Author : Iefabings
Main Cast :
- EXO’s Kai as Kim Jongin
- Red Velvet’s Seulgi as Kang Seulgi
- EXO’s Sehun as Oh Sehun
Supporting Cast :
- Red Velvet Yeri as Kim Yerin
- Kim Yoonhye
- Red Velvet’s Wendy as Son Seungwan
Genre : Romance, hurt, college life, friendship
Rating : PG-13
Length : Multi chapter, currently 16
Previous Chapter : The Circle | He’s My Boyfriend | I Hate You | A Weird Dream | Apology | What If | She’s My Girlfriend | Stupid, Dumb, Idiot | Truth Or Dare | Call You Mine | I Feel Warm | Favorite Mistake | We’re Friends, Right? | Love Letter | Unfortunately |
^^Selamat Membaca^^
Kebetulan sekali. Saat dia baru turun dari mobilnya dan hendak naik ke lantai atas untuk menemui Seulgi, dilihatnya Sehun keluar dari gedung itu. Kali ini dia tidak takut lagi jika kedapatan menemui Seulgi di apartemennya. Bahkan sudah tak perlu lagi menyembunyikan perasaannya—yang masih ada—pada Seulgi. Semuanya sudah ia ketahui dari Baekhyun. Tentang Sehun, juga tentang kekecewaan Seulgi. Dia mengepalkan tangannya dan menghampiri Sehun yang berjalan gontai. Lalu tanpa basa basi, dia menyapanya dengan satu pukulan tepat di tulang hidungnya.
BUG
“Brengsek!”
BUG
Satu pukulan lagi di pipi kiri Sehun.
“Pengecut!”
BUG
Satu lagi di sudut bibirnya. Sehun tak sempat melawan, bahkan harus mengerjapkan mata berkali-kali saat dia tersungkur di tanah untuk tahu siapa yang memukulnya. Dia terbatuk, tampak darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Jongin menatapnya dengan nafas memburu, tangannya masih mengepal.
“Apa yang kau lakukan pada Seulgi, hah?” ditariknya kerah pakaian Sehun agar dia berdiri kembali. “Aku telah merelakan dia untukmu karena aku pikir, kau bisa lebih membahagiakannya! Aku mengira kau adalah yang terbaik untuknya! Kenapa kau malah menyakitinya seperti ini? Brengsek!” Jongin memukul Sehun lagi hingga terjatuh untuk kedua kalinya.
Sehun hanya diam dan menunduk. Itu semakin membuat Jongin murka dan ingin memukulinya lagi. Tapi yang terjadi, dia hanya mengusap wajahnya kasar. Helaan nafasnya pun terdengar kasar.
“Maaf…” akhirnya Sehun membuka suara.
“Apa kau sengaja melakukan ini untuk balas dendam padanya? Kau tidak pantas disebut lelaki!”
“Tidak pernah!” sela Sehun, kini mendongak menatap Jongin. “Tidak pernah sekali pun aku merasa dendam atau berniat membalasnya.”
“LALU KENAPA KAU MENYAKITI SEULGI?”
“AKU MERASA BERSALAH!” suara Sehun ikut meninggi. “Aku tahu ini kesalahan besar. Dia begitu baik… terlalu baik… tapi aku malah mengecewakannya,” ucapnya lirih.
Jongin menatap Sehun tak percaya. “Aku tidak paham bagaimana kalian bisa bersama,” dia berbalik untuk masuk, tapi kembali lagi. “Jika nanti aku melihatnya menangis, aku pastikan kau akan menyesal seumur hidupmu!” dan setelah itu Jongin benar-benar masuk dengan tergesa.
Tidak ingin membuang banyak waktu, bahkan untuk menunggu pintu lift terbuka sekali pun. Dia mengumpat karena benda metal itu tak juga bergeser. Ditekannya tombol buka berkali-kali, tetap tidak terbuka. Lalu Jongin berteriak dan menendangi pintu lift sebelum berlari ke arah tangga. Nama Seulgi terus ia suarakan dengan lirih walau nafasnya terengah karena berlari. Seulgi yang ia cintai mungkin sedang menangis sekarang. Sangat ia yakini itu. Dia saja, seorang lelaki bisa menangis karena ditinggalkan oleh Seulgi. Apalagi Seulgi yang begitu rapuh dan gampang menangis, dia pasti tidak mampu bertahan menghadapi kenyataan ini.
Apakah dia merasa menang? Tidak. Apa dia merasa senang karena ternyata Sehun lebih buruk darinya? Tidak. Atau mungkinkah dia merasa puas karena pasti Seulgi akan menyesal karena lebih memilih Sehun? Jawabannya tidak. Faktanya, justru dialah yang merasa menyesal. Dia menyesal karena tidak mengambil langkah berani untuk merebut Seulgi. Seharusnya malam itu dia menahan Seulgi untuk tidak pergi dengan Sehun, memintanya tetap bersamanya, atau kalau perlu membawa gadis itu pergi jauh sejauh-jauhnya dari Sehun. Kali ini dia akan lakukan. Persetan dengan yang namanya kelancangan. Sehun sama sekali tidak pantas untuk Seulginya. Dia tidak akan biarkan Seulgi bersama Sehun lagi.
