Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all 4828 articles
Browse latest View live

UNMASKED (Chapter 2)

$
0
0

1476252980189

UNMASKED

A story by Aerinim

Chanyeol x Kyungsoo (Chansoo) // 1395 words

*

Kyungsoo adalah anak yang pendiam. Chanyeol berusaha mendekatinya.

*

Chapter 1

*

Do not copy. Do not plagiarize. This story is made by aerinim and any similarities are pure coincidence.

***

“Pulpenmu.”

Kyungsoo tetap melanjutkan menulis catatan tanpa mendongak untuk melihat siapa yang bicara padanya. Tanpa melakukan itu, ia sudah tahu siapa si pemilik suara tersebut. Orang itu menaruh pulpen yang kemarin ia pinjam dari Kyungsoo. “Terima kasih,” lanjutnya.

Kyungsoo tidak menghiraukan Chanyeol yang masih terdiam dihadapannya sambil menatap dirinya yang sedang mencatat. Namun lama kelamaan, tingkah Chanyeol membuatnya risih. “Bisa kau pergi? Kau menggangguku.”

Mendengar Kyungsoo bicara, Chanyeol langsung berjongkok agar mereka saling bertatapan. Chanyeol melipat tangannya diatas meja Kyungsoo, membuat wajah Kyungsoo memerah.

“Soal kemarin…”

“Aku tidak ingin membicarakan tentang kemarin,” potong Kyungsoo tanpa melihat Chanyeol.

Karena kesal, Chanyeol merebut pensil yang sedang digunakan Kyungsoo untuk mengambil perhatiannya. “Dengar dulu!”

“Fine!” seru Kyungsoo yang akhirnya menyerah dan melihat Chanyeol dengan kesal. “Cepat bicara.”

“Kemarin aku tidak bermaksud meninggalkanmu. Aku ada urusan mendadak…“ Chanyeol terdiam.

Kyungsoo menatap Chanyeol dengan bingung karena ia tiba-tiba berhenti bicara. Lalu Chanyeol mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan beranjak pergi untuk menerima telepon. Kyungsoo pun memakluminya dan pandangannya tidak lepas dari laki-laki jangkung yang sedang berbicara di telepon di pojok kelas.

Beberapa menit kemudian, Chanyeol kembali ke Kyungsoo dengan tampang khawatir. Kyungsoo masih terdiam menunggu ia bicara. “Maaf aku harus pergi sekarang.”

Kyungsoo menghela napas berat lalu melanjutkan menulis catatannya. Di saat yang bersamaan, Chanyeol mengambil tasnya dan langsung berjalan keluar kelas. Seperti itu, Chanyeol meninggalkan Kyungsoo lagi. Sedangkan Kyungsoo sendiri tahu hal itu akan terjadi sehingga ia sudah mempersiapkan diri agar tidak kesal.

Setelah jam sekolah selesai, Kyungsoo pulang tidak melewati jalan biasa. Ia melewati jalan yang lebih jauh karena ia malas cepat sampai ke rumah. Dengan sekaleng kopi yang ia beli tadi, ia berjalan tanpa buru-buru.

Saat akan melewati sebuah rumah sakit, ia melihat Chanyeol sedang mengendarai sepeda dari arah yang berlawanan, bersama seorang gadis di belakangnya yang memeluk erat tubuh Chanyeol. Kyungsoo terdiam selama beberapa saat untuk memastikan apakah orang itu benar-benar Chanyeol. Pengeliatannya ternyata tidak salah, lalu Chanyeol bersama gadis itu masuk ke dalam area rumah sakit.

Jadi ini alasannya ia selalu pergi? Apakah orang terdekatnya sedang sakit? tanya Kyungsoo dalam hati. Ia merasa bersalah karena telah marah dengan Chanyeol sejak kemarin. Dan siapa gadis itu?

Pikiran Kyungsoo dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang Chanyeol. Kemudian ia pun memutuskan untuk melalukan hal yang gila.

Sementara itu dirumah sakit, Chanyeol membuka pintu sebuah kamar. “Apa dia disini?” tanya gadis yang datang bersamanya. Chanyeol hanya mengangguk.

Di dalam tidak hanya ada satu pasien saja, melainkan tiga dalam satu ruangan. Ia berjalan ke pasien paling ujung di dekat jendela. Terlihat wanita dewasa yang terbaring lemah, namun senyumnya langsung terlihat setelah Chanyeol muncul.

“Eomma, Seulgi disini,” ucap Chanyeol pelan karena takut mengganggu pasien lain.

Gadis yang daritadi bersamanya langsung memeluk ibunya. “Maaf aku baru datang,” ucapnya, hampir menangis.

“Tidak apa-apa, aku senang bisa melihat kalian sekarang,” balas Eomma. Ia pun melepas pelukan untuk menatap putrinya. “Sudah makan?”

Seulgi mengangguk. “Oppa membawakanku mandu sebelum pergi kesini.”

Eomma mengangguk sambil tersenyum. “Ayo duduk! Kalian harus menceritakan banyak hal,” kata Eomma sambil berusaha duduk. Chanyeol yang melihat hal tersebut langsung membantu dan menaikan sandaran kasur agar Eomma duduk dengan nyaman. Eomma mengelus rambut Chanyeol lalu menatap Seulgi, “terutama kau, Seulgi.”

Satu jam kemudian, Chanyeol keluar dari ruangan, meninggalkan Seulgi dan Eomma yang sudah terlelap. Saat berjalan di lobby, ia melihat Kyungsoo yang sedang duduk sendirian. “Kyungsoo!”

Laki-laki itu menoleh dan mendapati Chanyeol sedang berlari kearahnya. Ia pun segera beranjak dari kursi.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Chanyeol.

“Uh, bisa kita bicara?” Kyungsoo tidak menjawab Chanyeol dan malah balik bertanya. “Diluar saja.”

Keduanya pun berjalan keluar. Kyungsoo yang berjalan lebih dulu sedang berusaha merangkai kata-kata yang bagus di dalam hati untuk diucapkan ke Chanyeol setelah ini. Ia sudah menunggu selama satu jam lebih dan masih belum menemukan kalimat yang tepat untuk disampaikan ke Chanyeol. Ia masih merasa malu dan bersalah kepada Chanyeol.

Langkah Kyungsoo berhenti setelah menyadari bahwa mereka sudah berada di luar gedung. Dengan wajah yang memerah karena malu, ia langsung berbalik badan, membuat Chanyeol sedikit terkejut.

“MAAF!” seru Kyungsoo, membuat orang-orang disekitar mereka menoleh.

Chanyeol menatap Kyungsoo dengan bingung dan ia juga merasa malu karena semua orang sedang menatap mereka sekarang. Tidak membalas Kyungsoo, ia malah menarik tangan Kyungsoo dan berjalan menjauhi orang-orang. Hal itu membuat wajah Kyungsoo makin memerah, kali ini karena ia tidak percaya seseorang sedang menggenggam tangannya sekarang.

“Tanganmu dingin sekali,” ucap Chanyeol setelah berbalik badan dan menghadap Kyungsoo. Perkataannya membuat Kyungsoo terkejut dan langsung memasukan tangannya ke dalam saku celana. “Apa yang mau kau katakan?” Chanyeol berbalik badan setelah mereka berada di parkiran mobil yang lumayan sepi. Melihat Kyungsoo yang diam mematung di depannya, ia pun membungkukan badannya untuk menatap wajah Kyungsoo.

Kyungsoo yang pikirannya sudah tidak jelas kemana akhirnya kembali ke realita setelah melihat wajah Chanyeol yang berjarak sangat dekat dengannya. Tanpa berpikir panjang ia segera mundur sedikit kebelakang. Chanyeol menghela napas sambil kembali berdiri tegak. “Apa?”

“A-apanya yang apa?” tanya Kyungsoo sambil tersenyum grogi. Ia bahkan tidak berani melihat mata Chanyeol.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Chanyeol mulai kesal lalu melipat tangannya sambil terus menatap Kyungsoo. “Kau ini aneh sekali,” katanya. “Kau tadi mau mengatakan apa?”

Rasanya bibir Kyungsoo tertutup rapat. Keberaniannya untuk meminta maaf kepada Chanyeol sudah hilang. Seharusnya dia tidak menyentuh tanganku, ucap Kyungsoo dalam hati dan wajahnya mulai memerah lagi.

“Sudah, ya, kalau begitu,” ucap Chanyeol. Saat baru akan berbalik, Kyungsoo menarik lengan baju Chanyeol dan membuatnya berhenti melangkah. Laki-laki jangkung itu menoleh perlahan. Ia tidak dapat melihat wajah Kyungsoo karena ia menunduk. “Kenapa-“

“Maaf,” ucap Kyungsoo dengan pelan.

Chanyeol terdiam sesaat. “Kenapa?” tanya Chanyeol, pelan.

“Aku marah padamu karena kau meninggalkanku saat di toko buku dan tadi pagi aku tidak mau mendengarkan alasanmu tentang itu,” jawab Kyungsoo. Ia mendongak untuk menatap Chanyeol. “Aku tidak tahu orang yang dekat denganmu sedang sakit. Aku minta maaf.”

Chanyeol tersenyum lalu mengacak-acak rambut Kyungsoo. “Syukurlah kau sadar.”

“Hei!” seru Kyungsoo sambil merapikan rambutnya. Ia mendengus kesal karena ulah Chanyeol. Sedangkan si laki-laki jangkung hanya tertawa melihatnya.

Tiba-tiba, Chanyeol menyentuh tangan Kyungsoo yang baru selesai merapikan rambut, lalu menggenggam erat tangannya itu. “Tanganmu itu dingin sekali,” kata Chanyeol sambil merogoh saku jaketnya.

Kyungsoo hanya terdiam, namun hatinya berdetak cepat. Lalu, Chanyeol mengeluarkan sarung tangan berwarna putih dengan bahan yang sangat lembut. Ia pun memakaikan sarung tangan itu ke tangan kanan Kyungsoo. Kemudian Chanyeol mengeluarkan pasangannya dan menaruh di tangan kiri Kyungsoo. “Ini, pakai sendiri,” katanya lalu tertawa.

Kyungsoo pun memakai sarung tangan itu. “Terima kasih,” ucapnya. Chanyeol tersenyum lalu menarik tangan Kyungsoo sebelum berjalan. “Kita mau kemana?”

“Minum kopi,” jawab Chanyeol. “Kemarin ‘kan tidak jadi.”

“Kau akan mentraktirku, kan?”

Chanyeol tertawa. “Tentu saja!”

Mereka pun berjalan menuju café terdekat. Mereka sama-sama memesan kopi panas lalu duduk berhadapan di tempat dekat jendela.

“Omong-omong, siapa yang sedang sakit?” tanya Kyungsoo.

“Ibuku. Bukan penyakit serius kok,” jawab Chanyeol sambil memainkan buzzer yang akan bergetar jika minuman mereka sudah siap diambil. Kyungsoo hanya mengangguk-angguk. “Sekarang ia sedang bersama adikku.”

Oh, jadi itu adiknya, kata Kyungsoo dalam hati. “Kau punya adik?”

“Iya, adik perempuan,” jawab Chanyeol. “Sebenarnya adik tiri.”

“Apa?” Kyungsoo terkejut.

“Ayahku meninggal saat aku masih kecil, lalu Ibuku menikah dengan laki-laki lain. Setelah Ibu melahirkan adikku, Ayah tiriku kabur meninggalkan kami,” ucap Chanyeol. “Sekarang adikku, Seulgi, memilih untuk tinggal bersama Pamannya di Daegu karena tidak mau menyusahkan Eomma.”

“Ke…kenapa?”

“Perekonomian keluarga kami sangat pas-pasan. Tidak seburuk yang kau kira, tapi tetap saja. Seulgi bersekolah dengan gratis disana dan ia juga membantu Paman di restorannya. Ia selalu mengirimkan uang yang ia hasilkan setiap bulan. Awalnya Eomma tidak setuju saat ia mengatakan ia mau bekerja, tapi kami tidak punya pilihan lain,” jawab Chanyeol dengan senyuman yang dipaksa. “Setelah Seulgi pindah, Eomma melarangku untuk bekerja dan fokus untuk belajar. Lalu aku mendapat beasiswa ke sekolah kita yang sekarang.”

Kyungsoo mengangguk-angguk. Ia tidak menyangka kehidupan Chanyeol berat, beda sekali dengan dirinya. Ia bisa saja memiliki ponsel keluaran terbaru yang harganya sangat mahal jika ia meminta ke orang tuanya, tapi ia bukan anak yang seperti itu.

“Maaf aku bertanya soal keluargamu,” ucap Kyungsoo. Ia benar-benar merasa bersalah. Ia tidak bermaksud untuk bertanya tentang kehidupan Chanyeol.

“Tidak apa-apa!” kata Chanyeol dengan nada bersemangat. Lalu buzzer mereka bergetar dan Chanyeol segera bangkit untuk mengambil kopi mereka.

Saat itu, Kyungsoo merasa ia tidak boleh kehilangan Chanyeol, karena mereka sama-sama membutuhkan teman. Ia percaya bahwa Chanyeol tidak akan berubah seperti anak-anak lain yang tidak menganggap dirinya ada.

Dan ia tahu pasti bahwa sedikit demi sedikit perasaannya terhadap Chanyeol mulai muncul.

***

to be continued

klise banget but i really wanna write a story like this xD



Women In Black: Teaser

$
0
0

women in black and grey

Sequel Men In Black

Twelveblossom (twelveblossom.wordpress.com) | Sehun, Jung Nara, and EXO | Crime & Romance | Series | PG 15 | Line @nyc8880l

“No matter how much I tell you, you don’t listen. You throw your whole body towards him again.” ―Moonlight, EXO

Sekali lagi Jongin memutar bola mata, mendengarkan pembelaan tak masuk akal dari lawan bicaranya. “Bisa dibilang kau punya kesempatan hidup sekali lagi. Kehidupan baru yang memiliki latar belakang lumayan―setidaknya dirimu yang sekarang, bukan lagi dari kasta bawah yang terinjak-injak.” Kelakar pria yang mengenakan jas praktik bewarna putih, membalut sempurna tubuh atletisnya.

Lantaran kembali berkoar si Wanita malah menyunggingkan seringaian khasnya.

“Jung Nara,” gumam Jongin putus asa. Ia memporandakan surai kelabunya. “Jangan bilang kau memiliki perjanjian lain dengan para tetua―ayah Sehun?” Lanjut Jongin.

