mengejarnya lagi. Jongin terus mematung. Mungkin semua yang Seulgi katakan telah memukulnya dengan telak. Dia hanya bisa menatap punggung Seulgi—yang sebenarnya sangat ingin dia peluk erat.
***
Selama berada di dalam bus pandangan Seulgi terasa kosong. Kepalanya ia senderkan ke jendela, pikirannya makin abstrak seiring melajunya kendaraan itu. Jika sopir tidak meneriakkan daerah tujuannya, mungkin dia akan tertinggal di dalam sana semalaman. Dia berjalan gontai ke apartemennya, masih dengan pikiran yang berkabut. Sapaan dari tetangga yang kebetulan bertemu saat naik lift pun ia jawab seperlunya. Lelah sekali rasanya.
“Eh?” dia terkejut karena saat tiba di lantai tempat ia tinggal, mendadak ada seikat bunga yang muncul di depan wajahnya. “Sehun—“
“Apa yang kau pikirkan hingga tak sadar aku berdiri di sini?” sebegitu tidak fokusnya dia berjalan hingga tak menyadari keberadaan Sehun. Rupanya Sehun sudah menunggunya sejak tadi. Seulgi bingung harus menjelaskan apa yang mengganggu pikirannya—karena ini berhubungan dengan Jongin. Tapi kemudian ingat bahwa dia sedang marah pada Sehun, wajahnya langsung ia rubah sekesal mungkin.
“Untuk apa datang ke sini?” tanyanya ketus, lalu memasukkan kode masuk pintu apartemennya.
“Sayang, kau masih marah? Aku benar-benar punya urusan mendesak kemarin.”
“Urusan apa yang begitu mendesak hingga meninggalkanku sendirian di sana?” Seulgi masuk dan hendak langsung menutup pintu, tapi Sehun menahannya.
“Maafkan aku, sungguh. Besok aku janji akan mengajakmu makan malam romantis di tempat mana pun yang kau inginkan,” tapi kemudian Sehun berpikir, seperti teringat sesuatu. “Eh, lusa saja deh. Lusa aku janji.”
“Kau telah berubah, Sehun-ah. Sebelumnya kau tidak pernah meninggalkanku begitu saja. Kau tidak pernah melewatkan waktu untuk bisa bersamaku. Sekarang kau bahkan mulai mempertimbangkan mau bertemu atau tidak.”
“Baiklah, besok kita makan malam romantis.”
“Sudahlah, lupakan saja,” kata Seulgi kesal. Dia tinggalkan Sehun di pintu tanpa menutupnya. Sehun melangkah masuk dan menutup pintu itu.
“Seulgi, maafkan aku….”
“Bukannya aku ingin ikut campur semua urusanmu. Aku hanya bingung karena terus ditinggal untuk sesuatu yang aku tak tahu,” ucapnya diiringi helaan nafas panjang. Sengaja agar Sehun tahu betapa lelahnya dirinya sejak kemarin.
Lalu Sehun mendekat dan memeluknya. “Sayang, aku janji tidak akan melakukan itu lagi. Jangan marah, aku takut kehilangan dirimu.”
Kalau sudah seperti itu Seulgi bisa apa? Sehun—seperti kemampuannya yang tidak pernah gagal membuat Seulgi tersenyum—juga mampu meluluhkan hatinya yang sempat panas. Ada banyak hal yang ingin ia keluhkan dalam hatinya, tapi pelukan Sehun membuatnya kembali menelan semua itu. Sayang sekali, ucapan Seungwan kemarin ternyata benar. Dia bisa memaafkan Sehun begitu cepatnya.
***
Namun janji untuk tidak mengulangi itu lagi hanyalah janji kosong. Seulgi menyesal telah memaafkan Sehun dengan cepat saat menerima pesan singkat tepat satu jam sebelum janji makan malam mereka. Memang masih ada waktu satu jam, tapi Seulgi sudah melakukan persiapan. Dia juga sudah terlanjur senang karena akan makan malam bersama Sehun.
