![A WAY - To Love]()
“A WAY”
—TO LOVE—
Title : “A WAY” : TO LOVE
Author : Zircon FD (Dini Febri/@joon_DK)
Lenght : Oneshot word (including author chit chat)
Genre : angst, romance
Rating : PG 13, teen
Main Cast : Wu Yi Fan (Kris Wu)
Kim Hee Jin (OC)
Park Chan Yeol (Chan Yeol EXO-K)
Support Cast : Song Min Jung (OC)
Disclaimer : Plot original dari pemikiran saya. Mungkin cerita ini terkesan gaje yah. Jadi harap dimaklumin. Jika ada kesamaan cerita dan nama yang pernah kalian temuin, itu secara gak sengaja. Namanya juga manusia, pasti pemkirannya gak jauh-jauh banget bedanya.
Warning : Penggunaan diksi dan istilah yang gak beraturan, typo juga bertebaran dimana-mana.
Pertama-tama mau ngucapin terima kasih buat admindeul yang udah mau post FF kedua yg aku kirim ke sini. Terima kasih juga buat para readers sekalian yg udah mau baca FF amatir dari author yg juga amatir ini. Jeongmal Kamsadeurigoyo!!
I love you all. Keep reading dan hargai karya orang dengan cara tinggalkan review di kolom komentar. Satu komentar kalian bisa buat penyemangat bagi author.
Visit juga personal blogku Zircongalaxy.wordpress.com.
ӁӁӁӁӁӁӁӁ
“A WAY”
—TO LOVE—
Angin musim gugur yang bertiup perlahan membuat bulu kudukku sedikit berdiri. Mentari berwarna jingga mulai kembali ke peraduannya. Warna muram kini mulai mencoba mendominasi. Kelam. Sama seperti hatiku. Hhhhh….
Ku biarkan diriku dalam posisi senyaman mungkin. Ku angkat kakiku ke atas kursi, memeluknya dengan kedua lenganku, sedangkan kepalaku ku letakkan di lengan sebelah kiri. Warna-warna temaram mulai menyeruak memenuhi indera penglihatanku. Tiba-tiba seseorang merengkuh tubuh mungilku dari belakang sembari menyematkan selimut menutupi seluruh tubuhku. Hangat. Itulah yang ku rasakan saat ini. Hembusan nafasnya di tengkukku sempat membuat kepalaku kehilangan pikiran tentang lelaki bernama Kris.
“Kau akan jadi menusia es jika berlama-lama di sini. Udara semakin dingin Hee Jin.” ujar lelaki itu masih merengkuhku, menempatkan dagunya di bahu kananku.
“Terima kasih Yeol.” ucapku mengeratkan selimut di tubuhku.
Lelaki itu menempatkan diri untuk duduk di hadapanku, secangkir coklat panas yang ia pegang ia letakkan di hadapanku.
“Hee Jin-ah, sudah empat hari yang lalu kita menempati apartment ini, dan sudah sejak saat itu pula kau masih terlihat buruk seperti ini. Apa kau keberatan untuk menceritakannya padaku?” lelaki itu menatapku intens.
“Gwaenchanha, aku hanya tidak enak badan saja mungkin karena terserang jet lag, jangan khawatir besok aku pasti akan lebih baik.” jawabku berdusta.
“Bohong. Aku tahu kau, Hee Jin. Setiap liburan sekolah kau dan keluargamu selalu menghabiskannya dengan berlibur ke luar negeri. Canada, Jerman, Itali, Paris, Hawai bahkan hampir semua negara pernah kau kunjungi. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya jika maniak pesawat sepertimu bisa mengalami jet lag selama ini? Kau tidak bisa membohongiku Hee Jin.”
Ya, dan sialnya aku lupa bahwa aku tak bisa membohongi lelaki bernama Park Chan Yeol ini. Ia tahu semua tentangku, bahkan mungkin ia tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini. Aku hanya diam, tak menjawab ukara-ukara yang ia keluarkan. Memandang kilau warna jingga di ufuk barat nampaknya lebih membuat hatiku hangat.
“Hee Jin-ah, apa semua ini masih karena Kris?” aku sedikit tercekat ketika Chan Yeol tahu apa yang sedang ku pikirkan. Sedangkan lelaki itu tengah menatapku lekat.
“Yeol, jangan membahas tentang lelaki itu lagi, aku mohon.” kataku masih tak melepas pandanganku.
“Ch,kau menyuruhku untuk tidak membahasnya lagi, lalu bagaimana denganmu? Kau masih membiarkan Kris dengan seenaknya berlarian di otakmu. Kau masih membiarkan hatimu terisi penuh oleh nama Kris. Seluruh ruang kosong di kepalamu berisi tentang Kris, Kris, Kris dan Kris, bahkan kau tak menyisakan sedikitpun ruang kosong untukku, sedikitpun tidak. Lalu, apa gunanya kau melarangku untuk tidak membahasnya sedangkan kau sendiri masih belum mau melupakan semua hal tentang lelaki itu?” ujarnya dengan sedikit meninggikan nada bicaranya. Dan ya, ucapannya barusan cukup untuk membuatku menatap lekat manik mata elangnya.
“Park Chan Yeol!!” bentakku.
“Apa maumu sebenarnya?” tanyaku masih dengan nada tinggi.
“Mauku? Kau bertanya apa mauku? Baiklah aku akan menjawabnya. Mauku yang sebenarnya adalah melihatmu tersenyum, mauku kau melupakan lelaki itu, mauku kau bisa memandangku sebagai seorang pria yang berarti di matamu, mauku…”
“Cukup Yeol!! Kau terlalu egois.” potongku.
Ia langsung bangkit dari duduknya matanya menerawang jauh. Aku bisa melihat raut kekecewaan terpancar dari wajahnya. “Ya, kau benar. Aku egois. Masuklah ke dalam, udara semakin dingin.” ujarnya, sedetik kemudian ia telah beranjak meninggalkanku. Ya, meninggalkanku dengan segala keegoisanku, meninggalkanku yang kini mulai merasa bersalah dengan apa yang baru saja aku ucapkan.
Ya Tuhan, aku melukainya lagi. Lelaki sebaik dirinya telah berulang kali ku sakiti.
Aku membentaknya, kenapa?
Apa karena aku marah?
Lalu untuk apa aku marah?
Semua yang ia katakan benar, tak ada yang salah dari ucapannya. Satupun tidak.
Apa aku marah karena itu? Apa aku marah karena semua yang ia ucapkan benar?
Astaga. Park Chan Yeol.
Aku memutuskan untuk mengikutinya masuk ke dalam. Aku melihat pintu kamarnya telah tertutup rapat, tak menyisakan celah sedikitpun.
Sama seperti hatiku, tak ada sedikitpun celah yang memberi akses untuk orang lain bisa memasukinya. Hatiku telah tertutup rapat dan terlalu sulit untuk membukanya lagi, Kris telah menguncinya. Lelaki itu adalah kunci dari hatiku.
Ya Tuhan, kenapa begitu sulit menghapus lelaki itu dari hidupku?
Bagaimana mungkin aku bisa mengatai Chan Yeol sebagai seseorang yang egois?