Ditekannya bel apartemen Seulgi, cukup panjang agar terkesan memaksa. Ya, dia akan memaksa Seulgi keluar. Rupanya memang tak sia-sia. Seulgi membuka pintunya tak lama kemudian.
“Seulgi, kau tidak apa-apa?” Jongin langsung memburunya dengan pertanyaan bernada khawatir. Dilihatnya mata Seulgi yang masih sembab oleh air mata, juga kelopaknya yang kelihatan bengkak. Betapa dia ingin memeluk Seulgi saat itu juga.
“Hai, Jongin,” tapi dia memaksakan senyumnya. Jongin tahu sapaan ramah dan senyum itu adalah tindakan paksa yang ia coba tampakkan pada orang lain. “Ada apa?”
“Aku ingin tahu apa kau baik-baik saja….”
“Memangnya aku kenapa?” dia bahkan berpura-pura bertanya dengan wajah polos. Dia pikir mungkin Jongin tidak akan menyadari itu. Jongin mendesahkan nafas panjang.
“Seulgi, aku sudah tahu semuanya.”
“Tahu apa? Aku seharian ini tidak kemana-mana dan tidak melakukan apapun.”
“Baekhyun sudah menceritakannya padaku!” bentak Jongin, lelah melihat kepura-puraan Seulgi yang membuatnya merasa begitu tidak penting di mata gadis itu. “Kau tidak perlu berpura-pura di hadapanku. Kalau kau merasa sakit, tunjukkanlah!”
“Apa sekarang kau ingin menertawakanku?” senyum di wajah Seulgi sudah menghilang dan suaranya terdengar datar.
“Seulgi, aku datang ke sini karena peduli padamu. Aku ingin membuatmu merasa lebih baik. Tidak bisakah kau buang dugaan negatifmu itu?”
“Aku tidak ingin terlihat lemah, Jongin-ah. Orang-orang bisa berpikir aku tidak tahu diri karena sebelumnya, Sehun sudah pernah memaafkan pengkhianatanku.”
“Demi Tuhan kenapa kau masih saja mengingat soal itu, Kang Seulgi?!”
“Dia memaafkanku walau begitu kecewa karena aku mengkhianatinya. Jadi aku pun harus memaafkannya. Dia meminta waktu untuk berpikir hanya karena sedang bingung. Aku yakin, Sehun akan kembali seperti dulu.”
Jongin tak percaya dengan apa yang ia dapatkan setelah berlari menyusuri tangga hingga lantai 6, terengah hanya untuk memastikan Seulgi baik-baik saja. Sia-sia saja, dirinya tetap tak bernilai apa-apa. Seulgi masih menganggap Sehun adalah segalanya.
“Tidak bisakah kau menerimaku? Sekali pun hanya menerima bantuanku tanpa menerimaku kembali, setidaknya bersedia membagi kesedihanmu denganku. Biarkan aku memelukmu, mendengarkan keluh kesahmu, membuatmu merasa lebih baik. Sebentar saja, Seulgi. Sekali saja. Tidak bisakah?”
“Jongin,” sebutir air mata lolos dari mata Seulgi. “Kau sudah memiliki Yoonhye di sisimu. Bahagiakanlah dia demi aku. Dengan begitu aku akan merasa lebih baik. Jangan kecewakan Yoonhye seperti aku yang telah mengecewakan Sehun, juga seperti kau yang mengecewakan Soojung. Jangan lakukan kesalahan itu lagi. Berjanjilah. Kau bisa mengerti, kan?”
Helaan nafas panjang, lagi. Apa boleh buat. Memang Seulgi sudah tidak bisa ia bawa kembali. Membawanya pergi dari Sehun pun tidak bisa.
“Baiklah, kau yang menginginkannya,” Jongin mengangguk-angguk, melesakkan kedua tangan ke saku jaketnya. “Aku akan membuang semua tentangmu, mencoba untuk mencintai Yoonhye dan membahagiakannya. Begitu?”
Seulgi mengangguk. “Ya, begitu.”
“Baiklah, aku pergi,” Jongin mulai melangkah pergi. Dia menoleh pada Seulgi berkali-kali, tapi Seulgi tak sedikit pun menatapnya. “Aku pikir bisa memelukmu walau hanya malam ini. Sangat ingin membuatmu merasa baikan. Tapi… yah… aku pulang.”
Dan Jongin tidak berbalik lagi. Sepertinya tidak akan pernah. Sudah pasti sepulang dari tempat ini nanti dia akan menghabiskan banyak alkohol.
***
“Hati-hati,” Seulgi baru bisa mengatakan itu—dengan suara kelewat lirih—saat sosok Jongin sudah lenyap dari pandangannya. “Mine.”
Sebenarnya jika dia boleh egois, dengan senang hati akan berlari ke pelukan Jongin dan melupakan semua tentang Sehun. Jika saja dia tidak tahu malu, pastilah dia bersedia memulai kembali semua bersama Jongin. Tapi Seulgi merasa tak pantas. Dia telah menyakiti hati dua orang dan menurutnya, dia pantas mendapat hukuman seperti ini. Atau malah hukuman ini belum cukup untuk menebus kesalahannya. Dia hanya perlu menunggu Sehun kembali, bukan? Dia yakin tak lama lagi semua akan baik-baik saja.
***
Satu hari. Dua hari. Tiga hari.