[Text from Sehun]
Sayang, maaf. Mendadak appa ingin aku ke rumah sakit. Aku tidak bisa berkata tidak, jadi… kau bisa mengerti, kan? Besok malam aku janji tidak akan gagal lagi.
Hanya Seungwan yang bisa jadi pelariannya untuk keadaan ini. Beruntung juga Seungwan sedang tidak punya acara apa pun jadi bisa langsung membawa Seulgi pergi dengan mobilnya.
“Kita mau kemana, Seulgi-ah?”
“Kemana saja yang kau mau. Kalau perlu kita minum sampai tak sadarkan diri,” sahutnya dengan nada datar.
“Ow,” alis Seungwan terangkat, berusaha memahami keadaan sahabatnya yang sedang marah. Hal yang jarang terjadi, ternyata cukup mengerikan.
Lalu terdengar getaran panjang dari ponsel Seulgi. Kening Seulgi mengkerut lantaran nama kontak yang tertera di layar ponselnya adalah nama seseorang yang tak biasa. Byun Baekhyun. Bukan karena Seulgi tidak suka Baekhyun, sebenarnya mereka cukup dekat dan menurutnya, pemuda itu menyenangkan. Tapi dia tidak pernah sekali pun mengobrol secara pribadi dengannya. Mengirim personal chat saja tidak pernah. Dan sekarang, Baekhyun menelponnya. Mengejutkan, bukan?
“Halo,” jawabnya setelah menerima panggilan masuk.
“Seulgi? Kau sedang sibuk tidak?” rupanya Baekhyun tidak ingin buang banyak waktu, langsung bertanya tepat ke inti.
“Tidak. Kenapa?”
“Ada yang ingin aku tunjukkan padamu,” jawab Baekhyun. “Sekaligus memastikan sesuatu. Maksudku, aku ingin tahu apa yang ku duga ini benar.”
“Iya, lalu apa yang ingin kau tunjukkan?”
“Bisakah menemuiku di club Underground daerah Gangnam? Sekarang. Kalau bisa secepat mungkin.”
“Kenapa begitu mendesak? Aku perlu tahu dulu itu apa, jadi bisa ku pertimbangkan memang urgent atau tidak.”
“Ayolah, datang saja. Nanti kau akan tahu dan mengerti. Aku tidak mempermainkanmu, sungguh,” suara Baekhyun terdengar serius. Lagipula sekarang dia sedang berada di dalam mobil Seungwan, tinggal menyuruhnya putar balik.
“Baiklah, tunggu aku,” ucap Seulgi sebelum memutus telponnya. “Mau mengantarku ke club Underground tidak?” tanyanya pada Seungwan.
“Yang di daerah gangnam?” Seungwan bergidik. “Heol, untuk apa ke sana? Tempat itu bukan tipemu,” tambahnya dengan pandangan fokus ke jalan.
“Baekhyun yang memintaku. Tak apa, kita ke sana dulu. Kalau ada hal yang mencurigakan, kita langsung pulang.”
“Baiklah,” Seungwan pun memutar arah mobilnya dan menyetir sesuai dengan tujuan yang Seulgi katakan tadi. Selama perjalanan Seulgi sangat penasaran hingga tidak mood membicarakan apa pun. Seorang Baekhyun yang jarang sekali menghubunginya, mendadak menelpon dan memaksanya datang ke sebuah club malam. Aneh.
Tiba di depan club, dia melihat Baekhyun menunggunya. Dari wajahnya saja, Seulgi berpikir akan ada kabar yang tidak baik.
“Kau menungguku di luar? Maaf ya, agak lama.”
“Tidak masalah,” serta merta Baekhyun menarik tangan Seulgi. “Ikut aku masuk.”
“Eits, katakan dulu ada apa?” Seungwan menahan tangan Seulgi dan menariknya kembali agar Baekhyun tidak bisa membawanya masuk.