Padahal ia yang selalu setia berada di sisiku, padahal dia perlahan-lahan mencoba untuk memulihkan hatiku yang luka, padahal dirinya yang selalu menyodorkan bahu untukku menangis. Padahal dia…hanya dia.
Tapi…..
Aah, entahlah mungkin ia telah sakit hati dengan perkataanku tadi.
Pasti ia marah padaku. Ya, dia pantas marah padaku.
Yeol, maafkan aku.
.
.
.
.
Pagi ini sinar mentari seakan begitu mantap untuk menunjukkan kilau pesonanya. Sinar-sinar hangat yang menembus tirai kamar membuat mataku seolah tak lagi nyaman untuk dikatupkan. Detik berikutnya samar-samar aku mendengar suara seorang lelaki memanggil namaku.
“Hee Jin-ah, ireona…” panggilnya, he has a deep voice.
Ya…Lelaki yang punya suara berat seperti itu adalah Kris. Kris punya suara itu.
“Hee Jin-ah, ireona. Matahari sudah tinggi. Mana pantas gadis sepertimu masih sibuk bergumul dengan selimut.” ujarnya lagi menasihati. Sementara ku rasakan selimut yang menggulung tubuhku mulai terangkat, Kris menyibaknya.
Astaga, Kris. Tidak biasanya dia membangunkanku. Biasanya dia malah ikut tidur di kursi, kenapa hari ini dia jadi cerewet?
“Kris, ada apa denganmu? Tak biasanya kau membangunkanku?” tanyaku, mencoba menggapai selimut yang sempat ditariknya. Kembali menyamankan posisi tidurku ketika aku berhasil meraih selimut tebal berwarna biru laut itu untuk menutup kembali tubuhku.
“Bangunlah, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Hee Jin-ah ayo cepat bangun.”
Aku masih sibuk bergulat dengan selimut tebal yang nyaman ini. Hanya lenguhan-lenguhan kecil yang keluar dari bibirku ketik alelaki itu mengguncang-guncang tubuhku pelan.
“Hee Jin-ah…” masih belum menyerah Kris kembali mengguncang tubuhku.
Haaah, apa yang dia makan semalam? Kenapa ia jadi aneh?
Mana mungkin seorang Kris Wu menyiapkan sarapan untukku?
Dan yah, tak biasanya dia memanggilku dengan sebutan Hee Jin. Dia selalu memanggilku hanya dengan nama Jin.
Lelaki ini mendudukkanku yang masih belum mengumpulkan seluruh nyawaku. Sedikit demi sedikit ku buka mataku, sesekali mengerjap-kerjapkan mataku. Matahari yang bersinar cerah pagi ini membuatku harus mengucek-ucek mataku untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku.
“Kau sudah bangun rupanya.” ujarnya, tersenyum ketika mendapatiku tengah mencoba membuka mata.
Aku menatap lelaki itu. Nafasku serasa tercekat secara tiba-tiba. Bukan Kris yang kudapati duduk di hadapanku saat ini, tapi lelaki ini. Park Chan Yeol. Suara yang mulanya ku kira milik Kris, ternyata adalah suara Chan Yeol.
Ya Tuhan. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir bahwa suara itu milik Kris?
Ia pasti terluka lagi. Bagaimana mungkin aku bisa memanggilnya Kris?
“Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau baru sadar kalau aku ini tampan?” candanya kemudian menunjukkan gummy smilenya yang membuatnya terlihat lebih tampan dari sebelumnya.
Aku hanya mendengus pelan, menertawai ucapannya barusan. Ia hanya ikut tersenyum, senyum yang terlihat begitu hangat, sehangat pancaran mentari pagi ini. Tangannya terulur merapikan anak-anak rambut di pelipisku. Membelai helai demi helai rambut panjangku penuh kasih sayang kemudian menyelipkannya ke belakang telingaku.
Aku masih menatap manik matanya lekat. Mencoba menemukan alasan bagaimana bisa ia masih tersenyum saat aku memanggilnya dengan nama Kris.
“Kenapa masih menatapku seperti itu? Apa kau kecewa karena orang pertama yang kau lihat saat terbangun dari tidurmu bukan Kris, tapi aku?” tanyanya kali ini beralih balas menatapku.
“A..aniyo.. geugeon aniya…” sangkalku.
Ya, memang bukan sepenuhnya karena itu. Tapi ku akui sedikit banyak ada perasaan kecewa seperti itu yang menghampiriku.
“Hee Jin-ah, kau benar. Aku egois. Aku tak bisa mengerti dirimu. Tapi sekarang aku telah menyadarinya. Kau telah berusaha keras melupakan Kris dalam hidupmu. Kau sudah berusaha mati-matian untuk menepis bayang-bayang Kris di ingatanmu. Tapi dengan kurang ajarnya Kris masih saja berlarian di kepalamu tanpa lelah.” tuturnya penuh penyesalan. Tangannya memegang lembut kedua tanganku.
“Aku sadar tak mudah bagimu untuk melupakan Kris, lelaki yang selama 5 tahun terakhir ini mengisi relung hatimu yang paling dalam. Tapi aku yakin sedikit demi sedikit kau pasti bisa menghapusnya dari ingatanmu. Meski secara perlahan-lahan, itu tak penting. Dan aku… akan berusaha untuk menggantikan posisi kosong yang ditinggalkan Kris itu. Tak peduli berapa lama aku akan menunggu hatimu mau menerimaku. Tapi, jika nantinya hati itu telah terisi oleh nama orang lain, ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Sampai kapanpun hal itu tak akan berubah.” tuturnya tanpa sedikitpun nada ragu pada ucapannya.
Aku hanya menatapnya, tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku terlalu malu saat ini. Aku mencampakkan lelaki yang mencintaiku dengan tulus. Tapi malah memberikan seluruh hatiku pada lelaki yang tak pernah menganggap penting keberadaanku. “Ja, bergegaslah ke kamar mandi, cuci wajahmu. Aku menunggumu di ruang makan.” ujarnya sekali lagi yang dibarengi acakan lembut dari tangannya di kepalaku.
Bagaimana dia bisa melakukannya?
Aku tahu ia juga terluka, aku juga tahu kalau cintanya bertepuk sebelah tangan. Tapi, bagaimana ia masih bisa tersenyum?
Bagaimana bisa ia malah menanggapi semuanya dengan senyum?
Apakah semua lara di hatinya akan hilang dengan tersenyum?
.
.
.
.
.
Satu bulan sudah aku berada di Jerman bersama dengan Chan Yeol. Bukannya makin membaik keadaanku malah makin memburuk. Bukannya rajin untuk mempertahankan beasiswa yang ku dapat, aku malah jarang pergi ke kampus untuk merampungkan kuliahku.
Entahlah harus dengan cara apa lagi setan-setan dalam diriku mau pergi.
Seperti hari ini, saat moodku untuk pergi ke kampus mendadak hilang setelah keasyikan menjadi stalker seorang Kris Wu.
“Hee Jin-ah apa kau tidak kuliah?” tanya Chan Yeol yang telah bersiap dengan tas yang sudah menggantung di punggungnya.
“Sebentar lagi.” jawabku singkat dan masih fokus pada kegiatanku sebelumnya. Setengah jam berlalu dan aku belum menyudahi aktivitasku menjadi stalker.