Hingga seminggu lamanya Seulgi menunggu Sehun. Belum ada kabar sedikit pun yang ia dapatkan. Digunakannya waktu luang itu untuk mengajari Yeri dengan maksimal. Durasi belajar ia tingkatkan. Cukup senang saat tahu Yeri juga memiliki semangat yang besar. Saat bersama Yeri pula dia bisa sejenak melepas rasa sesaknya tentang cinta.
“Unnie.”
“Ya?” Seulgi mengalihkan mata dari novelnya. Saat ini Yeri sedang mengerjakan puluhan soal yang ia buat untuk latihan.
“Apa unnie punya pacar?”
“Yaaa masih kecil sudah tahu soal pacaran,” sahutnya sambil tertawa pelan.
“Aku sudah mau lulus SMA, unnie,” protes Yeri tidak terima.
“Tapi kau harus fokus belajar, jangan memikirkan itu.”
“Aku kan hanya tanya unnie. Bukan berarti aku punya pacar,” decak Yeri sebelum kembali menulis jawaban.
“Menurutmu, unnie punya atau tidak?” tanya Seulgi balik.
“Pasti punya. Unnie kan cantik, pintar, baik pula.”
“Hm…. Sebenarnya itu tidak menjamin bisa punya pacar.”
“Kalau benar unnie tidak punya, pacaran dengan oppaku saja. Kasihan dia sudah lama melajang.”
“Ssssh, kenapa malah mengejek oppamu sendiri, eoh?” Seulgi menusuk pipi Yeri dengan ujung pensil.
“Memang benar kok. Dia sudah melajang lama sampai lumutan begitu. Kata teman-temanku dia sangat tampan. Tapi apa gunanya tampan kalau pacar saja tidak punya? Ck, memalukan.”
Tingkah Yeri yang sok tua itu membuat Seulgi tertawa lepas. “Sudah, sudah. Tidak baik membicarakan oppamu. Lebih baik kerjakan soal yang unnie berikan sampai selesai dan harus benar semua.”
“Ndeeee,” sahut Yeri.
Seulgi kembali membuka novelnya, lanjut membaca. Baru beberapa baris ia baca, ponselnya bergetar panjang. Sebuah panggilan dari Seungwan dan dia langsung mengangkatnya.
“Kau ada dimana?”
“Sedang mengajar di rumah anak itu,” jawabnya seraya menutup novel.
“Kenapa lama sekali? Kau mengajar berapa jam sih?” dia mendengar Seungwan berdecak heran.
“Selagi banyak waktu luang, aku maksimalkan untuk membuat Yeri makin mengerti pelajarannya.”
“Arasseo, tapi sekarang kita mau ke bar. Aku jemput ya, mengajarnya bisa besok lagi, kan?”
“Kita?”
“Iya, The Circle.”
“Ooh,” diliriknya Yeri sekilas. “Baiklah, jemput saja. Aku akan pamit pulang,” ucapnya sebelum memutus panggilan.
“Unnie sudah mau pulang?” tanya Yeri setelah Seulgi selesai menelpon.
“Harus pulang,” dia tersenyum lebar. “Selesaikan soal latihannya ya. Besok akan unnie periksa.”
“Yah, unnie selalu pulang sebelum oppaku pulang. Lain kali kalian harus bertemu pokoknya!”
“Iya, pasti ketemu kok nanti. Unnie pulang dulu ya,” pamit Seulgi lalu menyandang tasnya.
Dia keluar dari kamar Yeri, turun untuk berpamitan pada ayah dan ibunya.
***
“Selamat datang Seungwan dan Seulgi!” sapa Yuri dengan ceria dan langsung menarik mereka untuk duduk. Sepertinya mereka berdua adalah yang terakhir datang. Banyak sekali minuman di atas meja, tapi Seulgi tidak melihat satu pun yang layak minum. Dia menatap Yuri penuh harap. “Ah… aku mengerti. Jongdae, bisa ambilkan soda-sodanya?” ujar Yuri yang langsung mengerti maksud Seulgi.
“Minumlah sepuasnya. Malam ini aku yang traktir,” Siwon mengangkat gelasnya dan menenggak minuman sampai habis. “Terima kasih atas kerja samanya sejauh ini. Mari kita buat event yang lebih hebat di periode selanjutnya!”
Mereka bersulang satu kali lalu minum secara serentak, termasuk Seulgi yang menghabiskan separuh dari sodanya. Tanpa sengaja dia melirik Jongin, tingkahnya sedikit aneh. Jika yang lain hanya minum secukupnya, Jongin menenggak langsung sampai habis.
“Yaa, pelan-pelan minumnya,” celetuk Minseok saat melihat cara minum Jongin.
“Dia minum seperti akan menelan habis botolnya juga,” sambung Baekhyun, tertawa kecil.
Seulgi berusaha keras untuk tidak tampak terlalu mencemaskan Jongin. Beberapa kali ia alihkan perhatiannya ke yang lainnya. Mengobrol dengan Joohyun dan Seungwan misalnya. Tapi sekeras apa pun ia berusaha, ekor matanya terus melirik ke arah Jongin. Tingkah lakunya makin aneh.
PRANG
Bahkan satu gelas baru saja pecah, membuat perhatian semuanya teralih pada Jongin.
“Yaa kau benar-benar mabuk,” Minseok berusaha menarik botol yang masih terisi separuh dari tangan Jongin, tapi ditepisnya.