Nara melejitkan bahunya acuh, ia beranjak dari tempat singgahnya. “Kim Jongin belajarlah untuk memanggilku Gabrielle atau jika lidahmu terlalu sukar beradaptasi―cukup Elle saja,” tutur wanita anggun yang mengenakan gaun malam berpotongan rendah, surainya tersanggul apik―riasan tipis menunjukkan kerupawanannya. “Tidak ada perjanjian, akan tetapi Mr. Oh menginginkan caraku kembali yang luar biasa. Tentu saja, aku harus mempersiapkan sesuatu yang istimewa untuk Sehun, bukan?” tanya Nara―Elle retoris.

“Terserah kau saja, asal kau ingat kemurkaan si Pewaris bukan sesuatu yang dapat dipermainkan.” Ujar Jongin, menutup perdebatan kecil mereka di tengah makan malam.

Nara tersenyum simpul, atensinya beralih pada gelas anggur yang tercecap setengah bagian. “Sampai jumpa, Oh Sehun.” Bibir tipis Nara bertutur―meninggalkan dingin yang mengigil.

-oOo-

a/n:

  • Cerita mereka yang lain dapat dibacak denga klik >>> Project. Terima kasih sudah membaca^^.

[Author Tetap] Mistake (chap 3)

$
0
0

Cast: Park Chanyeol, Jun Rayeon (OC)

Genre: Romance, comedy(?)

Rate: PG-13

Disc: INI FF ASLI MILIK SAYA. No copas or plagiat and don’t be silent readers guys!

Hai guys, semoga kalian suka ff ini ya. Chapter 2 dan 1 beda banget reaksinya.. tapi gapapa, aku tetep lanjut kok.. wkwk.

.

.

.

“Sebenarnya apa yang terjadi?!” Batin Rayeon menjerit.

Pagi membuat Rayeon dan Chanyeol membuka mata dan turun. Rayeon tidak tau apa yang akan terjadi hari ini, ia tidak dapat menebak fikiran Chanyeol.

“Ra, aku harus pergi hari ini. Tunggu aku dan kita akan pergi makan malam bersama.” Rayeon tersenyum dan mengangguk.

“Apa aku boleh pergi?” Tanya Rayeon ragu seraya duduk dihadapan Chanyeol.

Chanyeol baru ingin menyantap makanan namun terhenti dan menatap Rayeon seakan berfikir.

“Janjilah kepadaku, kau akan kembali.” Ujar Chanyeol serius membuat Rayeon mengangguk pasrah.

“Bisakah aku bertanya?”

“Bukankah itu juga pertanyaan.” Chanyeol tersenyum menatap Rayeon yang gugup.

“Kenapa aku disini? Siapa kau? Apa yang ayahmu inginkan dariku? Apa yang telah terjadi?” Rayeon menatap Chanyeol dengan memohon.

Ini sudah ke 3 kalinya ia bertanya dan jujur, selama Rayeon bersama Chanyeol, ia merasa nyaman namun ketakutan. Ia tidak tau apa yang telah terjadi, dirinya bukanlah seorang cinderella.

“Aku akan jelaskan nanti malam. Sekarang, kau harus makan.” Jawaban Chanyeol benar-benar membuat Rayeon frustasi namun dirinya tidak dapat melakukan apapun selain menunggu.

“Kumohon.. tolong jawab aku hari ini..” Chanyeol menghela nafas lalu menghentikan makanannya. Ia menatap jam yang menunjukan pukul 8.00 AM-kst.

“Aku harus pergi, nikmatilah harimu. Oh, aku juga sudah mengisi kartu ini. Kau harus membeli beberapa pakaian nanti. Aku pergi.” Pamit Chanyeol setelah memberikan kartu kredit ke Rayeon bersama dengan seorang supir.

“Hati-hati.” Lirih Rayeon kecil membuat Chanyeol kembali dan mengecup keningnya.

“Bukankah kita seperti pengantin baru?” Bisik Chanyeol membuat wajah Rayeon memerah karena malu.

Chanyeol meninggalkan pintu dengan senyum puas terukir dibibir sedangkan Rayeon membeku dengan wajah merah.

Oh, ini terlalu pagi Park Chanyeol..

.

.

.

Rayeon pov*

Aku memandang langit-langit kasur dengan bosan. Pesan masuk membuat handphoneku berbunyi.

Bangkit dari kasur, aku menatap pesan masuk tersebut.

Line

P.Chanyeol: Apa kabar manis? Sudah bosan? Gunakan kartu itu dan bersenang-senanglah. Aku akan pulang cepat.

Baiklah, pesan itu memang membuatku tersenyum. Bagaimana bisa Chanyeol melakukan hal ini padaku? Dan mengapa aku sangat bodoh?

“Aku harus pergi dari sini..”

Kakiku melangkah menuju lemari dan mengambil baju bergaris hitam putih dan celana panjang. Kuambil tas kecilku dan memakai sepatu serta topi milik Chanyeol yang tergeletak diatas meja.

“Anda mau kemana nyonya?” Tanya seorang pelayan wanita yang berumur 50/60-an.

“A-aku ingin berjalan-jalan.” Aku tersenyum gugup yang dibalas senyuman manis olehnya.

“Akan kupanggilkan supir Kang untuk mengantarmu.” Aku menggeleng dan mencegahnya namun pelayan itu tetap memanggil supir Kang.

“Aku bisa pergi sendiri..”

“Tapi tuan Chanyeol berkata bahwa kau tidak boleh keluar rumah jika bukan diantar supir Kang.” Oh, Chanyeol! Menyebalkan.

“Baiklah.” Pasrahku lalu keluar dan memasuki mobil Chanyeol yang terparkir didepan pintu masuk.

Supir Kang telah siap dan menatapku dari kaca spion.

“Kemana kita akan pergi?”

“Mall, mana saja yang terdekat.” Jawabku asal lalu mengetik pesan pada Chanyeol.

Line

Rayeon: Bagaimana kau tau kontakku?

Rayeon: dan kau menyebalkan! Kenapa kau menyuruh supir Kang mengantarku jika aku ingin pergi? Aku kira kita punya deal.

P.Chanyeol: Aku bisa mengetahui apapun tentangmu dan aku tidak mempunyai jaminan bahwa kau tidak akan pergi meninggalkanku.

P.Chanyeol: Bersenang-senanglah.

Kubaca pesan itu lalu turun dari mobil dan masuk ke dalam mall. Banyak orang berlalu lalang dan aku tidak terbiasa berjalan sendirian.

Astaga, aku pasti gila untuk pergi ke sini sendirian. Kubuka daftar kontak dan menelpon Haerin, sahabatku.

“Haerin ah, bisakah kau datang kesini? Ini di mall KSC. Aku sendirian, kumohon temani dan bantu aku.”

“Ini sangat mendadak Rayeon ah, tunggu aku butuh ijin Jongin.”

Jongin lagi, dia bahkan bukan orang tuanya tapi Jongin sangat mengekang sahabatnya itu.

“Aku akan sampai sekitar jam 12, berjalan-jalanlah.” Senyumku mengembang dan mengucapkan terimakasih.

Kulihat kesekeliling dan menatap 1 toko baju.

“Kau harus membeli beberapa pakaian nanti.” 

Ah, kurasa aku perlu membeli beberapa baju. Akan ku kembalikan uangnya nanti.

Beberapa baju menarik perhatianku, harganya juga tak main-main. Aku bahkan ragu untuk membelinya namun aku harus membeli beberapa baju sebelum makan malam nanti.

Kubeli beberapa pakaian dalam dan baju serta terusan. Walau harganya mahal, lebih baik dari pada harus telanjang bukan?

I love you

I love you dangerously~~

Haerin, dia pasti sudah sampai.

“Hallo, Haerin ah.” Sapaku terlebih dahulu.

“Rayeon ah, aku sudah sampai. Ayo bertemu di foodcourt. Sekalian kita makan disana.”

“Baiklah.”

Telepon tertutup, aku menatap barang belanjaanku dan membawanya pergi ke tempat kami bertemu.

“Ra!” Teriak Haerin membuatku menatapnya dan tersenyum.

Kulangkahkan kakiku dan duduk dihadapannya.

“Maaf aku membuatmu pergi sejauh ini.” Ujarku memulai pembicaraan.

“Tidak apa. Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Haerin menatapku bingung. Ya, tentu saja dirinya bingung. Terakhir kali aku bertemunya, kondisiku sangat parah dan tidak punya uang.

“Aku disini karena seseorang. Ia membantuku dan membuatku tinggal disini beberapa hari. Aku tak tau apa yang diinginkannya namun kurasa dia bukanlah orang yang jahat.” Aku tersenyum meyakinkan dirinya.

“Apa kau melakukannya?” Aku mengerti apa yang ia katakan, kurasa semua orang akan penasaran jika mengetahui kondisiku, kurasa..

“Tidak, aku hampir saja melakukan hal bodoh itu. Dia adalah orang yang membantuku meyakinkan bahwa itu pilihan terbodoh. Dia juga sangat baik dan hangat.” Aku tersenyum seperti orang idiot hanya karena memikirkannya, ini sangat aneh.

“Dia ini, dia itu. Ayolah, siapa dia? Ceritakan dan perkenalkan!” Haerin selalu seperti ini, terlalu penasaran.

“Aku tidak bisa menceritakan siapa dia, akupun tidak mengenalnya. Yang kutau, namanya Chanyeol.” Haerin memukul bahu Rayeon membuatnya meringis.

“Kau hanya mengetahui nama dan kau percaya padanya?! Apa kau gila?”

“Ya, aku rasa aku gila. Entahlah. Aku tidak tau lagi.” Haerin menatapku serius sekarang.

“Kau harus berhati-hati.” Aku tersenyum menatapnya.

“Tentu.”

Kami memesan makanan masing-masing dan makan sesekali bercanda ria. Haerin dan diriku adalah teman akrab, kami saling kenal sejak SMP dan bisa dibilang hanya dirinya teman yang masih sangat dekat denganku.

“Kau membeli baju sebanyak ini?” Tanya Haerin menatap beberapa tas belanjaanku.

“Aku tidak memiliki baju sehelaipun.” Ujarku lalu merapikan barang bawaanku.

Haerin mengangguk dan tersenyum.

“Aku akan mengajakmu berkeliling. Kau sudah belanja, aku belum. Kau harus menemaniku.” Aku mengangguk.

Kami bangkit dan berjalan memasuki beberapa tempat. Haerin membeli beberapa dress mini dan beberapa baju.

“Kurasa ini cukup.” Ujarnya lalu tersenyum puas.

“Tentu! Kau sudah hampir membeli baju yang cukup untuk tahun baru.” Kami tertawa kecil. Bagi Haerin, ini semua bukan masalah karena orang tuanya yang kaya.

“Aku bahkan harus berfikir 2 kali sebelum menggosokkan kartu.”

“Kau bisa meminjamku. Asalkan ayahku tak tau ini tak masalah.” Aku tersenyum kecut. Ayah Haerin membenciku, ia tidak menyukai status keluargaku yang berantakan dan miskin. Berbeda dengan Haerin yang baik dan selalu menolongku.

“Aku tidak ingin merepotkanmu.” Kami berjalan menuju air mancur di halaman mall.

Orang-orang berlalu lalang dan banyak anak kecil bermain. Air mancur yang indah menjadikan tempat ini tempat berkencan. Salah satunya mungkin Chanyeol.

Kutatap Chanyeol yang berdiri disana. Matanya berbinar menatap seorang gadis dihadapannya. Dirinya memeluk gadis itu dengan erat.

“Kurasa aku harus pulang.” Wajahku tidak terkontrol.

Raut wajahku menjadi dingin dan entah mengapa aku sangat kesal melihat Chanyeol. Dirinya seakan.. mempermainkanku..

“Benarkah? Ini sudah jam 5, kurasa aku juga harus pulang. Akan memakan waktu lama untukku kembali.” Aku memaksakan senyum dan mengangguk.

“Ayo.” Ajakku, kami berpisah di depan lobby.

Aku menghela nafas panjang lalu menelpon Chanyeol.

“Rayeon? Ada apa?”

“Dimana kau?” Aku tidak ingin basa basi sekarang. Moodku sangat tidak stabil.

“Aku baru akan pulang. Kenapa?”

“Dimana kau?” Tanyaku sekali lagi.

Rayeon pov end*

Author pov*

Rayeon menanyakan hal yang sudah jelas. Chanyeol menyipitkan matanya saat melihat gadis ditelepon sedang terlihat datar dan dingin.

“Aku di belakangmu.” Dengan sigap Rayeon menatap sekitar dan menemukan Chanyeol.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Chanyeol namun terhenti saat melihat belanjaan Rayeon.

“Ah, akan kubawa.” Chanyeol menarik belanjaan dari tangan Rayeon lalu menuntunnya ke mobil.

“Ada apa? Kenapa kau diam?” Tanya Chanyeol membuat Rayeon berpura pura tidur.

Chanyeol menghela nafas berat melihat Rayeon yang menghindarinya.

“Turunlah, kita akan makan malam.” Ujar Chanyeol yang diangguki Rayeon.

Chanyeol dan Rayeon saling menatap kembali di meja makan. Mereka tidak berbicara namun menikmati makan malam masing-masing.

“Kenapa? Apa yang terjadi? Ini sangat awkward!” Chanyeol melepasnya sekarang. Wajahnya menatap Rayeon bingung.

“Siapa kau? Apa yang kau mau? Kenapa aku disini?” Tanya Rayeon untuk kesekian kalinya. Chanyeol menghela nafas berat lalu menatap ponselnya yang berdering dan mengangkatnya.

“Hallo, Ahra? Kau dimana? Sekarang? Baiklah.”

“Kau bukan Jun Ahra calon tunanganku. Maaf, aku harus pergi.” Ujar Chanyeol meninggalkan Rayeon yang diam dengan segala kebingungan dihatinya.

Ya benar, hari itu perasaan Rayeon sangat kacau. Ia seakan dipermainkan.

Dalam 3 hari? Mungkinkah Rayeon telah jatuh cinta pada Chanyeol? Tidak mungkin! Itu terlalu gila. Mereka tak saling mengenal, bahkan Chanyeol mengatakannya. Rayeon bukanlah yang dirinya cari..

“Ini sungguh bodoh..”
TBC..

.

.

.

hai guys, jangan lupa like dan comment ya!🙂 makasih ud baca. Tunggu kelanjutannya ya.. kalo aku sempet dan like serta commentnya banyak wkwk.


Snowy Heart (Prologue)

$
0
0

Cast: Kim Kai, Ahn Yeori

Genre: Romance

Rate: PG-13

Disc: Ff milik saya, no copas apalagi plagiat! Readers, comment saran atau like doank juga gapapa kok hehe.

.

.

.