“Hee Jin……” panggil Chan Yeol kembali mengingatkan.
“Ayolah Yeol, ini bahkan belum satu jam.” rengekku sekali lagi tanpa mengalihkan fokusku.
Aku bisa mendengar Chan Yeol mendengus, tapi apa boleh buat. Aku terlanjur merindukan Kris. Yang bisa kulakukan untuk menghilangkan kerinduanku adalah ini. Hanya dengan cara ini.
Aku merasakan Chan Yeol melangkah mendekat, mungkin ingin tahu apa yang sebenarnya ku lakukan hinga membuatku—dan dirinya— membolos kuliah.
“Kau bilang ingin melupakannya.” ujar Chan Yeol datar setelah mata tajamnya berhasil menilik silhuet Kris yang ada pada layar smartphoneku.
“Ayolah Yeol, ini hanya sesekali saja.” balasku masih berkutat dengan smartphone berwarna emas milikku.
“Sesekali dalam sehari dan berlangsung berhari-hari, begitukah maksudmu?” ungkap Chan Yeol disertai nada tak senang.
Akhirnya aku mengalihkan pandanganku pada Chan Yeol. Lelaki jangkung itu menatap intens ke arahku. “Sampai kapan kau akan seperti ini Jin?” tanyanya dengan hembusan nafas kasar di akhir kalimatnya. Aku hanya mendengus kasar tak mau menanggapi ucapannya.
“Kau sendiri yang bilang akan berusaha melupakannya. Tapi… oh―ayolah Jin meskipun kau tak menerimaku di sisimu setidaknya carilah lelaki lain untukmu melanjutkan hidup. Kenapa hanya Kris Kris dan Kris yang ada di pikiranmu?” marahnya. Aku belum pernah melihat Chan Yeol sekesal ini padaku. Apakah aku salah?
Dengan cepat Chan Yeol merebut Handphone dari tanganku.
“Cukup untuk hari ini Hee Jin.” tegasnya yang langsung berbalik meninggalkanku.
“Park Chan Yeol! Kau keterlaluan, kau egois. Kau bilang akan menungguku, kau bilang akan mengisi ruang kosong di hatiku. Lalu mana buktinya? Kau hanya lelaki yang egois Park Chan Yeol.” kali ini malah aku yang ganti memarahinya. Entah kali ini untuk apa lagi aku memarahinya. Aku hanya… kesal dengannya. Ia terlalu sering menyuruhku melupakan Kris. Ia…..menyuruhku untuk menggantikan Kris dengan lelaki lain. Aku………….
Ya Tuhan, bukankah aku harus menurutinya?
Bukankah tujuanku ke sini untuk menghilangkan Kris.
Oh, ayolah Hee Jin, Kris tengah berbahagia dengan gadis lain di luaran sana. Setidaknya aku pun tak boleh terpuruk seperti ini. Tapi……….
“Ya, aku memang hanya seorang lelaki yang egois. Seorang lelaki yang terobsesi memilikimu karena rasa cintanya yang terlalu besar padamu. Aku juga seorang manusia biasa. Ada saatnya rasa jenuh menghampiri saat aku menunggu pintu hatimu terbuka. Menunggu ketidakpastian itu membuatku lelah. Ketahuilah itu. Saat aku terlalu lelah menunggumu yang tak pernah mau melepaskan Kris, saat itu pula berarti aku akan menyerah padamu Hee Jin.” tutur Chan Yeol tanpa menoleh ke arahku sempat terlihat olehku tangannya yang menggenggam smartphoneku semakin kuat. Ia kemudian berjalan meninggalkanku. Melemparkan smartphoneku asal ke arah sofa.
Entah mengapa ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul saat lelaki jangkung itu berucap seperti tadi. Ia tak akan menepati janjinya untuk menungguku. Suaranya masih terngiang jelas di telingaku. Nada keputusasaan tergambar jelas dari ucapannya.
Ia terluka.
Lagi.
Karenaku.
Aku melukainya, aku menyakitinya, aku menghancurkan hatinya.
.
.
.
Ini sudah kesekian kalinya aku melirik jam yang tergantung di dinding, di antara foto Chan Yeol dan fotoku. Jarum jam sudah menunjuk pukul 00.47, tapi lelaki berambut mahogany itu belum menampakkan tanda-tanda keberadaannya di rumah ini. Ini tak biasanya bagi seorang Park Chan Yeol untuk pulang selarut ini.
“Hhhhhhh….” aku hanya bisa menghembus nafas. Aku tak bisa menghubungi ponselnya. Ia juga tak bilang ingin pergi kemana. Ada suatu perasaan yang muncul dari dalam hatiku saat ini. Antara ingin memarahinya atau rasa khawatir terhadapnya. Yang jelas aku bahkan tak bisa memejamkan mataku barang sejenak sebelum ia pulang.
Klekk~
Pintu apartment terbuka, menampakkan sosok Park Chan Yeol yang terlihat begitu lelah melenggang begitu saja, mengacuhkanku. Aku membuntutinya sampai di depan pintu kamar. Ia masih tak berbicara sepatah katapun, bibirnya benar-benar terkunci rapat.
“Kau dari mana saja, kenapa baru pulang selarut ini?” tanyaku mengawali, mengekor padanya kemudian mendudukkan diriku di atas bed dengan bed cover warna abu-abu itu.
Ia tak menjawab. Ia berusaha menyibukkan dirinya sendiri, untuk menghindariku?
Aku menarik tubuhnya menghadapku, ia sempat kaget pasalnya saat ini ia tengah berada dalam keadaan topless karena memang sedang berganti baju.
“Ya! Mwohaneungeoya?”
“Kau mengacuhkanku sedari tadi.” protesku.
“Lalu bagaimana denganku? Kau bertahun-tahun mengacuhkanku.”
Aku terdiam, turut mengamini apa yang Chan Yeol katakan. Lelaki ini selalu bisa menyekak matt setiap ucapanku.
“Apa susahnya menjawab pertanyaanku tadi, Yeol? Toh itu tidak butuh waktu 5 menit untuk menjawabnya?” tukasku. Ia tetap tak bergeming, melanjutkan acara ganti bajunya yang sempat tertunda olehku.
“Yeol!” panggilku lagi yang kali ini menarik kaos yang barusan ia pakai.
“Apalagi sekarang?!!” tanyanya dengan nada membentak.
“Aku hanya ingin tanya kau sudah makan atau belum?!! Kenapa malah membentakku?!!” Chan Yeol melirik sinis ke arahku, manik coklat matanya menatap tepat ke arah manik mataku.
“Kembalilah ke kamarmu. Tidurlah.” ujarnya, kemudian hendak merebahkan tubuhnya ke bed.
“Chan Yeol!!” teriakku.
“Wae?! Pergilah.” usirnya.
“Park Chan Yeol!”
Bruuggh
Tiba-tiba ia mendorong tubuhku, menghempaskanku ke atas bednya. Aku hanya mampu menelan salivaku sendiri ketika ia menindihku. Ia menahan tubuhnya menggunakan lengannya, menyisakan sedikit ruang kosong di antara tubuh kami.
Aku yang masih terkejut hanya bisa mengerjap-kerjapkan mata.