“Aku bilang, aku baik-baik saja!” sanggah Jongin dengan suara khas orang mabuk. Dia kembali minum banyak walau keadaannya sudah tidak kelihatan baik.
“Ck, ck, dia sudah kelihatan aneh sejak datang tadi,” cibir Baekhyun seraya menunjuk Jongin dengan gelasnya.
“Aneh bagaimana?” beruntung Seungwan memiliki inisiatif untuk bertanya, jadi Seulgi tidak perlu bertanya.
“Wajahnya pucat, tidak fokus, bisa dikatakan raganya memang di sini, tapi jiwanya berada di tempat lain,” jelas Baekhyun dengan gaya dramatis.
Seulgi menatap Jongin, kali ini lebih berani karena semuanya fokus ke arahnya. Para senior mereka pun semakin mencemaskan pemuda itu. Seorang pelayan datang untuk membersihkan pecahan gelas akibat kelakuan Jongin.
“Sebaiknya dia pulang saja. Minseok atau Myungsoo, siapa saja antarkan dia pulang,” perintah Siwon.
“Ayo pulang, Jongin-ah. Aku antar,” dengan dibantu oleh Myungsoo, Minseok mencoba memapah Jongin keluar. Tapi Jongin memberontak dengan marah.
“Sudah ku bilang tidak apa-apa! Kenapa kalian memperlakukanku seperti orang yang sakit, huh? Lihat! Aku dalam keadaan yang sangat baik!” Jongin menepuk-nepuk dadanya marah.
“Kau tidak sehat, ayo pulang,” paksa Myungsoo, kembali menarik Jongin seperti tadi.
“Lepaskan aku!” semakin murka, Jongin mendorong mereka semua. Terlihat jelas sekali dia sedang mabuk berat. “Kalian tidak usah sok tahu! Memangnya dengan memperlakukanku seperti ini keadaanku akan jadi lebih baik?” lalu dia melangkah lebih dekat ke meja, tepat ke hadapan Seulgi. “Kau,” dia menunjuk Seulgi—yang terkaget hingga sepertinya mulai pucat. “Apa sekarang kau bisa tenang-tenang saja melihatku? Ah… aku tidak tahu hatimu terbuat dari apa. Kau bisa menjadi malaikat dan iblis dalam waktu bersamaan.”
“Apa yang kau bicarakan, Jongin-ah? Kau sedang mabuk berat, ayo pulang,” Minseok berusaha menengahi dengan menarik paksa Jongin. Tapi lagi-lagi, kekuatannya kalah oleh perlawanan Jongin. Sementara Seulgi hanya bisa diam dengan jemari yang gemetaran.
“Semuanya, Seulgi. Yang ku katakan padamu semuanya nyata. Bahwa aku mencintaimu, itu nyata. Bahwa aku bersedia menunggu selamanya, itu juga nyata. Aku bahkan bisa mengatakan hingga saat ini, perasaan itu masih. Saat kau masih bersamaku dulu, itu indah. Walau berisisian dengan rasa sakit karena harus selalu mengalah dari Sehun, bagiku sangat indah. Aku menguatkan diriku untuk bertahan untukmu sejauh ini, semua ku lakukan untukmu. Lalu apa yang ku dapatkan?”
“Jongin, sudah… kita pulang,” Minseok mencoba menarik Jongin lagi. Walau tidak begitu paham dengan masalah mereka, dari sebagian kata yang Jongin ucapkan dia sedikit paham bahwa itu tidak pantas untuk didengar oleh semuanya.
“Lepaskan!” Jongin mendorong Minseok lagi, kali ini lebih kuat. Pandangannya kembali pada Seulgi. “Kau tahu kenapa aku melarangmu mengaku pada Sehun? Harusnya kau—yang katanya mahasiswi terbaik di angkatanmu—bisa mengerti alasannya. Dunia pun pasti tahu bahwa Sehun tidak akan melepaskanmu apa pun yang terjadi. Kau pikir jika mengaku padanya semua akan baik-baik saja? Iya, bagi kalian. Tapi bagiku tidak. Aku benar-benar ditinggalkan. Sehun berusaha mati-matian untuk menjauhkanmu dariku selamanya. Apa aku menyerah akan perasaanku? Tidak. Aku malah mencari celah sekecil apa pun untuk bisa membawamu kembali. Itu seperti memulai dari awal. Mendekatimu sebagai teman, astaga, apa yang telah ku lakukan? Aku begitu percaya diri bisa membawamu kembali. Nyatanya tidak bisa. Harusnya aku sadar sejak awal itu tidak akan bisa,” sambil tertawa miris Jongin menggelengkan kepalanya. Mata Seulgi mulai berkaca-kaca. Dia memang merasa sakit atas semua yang Jongin katakan. Tapi dia juga tidak punya apa pun untuk dijadikan perlawanan. Itu semua memang salahnya. Sementara teman-teman mereka yang lainnya hanya diam. “Kau malah menyuruhku untuk mencintai orang lain, Seulgi. Padahal kau tahu tidak akan bisa. Tenagaku habis hanya untuk mencintaimu. Oh, tidak hanya untuk mencintaimu. Tenagaku juga habis karena harus menunggu, menahan sakit, dan memperjuangkan sesuatu sendirian. Aku berani mengambil resiko untuk mengejarmu, karena aku pikir kau juga akan mengambil resiko untuk bersamaku. Aku pikir kau mau berjuang bersamaku. Nyatanya tidak…” tawa miris Jongin kembali terdengar, bahkan kini sepertinya dia menangis. “Aku berjuang sendirian. Aku memperjuangkan seseorang yang sebenarnya tidak mau aku perjuangkan. Bodohnya, baru aku sadari saat perasaanku padamu semakin dalam.”