“Ini sangat penting. Aku tidak sedang mengerjainya. Aku janji.”
Baik Seulgi maupun Seungwan takjub melihat wajah Baekhyun yang begitu serius—mengingat selama ini pemuda tersebut selalu bertingkah konyol dan banyak tertawa. Sepertinya memang hal yang ingin Baekhyun tunjukkan sangatlah penting hingga orang yang gemar membuat lelucon seperti dia bisa seserius ini.
“Aku tunggu di luar saja deh. Kalau dalam 15 menit Seulgi tak juga keluar, aku akan telpon polisi dan tempat ini akan dikepung,” ancam Seungwan dengan tangan terlipat di dada.
Alis Seulgi terangkat, heran kenapa Seungwan begitu tidak inginnya masuk dan bahkan mengancam akan memanggil polisi. Dia menoleh dan membaca nama tempat ini—hanya club biasa.
“Arasseo, aku bahkan yakin tidak akan selama itu.”
“Memangnya kenapa sampai harus lapor polisi?” tanya Seulgi.
“Benar, kenapa sampai lapor polisi? Kami kan bukan kriminal,” kata Baekhyun.
“Aish, jangan banyak bicara,” Seungwan melotot pada Baekhyun, lalu menatap Seulgi. “Cepat masuk dan kembali. Aku tunggu di sini.”
Baekhyun hanya berdecak kemudian kembali menarik tangan Seulgi masuk. Seulgi pasrah saja saat dibawa melewati lorong yang gelap, lalu sedikit demi sedikit volume musik makin keras. Pertanda dia makin dekat.
Kemudian Seulgi ternganga.
Hal pertama yang menyapanya adalah pemandangan dua pria yang sedang berciuman. Oh, bukan sekedar berciuman. Tapi bercumbu. Itu membuatnya mual. Tidak menyangka ada tempat seperti ini di Seoul dan Baekhyun, temannya, membawanya ke sini.
“Baekhyun-ah….”
“Kau harus berjanji untuk tidak mengatakan ini pada siapa pun,” Baekhyun menoleh pada Seulgi yang tangannya masih dia genggam. “Bahwa aku ada di sini.”
“A-aku… tidak paham,” kata Seulgi jujur.
Baekhyun menghela nafas lalu menariknya masuk lebih ke dalam dan… wow. Seulgi makin ternganga. Ini adalah tempat yang paling mengerikan, menurutnya. Sekarang dia tahu kenapa Seungwan tidak ingin masuk. Ini seperti sarang pria gay.
“Aku tahu, setelah malam ini kau mungkin akan menganggapku menjijikkan. Yeah, aku—maksudku kami adalah gay.”
Jelas pengakuan Baekhyun itu membuatnya kaget. Sangat. Tapi dia juga tidak bisa langsung melepas tangan Baekhyun, mengumpatnya sebagai orang yang menjijikkan dan menjauh untuk selamanya. Tidak, Seulgi tidak bisa melakukan itu karena Baekhyun adalah temannya. Dia sadar setiap orang punya sisi negatif dalam dirinya. Dalam kasus ini, yang dia lihat, ini adalah sisi negatif Baekhyun. Ada cara yang lebih baik untuk bersikap pada teman yang seperti ini. Jauh lebih baik dari pada harus mengumpat dan menjauh. Pasti ada.
“Tidak masalah,” ucapnya lirih, entah Baekhyun dengar atau tidak. “Aku tidak akan bilang pada siapa pun. Tidak ada gunanya juga.”
“Terlepas dari hal itu,” Baekhyun mempererat genggaman tangannya pada Seulgi lagi. “Ada hal yang lebih penting. Ini alasanku mengajakmu ke sini.”
Seulgi mengikuti langkah Baekhyun, melewati banyak sekali pria gay yang bermesraan. Perutnya makin mual. Dia juga merasa geli saat ada seorang pria bertubuh kekar mencolek dagu Baekhyun. Ew. Tak hanya itu, dia mendapat tatapan tidak suka dari semua pria di sana. Jelas saja. Dia kan satu-satunya perempuan.