“Aku sudah menyuruhmu untuk keluar dari kamarku, tapi kau menolaknya. Jadi, jangan salahkan aku jika aku melanggar batasku sebagai seorang lelaki di sini. Kau sendiri yang membuat keadaan menjadi seperti ini Kim Hee Jin.” ujarnya dengan smirk yang sama sekali belum pernah kulihat dari seorang Park Chan Yeol.
“A..ap-apa yang akan kau lakukan Park Chan Yeol?” tanyaku gugup, takut ia akan berbuat yang tidak sewajarnya padaku.
“Menjadikanmu milikku.” ungkapnya singkat tapi tepat menghunus di ulu hatiku. Aku membulatkan mataku tak percaya ketika ia semakin memperpendek jarak di antara kami.
Entah atas perintah siapa mataku terpejam dengan sendirinya seiring semakin hilangnya jarak di antara kami. Aku bahkan tak berniat untuk melawan perlakuannya padaku. Am i a fool?
Setelah sekian detik tak ada hal yang terjadi padaku. Ku buka mataku.
Dan…….
Yang kudapati adalah seorang Park Chan Yeol dengan air mata yang telah mengembung memenuhi kelopak matanya.
“Yeol……”
Tess…
Setitik air matanya jatuh tepat mengenai pipiku.
Chan Yeol menangis.
“Maafkan aku.” ujarnya singkat lalu bangkit dari posisinya. Memposisikan tubuhnya berada di bawah selimut tebal berwarna senada dengan bantal yang ia pakai.
“Pergilah, sebelum aku berniat untuk menerkammu lagi.” ujarnya dari balik selimut tebalnya.
“A..a..ne… jalja.” ucapku yang langsung berlari keluar dari kamar Chan Yeol.
DEG..DEG..DEG..
Astaga kenapa dengan jantungku. Tidak biasanya berdetak secepat ini. Iiisshhhh kenapa udara jadi panas seperti ini. Hey, ayolah ini sudah hampir pukul setengah dua pagi!
.
.
.
Sejak kejadian tadi aku tak bisa memejamkan mataku barang sebentar saja. Padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang adalah kegiatanku sedari tadi. Oh ayolah, kenapa aku tak bisa tidur??
Mungkin segelas susu hangat bisa membantuku menjemput lelap. Dan alhasil segelas susu hangat telah berada di tanganku. Aku ingin kembali ke kamar setelahnya, namun urung ku lakukan ketika aku mulai tertarik dengan pancaran sinar rembulan yang datang melalui celah-celah tirai yang tak tertutup rapat. Ku sibakkan tirai itu. Langit masih berhias dengan banyak bintang.
Aku putuskan untuk menuju keluar balkon, untuk menikmati planetorium alami ini.
“Hhhhh….”
Di atas sana bulan bersinar dengan sangat cantiknya, meskipun lebih dari separuh bagiannya tertutup langit hitam hingga hanya terlihat samar-samar. Ditambah dengan koloni bintang malam yang dengan setia menggantung mendampingi sang rembulan bersinar. Begitu indah dan menawan.
Namun, ada cerita lain di balik keindahan langit malam.
Bulan hanya bisa bersinar jika matahari membantunya. Tanpa matahari ia bukan apa-apa, mungkin hanya menjadi sebuah benda gelap terjal yang ada di langit. Matahari dengan setianya selalu membagi sinar yang ia punya untuk memperindah bulan, membuat bulan agar telihat begitu cantik hingga pantas bersanding dengan sang bintang. Tapi bulan tak pernah ingin tahu tentang matahari, dengan angkuhnya sang bulan selalu berada di sisi bintang. Bulan terlalu terpikat oleh keelokan sang bintang malam. Hingga tak menyadari arti penting sang mentari bagi dirinya. Matahari dan bulan saling berdampingan tapi tak akan pernah bisa bersama dalam indahnya langit malam yang menghitam.
Aku tak ingin itu terjadi padaku, setidaknya aku harus menjadi bulan yang tahu terima kasih.
Tak terasa hampir satu jam aku menikmati keindahan langit malam ini. Hasilnya, segelas susu hangat di tanganku telah habis tak bersisa, mengalir lembut melalui kerongkonganku dan bersarang di dalam perutku. Namun sayang, rasa kantuk itu tak kunjung menghinggapiku. Udara di kota Frankfurt saat dini hari memang cukup untuk membuatku beberapa kali harus menggosok-gosok lenganku. Setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa dingin yang menghampiri. Udara semakin bertambah dingin dan mulai tak bersahabat nampaknya. Akhirnya kuputuskan untuk kembali masuk ke dalam apartment.
Tapi, lagi-lagi niatku untuk kembali ke kamar pupus sudah. Ketika melihat pintu kamar Chan Yeol yang tak tertutup rapat―masih sama seperti keadaan tadi malam― entah mengapa hatiku tergerak untuk kembali masuk ke dalam kamar lelaki ini.
Posisinya tidur masih sama seperti saat ku tinggalkan tadi, tergeletak di bawah selimut tebalnya. Ku beranikan diri untuk mendekat ke arahnya, duduk di tepian ranjang memang bukan ide yang buruk. Dari sini aku bisa melihat wajah polos Chan Yeol ketika tertidur, terlihat begitu damai persis seperti bayi yang baru lahir. Seakan ia tak punya beban yang harus ditanggungnya.
Matanya yang mulai mengantong, kelopak matanya yang tertutup, bibirnya, hidungnya, dagunya, serta kulit putihnya tak luput dari pengawasanku. Lelaki ini tampan, sangat tampan. Tapi kenapa hatiku belum memilihnya?
“Chan Yeol-ah, maafkan aku. Aku selalu saja melukaimu. Mian.” ujarku pelan sembari mengusap rambutnya.
Entah mengapa saat ini ingatanku memutar kembali kejadian-kejadian dimana Chan Yeol selalu bertugas menjadi guardian angelku. Selalu melindungiku di saat aku membutuhkan bantuan.
Aku masih setia duduk di bangku taman ini seorang diri, pasalnya seorang lelaki yang memintaku untuk datang ke sini belum juga menampakkan kehadirannya. Langit malam ini terlihat begitu angkuh. Tak ada bulan yang bersinar, juga bintang yang berkerlip. Ini sudah lebih dua jam aku menunggunya.
Hingga akhirnya tiba-tiba hujan turun begitu derasnya tanpa pemberitahuan apapun. Orang-orang yang ada di taman ini berhamburan mencari tempat berteduh, sedangkan aku? There is nothing I do. Aku bahkan tak berniat mencari tempat berteduh seperti yang lainnya. Biar lelaki itu tahu bahwa aku benar-benar menunggunya. Bahkan, meskipun ia tak akan datang aku menunggunya.
Tapi berbeda dari perkiraanku, tubuhku tak mampu menahan dinginnya hujan yang terasa sampai menusuk tulangku. Tubuhku terus menggigil kedinginan, kepalaku terasa sangat pening. Hingga semuanya terlihat hitam olehku. Hal terakhir yang ku dengar saat itu adalah seseorang memanggil namaku dan memintaku untuk bangun.
“Hee Jin-ah!! Hee Jin-ah!! Jungshin charyo!! Hee Jin-ah, ireona jebal.”