“Jongin, maafkan aku,” Seulgi berdiri. Walau merasa malu karena kini semua teman mereka tahu tentang dirinya dan Jongin, dia memberanikan diri untuk meminta maaf.
“Serius sekarang kau meminta maaf? Setelah semua yang kau lakukan?” tanya Jongin seperti tak percaya, lalu tertawa lagi. “Mudah ya, menurutmu semua bisa baik-baik hanya dengan minta maaf. Kau dan Sehunmu itu sama saja. Sayang sekali, aku tidak seperti dirimu dan aku bukan Sehun.”
“Ku mohon, jangan seperti ini,” Seulgi mencoba meraih tangan Jongin untuk menenangkannya. Dia semakin tidak enak karena semua teman-teman mereka menatapnya.
“Apa kau mencoba untuk kembali lagi padaku? Sudah terlambat, Seulgi. Aku sudah menghapus perasaanku padamu. Dan semua kenangan yang berhubungan dengan dirimu berubah menjadi kenangan yang menyakitkan. Aku sudah tidak mencintaimu lagi!”
“Yaa apa yang kalian lakukan? Apa ini adalah tontonan yang menarik?” Seungwan bersuara dan memberi kode agar seseorang melakukan sesuatu. Sepertinya cukup berhasil karena Myungsoo dan Minseok mulai bergerak lagi, juga Siwon yang langsung menarik paksa Jongin menjauh dari Seulgi.
“Aku tidak ingin melihatmu lagi, Seulgi! Melihatmu hanya membuatku ingat bagaimana sakitnya! Menjauh dariku! Aku tidak mencintaimu lagi!” itu kalimat terakhir yang masih bisa didengar sebelum Jongin menghilang.
“Yang benar saja, malah menonton,” desis Seungwan, lalu menggandeng Seulgi untuk pergi juga. “Harus pulang.”
Seulgi tidak menjawab apa-apa, kakinya terasa lemas. Pasrah saja saat Seungwan menarik dirinya pergi dari tempat itu. Dia shock atas sikap Jongin yang demikian. Ya, dia memang bersalah, tentu saja dia sadar itu. Tapi sama sekali tidak menduga akan dipermalukan dengan cara seperti ini.
***
“Semua kenangan yang berhubungan denganmu berubah menyakitkan!”
“Aku sudah menghapus semua perasaanku padamu!”
“Semuanya berubah menyakitkan!”
Waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Berkali-kali dia mengubah posisi tidurnya miring ke kanan, miring ke kiri, terlentang, bahkan tengkurap, dia tidak bisa tidur dengan posisi mana pun. Kata-kata Jongin terus terngiang, membuatnya merasa dihantui. Apa ini adalah rasa takut? Atau sebuah penyesalan.
“Sudah terlambat, Seulgi.”
Memang benar, terlalu terlambat untuk merasa menyesal. Tapi apa yang ia sesalkan?
“Aku sudah menghapus semua perasaanku padamu!”
Apa karena itu? Entahlah, dia merasa takut jika perasaan Jongin padanya hilang. Dia tidak ingin Jongin benar-benar menghapus perasaannya. Sepertinya benar. Yang dia takutkan bukanlah kehilangan Jongin, tapi kehilangan cintanya. Tapi semua sudah terlambat, bukan? Jongin membencinya sekarang. Seulgi yakin pemuda itu tidak ingin menemuinya lagi.
“Aku tidak ingin melihatmu lagi, Seulgi!”
Dengan putus asa dia duduk, mengusap wajahnya kasar. Diraihnya ponsel untuk mengecek ada tidaknya pesan dari Sehun. Sudah seminggu berlalu. Belum ada satu pesan pun darinya. Bahkan sekedar mengatakan ‘hai’, tak ada. Desahan nafas panjang keluar. Seulgi mulai putus asa menunggu. Haruskah dia menyerah saja? Atau mungkin ini adalah pertanda bahwa justru Sehun lah yang menyerah. Mungkin saja Sehun mengisyaratkan padanya bahwa dia tak akan pernah kembali.
Dia menekuk kaki dan menenggelamkan wajah di kedua lututnya.
“Sehun-ah… apa kau baik-baik saja? Aku ingin menanyakan itu saat kau kembali. Karena sekarang aku tidak baik-baik saja. Seseorang telah mempermalukanku, Sehun-ah…. Tapi entah kenapa aku malah merasa bersalah dan tidak punya keberanian untuk menunjukkan wajahku padanya. Rasanya aku ingin musnah saja…” dia mulai menangis. Sendirian.
***
“Unnie.”
.
.
.
“Unnie?”
.
.
.
“Unnie!”
“Ya?” sahut Seulgi sedikit kaget. Yeri memanggilnya dengan sedikit berteriak.
“Melamun ya? Aku panggil dari tadi,” protesnya sambil mengerucutkan bibir.