“Baekhyun-ah, kita harus di sini berapa lama lagi?”
“Kuatkan dirimu.”
Entah apa maksud Baekhyun dengan mengatakan itu, yang dia lihat hanya sekawanan pria duduk di sofa yang terletak agak tertutup dan sepertinya bukan orang-orang biasa yang ada di sana.
Sedetik kemudian, Seulgi mematung.
Ada satu orang yang duduk berkumpul di sofa itu dengan gelas minuman di tangannya. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya seputih susu. Seorang pria lain merangkulnya, entah kenapa tidak terlihat seperti rangkulan seorang kawan. Itu seperti rangkulan sepasang kekasih. Apa ini hanya mirip? Atau memang orang yang sama? Seulgi mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah sosok yang mirip. Tapi kenapa begitu mirip hingga senyumnya pun sama? Senyum yang biasa Seulgi lihat saat pemuda itu memeluknya dan mengucapkan kata cinta.
“Aku tidak ingin menyakiti hati siapa pun, tapi aku juga sangat penasaran bagaimana bisa dia—ah, maksudku, awalnya aku sangat terkejut. Aku ingin pura-pura tidak tahu. Tapi Seulgi, kau adalah gadis yang baik. Aku takut suatu hari nanti kenyataan ini akan menyakitimu. Harapanku, kalian menyelesaikan ini baik-baik,” tutur Baekhyun sambil mengusap pundak Seulgi yang mematung.
“Mungkin hanya mirip, Baekhyun-ah….”
Baekhyun jadi semakin iba saat mendengar suara lemah Seulgi. “Namanya Oh Sehun. Dia kuliah kedokteran.”
“Dia sangat mencintaiku,” air mata Seulgi mulai jatuh.
“Aish, jangan menangis di sini. Ayo kita keluar. Tidak mungkin juga menyapa dan menyeretnya keluar.”
Pandangan Seulgi tak lepas dari sosok Sehun—atau orang yang mirip Sehun itu di sana. Bahkan saat Baekhyun menariknya keluar secara paksa karena dia tak punya daya untuk berjalan, pandangannya masih tak bisa ia alihkan. Dan tepat sebelum dia benar-benar berbalik, dilihatnya Sehun juga menatapnya. Sehun menyadari keberadaannya. Seulgi tidak sempat membaca tatapan apa itu. Haruskah dia merasa patah hati sekarang?
***
Katanya dia punya namjachingu. Well, seorang namja yang punya namjachingu. Dengan berani Baekhyun menegaskan bahwa Sehun juga seorang gay. Pria yang bersama Sehun adalah pemilik tempat itu. Seorang eksekutif muda tampan bernama Kris. Seulgi tidak mau mendengar lebih jauh lagi. Pikirannya berkabut. Yang dia butuhkan adalah sebuah penjelasan. Bukan dari Baekhyun atau siapa pun di dunia ini, melainkan dari Sehun. Hanya dari Sehun. Bagaimana caranya memulai? Haruskah dia menelponnya sekarang? Oh, jangan. Jika pemuda yang di club tadi bukan Sehun, pastilah kekasihnya sedang tidur lelap sekarang. Tapi kalau ternyata memang benar berarti… semuanya jadi cocok. Alasan mengapa belakangan ini Sehun sering begadang semalaman dan tidur pagi. Lalu kawan yang dia lihat di sekitar rumah orang tuanya malam itu…. Sial. Kenapa semuanya jadi cocok?