Keesokan paginya, saat aku terbangun aku sudah ada di kamarku. Aku sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Seingatku terakhir kali aku berada di taman tapi, kenapa aku sudah berada di kamarku?
“Oh? Hee Jin kau sudah bangun?” eomma yang baru masuk kamarku langsung menghampiriku.
“Kau baik-baik saja?” tanya eommaku lagi sembari menempelkan punggung tangannya ke dahiku.
“Eoh, gwenchanha.” jawabku.
“Apanya yang baik-baik saja? Kau demam dan ya Tuhan, lihatlah wajahmu yang pucat itu. Kau jadi tidak cantik lagi, sayang.” cela ibu dengan candaannya yang khas.
“Eomma….”
“Wae?”
“Kenapa aku bisa di sini? Seingatku semalam aku kehujanan di taman dan semuanya jadi gelap.” tuturku yang malah mendapat jitakan keras di kepalaku.
“Dasar gadis bodoh. Seharusnya kau pulang saja kalau memang Kris tidak datang. Kenapa malah menunggunya di tengah hujan seperti itu? Tahu sendiri kan, kau tak pernah kehujanan sampai separah itu. Untung teman kuliahmu membawamu pulang.” omel ibu yang nampak cemas.
“Teman?” ujarku mengulang kata eomma.
“Iya temanmu. Kau tahu? Dia bahkan menggendongmu seperti ini sampai ke rumah.” tukas eommaku sambil memeragakan bagaimana orang yang mengaku teman kuliahku membawaku ke rumah.
Aku menatap heran eommaku. Bukan karena eomma yang aneh, tapi berpikir kemungkinan siapa gerangan yang membawaku pulang. “Eomma siapa namanya?” tanyaku.
“Ya Tuhan eomma lupa menanyakannya. Setelah membaringkanmu di ranjang ia langsung pulang padahal dia benar-benar basah kuyup. Seharusnya semalam eomma menahannya, setidaknya memberikan handuk atau secangkir coklat panas untuk menghangatkan tubuhnya.” ujar eomma yang mulai melantur.
“Eomma….”
“Ah, ya baiklah. Dia tinggi dan tampan. Hanya itu saja yang eomma tahu. Tapi kalau eomma bertemu dengannya lagi mungkin eomma masih mengenalinya. Aaahhh…. dia benar-benar pria yang bertanggung jawab Hee Jin.” celoteh eomma.
“Kris juga bertanggung jawab. Dia juga pernah menggendongku sampai ke rumah.” tukasku masih membela Kris.
“Ya! Dasar gadis bodoh. Kalau dia bertanggung jawab mana mungkin dia membiarkan seorang gadis menunggu di tengah hujan seperti semalam.” ujar eomma sambil menjitak kepalaku lagi.
“Eomma! Kenapa menjitak kepalaku? Aku sedang sakit.”
“Kau bilang tadi tidak apa-apa! Dasar plin-plan.”
.
.
.
Hari ini aku membawa Chan Yeol ke rumah, ia bilang ia ingin membantuku menyelesaikan tugas dari dosenku yang benar-benar menumpuk. Ya dia memang selalu begitu. Aku mengenal Chan Yeol untuk pertama kalinya saat kami berada di tingkat pertama Seungri Godeung Hakgyo. Saat itu kami berdua sama-sama didaulat sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade yang diadakan oleh Cambridge University. Ya, bisa dibilang kami berdua ini adalah murid paling cerdas di sekolah. Sejak saat itu kami selalu dipasangkan dalam setiap olimpiade, bahkan sampai tingkat nasional. Chan Yeol adalah seorang yang ceria, mudah bergaul dan seseorang yang periang menurutku. Tidak akan bosan jika berlama-lama ngobrol dengannya, selalu ada hal segar yang ia keluarkan ketika berbicara. Dari luar dia tidak terlihat sebagai seseorang yang sangat pintar.
Tampan dan pintar, serta aktif di beberapa keorganisasian di sekolah. Chan Yeol adalah salah seorang idola di sekolah, banyak digilai oleh gadis-gadis bahkan gadis beda sekolah.
Berbeda dengan Kris, ia tampan, kapten tim basket sekolah, salah satu idola juga tapi sayang ia bodoh. Mengerjakan soal fisika yang sangat gampang saja ia kesulitan. Dasar.
“Eomma…wasseo…” ujarku ketika kami masuk ke dalam rumah.
“Eoh kau sudah datang, rapikan sepatumu jangan lupa cuci tangan dan kakimu.” Sahut eomma dari dapur.
“Chan Yeol-ah, tunggulah di sini aku ganti baju dulu, OK?!” Yeol hanya menjawab dengan senyuman mengangguk tipis setelahnya.
Tak beberapa lama aku kembali menghampiri Chan Yeol, ternyata ia sudah mengeluarkan senjata-senjatanya berupa buku-buku tebal dari dalam tasnya serta kacamata yang bertengger di hidungnya membuat Chan Yeol terlihat manis.
Eomma datang dengan dua gelas minuman dan beberapa camilan saat kami sedang terfokus pada angka-angka numerik yang berjejer rapi di setiap halaman buku tebal kami
.
“Eoh? Kau…” eomma sedikit terkejut ketika melihat Chan Yeol.
“Ne eommonim, annyeonghaseyo.” sapa Chan Yeol dengan senyum khasnya.
Mereka sudah saling kenal??
“Hee Jin-ah kau ingat eomma pernah menceritakan soal temanmu yang tampan dan tinggi itu?” tanya eomma berseri-seri.
Ada apa dengan eomma sebenarnya. Aku mengangguk mengiyakan.
“Dia orangnya. Dia yang bersusah payah menggendongmu sampai ke rumah.” jelas eomma yang membuatku terkejut.
“Mwo?? Chan Yeol-ah, apa itu benar?” tanyaku. Sedangkan Chan Yeol hanya menggaru-garuk tengkuknya malu.
Tak terasa sudut-sudut bibirku mulai terangkat naik ketika mengingat tentang semua kejadian yang kami lalui bersama. Ia selalu berusaha membuatku tersenyum. Benar kata eomma dulu, Chan Yeol adalah lelaki yang bertanggung jawab.
Aku benarkan letak selimutnya. Kemudian entah karena setan apa aku mencium kening lelaki ini.
“Chan Yeol-ah, jalja.” ujarku yang kemudian berniat untuk pergi.
Tapi tiba-tiba sebuah tangan menarikku hingga aku terjatuh di atas tubuh Chan Yeol. Ia memelukku.
“Ch..c..Chan Yeol-ah….” panggilku terdengar begitu gugup. Ia mengeratkan pelukannya, kemudian menarik tubuhku hingga berada pada posisi tidur di sampingnya.
“Aku sudah menyuruhmu tidur, tapi kau masih tetap terjaga. Tidurlah.” ucapnya masih dalam keadaan memejamkan matanya.
DEG…DEG..DEG
Dari posisi ini aku bisa mendengar detak jantungnya, hembusan nafasnya di puncak kepalaku menimbulkan sensasi tersendiri. Detak jantungku beradu dengan detak jantungnya menjadi sebuah irama yang begitu menyenangkan. Kehangatan lelaki ini serta aroma khas tubuhnya membuatku dengan cepat disergap oleh rasa kantuk. Tanpa butuh waktu lama, aku tertidur dalam pelukannya.