“Maaf, apa ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Seulgi.
“Lupakan saja deh,” kata Yeri kesal
“Sekarang kau marah pada unnie?” Seulgi menusuk-nusuk pipi Yeri dengan ujung pensil, sengaja menggodanya.
“Kalau unnie sedang tidak enak badan, pulang dulu tidak apa-apa.”
“Aigoo, Yeriku sedang marah sekarang,” Seulgi kembali menusuk-nusuk pipi Yeri.
“Aku serius, unnie,” kata Yeri, menepis tangan Seulgi. “Sudah hampir 6 jam unnie menemaniku belajar. Kalau mau pulang sekarang tidak apa-apa.”
“Unnie akan memastikan dulu kau mengerti materi ini—“
“Tidak apa-apa, unnie. Jika nanti aku gagal, itu bukan salah unnie. Akulah yang harus belajar lebih keras lagi.”
“Tetap saja, unnie harus membantumu.”
“Unnie sudah membantuku dengan sangat baik,” Yeri berusaha meyakinkan Seulgi dengan tersenyum. “Lagi pula ini sudah malam. Waktunya pulang.”
Merasa tidak enak, tentu saja. Mana ada seorang murid les privat menyuruh gurunya pulang. Salahnya juga tadi tidak fokus, malah melamun.
“Maaf ya. Besok tidak akan terjadi lagi.”
Yeri hanya tersenyum dan membantu Seulgi memakai tas selempangnya. “Hati-hati di jalan, unnie.”
***
Seulgi berjalan kaki dengan sengaja ke arah halte yang lebih jauh. Bisa dikatakan sedang merenungi nasib. Lihat betapa menyedihkannya dia sekarang. Setelah menduakan cinta Sehun, dia kehilangan teman. Lalu setelah dia mengakui kesalahannya dan memilih setia, Sehun—yang ternyata seorang gay—malah kembali pada mantan kekasihnya. Dia coba untuk memaafkan Sehun seperti yang pernah pemuda itu lakukan padanya, malah Sehun yang masih ragu untuk kembali atau tidak. Sampai kapan dia harus menjadi pihak bersalah? Jika mendua salah dan setia pun salah, lantas apa yang harus dia lakukan? Jika berpikir tentang itu, Seulgi hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Kenapa dia jadi semenyedihkan ini? Ah… mungkin memang kesalahannya begitu besar sehingga patut mendapat hukuman yang besar pula.
Sesekali dia menendangi kerikil kecil. Sekian jauh berjalan dia merasa haus juga. Kepala ia tolehkan ke segala arah untuk mencari tempat singgah apa pun yang menyediakan makanan. Dia melihat sebuah cafe beberapa meter di depan. Beli satu gelas kopi dingin lalu pulang, begitu niatnya.
“Selamat datang,” sapa karyawan yang berdiri di balik mesin kasir saat Seulgi memasuki cafe. Hanya ada satu pelanggan, jadi Seulgi tidak perlu berdiri lama di belakangnya untuk mengantri. Ya, lega untuk beberapa saat sebelum pelanggan lain itu berbalik dan Seulgi bisa melihat wajahnya.
“Seulgi.”
Mendadak Seulgi merasa panik dan langsung berbalik. Bagaimana tidak? Orang itu adalah Jongin. Dia takut luar biasa. Takut Jongin mengumpatnya seperti kemarin malam. Diambilnya langkah cepat agar bisa pergi dari tempat itu segera. Tapi langkahnya tertahan karena seseorang mengunci pergelangan tangannya.
***
Selalu bertemu di tempat yang tak terduga. Seperti malam ini, saat dia mendapatkan segelas americanonya dan berbalik, sosok Seulgi berada dalam jangkauan pandangannya. Tapi tingkahnya begitu aneh. Terlihat ketakutan saat tahu itu adalah dirinya. Awalnya dia tidak mengerti mengapa. Lalu dia ingat kejadian kemarin malam di bar. Rupanya dia sudah sangat keterlaluan hingga Seulgi jadi ketakutan begini. Jadi benar jika Seulgi memilih Sehun. Dia tidak pernah bahagia di dekat Jongin. Yang bisa Jongin berikan hanya sakit, sedih, dan takut.
“Hey, kita harus bicara,” kata Jongin pelan. “Lebih tepatnya, aku ingin bicara denganmu untuk menjelaskan sesuatu.”
Ditariknya Seulgi hingga berbalik. Bisa terlihat jelas bagaimana gadis itu berusaha menghindari tatapannya. Dia menunduk takut, dan Jongin merasa sakit.
“Hai… Jongin,” sapanya dengan suara lirih, membuat Jongin makin sakit.
“Green tea latte satu,” pinta Jongin pada petugas kasir lalu membayarkan sesuai harga minuman yang ia pesan. Setelahnya, ia menarik Seulgi lagi ke salah satu meja kosong. Karena malam semakin larut, pelanggan makin berkurang sehingga mereka seperti sedang mengobrol berdua saja di sana. Seulgi masih terlihat takut dan canggung, berusaha sebisa mungkin agar tatapan mereka tak bertemu. Saat green tea latte dihidangkan di meja pun, dia menyibukkan diri menatap cangkirnya. “Maafkan aku, Seulgi,” ucapnya setelah menghela nafas.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku mengerti kenapa kau bersikap seperti itu. Memang aku yang salah.”