***
Pukul 6 pagi bel pintunya berbunyi. Dia enggan membukanya, bukan lantaran masih mengantuk dan malas berjalan. Tidak. Seulgi bahkan belum memejamkan matanya. Dia terjaga semalaman, memikirkan hal bodoh tentang Sehun dan kenyataan. Lama dia hanya duduk menekuk lutut dan memeluk kakinya, mendengarkan bunyi bel yang terus meraba pendengarannya. Terus seperti itu hingga 30 menit lamanya, barulah dia putuskan untuk beranjak ke pintu dan membukanya. Ada Sehun berdiri dengan seikat bunga cantik di tangannya. Senyum tercetak di wajahnya yang terlihat lelah—atau mengantuk, tapi Seulgi benci senyum yang seperti ini. Sama sekali bukan senyum yang biasa Sehun berikan untuknya, melainkan senyum palsu untuk menutupi rasa cemas dan takut.
“Kau sudah bangun? Selamat pagi,” Sehun memberikan bunga di tangannya pada Seulgi. “Aku merindukanmu.”
Ingin rasanya Seulgi berteriak agar Sehun menghentikannya. Dia bersumpah bahkan bau alkoholnya begitu menyengat. Yang dia lakukan hanya berdiri menatap Sehun. Ada rasa kecewa, sakit, iba, dan tidak rela.
“Aku melihatmu semalam,” bahkan sebelum dia sempat mengontrol lisannya untuk berkata, dia mengucapkannya.
“Semalam? Di mimpimu?”
Apa maksud dari semua ini? Sehun makin terlihat mengecewakan. Seulgi ingin mengeluarkan berbagai kalimat umpatan tapi dia sadar, dalam hatinya masih ada cinta yang begitu besar untuk Sehun.
“Sehun, aku melihatmu bersama sekolompok pria gay dan salah satunya bertingkah seolah dia adalah kekasihmu,” Seulgi menegaskan ucapannya.
“Sayang, itu bukan aku.”
“Aku bahkan mencium bau alkohol dengan jelas, Sehun-ah.”
“Percayalah padaku. Sungguh, aku mencintaimu. Yang kau lihat itu bukan aku.”
Padahal semalam Seulgi berusaha memerangi logikanya sendiri untuk mempercayai bahwa itu bukan Sehun. Entah kenapa sekarang, setelah mendengar pembelaan Sehun, kepercayaannya makin runtuh. Semua ucapan Sehun jadi terdengar sebagai kebohongan. Bagaimana bisa dia percaya?
“Pulanglah dan istirahat. Kita akan bicarakan ini nanti.”
Tanpa menunggu jawaban dari Sehun, dia menutup pintunya. Tidak ada suara pembelaan lagi, tidak ada suara ketukan pintu atau bel yang ditekan. Seulgi bersandar ke pintu, membiarkan tubuhnya merosot hingga duduk dengan kaki ditekuk. Dia memeluk kakinya lagi, menangis tanpa suara hingga dadanya terasa begitu sesak. Sekarang dia paham bagaimana rasanya berada di posisi Sehun saat tahu ada pria lain di antara mereka. Tapi dia bingung sekarang. Bolehkah dia merasa kecewa? Yang menjadi orang ketiga bukanlah seorang perempuan, tapi laki-laki….
***
Menangis seharian hingga tertidur. Seulgi terbangun saat merasakan getaran panjang tanpa henti dari ponselnya. Rupanya Seungwan menelpon dari tadi, mungkin khawatir karena seharian Seulgi tidak keluar seharian. Dia pasti tahu semua ceritanya dari Baekhyun.
“Kau sudah makan? Rasanya sejuta kali aku menekan belmu. Seulgi-ah, kau tidak boleh sendirian di saat seperti ini.”
“Aku ada urusan, telpon lagi nanti.”
Langsung ia putuskan telpon dengan Seungwan untuk menelpon Baekhyun. Mendadak muncul ide gila di otaknya. Tapi dia merasa harus melakukan ini.
“Seulgi-ah, aku minta maaf jika keadaannya jadi buruk,” terdengar suara menyesal Baekhyun saat panggilan Seulgi diangkat.
“Antar aku ke tempat itu lagi. Oh, tidak. Bawa aku menemui pria tinggi itu. Yang bersama Sehun. Siapa namanya?”
“Kris? Astaga, untuk apa?” tanya Baekhyun, terdengar begitu kaget.