ΩΩΩ
Hubunganku dengan Chan Yeol kembali membaik sejak kejadian insomnia beberapa hari yang lalu. Tapi aku kembali mengacaukannya malam ini. Saat kami menikmati menawannya langit malam bersama, aku kembali membahas Kris, hingga kembali membuat lelaki di sampingku ini kehilangan kesabaran.
“Langit malam ini indah, pantas saja Kris menyukai segala hal tentang galaxy.” ujarku yang disambut senyum kecut Chan Yeol.
“Bagaimana mungkin kau bisa melupakan Kris jika setiap sisi di hidupmu selalu kau kaitkan dengan lelaki itu?” ujar Chan Yeol tawar, entah ekspresi apa yang sebenarnya ingin ia tunjukkan.
“Aku berusaha.”
“Berusaha untuk membuat hidupmu terpuruk maksudmu?”
“Yeol…”
“Lupakan Kris! Carilah lelaki lain.”
“Yeol! Jangan berdebat denganku.”
“Aku juga tak ingin, tapi kau….ah sudahlah.”
“Kau selalu menyuruhku untuk cepat-cepat melupakan Kris, selalu menyuruhku untuk mencari lelaki lain. Kau tahu? Aku sakit Yeol, terlalu sakit sampai rasanya aku tak bisa melanjutkan hidup. Mencintai seseorang yang telah menyerahkan seluruh rasa cintanya pada orang lain itu sakit Yeol. Kau benar-benar―”
“Apa? Kau ingin bilang kalau aku orang yang egois? Kau ingin bilang jika aku tak pernah mengerti perasaanmu?” Chan Yeol memotong ucapanku dengan terkaan-terkaannya yang 100% persen benar.
“Sebenarnya siapa di sini yang lebih egois? Kau selalu bertingkah seolah kau lah yang paling tersakiti. Lalu bagaimana denganku? Bukankah aku jauh lebih sakit dibanding dirimu? Kau bilang hatimu hancur ketika orang yang kau cintai mencintai orang lain. Lalu bagaimana dengan hatiku? Aku mencintai seorang gadis dimana gadis itu mencintai lelaki yang telah mempunyai gadis lain di dalam hatinya. Hatiku bukan lagi hancur. Tapi sudah tak berbentuk lagi, yang akhirnya hilang terserak ketika angin bertiup. Aku telah bertahan selama ini. Mencoba bersabar dengan semua yang kau lakukan, tapi… kau tak pernah menyadarinya. Sama seperti kau yang tak pernah diistimewakan oleh Kris, rasa sakit itupun sama.” jelas Chan Yeol, sedang air matanya sudah siap untuk mengucur deras.
“Cukup Yeol…”
“Kau selalu mengataiku egois. Ya, aku terima itu. Kau bilang aku selalu memaksamu. Ya, aku juga menerimanya. Kau bahkan memanggilku dengan nama Kris, tapi aku tak marah. Setidaknya kau tak pernah mengalaminya Hee Jin.”
“Aku bilang cukup Yeol!”
“Kau tahu, orang bilang diam itu lebih baik daripada mengatakan hal yang salah. Aku berusaha melakukannya, tapi kau malah makin menjadi. Aku menasihatimu, kau bilang aku egois. Lalu apa yang harus ku lakukan Hee Jin? APAKAH AKU HARUS MENGHILANG DARI HIDUPMU HEE JIN!!!????” teriaknya lagi yang tak mampu menahan emosinya.
“PARK CHAN YEOL!!!”
PLAAKK
Tamparan keras mendarat begitu sempurna di pipi kirinya. Tak pelak kini pipinya berubah menjadi merah. Aku tak tahu bagaimana bisa aku menamparnya?
“GEURAE, KA!! KARAGO!! KEOJYO!!”
Ia memegang pipinya, menatapku seolah tak percaya dengan apa yang ku lakukan.
“Haaahh, bahkan kau menamparku.” ujarnya berdecis seraya mengulum senyum tipis pada wajahnya.
“Geurae, lakukan apapun semaumu Kim Hee Jin.” kemudian ia langsung melenggang pergi tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Setelah ke
pergiannya tubuhku serasa limbung. Kakiku tak kuat untuk menahan berat tubuhku. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku. Aku terus berusaha mencerna apa yang ia katakan. Membuatku tersadar akulah sebenarnya yang egois. Aku yang tak bisa menerima kenyataan bahwa Kris bukan milikku dan pada akhirnya malah melukai diriku sendiri, bahkan melukai seseorang yang sepenuhnya tulus mencintaiku.
Sejak malam itu. Aku tak lagi melihat Chan Yeol. Koper besar miliknya tidak di tempat. Pakaian-pakaian di lemarinyapun turut menghilang. Aku kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Biasanya di samping sepatuku ada sepasang sepatu lain yang menemani, sekarang tak lagi ada. Biasanya sikat gigi berwarna hijau selalu ada di samping sikat gigi berwarna pink milikku, tapi sekarang hanya ada satu sikat gigi dan itu hanya milikku. Aku tak bisa menghubungi nomor Chan Yeol. Aku benar-benar tak tahu di mana keberadaan Chan Yeol saat ini.
Hatiku sakit ketika aku hanya berdiri seorang diri di ruang kosong ini. Aku tak bisa memiliki Kris, dan Chan Yeol menghilang begitu saja. Tak ada lagi senyum manis milik lelaki itu. Tak ada lagi tawa khas milknya. Tak ada lagi……
Hhhhhh…..
Aku kehilangan dirinya. Seseorang yang selalu memelukku sebelum aku terlelap tidur. Seseorang yang dengan setia membangunkanku saat pagi. Seseorang yang akan memegang tanganku dengan erat saat kami berada di keramaian. Seseorang yang…….
Ya Tuhan, aku kehilangan seseorang itu.
Mungkin benar kata orang-orang, bahwa kita akan merasa kehilangan seseorang jika seseorang itu sudah tak lagi bersama kita. Dan, yaaahhh aku merasakannya sekarang. Mungkin ini karmaku karena telah menyakiti hati lembut seorang Park Chan Yeol.
Aku masuk ke kamarnya. Meski aku tahu kamar ini kosong setidaknya ada wangi tubuhnya yang tertinggal di sini. Hidupku makin terpuruk tanpa kehadiran Chan Yeol. Tubuhku semakin hari semakin kurus, aku jarang makan. Makanpun hanya semangkuk mie instant sehari. Aku bahkan tak tidur beberapa hari ini. Hingga suatu hal gila menghampiriku. Ide yang entah datang dari mana, semakin kuat menarikku seiring luka hatiku yang semakin membusuk.
.
.
.
Aku menenggelamkan seluruh tubuhku ke dalam bathtub sampai sebatas leher. Kubiarkan shower di samping bathtub menyala, mengalirkan air hangat dengan asap yang mengepul. Kulihat pergelangan tangan kiriku secara seksama, meneliti guratan-guratan hijau kebiruan di sana. Sedangkan tangan kananku memegang silet kecil yang biasanya digunakan Chan Yeol untuk menghilangkan bulu-bulu yang tumbuh di dagunya. Saat ini bukan itu fungsinya, tapi untuk menghilangkan nyawaku.