“Lalu kenapa kau kelihatan takut padaku?”
“A-apa aku kelihatan takut?” Seulgi balik bertanya, tapi belum berani mengangkat wajahnya.
“Sangat. Seolah aku adalah monster.”
“Aku hanya melakukan apa yang kau inginkan,” dengan sedikit keberanian, Seulgi mengangkat wajahnya. “Bukankah kau tidak ingin melihatku lagi? Kau bilang, setiap kali melihatku membuatmu teringat akan sakitnya….”
“Aku tidak sadar saat mengatakannya, percayalah,” kata Jongin, menggenggam tangan Seulgi secara tiba-tiba.
“Tidak apa-apa, sungguh,” dan langsung Seulgi lepaskan. “Kau tidak perlu minta maaf.”
“Itu semua tidak benar,” tutur Jongin. “Kecuali tentang perasaanku. Aku benar-benar akan menghapusnya. Jadi kau tidak perlu merasa khawatir atau kasihan padaku.”
Bukankah Jongin semakin tampak menyedihkan sekarang? Pada kenyataannya, cinta untuk Seulgi terus melekat di suatu tempat dalam hatinya. Mana bisa dia hapus begitu saja. Kalau pun dia sangat ingin, tentu tidak akan semudah itu. Mencintai Seulgi sama dengan rasa sakit berkepanjangan. Dan parahnya, dia bertahan dengan itu.
“Jongin,” Seulgi mulai berucap. “aku tidak pernah bilang mengasihanimu….”
“Kau selalu bersikap baik pada semua orang. Sampai aku hampir salah mengartikannya sebagai cinta.”
“Jongin, itu tidak benar. Maksudku soal perasaanku itu benar, hanya saja….”
“Aku tidak membencimu, Seulgi,” Jongin tersenyum tulus. “Mana bisa aku membenci orang yang sangat aku cintai?”
“Maafkan aku, Jongin. Semua ku lakukan hanya karena aku ingin setia. Maaf,” Seulgi menggigit bibirnya agar tidak menangis.
“Hey,” Jongin kembali menggenggam tangan Seulgi, kali ini lebih erat. “Tidak perlu takut, aku masih mencintaimu dan akan selalu begitu. Sekarang aku sadar bagaimana cara yang benar untuk mencintai seseorang. Melakukan apa pun untuk membuatnya bahagia.”
“Jongin…” Seulgi menatapnya sendu. “Lalu kau sendiri bagaimana? Apa kau bahagia?”
“Kau bercanda? Selama kau bahagia tentu saja aku bahagia,” jawabnya sambil tertawa pelan. “Ku harap tidak ada kecanggungan lagi di antara kita. Aku janji tidak akan membebanimu dengan sikap atau perasaanku. Kau bisa anggap aku teman, saudara, atau minimal rekan satu organisasi.” Tapi wajah Seulgi masih terlihat penuh rasa bersalah. “Ayolah, Seulgi. Tersenyum walau hanya satu kali untukku. Maka kebahagiaanku akan menjadi sempurna.”
Dilihatnya Seulgi terlihat ragu. Tapi perlahan dia menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman.
“Terima kasih untuk segalanya, Jongin.”
“Rupanya sudah larut malam,” Jongin melirik jam tangannya. “Sebelum aku pulang dan kita berpisah, boleh aku tanya satu hal?”
“Apa?”
“Di antara kami berdua, siapa yang lebih kau cintai? Jujur saja, tidak apa-apa.”
Dia melihat wajah Seulgi yang dilema. Sudah pasti dia bingung harus menjawab apa.
“Soal itu… aku….”
Maka sebelum Seulgi makin bingung dan stress karena memikirkan jawaban, Jongin mengakhirinya dengan sebuah tawa ringan. Dia bangkit dengan membawa gelas kopi di tangan kiri sementara tangan kanannya ia gunakan untuk mengacak pelan rambut Seulgi.
“Jodoh pasti bertemu,” ucapnya sebelum benar-benar pergi meninggalkan Seulgi.
***
Dia duduk di dalam mobil sambil mengutak-atik ponselnya. Mula-mula dia mengubah homescreen, lockscreen, chat background, lalu terakhir dia menghapus beberapa foto dirinya dan Seulgi.
“Oppa! Apa aku lama?”
Pintu mobil terbuka dan Yoonhye masuk dengan wajahnya yang ceria, seperti biasa. Dia menghapus semuanya dengan cepat.
“Aku juga baru datang,” ucapnya dengan sebuah senyuman. Lalu dengan gerakan cepat dia memeluk Yoonhye. Tidak terlalu erat, tapi berusaha membuatnya nyaman.
“Oppa, kenapa tiba-tiba?”
Tentu saja Yoonhye kebingungan. Selama mereka menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih, belum pernah Jongin menunjukkan sikap hangat seperti ini. Mereka jarang sekali melakukan hal manis seperti pasangan lainnya.
“Apa aku begitu buruk padamu selama ini?” tanya Jongin lirih.
“Tidak apa-apa, aku belajar memahami dirimu dan sekarang sudah terbiasa,” Yoonhye mengusap punggung Jongin pelan.
“Aku berjanji, mulai sekarang semua akan lebih baik. Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu. Mungkin tidak bisa cepat, tapi aku akan berusaha.”