Disaat salju berjatuhan, orang-orang akan senang. Namun mereka lupa, saat musim panas datang, salju hanya menjadi air.

Menjadi kesenangan seketika yang hilang didalam hangatnya sinar mentari.

Salju kembali turun, membuat rambut Yeori yang panjang digerai menjadi dingin. Tangannya mulai terulur untuk menangkap salju yang dingin dan lembut.

Salju mengingatkannya akan Kim Kai, laki-laki dingin yang lembut. Laki-laki yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Jika saja semua itu tidak terjadi. Mungkin, hanya mungkin.. dirinya masih berada disisi Kai, disebelahnya tertawa ria akan salju terakhir dimusim dingin ini.

Wajahnya menunduk kebawah, menatap cairang bening yang membasahi telapak tangannya yang mengenakan sarung tangan hangat. Mungkin sangat hangat, hingga salju tadi sudah menjadi cairang bening yang dingin.

Yeori membersihkan cairan basah di tangannya dan menatap langit. Nafasnya mulai berat, uap putih mulai terlihat saat ia menghembuskan nafas panjang. Matanya mulai tertutup dan menikmati hujan salju yang dingin itu. Salju terakhir di bulan desember, salju yang membuat hatinya sakit, tak seperti salju pertama yang sangat indah. Salju kali ini seakan menusuk hati Yeori dengan sangat lambat dan dalam. Menyiksa.

Mata Yeori mulai terbuka, pandangannya lurus kedepan. Tatapan dingin dan perih terlihat dalam sorot matanya. Lurus ia menatap yang dihadapannya dan mencoba tersenyum. Meyakini bahwa senyuman di bibirnya kini bukan hanya kehambaran yang menyakitkan namun juga senyum terindah yang ia miliki.

“Aku kembali, Kim Kai..”
.

.

.
Hai, ini baru prolog makanya pendek hehe. Kalo kalian penasaran like dan comment dan ff ini bakal aku bikin chapter hehe.


Dirty Breath (Intro)

$
0
0

dirty-breath

DIRTY BREATH

WRITTEN BY ALKINDI

Chaptered | Romance, Marriage Life, Crime, Angst | PG-17

Sehun | Khanza

also

Byun Baekhyun | Kim Seung Wook | Oh Dae Young | Oh Hayoung

[Oh Sehun – 25 y.o]

14369198_189237658153716_945626657_n

[Khanza Kim – 25 y.o]

8a6eb5620e60b15a18ea6f9305bcb587

Hai long time no see yah ! Ini adalah project ff ku waktu holiday ;v Dan ff ini hanya dikhususkan untuk good reader. Silent reader emang bisa baca, tapi nggak semua part. Wahahaha /ketawa evil/ chapter 1 bakal di upload cepat kalau banyak respon. ayolah, this is my big project. So make it easy with your feedback. 


Cross Walk (Misunderstand)-OneShoot

$
0
0

untitled-3

Cast : Oh Sehun// Nam Jiyoo (OC)
Other : Exo member
Genre : Sad, Romance
Laught : OneShoot
Rating : General
Disclaimer : cerita murni dari pemikiran saya. Maaf untuk typo .

“Do not make decisions that will make you regret it.”

*

*

Aku dengannya seperti lem dan kertas yang jika disatukan sulit terlepas. Seperti halnya bulan dan matahari yang sama-sma bersinar menerangi dunia.

Sudah tiga tahun lamanya kami bersama,saling mengucap kata cinta,saling berbagi dan juga saling memahami.

Ohh, itu hanya berlaku tiga tahun yang lalu.Sekarang hubungan kami sangatlah rapuh. Akan retak jika lalai satu sama lain.

Diiantara kebahagiaan yang kami miliki, tak jarang kami bertengkar. Entah itu masalah kecil maupun besar. Masalah yang seringkali mengancam hubungam kami. Tapi tentu saja kami selalu berfikir baik untuk menyelesaikan perkara itu.

‘Jangan membuat keputusan yang akan membuatmu menyesal. ‘

Aku sudah berkali-kali mengatakan itu padanya, tapi kali ini sesuatu yang kujalani membuat dia sangat marah dan membuat ego keras kepala menguasi otaknya. Apa yang kulakukan telah salah di matanya, bahkan untuk bekerja sekalipun.

Hari ini langit mendung menjadi saksi jatuhnya air mataku, sekarang aku berharap hujan turun agar bisa menutupi air kesakitan ini.

Aku menghadang jalannya, menahannya agar berhenti melangkah.

‘tuuuut’

Suara klakson itu seolah hanya nagin, aku menulikan telingaku saat ini.

Mungkin orang lain akan menganggap kami gila karena berdiri di tengah crosswalk. Garis teratur namun terpisah itu sama halnya dengan hubungan kami. Lurus namun terputus-putus.

Kembali kemasalah yang kualami, barusaja aku mendapat sebuah tuduhan menyakitkan dari kekasihku sendiri. Tuduhan yang tak terbukti kebenarannya sama sekali.

Kutatap mata elang yang menghunusku dengan  sejuta amarah itu. Sekali lagi aku mencoba untuk meraih lengannya, namun ia menepis dengan kasar. Ini benar-benar pertengkaran terburuk kami selama menjalin hubungan.

“Sehun-ah. Dengar penjelasanku!” pintaku dengan tatapan memohon. Oh Sehun, pria yang berstatus kekasihku ini menghembuskan nafas panjang. Aku tau, sangat tau hatinya sedang terluka.

“Sudahlah. Semuanya sudah jelas. Kau tak perlu repot  menciptakan sebuah alasan.” Ujarnya yang langsung membuat hatiku membeku.

“kukatakan sekali lagi. Kau hanya salah faham. Aku dan Chanyeol hanya sekedar berteman, kami –“

“teman? Kalian hanya berteman? Lalu kenapa kau diam saja saat dia akan menciummu?” serobotnya memotong ucapanku.

Slah faham, sungguh Sehun hanya salah faham. Park Chanyeol , dia adalah pria yang menjadi mitra bisnisku sejak 3 bulan yang lalu. Aku tak bermaksud selalu dekat dengannya, tapi pekerjaan lah yang membuat kami selalu bersama setiap hari. Dan tentang apa yang Sehun katakan tadi tidaklah benar. Chanyeol tidak pernah akan menciumku.

Kejadiannya begitu konyol,tadi Chanyeol hanya berusaha memasangkan kalungku yang terlepas. Dan Sehun langsung salah menafsirkan saat melihat dari belakang.

Aku sudah menjelaskannya seperti itu tadi, begitupun Chanyeol. Tetapi kemarahan membuat akal sehat Sehun hilang.

“Sehun-ah, kumohon percayalah! Yang kau lihat tidak seperti apa yang kau fikirkan saat ini.” terangku sekali lagi. Ia semakin maju, netranya menusukku sangat dingin dan menyakitkan.

“baiklah, lalu bagaimana dengan yang lalu? kau mengebaikanku karena sibuk dengannya,kau menolak kujemput karena pulang bersamanya,dan bahkan saat aku menelfonmu Chanyeol lah yang menerimanya. Aku sudah cukup bersabar, dan tadi itu membuatku sangat marah. Sakit ! Hatiku sangat sakit!” Tandasnya yang memang sebuah kenyataan. Ya , aku memang bersalah akan hal itu, tapi sungguh aku tak pernah ada niat untuk mengabaikannya.

“aku sangat minta maaf jika kau berfikir begitu. Tapi sungguh Sehun-ah, aku tak pernah ada niat menyakitimu. Aku hanya khawatir padamu! Aku-.. hah.. aku hanya tak ingin merepotkanmu.”  Ucapku lalu terisak. Ini benar, aku memang tak ingin mengganggu waktu berharganya. Aku hanya ingin memberi waktu agar dia fokus pada trainingnya. Oh Sehun, adalah rookie disebuah agensi baru. Aku tau dia memiliki waktu yang begitu sibuk. Aku hanya tak mau membuat mimpi yang sebentar lagi hendak dicapainya itu hancur karenaku. Waktu emas baginya, dan tidak seharusnya ia membuang waktu untuk  mengurusiku. Aku bukan tipe wanita yang harus selalu berada disisi kekasihku, aku hanya ingin yang terbaik untuknya. Melihatnya berhasil jauh lebih membuatku bahagia.

“Nam Jiyoo, kau tau?. Aku merasa menjadi orang lain sekarang.” . Lirihnya.

Kudapati senyum miris di wajahnya, Sehun semakin menatapku dengan sorot kecewa

“Sehun-ah”

“sepertinya aku tak berarti lagi untukmu. Ha ha menurutmu kau bebanku? Aku tak pernah merasa direpotkan sama sekali. Tapi kau malah berfikir lain”

Aku hanya menunduk, kurasa apa yang kuucapkan tadi salah. Tanganku semakin erat mencengkram ujung bajunya. Apa yang harus kujelaskan? Tuhan tolong aku.

“Jiyoo-ya, jika terus seperti ini sebaiknya kita berhenti.” tuturnya dengan aksen dingin. Aku mendongak, menatapnya dengan penuh tanya.

“a-apa maksudmu? Berhenti apa?” pintaku agar dia menjelaskannya.

“hubungan kacau ini. Lebih baik kita hentikan saja!.”

‘Deg’

Jantungku rasanya berhenti berdetak,darahku berhenti mengalir dan nafasku terputus. Perlahan kulepas cengramanku pada bajunya, kutatap serius mata yang memancarkan kebenaran itu. Aku harap kata-katanya hanya lelucon belaka.

Tidak, Sehun bukanlah pria yang senang bercanda.

“Jangan membuat keputusan yang akan membuatmu menyesal.Fikirkan apa yang selama ini sudah kita jalani. Aku tau kau sangat mencintaiku Sehun-ah. Jebal!”.

“cukup”

Kajima! Sehun-ah!”

Sehun kini berbalik, mengabaikan aku yang terus memohon dan menyerukan namanya. Kakiku sangat kaku untuk sekedar bergerak. Kata-katanya tadi membuat semua sendiku mati. Disini akulah yang paling mencintainya, bagiku Sehun sudah menjadi bagian nafasku. Aku tidak bisa, tidak pernah bisa membayangkan hidup tanpa sosoknya. Aku harus bagaimana? Mengejarnya?.

“andwe” lirihku,  aku tidak menyangka perjuangan cintanya hanya sampai disini. Hanya karena kesalah famahan ia begitu lalai membuat keputusan. Aku mundur, duduk di pinggir trotoar dan menangis.

SEHUN POV

Dua meter,empat meter, kini semakin jauh langkahku meninggalkannya yang mungkin masih berdiri di crosswalk. Aku tak ingin menoleh kebelakang, takut jika hati ini tak bisa tersangga dan jatuh semakin dalam. Nafasku memburu karena menyimpan amarah, bahkan rasanya mataku sangat panas. Haruskan aku menangis karena sakit hati ini?.

Apa yang sudah terjadi hari ini? Bagaimana bisa aku membuat keputusan bodoh yang pastinya akan kusesali nantinya?  . Aku memang sangat mencintainya, sampai aku seperti kehilangan separuh jiwaku detik ini.

Niat awalku bertemu dengannya untuk mengajaknya berkencan, sekian lama kesibukanku hanya hari ini aku memiliki waktu. Aku sangat merindukannya, sampai rasanya ingin mati. Tapi saat kuhampiri Jiyoo di kantornya, ia sedang bermesraan dengan Park Chanyeol.

Penghianatan yang tak pernah kuduga sama sekali. Park Chanyeol, pria yang sebenarnya sangat tidak kusukai karena selalu bersama Jiyoo. Ia merebut semuanya perhatian Jiyoo padaku.

“Sehun-ssi”

Aku mengehentikan langkah saat mendengar seseorang memanggil. Aku tak perlu menioeh karena kini orang itu sudah berdiri di hadapanku. Aku bertambah murka sekarang, beraninya dia muncul dihadapanku.

“Park Chanyeol, kau-“

“Kau pria paling bodoh Sehun-ssi.”

Aku mengepalkan tanganku, jika saja aku bebas sudah kupukul dia. Sayangnya image’ku tidak boleh buruk karena statusku seorang trainee. Aku berusaha menagabaikan Park Chanyeol dan melanjutkan langkah tapi sialnya ia mencengkram bahuku.

“lepaskan, brengsek.”

Chanyeol mendorongku cukup kasar. Membuatku bertambah emosi.

“Kau mengikuti kami hah?” tanyaku pada pria ini.

“ya benar. Aku bahkan melihat pertengkaran kalian tadi.”

“sekarang kau senang? Aku sudah melepasnya. Kau bisa menjadikan Jiyoo kekasihmu sekarang.” Ujarku dengan penuh penekanan.

“jadi inilah Oh Sehun yang katanya berhati malaikat?”

“apa?”

“maafkan aku sebelumnya. Aku tak pernah berniat merusak hubungan kalian.Dan tadi kami jelaskan jika yang kau lihat itu hanya salah faham Sehun-ssi. Otakkmu terlalu dangkal karena berfikirir seburuk tadi.Dengar!, aku hanya berniat membantunya memasang kalung . Aku tak ada niat untuk menciumnya. Tidak pernah.”

Sehun diam mengamati wajah serius Chanyeol. saat ia akan menyela Chanyeol sudah bicara lagi.

“tentang ia yang tak memberimu kabar, tentang ia yang tak ingin kau jemput, dan tantang ia yang tak pernah mengangkat telephon, itu semua memang niatnya. Dia hanya tak ingin mengganggu waktumu. Jiyoo ingin kau fokus untuk debut. Jiyoo selalu berdoa dihadapanku, berharap kau berhasil. Lalu apa yang didapatinya sekarang? Sebuah perpisahan? Kau keterlaluan Oh Sehun.” Jelas Chanyeol. Dia bahkan memahami bagaimana Jiyoo.

Aku diam, merasa tidak ada kata yang bisa kujelaskan. Aku membuat keputusan yang memang kusesali sekarang.

“berbalik dan jelaskan padanya. Aku tau sebenarnya kau tidak bisa berpisah dengan Nam Jiyoo. Ah iya, asal kau tau! aku juga sudah memiliki kekasih,bulan depan kami akan menikah. Mungkin aku akan keluar dari pekerjaan itu karena harus pindah. Kau tidak usah cemas.”

Aku menatap Park Chanyeol yang kini menatapku dengan senyum tipis. Ia menepuk bahuku sebelum berlalu. Aku tertawa hambar, ternyata aku memang salah. Park Chanyeol tidak seburuk yang kufikirkan.Aku mengacak rambutku menjadi lebih berantakan lagi. Sekarang aku merasa bodoh karena membuat Jiyoo menangis.