Perlahan-lahan ku posisikan silet itu tepat di pergelangan tanganku. Awalnya sedikit takut memang, tapi saat silet itu mulai masuk ke area dalam kulitku aku tak lagi takut. Darah segar yang perlahan mengalir di lenganku membuatku tenang. Aroma anyir khas cairan kental berwarna merah itu seakan menjadi aroma terapi untuk kejiwaanku. Mungkin aku memang sudah gila, tapi ini yang terjadi. Warna air di bathtub yang berubah menjadi warna darah seakan memiliki sensasi tersendiri.
Tuuut…tuuut..tuuut
Selalu seperti itu, saat aku menghubungi Chan Yeol hanya nada seperti itu yang ku dengar. Tersambung memang, tapi tak pernah terangkat. Ayolah Yeol, angkat untuk sekali saja. Setidaknya biarkan aku mendengar suaramu untuk yang terakhir kalinya.
Darah dari pergelangan tanganku tak henti-hentinya mengalir, sampai-sampai perutku menjadi mual. Ku amati lamat-lamat sayatan di pergelangan tanganku. Kenapa terlihat begitu indah.
“HAHAHAHAHA…..” tawaku pecah seketika, entah karena apa, aku pun tak tahu. Mungkin gangguan psikologis yang membuatku seperti ini.
Namun, sedetik kemudian aku mulai menangis. Air mataku keluar begitu saja tanpa ku perintah. Rasa perih yang ku rasakan saat menyayat tanganku tak sebanding dengan rasa perih yang ku rasakan di hatiku saat ini.
Aku menangis, untuk kesekian kalinya aku menangis. Tapi bukan karena Kris, lelaki bersurai kecoklatan itulah yang membuatku menangis. Park Chan Yeol.
Ttuuut…tuuutt…tuuut…
Sekali lagi ku hubungi ponsel Park Chan Yeol, dan sekali lagi pula aku tak mendapat jawaban. Hingga kepalaku terasa berputar, dan semuanya menjadi gelap.
.
.
.
.
.
Bip…bip…bip…
“Hee Jin-ah ireona… jebal. Mianhae. Jeongmal mianhae.”
Sayup-sayup ku dengar suara Chan Yeol menangis memintaku bangun. Ya Tuhan, bahkan matipun aku masih bisa mendengar suara Park Chan Yeol.
“Hee Jin-ah, mianhae jeongmal. Aku berjanji jika nanti kau bangun, aku tak akan mengganggu hidupmu nanti. Aku janji Hee Jin. Tapi aku mohon untuk saat ini bukalah matamu.” suara Chan Yeol itu terdengar begitu nyata. Bahkan aku merasakan bahwa ada seseorang yang memegang tanganku.
“Hee Jin-ah, jebal…..”
Perlahan-lahan ku buka mataku. Putih. Itulah hal yang pertama kali kulihat. Ku edarkan pandanganku hingga aku akhirnya sadar. I’m still alive.
Suara yang ku dengar dan sentuhan yang ku rasa, he is really Park Chan Yeol. Ia menunduk, menggenggam tanganku erat. Aku tahu ia menangis saat ini.
“Yeol-ah…” panggilku lirih.
Seketika ia langsung menegakkan kepalanya, matanya membulat masih dengan sisa-sisa lelehan air mata di sudut-sudut matanya.
“H..Hee..Hee Jin-ah….”
ΩΩΩ
“Kau beruntung memiliki seseorang sepertinya.” seorang wanita berjubah putih dengan stetoskop menggantung di lehernya tengah memeriksaku saat ini. Aku menatap ke arahnya, meminta penjelasan yang lebih padanya.
“Laki-laki itu, dia tak pernah meninggalkan ruangan ini selama kau tak sadar. Ia tak henti-hentinya menangisimu, kerap kali aku melihatnya memegangi tanganmu sembari memanjatkan do’a untuk kesembuhanmu. Bahkan ia tak tidur selama 4 hari ini. Kau beruntung mempunyai lelaki seperti dirinya.” jelas dokter berkebangsaan Jerman itu.
Aku masih terpaku atas ucapannya, hingga aku tak sadar wanita bermata biru itu kini telah tergantikan oleh sosok seorang Park Chan Yeol.
“Istirahatlah, dokter bilang kau harus banyak istirahat agar cepat pulang. 3 jam lagi kau harus bertemu dengan psikiater, jadi istirahatlah. Aku tak akan mengganggu.” ujarnya tanpa senyum yang biasanya selalu bertengger di wajah tampannya. Sibuk menata obatku tanpa sedikitpun berniat untuk menengok ke arahku.
Aku mengamatinya, semuanya. Matanya, hidungnya, bibirnya, pipinya, tangannya, tubuhnya, gerak-geriknya. Semuanya. Semua hal yang sempat menghilang dari hidupku, semua hal yang ku rindukan. Aku bisa melihat sorot matanya yang meredup, ya aku tahu ia sangat lelah. Selama empat hari terjaga hanya untuk menjagaku bukan hal yang mudah untuk dilakukan.
.
.
.
.
.
Aroma khas musim gugur semerbak memenuhi sudut ruanganku kala jendela kaca di samping ranjangku ini terbuka. Menampilkan gumpalan-gumpalan awan putih yang terlukis indah di langit yang membiru.
Aku teringat saat itu, saat pertama kalinya Chan Yeol menyatakan cintanya padaku.
“Hee Jin-ah…….”
“A…ak..aku… menyukaimu”
Aku tersenyum mengingat hal itu. Dengan gugup ia berusaha mati-matian mengungkapkan perasaannya padaku, tapi aku malah membalasnya dengan meninggalkannya begitu saja.
Ia memberiku sebuket bunga mawar, bukannya menerima atau sekedar berterima kasih, aku malah membiarkannya layu dan membusuk di tempat sampah sekolah. Jika teringat semua itu aku jadi sadar kalau aku memang benar-benar orang yang jahat.
Berharap dulu kusadari apa yang kulakukan padamu ketika kau belum sempat terluka olehku. Tapi, terlambat. Aku telah terlanjur melukaimu, terlalu melukaimu bahkan. Dan Tuhan baru mengijinkan aku untuk menyadari bahwa aku mencintaimu sekarang.
KLEK…
Handle pintu bergerak, pintu mulai terbuka dan menampilkan sosok seorang Park Chan Yeol dengan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas susu di tangannya. Dan entah mengapa semakin hari sosok Park Chan Yeol semakin menyilaukan mataku.
“Sudah ku bilang angin sore tak baik untukmu. Berapa kali lagi aku harus mengatakannya padamu Hee Jin?” omel Chan Yeol seraya menutup jendela di hadapanku. Kemudian menuntunku menuju ranjang.
“Aaaaaaa…. buka mulutmu.” ujar Chan Yeol sembari mencoba menyuapkan sesendok bubur padaku. Bukannya membuka mulut, aku malah memalingkan wajahku menjauh dari jangkauan Chan Yeol.
“Hee Jin….” masih tak bergeming, aku tak mau menolehkan wajahku.
“Kim Hee Jin!! Cepat buka mulutmu!! Agar kau cepat sembuh, dan segera keluar dari tempat ini!! Agar aku segera pergi dari hidupmu.” Chan Yeol mulai kehilangan kesabaran atas sikapku.