“Aku harus melakukan ini, Baekhyun-ah. Biar bagaimana pun, Sehun itu milikku. Kalau kau tidak mau membawaku ke sana, aku pergi sendirian.”
“Jangan!” potong Baekhyun cepat. “Oke, aku dalam perjalanan menjemputmu. Jangan pernah ke sana sendirian.”
Panggilan terputus. Seulgi menggigit bibirnya menahan tangis. Rasanya lelah sekali menangis seharian. Dia langkahkan kakinya keluar untuk menemui Baekhyun.
***
Mau tidak mau, dia harus menerima kenyataan bahwa itu adalah Sehun. Jika yang mengalami ini adalah gadis lain, mungkin masalahnya akan langsung selesai dengan putus. Tapi Seulgi tidak bisa. Bahkan untuk marah pada Sehun, dia merasa tak pantas. Dia simpulkan bahwa ini adalah hukuman untuknya karena telah membiarkan hatinya terisi oleh cinta dari pemuda lain. Ini memang sulit dilakukan, tapi Sehun telah melewati ini sebelumnya. Seulgi makin merasa bersalah karena tahu bahwa saat itu, Sehun merasakan sakit ini. Siapa yang lebih kejam? Bagi Seulgi jelas, dirinya sendiri.
Kini kakinya melangkah mantap mendekati sofa yang ia lihat semalam. Tidak ada gerombolan pria, tidak ada Sehun. Hanya sosok Kris—pria yang ia lihat merangkul Sehun semalam. Seulgi akan meminta pemuda itu meninggalkan Sehun. Ya, hanya dia yang boleh memiliki Sehun.
“Kris-sshi,” sapanya saat telah berdiri di hadapan pria bertubuh tinggi itu. Mata Kris melirik ke atas—tepatnya ke wajah Seulgi yang berdiri—karena dirinya sedang duduk. Baekhyun menunggu Seulgi dengan jarak yang tak lebih dari setengah meter, membiarkan mereka bicara berdua saja.
“Aku juga melihat gadis ini semalam,” gumamnya, tanpa berniat membalas sapaan Seulgi.
“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
Wajah Kris terangkat sepenuhnya, tapi tidak mempersilakan Seulgi untuk duduk. Sekarang Seulgi bisa melihat betapa angkuhnya pria ini.
“Ya, silakan.”
“Aku tidak ingin berbelit-belit,” ucap Seulgi. “Pemuda yang kau akui sebagai kekasihmu itu adalah kekasihku. Dan kami bahkan berencana menikah,” ekspresi Kris sulit dibaca karena begitu datar dan terus menatap Seulgi, membuat gadis itu tak bisa menahan emosi. Bukan mengeluarkan kalimat amarah, melainkan menangis. “Aku sangat mencintainya dan dia juga sangat mencintaiku. Bisakah kau mengerti bagaimana perasaanku saat melihatmu bersamanya? Mungkin kau… mungkin kau juga mencintainya. Tapi aku yang memiliki dia lebih dulu. Bisakah kau… melepaskannya? Dia adalah Sehunku.” Kris memalingkan tatapannya, masih dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Air mata Seulgi makin deras, tapi dia berusaha untuk tidak terisak. “Kenapa kau diam saja, Kris-sshi? Aku hanya ingin Sehunku kembali. Jangan temui dia lagi.”
“Aku hanya mempercayai Sehun,” ucap Kris, akhirnya. “Kau boleh menganggapnya sebagai kekasihmu. Tapi sebelum Sehun menjelaskannya sendiri padaku, dia masih tetap Sehun’ku’. Aku tidak ingin berbicara denganmu lagi, jadi pergilah,” Kris bangkit dari sofa. “Oh ya, satu lagi. Aku sudah memiliki Sehun sejak lama. Hanya karena dia kebingungan, kami terpaksa berpisah. Jadi kalau kau bilang memilikinya lebih dulu, itu salah,” lalu meninggalkan Seulgi yang tak bisa bergerak karena kalimat tadi.