“Oppa,” Yoonhye melepas pelukannya. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu seperti ini tapi aku sangat bahagia. Mendengar niatmu yang begitu tulus saja, aku sudah merasa bahagia.”
Jongin tersenyum menatap Yoonhye, begitu juga gadis itu. Jika harus menjawab ketidaktahuan Yoonhye, maka jawabannya adalah Seulgi. Melalui Seulgi dia semakin mengerti tentang cinta. Bukan soal siapa yang lebih mencintai atau dicintai, tapi bagaimana membuat cinta menjadi kebahagiaan. Dia mungkin tidak bisa memiliki seseorang yang sangat dicintainya. Tapi dia memiliki seseorang yang sangat mencintainya. Dia juga tidak bisa bahagia bersama orang yang dicintainya. Tapi dia bisa bahagia bersama orang yang mencintainya. Sesederhana itu.
***
Seulgi sedang merenung sambil menatap langit-langit kamar saat ponselnya berdering. Dan saat melihat nama Sehun muncul, dia mengangkatnya dengan cepat.
“Hey, apa kau baik-baik saja?” tanpa sadar dia mengucapkan pertanyaan yang memang sudah ia pikirkan sejak lama.
“Aku baik, bagaimana denganmu?” tanya Sehun balik. Mungkin efek karena mereka begitu lama tak bertemu, suara Sehun terdengar berbeda.
“Aku baik selama kau baik-baik saja,” jawab Seulgi cepat. “Dan aku masih menunggumu….”
“Kenapa kau masih menunggu seorang pengecut yang tak pantas disebut lelaki?”
“Sehun-ah, jangan bilang begitu. Bagiku kau tetaplah Sehun yang aku cintai.”
Sejenak keduanya terdiam.
“Maafkan aku, Seulgi,” kata Sehun akhirnya.
“Aku tidak mengharapkan kata maaf. Harusnya kau tahu apa yang paling aku tunggu,” ucap Seulgi dengan mata terpejam. Seperti sedang menunggu eksekusi, dia diam dengan jantung berdebar.
“Apa kau ingin aku kembali seperti dulu, atau….?”
“Seperti apa pun dirimu, kau tetaplah Sehunku. Jika kau masih mencintaiku, semuanya akan tetap sama, Sehun-ah. Baik dulu mau pun sekarang, akan sama saja.”
Terdengar helaan nafas panjang Sehun. Seulgi kembali menunggunya bicara.
“Mari kita coba lagi. Dari awal.”
Senyum Seulgi merekah. Akhirnya, setelah lelah menekuk wajah seminggu lebih, dia bisa tersenyum juga.
“Katakanlah, kau masih mencintaiku.”
“Aku masih mencintaimu, Seulgi.”
***
Apa benar semua bisa kembali seperti semula? Nyatanya, tidak semudah yang dibayangkan. Sehun dan Seulgi kembali berkencan seperti dulu. Banyak hal yang mereka lakukan bersama. Belajar, makan eskrim, mengobrol hingga lewat tengah malam. Hangat seperti dulu. Tapi entah kenapa terasa berbeda. Baik Seulgi mau pun Sehun tidak tahu dimana letak perbedaannya.
“Seulgi,” ucap Sehun suatu malam, saat mereka sedang berpelukan di atas tempat tidur Seulgi.
“Hm?” sahut Seulgi dengan sedikit mendongakkan kepalanya.
“Aku tahu kau merasakannya,” kata Sehun lirih. Tangannya membelai rambut Seulgi perlahan.
“Merasakan apa? Jangan pikirkan apa pun dan nikmati yang kita miliki sekarang,” Seulgi berusaha menenangkannya.
“Tidak, aku tahu betul. Bahkan aku sendiri merasa ini berbeda.”
“Sehun-ah….”
“Maafkan aku.”
“Bukankah berkali-kali aku bilang, aku benci kata maaf.”
“Aku akan berusaha mengembalikannya,” kali ini Sehun mempererat pelukan mereka. “Sehun yang dulu, yang begitu kau cintai. Aku akan membawanya kembali. Bersabarlah, Seulgi. Hanya itu yang ku minta. Bersabar menungguku.”
Seulgi diam saja, membiarkan Sehun memeluknya seerat yang dia mau. Pernyataan itu tidak butuh jawaban juga. Sehun pasti tahu bahwa dia memahaminya. Dan dia juga pasti akan bersabar selama apa pun itu tanpa harus mengatakannya. Mungkin memang terasa berbeda, tapi dia akan berusaha bertahan. Semua bisa diperbaiki. Sekali pun Sehun tidak bisa kembali seperti dulu, dia bisa belajar untuk mencintai Sehun yang sekarang. Selama masih ada cinta yang Sehun berikan untuknya, maka dia akan mengimbanginya dengan cintanya juga. Sesederhana itu.
***Soon To Be Ended***
Author note : Cuma mau bilang, ini masih bersambung. Wkwk. Satu pertanyaan untuk kalian.
“Jika Seulgi menyuarakan jawabannya atas pertanyaan terakhir dari Jongin, kira-kira siapa yang lebih Seulgi cintai? Jawab sambil membayangkan diri kalian adalah Seulgi.”
Ditunggu ya jawabannya. Sampai jumpa chapter selanjutnya. Hoho^~^)/