Dengan sedikit ragu aku berjalan mundur,berbalik dan berlari secepat mungkin. Pandanganku hanya lurus , menatap jalan besar di depan sana.

Nafasku terputus-putus karena lelah. Sekarang aku sudah berada di pertengahan crosswalk yang kebetulan sepi, menyapukan pandanganku keseluruh jalan untuk menemukan sosoknya. Gadis itu ada disana, duduk di pinggir trotoar dengan menangkup wajahnya.

Langkahku sangat lirih, seolah tak ingin ia tau kehadianku. Saat tepat berada di hadapannya, aku bersimpuh untuk menyamakan posisi kami. Tanganku terulur untuk mengangkat wajahnya yang penuh air mata itu.

Jiyoo semakin terisak saat melihatku. Tanpa ijin aku memeluknya, menciumi puncak kelapalanya.

“Mianhae, Yoo-ya. Jeongmal mian.” Lirihku disamping telinganya. Jiyoo tak menjawabnya, ia masih terus terisak diiringi segukan. Apa yang kulakukan pasti sangat menyakiti perasaannya.

Jiyoo mendorong tubuhku, membuat pelukan kami terlepas. Rasanya aku juga ingin menangis.

“mengapa kau berbalik?” –bahkan nada bicaranya bergetar-

“karena aku sadar. Apa yang kulakukan tadi sangatlah salah.”.

Jiyoo diam untuk beberapa saat, mengamamatiku masih dengan wajah resah. Sama seperti 20 menit yang lalu.

“k-kau tidak benar-benar meninggalkanku kan? Sehun-ah?” tanyanya polos. Tuhan, kini hatiku semakin sakit melihatnya tak marah sedikitpun. Hati gadis ini memang bak malaikat. Aku tersenyum dan mengangguk.

“Mian, aku sangat bodoh tadi. Aku seperti itu karena terlalu-“

“kau hanya terlalu mencintaiku. Benar kan?. Aku sudah menduga, kau akan berbalik dan menyesali semuanya.”  Ucapnya memotong perkataanku. Kuhapus sisa airmata dipipinya. Wajah ini, selalu saja tersenyum dalam keadaan apapun.

“Jiyoo-ya, aku menarik kata-kataku. Aku tak bisa berpisah denganmu. Maafkan aku karena sudah salah faham. Ternyata apa yang kufikirkan tidak benar sama sekali. Kau memang hanya mencintaiku bukan? Aku salah karena mengikuti amarah. Emm, aku juga akan minta maaf dengan park Chanyeol karena sudah-”

Cup

Otomatis mulutku mengatup saat Jiyoo mengecupku, hanya sekilas namun mampu mengerjakan otot mulutku. Sekali lagi kulirik sekitar, banyak yang berlalu lalang menatap kami dengan tatapan… entahlah.

“kuterima. Sekarang jangan pernah mengatakan kata perpisahan. Kau janji akan menjagaku sampai mati.”

Aku terkekeh dan mengacak rambutnya. Kami berdiri dan berpelukan lagi, saling menikmati sensasi jantung yang berdebar diluar batas normal.

“Sehun-ah!”

“eumm?”

“kau plin-plan”

“apa?”

“kau tadi meninggalkanku tapi sekarang kau kembali padaku. Sejak dulu selalu seperti itu haha… kau memang tak bisa hidup tanpaku.”

Aku mendengus, kata-kata Jiyoo terdengar bagai sindiran untukku. Oh tapi aku juga perlu menyalahkan otakku yang tak sejalan dengan hatiku.

“sehun-ah?”

“apa lagi?” tanyaku dengan nada sebal. Jiyoo melepas pelukan dan menatapku dengan wajah merah.

“sedari tadi orang-orang memprhatikan kita.”

“oh? Benarkah?”

Aku menoleh, dan benar saja banyak pasang mata yang sedang menonton kami. Ku genggam tangannya, berjalan meninggalkan tempat itu. Sungguh selama menyelesaikan masalah tadi kami tak memikirkan suasana sekitar. Sepertinya urat maluku mulai berfungsi sekarang.

“emm kita lanjutkan di tempat lain saja.”

“di apartementmu?.”

“kenapa harus apartement?”

“jangan belagak polos.”

“ya!”

Aku memelototinya, tapi tak lama kemudian kami tertawa bersama.

Kebahagiaan inilah yang selalu kami dapat, tertawa satu sama lain. Hampir saja aku menghapus tawa itu juga nyaris menghilangkan keceriaan yang selalu menghiasi wajahnya. Kugenggam semakin erat tangan mungil ini. Aku janji tak akan pernah melepaskannya lagi. Tak akan berfikir dangkal untuk meninggalkannya..

‘terimakasih karena tetap mempertahankan hubungan ini, Sehun-ah.’

END

anyeongg…

gimana nih ceritanya? uhh ane3h kah?

author bikinnya semalam dan dengan ide yang gak meluas jadi gini dah. haha itung itung buat isi waktu laung jadi bikin ff gaje ini. juga buat ngisi library Exo fanfiction. ^^

mian kalau kurang memuaskan/aneh ceritanya. semoga kedepannya lebih baik lagi.

bye… see you later..


Dirty Breath [Chapter 1]

$
0
0

untitled-1

Sehun & Khanza

Previous : Intro

Marriage Life | Angst | Romance | Crime

Written by Alkindi

“I’m the one that’s got to die when it’s time for me to die, so let me live my life the way I want to.”—Khanza

Prank

Seorang gadis bangun dari tidurnya begitu mendengar suara pecahan beling yang nyaring dari telinganya. Gadis itu langsung bangkit dari tidurnya dan berlari menuruni anak tangga di rumahnya. Begitu sampai di lantai dasar, mulut gadis itu terbuka lebar-lebar.

“Mom !” Teriaknya sambil berlari menghampiri wanita paruh baya yang sudah tergulau  lemas berlumuran darah.

Mom, kau kenapa ?” Tanya gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tubuh ibunya.

Sementara di sisi lain terdapat 3 pria bertopeng yang masih berdiri memandang pemandangan dramatis di depan mereka. Ketiganya memegang pistol yang sudah di tujukan pada gadis kecil yang masih menangis di samping ibunya itu.

“Kita bunuh atau tidak ?” Tanya salah seorang pria bertopeng pada rekanya.

“Bunuh saja, boss pasti setuju.” Ucap yang lainya.

Ketiga pria tadi pun mengangguk bersamaan dan hendak menarik pelatuk pistol yang tertuju pada gadis itu, tapi suara gebrakan pintu membuat mereka berpaling dan menatap seseorang yang datang.

“P-presiden,” ucap mereka bersamaan.

“Dasar bodoh.” Pria yang di panggil presiden itu langsung memukuli satu-persatu anak buahnya.

“Aku tidak memerintahkanmu untuk membunuh putriku.” Ucapnya dengan volume keras, membuat gadis yang menangis itu berpaling ke arahnya.

Dad,” ucap gadis itu sambil berlari menuju pria yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Ayah dari gadis itu langsung membuka tangan lebar-lebar dan gadis kecil itu langsung berhamburan di pelukanya.

Dad, mom kenapa ?” Tanyanya tersendu-sendu.

Mom sedang tidur, sayang” ucap pria itu sambil mengelus pundak gadis kecilnya.

“Bohong, Ahjussi jahat itu sudah melukai mom, aku melihatnya sendiri, Dad !” Ucap gadis itu sambil menunjuk pada ketiga pria yang sudah membunuh ibunya tadi.

“Khanza, sudah berhenti menangis. Ibumu hanya tertidur sebentar, dia pasti bangun lagi nanti.” Pria itu menaikan volume suaranya.

“Tangkap pria itu, Dad. Dia pria jahat, cepat tangkap dia.” Teriak gadis itu tapi masih tak diperdulikan oleh ayahnya. Pria itu menggendong putri semata wayangnya keluar dari rumah yang sangat besar itu. Meninggalkan wanita yang tertidur dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya.

“Turunkan aku, aku ingin temani mom tidur ”

“Turunkan aku !”

20 years later…

“Kau harus makan, kau kan gadis pintar.” Ucap seorang perawat pada gadis di depanya. Gadis itu tak bergeming, tatapanya kosong, wajahnya pucat pasih, seperti mayat hidup.

Ia tak memperdulikan wanita yang sedari tadi membujuknya untuk makan, fokusnya malah tertuju pada hal lain di tempat itu. Seorang pria dan wanita, serta anak kecil di tengqh tengah mereka. Khanza jadi ingat masa-masa kecilnya dahulu sebelum keluarganya hancur gara-gara kejahatan korupsi besar-besaran yang dilakukan ayahnya sehingga ayahnya malah membunuh ibunya yang sudah lelah menutupi itu semua.

Itulah mengapa Khanza ada di sini, ayahnya yang mengantarkan gadis itu untuk masuk ke tempat yang menyesakkan sekaligus menyedihkan sekali untuk Khanza. “Kau pikir kenapa aku ada di sini ? Aku tak seharusnya ada di sini.” Mata kosong itu kelabus, berbalik menatap perawat yang sedari tadi sudah ada di depanya.

“Karena Nona masih sakit.” Ucap suster itu sambil menarik senyum simpulnya, berusaha meyakinkan Khanza. Tapi gadis itu malah merasakan sebaliknya.

Di tempat seperti ini tak ada yang bisa mendengarkan curahan hati nya kecuali para suster dan psikolog yang menanganinya. Khanza tak punya siapa-siapa di sini. Akhirnya ia pun sadar, untuk apa ia berlama-lama disini. Tak mungkin ia menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit Jiwa padahal gadis itu masih seratus persen waras.

“Sudah berapa lama aku di sini ? ” tanya Khanza sekali lagi.

“Lama sekali, sejak umurmu masih 15 tahun.” Jawab perawat itu apa adanya. Perawat itu meletakkan nampan makanan di samping Khanza dan berjalan meninggalkan Khanza yang masih terduduk sendiri di bangku taman.

“Begitukah ? Artinya aku tak perlu menunggu lebih lama lagi. ” ucapnya pada diri sendiri atas jawaban dari perawat tadi.

Berita mengenai pelantikan para menteri-menteri di Korea sedang ramai di perbincangkan. Pasalnya pembantu presiden itu baru saja di lantik secara serentak di gedung negara di Korea. Baru saja di lantik beberapa menit yang lalu.

Suasana di gedung itu sangat padat, di penuhi para pejabat-pejabat tinggi yang datang untuk sekedar melihat dan bertutur sapa antar sesama pejabat lainya. Mereka orang-orang yang datang dengan latar belakang yang berbeda, dengan gaya high class mereka tersendiri.

Pelantikan memang sudah selesai, para tamu undangan sedang menikmati makanan yang telah di sajikan, dan beberapa lainya duduk di meja bundar. Di sisi lain tempat itu Presiden sudah duduk di sana bersama istri dan dua anaknya.

“Presiden Oh” sapa seorang pria yang tiba tiba langsung menyalami sang presiden.

Wah, Kim Seung Wook. Selamat ya atas pelantikanmu.” Tutur presiden sambil menarik senyum simpul di bibirnya.

“Terima kasih, presiden. Aku akan berusaha semaksimal mungkin, untuk memperjuangkan negara kita yang tercinta ini.” Ucap Kim Seung Wook.

Ah, baiklah. Aku pegang kata-katamu—” Ucap presiden di iringi tawanya.

“—Oh ya, perkenalkan, istriku dan anak-anakku. Mereka Oh Sehun dan Oh Hayoung” ucap presiden bermarga Oh itu.

“Baiklah-baiklah, aku Kim Seung Wook.” Ucapnya sambil menyalami mereka satu persatu.

Sepeninggal Kim Seung Wook, Sehun jadi merasakan hal aneh tentang pria itu. Sehun mencurigainya dari gerak-geriknya yang menurutnya sangat di buat-buat. Banyak para politikus yang bermuka dua di negara ini. Tak ayal jika Sehun menaruh kecurigaanya pada Kim Seung Wook. Sehun akan terus mengamati gerak-geriknya mulai sekarang.

Oppa, lihatlah ! pria itu sangat tampan.” Ucap Oh Hayoung sambil menarik-narik lengan Sehun.

Pletaak

Satu sentilan berhasil mendarat di dahi Hayoung. “Aw, kenapa kau memukulku ?” Protes Hayoung, tak terima dengan perlakuan kasar Sehun padanya.

“Kau harus jaga sikapmu, Hayoung. Kau itu anak presiden.” Bisik Sehun di telinga Hayoung.

“Kau yang harusnya jaga sikapmu, Oppa. Kenapa malah memukulku ? Lihatlah pria tampan itu jadi menertawaiku.” Ujar Hayoung mengerucutkan bibir.

“Terserah.” Satu kata yang selalu di ucapkan Sehun bila berhadapan dengan Hayoung. Sikap adiknya itu memang suka kekanak-kanakan kadang-kadang. Padahal usianya bisa dikatakan sudah dewasa. Mahasiswa tingkat dua di Universitas Nasional Korea, Sehun juga merupakan alumni dari Universitas bergengsi di Korea itu.

“Hayoung bagaimana dengan ujian akhir semestermu itu ?” Tanya Oh Dae Young pada putrinya.

“Baik tentu saja. Ayolah Dad, jangan bicarakan masalah itu disini. Aku jadi malas membicarakan tentang kuliah setelah kau menolakku untuk melanjutkan kuliahku di Harvard.” Ucap Hayoung sambil menyilangkan tangan di dada. Mereka semua tertawa mendengar penuturan Hayoung.

“Dan kau Sehun. Bagaimana dengan kehidupanmu ?” Tanya Dae Young pada putra sulungnya itu.

“Baik.” Jawab Sehun singkat, padat.

“Baik bagaimana ? Umurmu sudah 25, kau harus mencari pendamping hidup dan berikan kami cucu.” Ungka Dae Young sambil menepuk-nepuk pundak putranya.

“Ayah, aku tidak merencanakan tentang hal itu, bahkan sekali pun aku tak memikirknya. Aku ssedang fokus pada karirku.” Ungkap Sehun.

“Jadi karir ya ? Bagaimana jika aku menurunkan posisimu ?”

“Ayolah ayah, jangan bercanda.”

“Aku tidak bercanda, Oh Sehun.” Ungkap Dae Young memberi penekanan pada nama Sehun.

“Baiklah, baiklah. Apa maumu ayah ?”

“Seperti kataku tadi, nak.” Ungkap Dae Young, Sehun berdecak sebal.

“Apa kau akan terus membiarkan anakmu membusuk di rumah sakit jiwa itu ?” Tanya seorang pria pada Kim Seung Wook.