Apa yang baru saja Kris katakan? Seulgi tak habis pikir bagaimana bisa ada perasaan seperti itu antar pria. Apa karena dia seorang wanita, jadi tidak bisa memahaminya? Tapi yang dia tahu, antara Kris dan Sehun itu bukanlah hal yang pantas. Kodrat seorang laki-laki adalah bersama perempuan. Bukankah harusnya dia yang menang? Kenapa ucapan Kris malah membuatnya tak bisa berkutik? Tidak, Sehun adalah miliknya, apa pun yang terjadi. Dan dia tidak akan menyerah untuk mempertahankan miliknya.
***
Seulgi pulang dari club dengan diantar oleh Baekhyun. Kalau bukan karena Baekhyun menggandengnya, mungkin dia akan berdiri di sana semalam seperti sebongkah batu.
“Maaf, Seulgi. Aku membuat semuanya jadi buruk.”
“Tidak apa-apa. Maaf merepotkanmu dan… terima kasih banyak.”
“Aku akan mengantarmu ke atas,” Baekhyun hendak turun dari mobilnya, tapi Seulgi mencegahnya.
“Tidak perlu. Pulanglah,” Seulgi turun dari mobil Baekhyun kemudian berjalan masuk tanpa berbalik sedikit pun. Baekhyun hanya menatap punggungnya dengan rasa iba.
Pandangan Seulgi terasa kosong saat melangkah menuju lift, naik, hingga tiba di lantai tempat tinggalnya. Kakinya bahkan terasa tidak berpijak dengan benar. Mungkin dia akan langsung tertidur, kali ini dalam waktu yang lama. Berharap yang terjadi belakangan ini hanyalah mimpi buruk. Dia sudah hampir mencapai pintu apartemennya, dan dari jarak itu bisa melihat dengan jelas ada seseorang yang berdiri di sana. Oh Sehun.
Betapa dia ingin memeluk Sehun seperti biasanya, mendengar kata cinta yang tulus di telinganya. Tapi rasanya tidak akan pernah lagi.
“Masuklah,” ucap Seulgi saat membukakan pintu dan masuk terlebih dahulu. Sehun mengikutinya dengan wajah tertunduk. Setibanya di dalam dan duduk bersama Seulgi pun dia masih menundukkan wajahnya. “Bicaralah.”
“Seulgi-ah, maafkan aku.”
Sehun tidak tahu bahwa ucapan maafnya justru membuat sakit di hati Seulgi menjadi-jadi. Air matanya berjatuhan, tapi Seulgi tidak menyuarakan tangisnya. Dia diam dan menghindari tatapan Sehun dengan bersandar, mendongakkan wajahnya ke langit-langit.
“Aku mau mengakuinya padamu. Itu memang aku.”
Masih diam, karena ribuan rasa sakit yang menghujam. Seulgi mendengarkan dengan baik semua ucapan Sehun.
“Sebenarnya sebelum mengenalmu, aku adalah salah satu dari orang-orang itu. Aku sadar itu salah dan berniat untuk berhenti. Aku ingin menjadi normal kembali,” pengakuan Sehun membuat Seulgi menggigit bibirnya kuat. Isakannya nyaris lolos. “Lalu aku bertemu denganmu. Kau adalah gadis yang baik, aku langsung menyukaimu. Aku paham betul keraguanmu saat menerima cintaku. Memang terlalu cepat. Tapi aku benar-benar ingin menjadi normal. Dan aku yakin kau bisa membantuku,” demi apa pun, pengakuan ini membuat dadanya makin sesak. “Ternyata aku benar-benar bahagia bersamamu. Aku bersyukur saat itu langsung menjadikanmu milikku. Semakin hari, aku semakin mencintaimu. Percayalah, Seulgi, hingga saat ini cintaku padamu terus bertambah besar. Lalu Kris datang kembali saat aku merasa kesepian karena kau tak ada….”