“Hee Jin-ah, untuk kali ini dengarkan aku. Ayo, buka mulutmu sebelum buburnya menjadi dingin.” bujuk Chan Yeol lagi dengan seulas senyum di wajahnya, kali ini nada bicaranya mulai melembut.
PRAAANKK…!!
Tepisan kasar tanganku berhasil membuat mangkuk di tangan Chan Yeol terhempas dan tercecer di lantai.
Chan Yeol menatapku seolah tak percaya.
“Kim Hee Jin!! Apa yang kau lakukan??”
“Tak bisakah kau menahannya lebih lama lagi? Sebegitu bencinyakah kau padaku Kim Hee Jin?? Oh, ayolah. Setidaknya biarkan aku menjagamu saat kau sedang sakit seperti ini. Saat kau sudah sembuh nanti aku janji aku tak akan mengganggu hidupmu lagi, aku akan enyah dari hidupmu. Agar kau bisa hidup semaumu, agar kau tak merasa tertekan olehku. Agar kau….tak melakukan hal buruk seperti ini lagi. Sebentar saja, cobalah untuk menahannya. Anggap saja ini sebagai salam perpisahanku padamu.” ujarnya menatapku lekat.
“Hhmmmh.. maaf. Aku terbawa emosi. Biar suster yang membersihkannya, aku akan membawakanmu yang baru. Aku akan segera kembali.” ujarnya dengan nada lirih. Ia berbalik ke arah pintu berniat untuk meninggalkanku.
“Kau jahat!! Kau jahat Park Chan Yeol!!” teriakku dengan melempar bantal ke arah Chan
Yeol.
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Tak bisakah kau menunggu sedikit lebih lama lagi? Aku sudah mati-matian berusaha untuk melupakan Kris, aku sudah berusaha semampuku. Tapi apa, saat sedikit demi sedikit bayangan Kris menghilang, saat pintu hatiku mulai terbuka untukmu, saat aku mulai mengosongkan hati dan mencoba mengukir namamu di sana, kau malah berniat untuk meninggalkanku. Kau yang memintaku untuk sedikit demi sedikit mencoba menganggapmu berarti, tapi saat aku telah menganggapmu berarti kau malah pergi.” pandanganku mengabur, tertutup oleh air mata yang berdesakan ingin segera keluar dari tempat persembunyiannya.
“Aku tak bisa memiliki Kris dan kau pergi begitu saja. Lalu bagaimana aku bisa hidup. Kau membuatku terus bergantung padamu, kau yang menyokong hidupku, jika kau pergi lalu bagaimana dengan hidupku? Siapa yang akan menjagaku agar tetap berdiri kokoh? Haruskah aku terus sakit agar kau selalu berada di sampingku, menjagaku?”
“Kim Hee Jin, jaga bicaramu.”
“Kau berjanji untuk terus menjagaku, kau telah membuat janji untuk bertahan denganku. Tapi apa? Kau malah mencoba mengingkarinya dengan meninggalkanku. Apa kau tahu, aku melakukan semua ini bukan karena Kris. Aku melakukannya karenamu Park Chan Yeol! Aku kehilanganmu, aku tak bisa hidup tanpamu. Aku tak sanggup lagi hidup jika tak ada kau di sampingku. Jika dengan sembuh kau akan meninggalkanku, maka aku akan berdoa pada Tuhan agar tak pernah menyembuhkanku.”
“Setidaknya kau harus bertanggung jawab Park Chan Yeol. Kau harus bertanggung jawab atas hatiku, kau harus bertanggung jawab atas hidupku. Kau harus bertanggung jawab karena kau telah membuatku… mencintaimu. Heeu..heu..heu..hiks..hiks…” aku tak lagi bisa menahan tangisku. Aku biarkan diriku terisak sekeras-kerasnya. Biarlah ia menganggapku cengeng, toh pada kenyataannya aku memang cengeng.
GREP….
Chan Yeol merengkuhku dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ku rindukan, pelukan yang mampu meluluhkan kerasnya hatiku. Aku mendapatkannya lagi. Aroma maskulin khas Chanyeol kini kembali merasuk dalam indera penciumanku.
“Maafkan aku Hee Jin. Maaf. Maaf. Aku tak pernah berpikir seperti itu. Maaf aku tak pernah mengerti dirimu. Maaf. Maaf. Maaf.” hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya bergetar, menangis tak kalah hebatnya denganku.
Dan pada akhirnya, kami saling mengerti apa mau kami. Pada akhirnya kami tahu perasaan masing-masing. Tuhan telah mengaturnya sedemikian rupa. Membuatnya rumit di awal namun memberi sentuhan rasa manis pada akhirnya.
ΩΩΩ
“Jin-ah….” panggil lelaki yang kini memiliki surai berwarna hitam itu. Aku tak merespon panggilannya, masih sibuk berkutat dengan smartphone di tanganku.
“Jin-ah… Kim Hee Jin…” pangggilnya untuk yang kesekian kali. Namun belum ada respon dariku. Hingga akhirnya membuatnya melongokkan kepala dari balik dapur.
“Kim Hee Jin? Kau bilang akan melupakan lelaki itu.” protesnya yang kini mencoba mencuri pandang ke arah smartphoneku.
“Euung… memang.”
“Kau masih jadi stalker?”
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya barusan. Ia menaikkan sebelah alisnya, sedangkan bibirnya telah ia poutkan seperti bayi yang ingin meminta susu.
“Oh, ayolah Hee Jin. Astaga, apa kau mau menguji kesabaranku lagi? Kau bilang sudah melupakan bule tiang dari Kanada itu, tapi apa? Kau masih….” omelannya terhenti ketika aku membalik screen ponselku ke arahnya.
Ia tersenyum malu ketika melihatnya. Sesekali menggaruk tengkuknya yang aku tahu tak ada rasa gatal di sana. “Masih mau mengomel di pagi hariku yang cerah ini?” tukasku yang membuatnya semakin salah tingkah.
“Hehehe… maaf ku pikir kau sedang stalking tentang si Kris itu. Ternyata…….” ia menggantung kalimatnya.
“Stalking tentang medsocmu. Kau senang??” tanyaku yang disambut anggukan darinya.
“Sepertinya kau harus ku hukum.” ujarku yang membuatnya mendelik.
“Cium aku!!” ujarku lagi sembari menyodorkan pipiku.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan melakukan banyak kesalahan mulai sekarang!!” ucapnya seperti anak kecil yang langsung menempelkan bibirnya di pipiku.
Dan Tuhan telah merencanakan sebuah jalan untukku. Jalan yang hanya bisa di tempuh dengan melewati jalan-jalan sulit sebelum itu. Sebuah jalan untuk mampu mencapai hatinya. Sebuah jalan agar aku tahu bagaimana cara mencintainya. And this is……..
MY WAY TO LOVE HIM.
_FIN_
Fiuuhhh…
*lapingus
Akhirnya selesai juga second part dari trilogi A WAY. Kirain gak bakalan bisa selesai soalnya gejala malas selalu jadi penghadang. Ya, bersyukur deh soalnya bisa nyelesein bagian ini. Semoga dapat respon yang bagus deh. Hehehehe…
Find me on
Twt : @dini_febri00
See you next time..!!! 안녕…!!