“Tentu saja. Kenapa kau membahas itu ? Aku bahkan sekarang sudah bukan walinya lagi.” Ungkap Kim Seung Wook sambil tertawa hambar.

“Perdana mentri, apa maksudmu ?” Tanya pria itu.

“Ya, aku melepaskan dia. Aku sudah membuang gadis itu. Kalau saja ia tak seperti ibunya, mungkin sekarang akan ku manjakan. Tapi sialnya gadis itu adalah duplikat dari ibunya.” Ungkap Seung Wook.

“Tapi dia sudah dewasa. Kenapa tidak kita pindahkan saja ?”

“Apa maksudmu ?”

“Aku bertemu putrimu beberapa hari lalu, dia berkata ingin bertemu denganmu. Bahkan sekarang gadis itu sudah berani mengancamu.” Ucap pria itu pada Seung Wook .

Sementara Seung Wook sangat tersentak mendengar ucapan pengacaranya itu. “Kenapa baru bilang sekarang ?—” Tanyanya sambil memukul pengacaranya.

“—kita harus membawanya keluar dari tempat itu secepatnya.”

“Bagaimana bisa ? Katamu tadi kau bukan walinya ”

“Harus, harus bisa. Sebelum mulut busuk miliknya membeberkan semuanya.” Ucap Seung Wook sambil mengepalkan tanganya.

Angin semilir menerbangkan dedaunan kering yang berserakan di taman. Kupu-kupu berterbangan hinggap ke satu bunga ke bunga lainya. Di bangku taman, Khanza sudah terduduk di sana sambil menatap pemandangan sekitar.

Khanza sudah menyelesaikan konsultasinya dengan Psikiaternya. Dan inilah kebiasaanya jika sudah tidak ada hal lain untuk di lakukan. Di bangku taman itu ia dapat melihat beberapa gadis sedang berjalan kearahnya.

Mereka berpakaian sama seperti Khanza, menatap tajam Khanza dan beberapa di antara mereka sudah melipat lengan baju mereka. Khanza mengeryitkan dahi, tak tahu apa-apa sampai pukulan keras mendarat di pipinya .

“Dasar wanita jalang !” Gadis itu meneriaki Khanza tepat di depan wajahnya.

“Apa maksudmu ?” Tanya Khanza sambil mengusap pipinya yang mulai memar. Ia bahkan tak sadar kalau hidungnya sudah mengeluarkan darah segar.

“Jangan pura pura tidak tahu, jalang ! Wanita jalang sepertimu pantas di beri pelajaran.”
Dua wanita itu memegangi tangan Khanza, sementara satunya lagi memukul Khanza habis-habisan. Kejadian itu berlangsung lama sampai Khanza pingsan dan tak sadarkan diri.

Suara dentuman musik yang sangat memekik telinga membuat Sehun pusing bukan main. Selain karena kadar alcohol yang diminumnya cukup tinggi, beban pikiran di otaknya pun tak henti-hentinya menghantui pria itu. Membuat rasa pusing di kepalanya mulai menjadi.

Sebenarnya mabuk dan pergi ke Bar bukanlah kebiasaan Sehun, apalagi sampai tak sadarkan diri seperti ini. Bukankah semua orang juga tahu kalau dia anak presiden ? Maka dari itu sebagian orang disana memandangi Sehun tanpa habis, tak sedikit juga dari mereka yang mengambil gambar Sehun.

“Hentikan, hentikan” seorang pria keluar dari gerombolan orang-orang yang menyerbu Sehun. Pria itu membanting salah satu ponsel yang digunakan orang itu untuk mengambil gambar Sehun.

Haish, dasar ” Pria itu langsung menopang tubuh Sehun dan membawanya pergi keluar Bar.

“Hey, Oh Sehun !” Panggil seorang Pria begitu Sehun sudah setengah sadar, pria itu memberikan segelas air putih pada Sehun untuk memudahkan menetrakan kadar alcohol dalam tubuh Sehun. Pria itu terbatuk-batuk lalu membuka mata.

“Dasar, untuk apa kau pergi ke bar ?” Tanyanya mulai menginterupsi Sehun.

Sehun mengkedip-kedipkan matanya menyesuaikan cahaya lampu yang sangat terang di ruangan itu. “Dimana aku ?” Tanyanya pada pria di sampingnya itu.

“Kau ada di tempat kerjaku.” Ungkap pria itu pada Sehun.

“Baiklah. Terima kasih, Baekhyun.” Ujar Sehun sambil meregangkan otot-ototnya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku, punk !” Baekhyun kembali pada topik awalnya, tapi Sehun sepertinya enggan membahas hal itu.

“Sudah lupakan.” Lanjut Baekhyun.

Sebenarnya Baekhyun sangat penasaran, pasalnya teman semasa kuliahnya itu jarang sekali keluar malam, apalagi sampai mabuk-mabukan seperti ini. Pasti ada hal yang terjadi dengan Sehun, yang membuat pria itu mengunakan alcohol sebagai pelarian.

Baekhyun adalah seorang Psikiater sekaligus Dokter yang bekerja di dua tempat. Di rumah sakit Seoul dan di Rumah sakit Jiwa Kanghae. Benar, saat ini Sehun ada di rumah sakit Jiwa itu. Mau bagaimana lagi ? Baekhyun yang membawanya ke sini.

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.” Baekhyun mulai mengeluarkan suara. Sehun mengeryitkan dahi, karena kali ini Baekhyun serius.

“Apa ? silahkan, tapi jangan lama-lama.” Kata Sehun.

“Yah, aku bertengkar dengan istriku lagi.” Ucap Baekhyun sambil menghembuskan nafasnya kasar.

“Lalu ?”

“Seharusnya kau tahu apa yang akan kutanyakan selanjutnya, apa yang harus kulakukaan sebagai seorang pria ?” Tanya Baekhyun pasrah.

Sehun hanya terdiam, matanya terfokus pada hal lain di ruangan itu. Tepat di ranjang sampingnya yang di batasi oleh gorden terdapat wanita dengan selang pernapasan di hidungnya dan plester yang menyebar di seluruh wajahnya.

Sehun tertegun, ia merasakan hal lain saat melihat gadis itu. Gadis rupawan yang masih terlelap. Sehun seperti sangat tertarik dengan gadis itu, entah apa yang membuatnya begitu menrik di mata Sehun. Gadis yang penuh dengan sejuta rahasia. Siapa wanita itu ? Batin Sehun.

Hey, sebenarnya kau mendengarkanku tidak ?” Baekhyun membuyarkan lamunan Sehun. Baekhuyun tahu kalau sedari tadi Sehun menatap gadis di samping mereka itu.

“T-tentu saja.” jawab Sehun terbata-bata.

“Aku bertanya padamu sebagai sesama pria, kira-kira apa yang harus kulakukan agar kami tidak bertengkar terus menerus. Aku lelah ketika pulang harus mendengar istriku mengomel tak ada habisnya. Itu alasan kenapa aku lebih betah tinggal di sini dari pada di rumah.” Jelas Baekhyun panjang lebar, kali ini Sehun mendengarkan.

“Kau harus minta maaf.”

“Minta maaf ? Tentu saja aku sudah melakukanya, tapi tetap saja dia marah. Lagipula percuma saja aku minta maaf kalau dia yang salah.” Ujar Baekhyun

“Tidak mungkin. Wanita tidak mungkin salah. Percaya atau tidak tapi itu adalah fakta. Ini berarti kau yang jelas-jelas bersalah. Boleh aku bertanya sesuatu ?” Tanya Sehun, kali ini serius.

Baekhyun mengangguk sebagai balasan.

“Mungkinkah kau menyukai wanita lain ?” Tanya Sehun sambil menatap tajam mata Baekhyun. Baekhyun pun langsung terdiam setelah mendengar perkataan Sehun. Lama terdiam, Baekhyun membuka suara.

“Benar—”

“—aku menyukai wanita itu.”

Tunjuk Baekhyun ke arah wanita di samping mereka. Wanita yang sedari tadi di pandang oleh Sehun. “Dia adalah pasienku, aku menyukainya sejak dulu. Tepatnya sebelum aku menikah dengan Suzy.” Ujar Baekhyun apa adanya.

“Lalu apakah dia tahu perasaanmu ?”

“Tidak. Aku tidak memberi tahunya. Dia jadi seperti itu juga karena aku. Maka dari itu, kupikir bisa membahayakanya jika aku menyatakan perasaanku padanya.”

Sehun terdiam sebentar. Ikut larut memandangi gadis itu. “Kenapa tak langsung kau nikahi saja dari dulu ?” Tanya Sehun pada Baekhyun.

“Sebenarnya aku sudah mengatakan itu pada orang tua ku, tapi mereka menolak keras permintaanku.”

“Pasti gara-gara dia gila, kan ?” Sehun menebak-nebak.

“Bukan. Sebenarnya gadis itu tidak gila. Aku adalah Psikiaternya, bukan kau”

“Sudah lupakan saja. Aku mau pulang” ucap Sehun mengambil jasnya yang tertanggal di sisi ranjang. Ia bangkit dari ranjang kecil itu, meninggalkan Baekhyun yang masih bertopang dagu di sana.

“Jangan terlalu banyak melamun, minta maaf saja dan langsung hamili dia. Hahaha” Ucap Sehun terkekeh lalu pergi meninggalkan ruangan Baekhyun.

Haish, ayah pasti marah padaku.” Ucap Sehun pada diri sendiri. Kemeja kusut, mata berkantung, rambut acak-acakan. Sungguh berantakan sekali. Tapi dengan keadaann seperti itu tak mengurangi kadar ketampanan pria jangkung bertubuh atletis itu.

Buktinya para gadis di tempat itu memandanginya dengan tatapan kagum sambil sesekali mengerlingkan mata. Ketika Sehun membalasnya dengan senyuman simpul, beberapa dari mereka langsung kegirangan bukan main. Ketampanan Sehun memang tidak bisa diragukan lagi. Tapi aneh rasanya jika pria setampan Sehun dengan umur yang cukup matang belum memiliki pasangan. Bukankah begitu ?

“Kau sudah sadar ?” Suara yang di dengar Khanza begitu matanya terbuka. Gadis itu taķ langsung menjawab, melainkan menatap pria di depanya itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Lumayan. Terimakasih.” Jawabnya walau singkat.

“Ehm, “ Baekhyun menggaruk bagian belakang kepalanya. Seperti seseorang yang sedang gugup dan mati gaya alias tak tahu harus berbuat apa.

“Boleh kutanya sesuatu ?” Tanya Khanza sambil berusaha mendudukan dirinya dan bersender di kepala ranjang. Baekhyun membantu Khanza melakukan hal itu.

Ehm, terima kasih lagi.” Ucap Khanza.

“Kembali lagi, aku ingin bertanya sesuatu padamu.” Khanza menatap iris mata Baekhyun.

“Baiklàh, aku akan berusaha memberikan jawaban.”

“Apa benar yang dikatakan oleh para pasien gadis penggemarmu itu ?”

“Apa maksudmu ?”

“Kau menyukaiku ? ” tembak Khanza to the point.

Baekhyun tak langsung menjawab, ia menarik nafas dalam-dalam sebelum mengeluarkan satu kalimat kata sebagai jawaban atas pertanyaan Khanza.

“Ya.”

Jawab Baekhyun seadanya, pria itu menunduk dalam, tak berani menatap wanita di depanya. Khanza menanggapi jawaban Baekhyun dengan tawa hambar, “Kau gila” Ungkap gadis itu.

“Ya aku memang gila. Tapi setidaknya aku sudah berusaha melupakanmu walau itu sangat sulit bagiku.” Ungkap pria itu masih menunduk.

“Maka jalan satu-satunya adalah aku harus pegi dari tempat ini. Aku tak ingin rasa itu tumbuh terlalu jauh. Aku tak ingin melukai Suzy eonni, dia gadis yang baik.”

“Kau memang akan pergi dari sini, Khanza.”

“Benarkah ? Kenapa bisa ?” Tanya gadis itu antusias.

“Ayahmu Kim Seung Wook.” Gadis itu tersentak bukan main saat nama itu di sebutkan oleh Baekhyun, apalagi dengan embel-embel ‘ayah’ dj depanya.

“Tidak bisa. Pria itu pasti punya niat jahat.” Ucap Khanza panic.

“Apa maksudmu ?”

“Kau tidak mengerti, Baekhyun.”

Baekhyun semakin mengeryitkan dahi. Melihat wanita di depanya yang panic bukan main. “Bisa kau bantu aku ? Kumohon.”

“Apa yang bisa kulakukan untukmu ?”

Ini sudah larut malam, tapi Sehun masih saja nekad untuk mengambil ponselnya yang ketinggalan di rumah sakit jiwa tempat kerja Baeķhyun. Di dalamnya terdapat nomor penting perusahaan, oleh karena itu ia melakukan àpapun untuk mengambilnya.

Sesampainya di gang Sehun memarkirkan mobilnya. Memang jarak rumah sakit jiwa itu masih jauh, tapi apa mungkin gang sesempit ini bisa dimasuki oleh Audy hitam milik Sehun ? Salahkan rumah sakit itu yang tempatnya terpencil dari kota.

Sehun terlalu hanyut bermain saham di tabnya sampai tak sadar jika seseorang baru saja menabraknya dengan keras. Sehun hendak menghujani si pelaku dengan cacian, tapi semua itu ia urungkan begitu melihat gadis yang menabraknya.

“Tolong aku.” Ucap gadis itu memohon dibawah kaki Sehun.

“Apa kau gila ?” Tanya Sehun tak terima.

“Kumohon selamatkan aku, bawa aku pergi dari tempat ini—” ucap gadis itu mulai mengeluarkann buliran bening dari matanya.

“—aku akan lakukan apapun untukmu. Bawa aku pergi sekarang. Mereka akan membunuhku.” Ucap gadis itu sambil menangis histeris.

“Kumohon !” Teriaknya.

—to be continued

a/n : sekali lagi, ff ini hanya dikhususkan untuk good reader. Silent reader emang bisa baca, tapi nggak semua part. Wahahaha, pasti ada yang kugembok nanti :v. So, be nice reader ! Love you, guys


December Vibes: Winter Heat – Xiumin

$
0
0

img_20161220_094548

WINTER HEAT

A story by Aerinim

Xiumin (Minseok) & Jieun (OC) // 510 words

*

“Your smile that you showed me was pretty.
The past memories I wanted to keep forever.”

*

Minseok duduk di bangku taman yang sangat dingin. Ia tidak menghiraukan salju yang membuat dingin segalanya dan ia juga tidak menghiraukan dingin yang membekukan tangannya. Ia tetap merasakan kehangatan yang dibuat bangku taman ini.