“Apa kau melakukannya untuk membalasku?” sela Seulgi secara tiba-tiba.
“Tidak, Seulgi. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu, sungguh. Aku sadar itu salah. Aku merasa tidak pantas untuk minta maaf padamu.”
“Jangan minta maaf, Sehun-ah. Bukankah aku juga pernah mengkhianatimu? Bahkan aku lebih buruk.”
“Seulgi-ah, jangan begini….”
“Kita lupakan saja, Sehun. Seperti saat aku melakukan kesalahan beberapa waktu lalu. Bisa kan? Aku juga tidak bisa melepaskanmu.”
Sehun diam. Matanya menatap Seulgi penuh rasa bersalah.
“Aku akan meninggalkan Kris. Tapi aku juga merasa tidak pantas untuk kembali padamu.”
“Apa kau mau mengatakan bahwa kita juga harus berakhir?” Seulgi langsung duduk tegak dan menatap Sehun.
“Aku tidak tahu.”
“Sehun, aku tidak siap ditinggalkan olehmu.”
“Bisakah… beri aku waktu untuk berpikir? Bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, Seulgi. Aku takut nantinya akan menyakitimu lagi.”
Apa-apaan ini? Permintaan Sehun ini seolah menjadi ambang berakhirnya hubungan mereka. Seulgi tidak ingin itu terjadi. Ayolah, dia sudah pernah merasa kebingungan tentang perasaannya pada Sehun, lalu dengan mantap dia putuskan untuk meninggalkan Jongin karena menurutnya, takdirnya adalah bersama Sehun. Lalu apa yang terjadi sekarang? Dia digantung?
“Sehun-ah, aku menangis bukan karena merasa dikhianati. Aku hanya kecewa karena kau sempat berbohong padaku. Jika kau memang ini mempertimbangkannya dulu, aku bersedia menunggu. Tapi aku sangat berharap penantianku itu tidak akan sia-sia.”
“Maafkan aku, Seulgi.”
“Pergilah. Lakukan apa pun yang kau butuhkan dan cepat kembali,” bukan maksud Seulgi menyuruh Sehun untuk segera pergi. Dia hanya tidak sanggup mendengar kata maaf dari Sehun.
Dan Sehun bangkit, benar-benar pergi dari apartemen Seulgi. Entah kenapa Seulgi merasa itu adalah akhir dari segalanya. Dia merasa telah kehilangan Sehun yang ia cintai. Badannya ia baringkan, meringkuk seperti orang yang kedinginan. Betapa dia berharap Sehun tidak benar-benar pergi dan tinggal disini untuk memeluknya, membuatnya merasa lebih baik. Nyatanya seakarang yang tersisa di sana hanya dirinya dengan suara jarum jam. Menangis pun rasanya sudah lelah. Tak ada guna. Semuanya tidak bisa kembali lagi.
DING DONG
Shit! Kenapa ada suara bel lagi? Tidak bisakah dia hanya sendirian malam ini? Walau begitu menyedihkan karena meratapi nasibnya sendirian, setidaknya dia tidak perlu memperlihatkan wajah kehancurannya pada orang. Tapi… tapi bisa saja itu Sehun kan? Bisa saja Sehun berubah pikiran dan memilih kembali untuknya, lalu semuanya bisa kembali membaik.
“Sehun!”
Dia langsung bangun dan berlari ke pintu. Tak perlu banyak pikir, pintu itu langsung dia buka. Sayangnya, itu bukanlah Sehun. Sayang sekali.
“Seulgi, kau tidak apa-apa?”
Itu Kim Jongin.
***TBC***
Author note : Lagi-lagi, saya ingin bertanya.
“Jika kalian menjadi Seulgi, apakah kalian akan ilfeel ke Sehun? Dan apakah kalian menyesal karena telah meninggalkan Jongin untuk setia pada Sehun?”
Selamat menjawab, dan sampai jumpa di chapter selanjutnya^~^)/