Di bangku taman ini, banyak kenangan yang telah ia buat bersama Jieun.

Pertemuan pertama mereka saat 2 tahun lalu, di akhir musim gugur adalah di bangku taman ini. Kedua orang yang tidak saling mengenal itu duduk bersebelahan sebelum akhirnya Jieun beranjak. Secara tidak sengaja ia meninggalkan dompetnya. Minseok yang telat menyadari hal itu langsung mengambil dompet yang tergeletak di bangku dan mengejar Jieun yang sudah berjalan lumayan jauh. Gadis itu tersenyum senang saat Minseok mengembalikan dompetnya dan saat itu juga, Minseok jatuh cinta.

Esoknya, Minseok kembali duduk di bangku taman, berharap bisa melihat Jieun untuk yang kedua kalinya. Ia menunggu berjam-jam namun tidak ada hasil. Bukannya Jieun yang datang, melainkan salju yang datang dan membuat suasana semakin dingin.

Seminggu kemudian, Minseok yang sudah menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya selama beberapa hari kembali duduk di bangku taman itu. Ditemani segelas kopi, ia menunggu kehadiran Jieun di tengah-tengah salju. Sesekali ia mengusap kedua tangannya untuk mendapat kehangatan. Setelah beberapa jam tanpa hasil, dengan berat hati ia memutuskan untuk pulang. Ia pun beranjak dan membuang gelas plastik yang sudah kosong ke tempat sampah. Setelah itu, saat baru berjalan beberapa langkah, seorang perempuan yang lewat disampingnya nyaris terpeleset karena licinnya salju, namun dengan reflek Minseok memegang lengan perempuan itu.

Ia tidak menyangka bahwa perempuan tersebut adalah Jieun. Gadis itu merasa malu karena ia nyaris terjatuh dan berterima kasih kepada Minseok. Tentu saja Minseok hanya bisa diam sambil mengagumi wajah Jieun.

Jieun pun menyadari sesuatu dan tersenyum. “Kau telah membantuku dua kali.”

Senyuman itu sama seperti yang ia berikan ke Minseok seminggu yang lalu. Hati Minseok terasa hangat dan di dalam perutnya seakan-akan dipenuhi kupu-kupu yang beterbangan.

“Bagaimana aku harus membalasmu?” tanya Jieun.

“Cukup dengan minum kopi bersamaku,” jawab Minseok tanpa berpikir.

Jieun terdiam selama beberapa saat lalu tertawa. “Wow, aku memang sedang ingin minum kopi sekarang.”

Minseok tersenyum melihat tawa manis Jieun. Hari itu, mereka akhirnya bertemu lagi. Hari itu, mereka akhirnya bicara. Hari itu juga, Minseok meminta nomor ponsel Jieun.

Butuh waktu tiga bulan untuk Minseok mendekati Jieun dan meminta gadis itu untuk menjadi pacarnya. Tidak ada alasan bagi Jieun untuk menolaknya karena ia juga memiliki perasaan yang sama dengan Minseok.

Mereka sering sekali menjadikan bangku taman itu sebagai tempat untuk menunggu satu sama lain atau bahkan untuk menghabiskan waktu disana untuk mengobrol. Bangku taman itu telah menyimpan banyak kenangan keduanya.

Hari ini, Minseok yang teringat Jieun tidak bisa melepaskan kalung pasangan yang ia beli bersama Jieun di hari jadi ke 100 mereka. Ia terus menggenggam kalung tersebut seakan ada yang ingin mengambilnya. Air matanya pelan-pelan terjatuh.

Jika saja ada Jieun di sisinya, ia akan memeluk gadis itu dengan erat untuk mendapat kehangatan, ia akan menghabiskan malam natal bersama dengan gadis itu, dan ia tidak akan duduk di bangku taman ini dengan perasaan sedih.

Sayangnya, ia tidak bisa melakukan hal-hal tersebut. Jieun telah meninggalkan Minseok ke tempat jauh yang tidak bisa ia jangkau.

*

the end.

author’s note: new project! project ini berdasarkan lagu-lagu christmas yang di rilis exo. kali ini inspired by winter heat. liriknya galau tapi nada lagunya agak semangat :(( anyway i love to make ending like this tbh hihi



Snowy Heart (Chap 1)

$
0
0

Cast: Kim Jongin, Ahn Yeori (OC)

Genre: Romance, action.

Rate: PG-13

Disc: ini ff asli dari otak saya. No plagiat, copas dan please like dan comment. Comment saran kritik saya trima kok.

.

.

.

Pernahkah kalian membayangkan pergi ke suatu tempat yang indah dengan gratis? Well, bagi Yeori ini semua adalah keajaiban. Ia baru saja mendapatkan tiket untuk pergi ke Amerika Serikat untuk berlibur. Ini seperti memenangkan sebuah lotre baginya!

Han Jimin, teman baik Yeori baru mendapat tiket gratis ke AS dan sayangnya ia harus pergi ke rumah orang tuanya untuk menghabiskan natal bersama. Maka dari itu, Jimin memberikan tiket berlibur untuk 1 minggu ke AS kepada Yeori. Bahkan Yeori tidak perlu membayar karena tiket dan fasilitas diberikan gratis oleh perusahaan tempat Jimin bekerja! Bukankah ini keajaiban?

Yeori mengambil kopernya dan berjalan meninggalkan bandara menuju hotel yang akan ditinggali olehnya. “Hotel ****.” Jujur saja, Yeori tidak terlalu lancar dalam berbahasa inggris, bahkan lebih tepatnya tidak bisa. Walau begitu dirinya tetap mencoba berinteraksi, mungkin sulit namun jika ia membawa kamus ini bisa terselesaikan.

“Thanks.” Ujar Yeori lalu memberikan uang kepada supir tersebut dan keluar dari taksi. Tangannya menarik koper besar masuk ke dalam hotel tersebut.

“Hello, can i help you?” Yeori tak mengerti bahasa inggris, bagus ia melupakan hal itu. Bagaimana bisa ia mencari apa yang diucapkan orang dihadapannya jika dia tidak membawa kamus inggris-korea? Ini gila. “Permisi, apa ada yang bisa berbahasa korea?” Tanya Yeori dengan Bahasa Korea yang tentu saja tak dimengerti perempuan di depannya.

Yeori hampir frustasi menatap perempuan di depannya yang tidak mengerti apapun. “Aku tidak bisa bahasa inggris.. Bahasa Korea! Tolong, siapapun. Arghh!” Jelas saja dirinya tidak membuat kemajuan apapun bahkan setelah mencari kata per kata di kamus yang tebal.

“I am Kai, i own the 503 room.”

“Please wait a minute, here is your key. Have a nice day.”

Kai mengambil kunci tersebut dan tersenyum. Baru saja ia akan melangkahkan kakinya meninggalkan lobby sebelum matanya menangkap gadis di sampingnya yang frustasi. Bagus, orang Korea yang akan mengacaukan liburannya. “Aishh! Ini gila!” Racau Yeori frustasi.

“Apa? Kau mau apa?” Tanya Kai yang ditatap Yeori sebagai harapan besar. “Bisakah kau berbicara bahasa inggris?” Tanya Yeori dengan mata berbinar yang diangguki Kai tanpa melepas kacamatanya.

“Aku ingin tinggal di hotel ini, kamar 504.” Kai mendengus lalu men-translate kalimat Yeori ke pegawai di depannya. “Okay, this is the key.” Yeori tersenyum manis menatap Kai lalu berterimakasih, “terimakasih.”

Langkah Yeori berhenti di depan lift, menunggu lift terbuka dan masuk ke dalam. Pintu hampir tertutup jika saja Kai tidak menahan pintu lift dan masuk ke dalam bersama Yeori. Matanya sesekali menatap sosok Yeori yang terlihat sangat senang dengan kunci dan koper yang digenggam erat.

Kai turun di lantai yang sama dengan Yeori, membuat prasangka buruk terlintas difikiran Yeori seketika. Tangannya menggenggam erat kopernya dan menariknya cepat menuju kamar 504. Lorong sempit membuat Yeori semakin gugup ditambah Kai yang terus mengikutinya.

‘Apa ini? Apa dia mengikutiku? Apa dia penguntit? Ini aneh! Apa yang dirinya mau?’ Batin Yeori mencoba melihat Kai yang berada di belakangnya.

Yeori berhenti dan berbalik, menatap Kai dengan curiga lalu bertanya, “Apa yang kau inginkan? Kenapa mengikutiku?” Kai terlihat kaget melihat tingkah Yeori yang aneh, menurutnya.

Kai mendekat dan melewati tubuh Yeori, membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam kamarnya yang terletak disebelah kanan lorong. Itu hanya 1 kamar sebelum kamar Yeori yang berada di sebelah kiri lorong. Kejadian itu sungguh membuat Yeori malu.

Oh ini bagus, mungkin ini awal hari buruk Yeori.

***

Yeori membuka tirai dan melihat keindahan dari salah satu negara bagian Amerika, florida. Tempat yang sangat indah dan unik. Yeori tidak sabar untuk menjelajahi pantai dihadapannya.

South Beach, terletak di key west. Kota atau pulau tempat Yeori menetap saat ini. Ia sangat senang melihat keindahan pantai tersebut. Banyak orang berlalu lalang, bermain pasir dan berseluncur.

Yeori mengganti pakaiannya dengan baju hangat serta jaket yang menutupi tubuhnya hingga selutut. Pantai itu sangat indah namun sayangnya ini musim dingin. Yeori tidak mungkin berenang di musim dingin, dia tidak ingin mati beku.

Pintu terbuka bersamaan dengan pintu 503 yang juga terbuka. Mata mereka saling bertemu membuat Yeori kembali memikirkan hal memalukan tadi. “Ehmm..” Yeori baru akan memanggilnya jika pria itu tidak pergi mengacuhkannya.

Ini sangat menjengkelkan bagi Kai. Melihat gadis itu mengikutinya dari belakang membuatnya kesal. “Maaf!” Teriak Yeori membuat Kai berhenti dan menatapnya. “Apa?” Yeori hampir saja menabrak Kai jika saja refleksnya tidak bagus.

“Maaf, aku berfikir aneh tadi saat kau mengikutiku makanya-” Kai berbalik dan berjalan menekan tombol lift tanpa memperdulikan Yeori yang mendengus kesal. “Menyebalkan.” Gerutu Yeori pelan namun terdengar oleh Kai.

“Apa? Siapa yang kau sebut menyebalkan?” Tanya Kai geram, kaca matanya ia lepas dan memperlihatkan matanya yang menatap dingin Yeori. Wajahnya mendekati wajah Yeori yang membuang muka dari tatapannya.

“Aku kan sudah bilang maaf.” Jelas Yeori masih dengan wajah kesalnya. “Lalu?” Kai menyilangkan kedua tangannya didada. “Apa lagi maumu?” Tanya Yeori kesal dan seketika ingin menampar wajahnya itu.

Jika saja Yeori tidak berbuat salah dengan menuduhnya tadi, maka ia rasa tangannya sudah melayang dan mencolok ke 2 mata Kai yang memandangnya rendah.

Kai menatap Yeori dari atas hingga bawah lalu berkata, “hmmm.. bagaimana jika kau menemaniku jalan-jalan hari ini?” Yeori menatap Kai seakan berkata ‘hanya itu?’ Lalu masuk ke dalam lift yang terbuka. Kai tersenyum dan mesuk ke dalam lift bersama Yeori.

“Jadi, kemana tujuan kita?” Tanya Yeori pada akhirnya setuju dengan syarat Kai. Kai menatap jam dan tersenyum sejenak.

“South Beach.”

***

Awalnya memang sangat dingin. Pantai indah dengan pasir putih dan laut biru yang didominasi langit cerah serta angin yang sedikit kencang. Suasana sangat hening, mungkin karena cuacah yang dingin membuat orang-orang malas untuk keluar.

Yeori berlari kecil ke arah air dengan ombak yang tidak besar. Matanya menangkap sosok Kai yang berdiri dengan tangan disaku jaket serta mata yang menatap laut dengan bibir tersenyum. Mengingatkannya akan dunia yang berbeda seketika.

“Hei!” Kai menatap Yeori yang memanggilnya dengan senyuman. Dengan malas kakinya melangkah mendekati Yeori. “Apa?” Tanyanya melihat Yeori yang terlihat cantik dengan angin menghembuskan rambutnya.

Yeori menatap Kai lalu melihat indahnya laut didepannya, “Kau suka pantai?” Mendengar itu, Kai langsung melihat laut. Ia tak langsung menjawab pertanyaan itu namun raut wajahnya memperlihatkan jawaban.
“Ini tempat yang indah.” Balas Kai seraya tersenyum. Pantai ini sangat indah, sangat indah bagi Kai, apalagi dengan kenangan pada hari itu.

Kenangan sebelum semuanya hancur.

“Kau tau, tadinya aku berfikir kau akan menghancurkan hari pertamaku disini dengan menemanimu berjalan-jalan tapi kurasa aku salah. Aku lebih menikmati berjalan-jalan denganmu dari pada sendirian, lagi pula pemandangan ini akan membuatku menyedihkan.” Kai tertawa kecil mendengar hal tersebut lalu menatap Yeori, “Itu karena kau tidak memiliki pasangan!” Jelas Kai membuat Yeori menatapnya tajam. “Kau juga bodoh!”

“Siapa namamu?” Tanya Kai yang sedikit tertarik pada Yeori. “Yeori. Kau?” Balas Yeori bertanya.

“Jongin, Kim Jongin.”

Mata mereka saling bertemu, saling menatap satu sama lain dengan senyuman. Matahari mulai tenggelam membuat pemandangan semakin indah. “Woahh!” Reaksi Yeori yang kagum pada keindahan alam membuat Kai tersenyum menatapnya. “Kau lucu.” Gumam Kai tanpa suara lalu menikmati pemandangan dihadapannya.

Perut Yeori berbunyi, tidak kencang namun bisa didengar olehnya. “Kau tidak lapar?” Tanya Yeori menatap Kai yang masih berjalan di pantai dengan kaki telanjang bersama Yeori.

“Aku lapar, ayo makan.” Rengek Yeori membuat Kai menghela nafas lalu memakai sepatunya. “Hmm, ayo kita makan disana.” Yeora tersenyum dan berjalan cepat meninggalkan Kai yang masih memakai sepatunya. “Hei! Tunggu!” Ujar Kai berteriak namun dibalas teriakan lain, “Yang sampai terakhir traktir!”

Kai mendengus lalu dengan cepat menyusul Yeori. Matanya tidak menangkap sosok Yeori dimanapun hingga tangan Yeori melambai dan wajah tersenyumnya tertangkap oleh mata Kai.

“Ini tidak adil! Kau lari duluan, itu curang!” Gerutu Kai sesampainya ditempat duduk.

“Ayolah, aku lapar dan kau laki-laki! Laki-laki harus membayar saat makan bersama.” Kai mendengus mendengar alasan Yeori yang memang ada benarnya namun, “kita kan tidak berkencan atau semacamnya!” Yeori menatap Kai dengan wajah cemberut yang kentara lalu menatap ke arah lain.

Kai yang melihat hanya terdiam, mereka baru bertemu sekali dan kenapa Kai merasa begitu nyaman? Dia bahkan bertengkar karena alasan konyol ini. Ini lucu menurut Kai, apalagi melihat wajah Yeori yang cemberut membuatnya ingin tertawa. “Oh baiklah! Aku akan membayarnya malam ini.” Yeora kembali tersenyum membuat Kai tertawa kecil menyadari mood Yeori yang cepat berganti.

“Wellcome, can i help you?” Tanya pelayan dengan pen dan buku note kecil ditangannya. Yeori yang tidak mengerti hanya diam dan menatap Kai seakan bertanya ‘apa?’

“2 tendeloin steak and wine.”

Yeori memang tak mengerti tapi makanan yang Kai pesan membuatnya tau dan jika ia tidak salah dengar, Kai memesan 2 steak dan wine? Bukankah itu terlalu romantis?

“Apa yang kau pesan? Aku ingin makan nasi goreng seafood.” Kai menatap Yeori lalu mengganti pesanannya. “Kukira kau tidak bisa bahasa inggris.” Ujar Kai membuat Yeori mengangguk.

Yeori meminum air putih yang disediakan lalu menatap Kai, “aku memang tak mengerti tapi aku tau apa itu steak dan wine.” Kai yang mendengar hanya tertawa kecil. “Baiklah.”

“Ngomong-ngomong tentang bahasa inggris, apa yang akan kau lakukan besok?” Kai menatap Yeori bingung. “Kau tau? Bahasa inggris dan apa yang akan kulakukan tak ada hubungannya.”

Yeori menghela nafas panjang lalu berusaha berbicara namun terhenti. “Besok aku free. Aku kesini untuk.. berlibur? Ya berlibur.” Wajah Kai tidak meyakinkan namun Yeori tidak akan mempermasalahkannya.

1 nasi goreng seafood dan 1 steak dengan 2 gelas wine serta 1 botol wine di tengah mereka. Lengkap sudah pesanan yang dipesan. Yeori melahap makanannya dengan cepat sedangkan Kai terlihat santai sambil sesekali menatap Yeori yang terlihat sangat kelaparan. “Pelan-pelan!” Tegur Kai melihat Yeori tersedak.

Yeori meminum habis wine dihadapannya lalu merasakan sensasi aneh di mulutnya.

“Bisakah aku minta air putih?” Mendengar itu Kai langsung memanggil pelayan dan memberi gelas yang telah dituang air kepada Yeori. Yeori meminum habis air tersebut lalu tersenyum, “terimakasih.”

Mata Kai menangkap seorang laki-laki dengan jubah hitam di belakang Yeori sedang menatap mereka namun berpura-pura membaca koran. Yeori yang tidak mengerti apa-apa bertingkah baik-baik saja namun berbeda dengan Kai. Mereka mengincarnya.

“Yeo, jika aku bilang menunduk kau harus menunduk,oke?” Yeori sedikit bingung namun ia mengangguk. “Menunduk!” Teriak Kai lalu terdengar suara tembakan yang menggema di telinga Yeori.

Seharusnya Yeori menunduk namun dirinya terlalu kaget hingga terdiam tak mengerti lalu Kai yang berdiri dan menarik kepalanya untuk menunduk. Semua orang menjerit.

Jantung Yeori berpacu cepat melihat Kai yang terlihat kesakitan karena terluka. Yeori hampir menoleh ke belakang namun ditahan oleh Kai yang tiba-tiba memeluknya.

Darah berceceran di bahu kanan Yeori, darah Kai yang masih segar. Yeori bergetar hebat dalam pelukan Kai. Yeori tau Kai meringis kesakitan sekarang namun tangannya tidak dapat bergerak. Ia terlalu kaget sedangkan Kai menahan sakit seraya menatap laki-laki itu kabur. Orang-orang mengumpul dan mencoba membantu Kai yang terluka namun Kai menahan mereka.

“Apa yang terjadi?!”

“Sekarang sudah tidak apa-apa..”

.

.

.

TBC..

Hai guys, makasih respon di prologuenya bagus. Jangan lupa respon di chap 1 ini ya! Thx..


[Author Tetap] Unexpected Love – prolog

$
0
0

1482318500099

Unexpected Love

Story by: blank.

Park Chanyeol, Oh Sehun, OC, and others | chaptered | school life, romance | general

a.n yang italic tengah itu narasinya tokoh. yang biasa, narasinya author.

PROLOG

Pertemuan pertamanya dengan gadis itu berhasil membuat Sehun mengenal kembali apa arti kata bahagia. Apa arti kata cinta. Dan apa arti air mata.

Chae Yoon tak pernah membayangkan jikasekarang, setiap ia membuka matanya di pagi hari, atap luas dengan lampu gantung mewah menghiasi netranya yang coklat. Dan itu semua berkat satu orang yang sangat ia sayangi. Yang paling berarti di hidupnya.

Baru kali ini Chanyeol merasakanapa yang sering orang lain katakan; jatuh cinta. Ketika jantungmu berdegup kencang hanya karena senyumannya. Dan ketika hatimu hancur hanya karena ia meninggalkanmu dengan senyuman.

Minsoo tahu betul siapa wanita yang dimaksud pria itu. Siapa sosok cantik yang dipuja pria itu. Siapa sosok sempurna yang dicintai pria itu. Pria yang amat sangat ia cintai. Ia tahu jika cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Dan ia tahu bahwa hatinya sudah terlalu sering hancur karena satu orang yang sama.

Ini adalah cinta pertama mereka. Apa akan berakhir bahagia? Atau hanya menyisakan air mata?

__

Seorang gadis kecil dengan kaus lusuh dan celana pendek seadanya berjalan limblung di pinggiran jalanan ibu kota. Tangannya mengepal erat, menggenggam beberapa lembar uang untuk membeli obat. Satunya lagi memegangi keningnya yang pusing bukan main.

Malam itu, aku sendirian. Di tengah padatnya orang-orang. Di bawah guyuran rintik hujan.

Ia berjalan tanpa alas kaki, tanpa payung, tanpa jaket tipis sekalipun.

Dingin. Hanya itu yang kuingat malam itu.

Bibirnya membiru dan badannya mulai menggigil. Tapi ia memantapkan hatinya, terus berjalan sampai apotek terdekat, dan membeli obat dari hasilnya mengais sampah tadi pagi.

Malam itu aku benar-benar pusing, sampai rasanya semua orang sedang berputar.

Ia berbelok ke sebuah gang kecil di kelokan jalan. Gang kecil itu gelap, hanya dihiasi dengan lampu temaram kecil dari satu-dua rumah.

Setidaknya lewat jalan itu jadi lebih dekat. Pikirku waktu itu. Jadi aku hanya berjalan, menahan tubuhku yang rasanya ingin tumbang.

“Wah, ada anak manis datang kesini. Hei, Nak. Ada apa?” Seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian menyeramkan–lengkap dengan kumis tebalnya–menghampiri gadis kecil itu. Ia menyeringai, membayangkan pikiran mesum yang mulai bersarang di otaknya.

Aku tahu jika paman itu akan berbuat jahat padaku. Tapi perasaanku bilang; aku akan baik-baik saja.

“Maafkan aku, Paman. Tapi aku ingin lewat. Permisi.”

Paman itu mencengkeram bahu si gadis kecil. “Ayolah~ jangan pergi dulu. Keringkan dulu bajumu. Gantung saja di tiang itu, dan aku akan membantumu untuk mengeringkan badanmu.”

Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak Paman. Terimakasih.”

“Ck,” paman tua itu berkacang pinggang. “Menjengkelkan.”

Lalu paman itu melihat genggaman tangan si gadis kecil. Lantas kembali menyeringai–kali ini lebih menyeramkan.

Saat melihat senyum itu, yang lebih mirip seorang psikopat haus darah ketimbang seorang Paman tua, tubuhku gemetar hebat. Jantungku berdegup cepat.

“Berikan padaku uangnya.”

Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak. Aku membutuhkan uang ini.”

Sang Paman melotot. “Kurang ajar! Anak kecil miskin sepertimu berani menolakku dua kali?!”

Aku melihat saat Paman itu mengangkat tangannya, hendak memukulku dan membuatku pingsan, merampas uangku, dan mungkin saja memperkosaku.

Dan aku memohon pada Tuhan, jangan biarkan hidupku berakhir malam itu.

Buuk!

Dan aku sangat bersyukur, Tuhan dengan cepat mengabulkan doaku.

“Jangan lukai dia!” Suara cempreng seorang anak laki-laki dengan jas hujan kuning yang ia pakai menguar disela-sela derasnya hujan. Batu yang tadi ia pakai untuk memukul Paman itu, mendarat mulus di kepala bagian belakang pria paruh baya itu.

Sang Paman menoleh. “Siapa kau, anak kecil? Pergi sana! Jangan ganggu urusan orang tua.”

“Dia juga anak kecil sepertiku! Mau apa kau dengannya?!”

“Aaah, sial!” Paman itu melangkah maju, bersiap meninju anak lelaki yang ia tak tahu siapa, datang dari mana. Yang sudah mengganggu acara malamnya.

Saat itu aku benar-benar takut. Tapi aku sama sekali tak menemukan rasa itu dalam matanya. Mata anak lelaki yang tingginya tak seberapa. Yang waktu itu sudah mengepalkan tangannya erat, membuatkuda-kuda dan posisi siap bertarung.

Dan seketika itu juga, kakiku maju tanpa kusadari. Rasa takutku hilang begitu saja, saat mata kami tak sengaja bertemu dan ia seperti bilang; jangan takut. Ada aku di depanmu!

Gadis itu mengambil balok kayu yang kebetulan berada di dekatnya, ia berlari, meloncat setinggi yang ia bisa, lalu menghantamkan balok kayu itu tepat ke arah kepala si Paman Tua.

Aku memukulnya berulang kali, mengabaikan rasa pening yang makin lama menghinggapi kepalaku. Aku marah pada paman itu. Karena ia hendak menyentuh pahlawanku dengan tangan kotornya.

Paman itu tak bisa berkutik, ia jatuhterjerembap ke tanah dengan kepalanya yang terbentur balok kayu. Si anak lelaki hanya diam, mulutnya terbuka separuh dan kuda-kudanya sudah hilang.

Setahu yang kuingat sejak itu, ia berteriak saat pandanganku mulai menghitam.

Dan saat aku membuka mataku, atap kayu warna ungu segera masuk menyelinap lewat mataku. Aku meringis, merasakan pening di kepala.

“Ibu, dia sudah bangun!” Anak lelaki itu berteriak nyaring kearah luar kamarnya. Bibirnya tersenyum, memperhatikan gadis kecil itu yang masih memegangi kepalanya.

Tak lama, aku seperti melihat malaikat baik hati yang dikirim Tuhan karena aku telah bekerja keras selama ini. Ia berwujud wanita, dengan baju panjang berwarna putih dan celana abu-abu. Rambutnya yang satu-dua sudah putih seperti bersinar, dan senyumnya yang damai seketika menentramkan jiwa.

Ia bertanya namaku, dimana aku tinggal, dan siapa orang tuaku.

“Namaku Song Chae Yoon. Aku tak tahu dimana ayah dan ibu, dan aku tak punya rumah.”

Lalu ia diam sejenak, anak lelaki yang tadi menolongku juga terdiam. Lalu mereka tersenyum, merentangkan tangannya dan berkata;

“Tinggallah bersama kami. Dan mulai sekarang, panggil aku ‘ibu’.”

Ibu tersenyum, lebih hangat dari matahari pagi yang setiap pagi kusaksikan dari bawah atap emperan toko. Dan tanpa kusadari, tangan anak lelaki itu menggenggamku erat, tersenyum.

Dan sejak saat itu, tak ada lagi tangis di setiap hariku. Yang ada hanya tawa, bahagia, dan suka. Bersama ibu, ayah, dan teman-teman panti asuhan yang lain.

Terutama karena dia. Pahlawan kecil yang telah menyelamatkan hidupku.

___

Dulu, aku hanya seorang bocah yang tinggal di pinggiran pantai. Sehari-hari hanya makan dengan ikan, bekerja menangkap ikan, dan memelihara sedikit ikan di rumah.

Orang tuaku hanya seorang nelayan amatir yang terlalu menggantungkan hidupnya pada laut. Menebarkan jala ikan setiap hari, setiap malam. Dan pulang saat pagi hari, dengan penghasilan tak menentu.

Aku tak apa dengan hidupku yang dulu. Aku masih bisa tersenyum, tertawa, dan merasakan hangatnya pelukan ibu di malam hari. Bisa berlari menyusuri bibir pantai setiap mentari hendak bertengger di angkasa, atau menatap indahnya senja dengan angin kecil yang membuat perih di mata.

Sampai suatu hari, di saat langit hitam dan angin kencang berhembus, ayahku nekat pergi ke laut bersama 2 temannya yang lain. Ia nekat mencari ikan saat badai akan menghampiri pesisir pantai. Dia hanya bilang; Tuhan akan selalu menjaga ciptaan-Nya yang selalu bertaqwa. Jadi kami–aku dan ibuku–merelakannya pergi, melihatnya berlayar sampai menghilang dibalik laut.

Aku tak tahu jika saat itu, Tuhan bukan menjaga ciptaan-Nya, tapi mengambilnya dari bumi.

Ayahku meninggal, bersama 2 temannya yang lain.

Ibuku menangis sampai wajahnya merah, sampai bibirnya kering. Aku tak menangis saat itu, buat apa? Ayah juga tak akan kembali meski air mataku mengalir sedemikian derasnya.

Jadi kuputuskan saja keluar dan mencari ikan, membantu Paman Kim yang kesusahan membetulkan jalanya yang bolong.

Dan saat itulah aku bertemu dengannya, dengan 2 malaikat yang Tuhan kirim sebagai pengganti ayah. Mereka baik, dengan senyum hangat dan tangan yang selalu terentang lebar. Mereka mengajakku pergi ke rumahnya, bermain bersama anak-anak asuhnya yang lain.

Aku sering berkunjung ke rumahnya, setiap selesai menangkap ikan di akhir pekan, mereka pasti menjemputku dan mengajakku bermain ke rumahnya. Aku senang jika berkunjung ke rumah kayu itu. Setiap kali kau masuk ke dalamnya, pasti aroma menenangkan menghinggapi hidungmu.

Dan berkat 2 malaikatku, aku bisa melupakan kematian ayah.

Apalagi saat aku melihatnya, gadis kecil dengan baju lusuh, rambut basah, dan sorot mata ketakutan. Ia menggenggam beberapa lembar uang. Bibirnya yang bergetar berteriak pada Paman tua yangberniat jahat padanya.

Jadi aku menolongnya, tanpa tahu kenapa aku harus melakukannya.

Dia memukul Paman itu bahkan sebelum sempat aku memukul wajah Paman itu dengan kepalan tanganku. Ia jatuh pingsan tepat setelah Paman itu tersungkur di tanah.

Ia demam. Tubuhnya benar-benar panas. Dan bibirnya terus saja bergetar.

Jadi aku membawanya, menggendongnya di punggung kecilku. Berjalan secepat yang aku bisa. Berharap ia belum mati kedinginan.

Dan saat ia membuka matanya, hal pertama yang aku lihat adalah; matanya yang bersinar terang, menandingi terangnya mata ibu.

Sejak saat itu, matanya yang bersinar terang selalu menatapku teduh. Bibirnya yang kecil selalu tersenyum senang untukku, karena aku.

Tapi bahagiaku harus kandas saat ibu bilang ‘ibu’ kandungku meninggal karena terbawa arus saat ombak sedang tinggi-tingginya di pantai.

Sebagian cahaya hatiku padam saat aku tak menemukan kebohongan di mata ibu.

Lalu gadis itu datang sambil menangis tersedu, mengucapkan bela sungkawa, dan memelukku erat, bilang jika masih ada dia di sampingku, berjanji jika ia akan selalu ada untukku, selalu bersamaku.

Dan ia menepati janjinya. Masih dengan senyuman yang tak pernah berubah.

Yang menjadi cahaya baru di hatiku, menjadi sosok sempurna yang selalu ku rindu.

TBC

ini aku juga gak yakin sama fanfic ini sebenernya. jadi kalau responnya sedikit ya nggak bakal ku lanjut, kalau banyak, (insyaallah) ku lanjut.

punya wattpad? add akun aku ya! @chocory

terimakasih banyak! 

 

 

 


[Author Tetap] Mistake (Chap 4)

$
0
0

Cast: Park Chanyeol, Jun Rayeon, Jun Ahra (OC)

Genre: Romance, comedy(?)

Rate: PG-13

Disc: INI FF ASLI MILIK SAYA. No copas or plagiat and don’t be silent readers guys!

.

.

.

Rayeon tidak tau apa yang harus ia lakukan. Ahra bukanlah nama asing, dia sangat mengenali Ahra. Mereka sangat tau 1 sama lain. Tentu, mereka adalah saudara kembar. Mungkin itu yang membuat Chanyeol salah mengenali Ahra sebagai Rayeon.

Tapi..

“Kau bukan Ahra tunanganku.” Hati Rayeon seakan teriris. Ini semua hanya kesalah pahaman. Tidak mungkin Chanyeol menyukainya dan Rayeon tau itu. Tapi, keadaan sekarang adalah apa yang tidak ia fikirkan. Ia menyukai Chanyeol. Baru saja ia menyukainya dan Chanyeol berkata ini kesalahan? Tidak, ini bukan salah Chanyeol. Ini salahnya untuk menyukai Chanyeol dan sebelum ini menjadi lebih jauh, lebih baik jika ia menutup rapat-rapat hatinya.

“Yeol!” Ahra tersenyum menatap Chanyeol yang datang ke arahnya dengan senyum kecil.

“Apa yang kau lakukan disini? Hari ini sangat dingin.” Chanyeol menggenggam tangan Ahra dan memasukkan tangan mereka ke dalam saku jaket Chanyeol.

Awalnya Chanyeol tidak mengetahui Ahra adalah salah satu anak tuan Jun juga. Mereka adalah kembar dan Chanyeol baru saja mengenali Rayeon dan Ahra ternyata adalah kembar.

*flashback*

Park Jaejong, ayah Chanyeol memanggilnya untuk duduk berkumpul di ruang tamu. Chanyeol, ayahnya dan ibunya, Park Yana duduk saling menghadap.

“Chan, appa akan pergi untuk berbisnis ke luar negri dan kau akan disini. Saat kami kembali, kau akan bertemu dengan anak dari Tuan Jun. Tuan Jun adalah teman ayah yang sudah meninggal beberapa tahun lalu dan kami mengetahui bahwa anak mereka masih berada di Korea dan sedang kesulitan.” Chanyeol tidak mengerti apa yang ayahnya maksud namun semakin ia mendengar semakin perasaannya tidak enak.

“Jadi?” Tanya Chanyeol dengan raut bingung dan sebenarnya tidak perduli.

“Kau akan menjaganya. Kalian sudah kami jodohkan sewaktu kecil. Kau mungkin tidak ingat tapi kalian sering bermain dulu.” Chanyeol mencoba mengingat namun itu adalah hal yang sulit. Itu sudah belasan tahun dan Chanyeol tidak pernah bertemu dengan gadis itu.

“Kalian akan bertemu setelah kami pulang tapi coba ingat-ingat dan carilah dia. Dulu kau sangat menyukainya dan aku sangat senang kau memilih gadis itu tapi waktu berlalu Jun Kaeru meninggal membuatku kehilangan kontak. Sekarang aku sudah menemukannya dan kau pasti akan menyukainya karena aku juga menyukainya.” Chanyeol berfikir sejenak lalu menatap ayahnya. Tipenya? Yang ayah suka? Feminim? Lucu? Manis?

Hingga ia tau, Tuan Jun memiliki anak bernama Jun Rayeon. Disaat itu Chanyeol fikir Rayeon adalah orang yang akan ia jodohkan. Chanyeol mencoba mengenal Rayeon dan ia sangat menyukai bagaimana Rayeon membuatnya tertawa hingga ia bertemu Ahra.

Mereka bertemu di mall dan Ahra sangat mirip dengan Rayeon. Awalnya Chanyeol mengira Ahra adalah Rayeon dan setelah mengetahui mereka adalah kembar Chanyeol bingung dengan siapa yang akan dijodohkan dengannya. Lalu secara kebetulan bertemu dengan Rayeon saat pulang.

Ia hampir gila namun mereka ber2 adalah sosok yang berbeda. Jika Rayeon adalah gadis lucu dan lugu yang terlihat tidak mengenal takut, Ahra adalah gadis feminim yang harus dilindungi.

Dari situ ia putuskan. Ia memilih Ahra untuk menjadi tunangannya. Menurutnya Ahra adalah tipe gadis yang dijodohkan oleh ayahnya mengingat Ahra adalah gadis feminim.

*flashback off*

“Chanyeol! Itu terlihat enak, bisakah kita makan itu dulu?” Chanyeol mengangguk lalu membeli sebuah gulali untuk Ahra.

“Kau tidak makan?” Chanyeol menggeleng lalu tersenyum.

Mereka berada di sebuah festival malam. Ahra mengajaknya dan Chanyeol menyetujuinya untuk mencari tau tentang Ahra maupun Rayeon. Ahra terlihat seperti akan mengatakan segalanya, berbeda dengan Rayeon yang penuh pertanyaan dan terlihat tertutup.

“Jadi? Apa kau mengenal Rayeon?” Tanya chanyeol memulai percakapan.

“Ya, Rayeon sangatlah baik, dia saudaraku dan selalu memberikanku banyak hal. Membiayayi kehidupan dan kuliahku. Semua ditanggung olehnya.” Chanyeol terkejut mendengarnya, Ahra seorang mahasiswi dan Rayeon kemarin mencari uang. Apa untuk Ahra? Pikir Chanyeol. Hingga melakukan pekerjaan itu?

“Apa pekerjaanmu?” Tanya Chanyeol seraya mereka berjalan menelusuri jembatan. “Aku tidak bekerja.Rayeon yang bekerja.” Chanyeol mengangguk dan berhenti untuk menikmati pemandangan sungai kecil dari atas jembatan.

“Jadi, mengapa kau mencari kami?” Tanya ahra seraya menghabiskan gulalinya.

“Ayahku mencari kalian.” Ahra mengangguk lalu tersenyum. “Apa ayahmu mengenal keluarga kami?”

“Ya, ayah kita berteman.” Ahra kembali tersenyum lebar lalu membiarkan Chanyeol mengelap tangannya dengan tisyu basah. Menurut Ahra Chanyeol adalah sosok yang sangat baik, sama seperti kakaknya, Rayeon.

“Chan, malam ini aku ingin pergi melihat bintang.” Chanyeol menatap Ahra bingung. “Tapi ini Seoul, Ahra-ya.” Ahra mempoutkan bibirnya membuat Chanyeol tersenyum dan mencubit gemas pipi Ahra.

“Kurasa kau sangat baik padaku jadi aku ingin melihat bintang. Bagiku bintang itu indah sama sepertimu.” Ahra mendongak dan melihat beberapa bintang namun hanya sedikit yang bertebaran karna tertutup awan.

“Ayo.” Chanyeol menarik Ahra dengan cepat, “kemana?”

“Melihat bintang.”

***

Chanyeol dan Ahra berada di puncak Namsan Tower tapi mereka tidak bisa melihat bintang seperti yang mereka inginkan dan Ahra merasa sedikit sedih karenanya.

“Bagaimana?” Chanyeol menatap Ahra yang tidak mengerti lalu tersenyum mengelus puncak kepalanya.

“Tapi kita tidak bisa melihat bintang dengan jelas dari sini..” Ahra terus mendongak melihat ke langit membuat Chanyeol menggeleng dan menunjuk kaca didepannya.

“Kau lihat, kita bisa melihat bintang dari puncak kota. Jika kau fikir bintang tidak terlihat di Seoul maka kau salah. Buktinya aku melihat banyak bintang bertaburan. Lihat, kota Seoul sendiri terlihat seperti bintang. Cahaya di kota ini terlihat indah jika dilihat dari atas langit. Bukankah ini sama seperti kita yang melihat bintang di langit dari bawah?” Ahra mengerti sekarang. Ia hanya perlu melihat dan mengerti, pemandangan cahaya kota Seoul sendiri mirip seperti bintang.

Banyaknya lampu yang berkerlip membuat kota Seoul seakan dipenuhi bintang dan itu sangat indah. Ahra bahkan tidak percaya dengan apa yang ia lihat setelah mendengar perkataan Chanyeol. Ia tak harus melihat ke atas untuk menemukan bintang karna bintang juga bisa berada di bawah.

Ahra tersenyum menatap Chanyeol yang masih melihat pemandangan kota Seoul di depannya. “Aku rasa aku menyukaimu..”

Chanyeol menatap Ahra yang sepertinya telah mengatakan sesuatu namun dirinya yang terlalu fokus pada pemandangan membuatnya tak mendengar. “Maaf, apa yang kau katakan?” Ahra menggeleng dan tersenyum. Lega bahwa Chanyeol tidak mendengarnya.

“Malam ini bintang sangat indah..” Chanyeol mengangguk setuju lalu tersenyum.

***

Chanyeol pulang dan mendapati Rayeon yang masih berada dimeja makan. Duduk dengan tatapan kosong.

“Apa yang kau lakukan?” Tanya Chanyeol mendekati Rayeon. “Aku.. aku butuh penjelasan.”

Chanyeol menghela nafas lalu duduk menatap Rayeon yang diam tanpa menatapnya.

“Rayeon, aku telah mengikutimu beberapa hari ini. Dari dimana kau bekerja, jam berapa serta rumahmu. Kau tinggal sendiri dan bekerja banyak patuh waktu. Kau anak dari tuan Jun,sahabat ayahku. Aku baru saja tau kau memiliki sauadara dan kalian sangat mirip, itu membuatku bingung. Ahra tidak tinggal denganmu karena itu aku baru tau setelH bertemu dengannya di mall. Kami menghabiskan waktu disana dan ayahku mungkin saja mencari Ahra bukan dirimu. Ayahku adalah tipe orang yang menyukai gadis feminim dan itu mungkin Ahra.” Baiklah, Rayeon menatap Chanyeol bingung sekarang.

“Apa ayahmu pedofil? Itu aneh bagaimana kau menjelaskannya.” Chanyeol menatap gemas Rayeon yang terlihat lucu lalu tersenyum.

“Ayahku ingin bertemu salah satu dari kalian dan.. sebaiknya kalian ber2 bertemu dengannya agar lebih jelas. Besok ayahku akan pulang, kau tidurlah dan kita minta penjelasan pada ayahku.”

Chanyeol berdiri lalu menepuk kepala Rayeon pelan dan tersenyum. Chanyeol merasa Rayeon sosok yang lucu dan itu membuatnya nyaman bersamanya walau ini baru 3 hari. Mungkin Chanyeol memang menyukai Rayeon seperti yang ia katakan kemarin.

“Tidurlah yang nyenyak.” Rayeon tersenyum namun tatapannya menyatakan ia tidak mungkin bisa tidur nyenyak malam ini. Tidak setelah semuanya..

***

Rayeon dan Ahra saling menyapa lalu tersenyum. Chanyeol dan Rayeon pergi menghampiri Ahra untuk menjemputnya dan Ahra sangat senang bertemu dengan Rayeon. Ahra bagaikan anak kecil bagi Chanyeol maupun Rayeon. Ahra sangat ceria dan terbuka atas perasaannya, berbeda dengan Rayeon yang menyembunyikan perasaannya.

“Ra, kau kemana saja? Aku mencarimu tapi kau tidak ada di rumah.” Chanyeol dan Rayeon saling bertatapan lalu dengan cepat Rayeon menggeleng dan berkata, “hey, aku mendapat pekerjaan baru dan gajinya besar. Jadi beberapa hari ini aku terus bekerja dengan giat.”

Ahra tersenyum lalu kembali memeluk Rayeon. “Jangan bekerja terlalu keras.” Ujarnya lalu merangkul tangan Chanyeol dan menuju mobil. Ahra tau kemana mereka akan pergi.

Chanyeol membuka pintu depan lalu membiarkan salah satu dari mereka masuk dan Ahra dengan cepat masuk ke dalam mobil lalu tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Chanyeol yang tersenyum canggung menatap Rayeon yang membuka pintu belakang dan duduk disana. Dari jendela Chanyeol tau, Rayeon tidak marah atau kesal. Ia hanya.. terlihat sedikit sedih tapi Chanyeol tidak tau apa artinya.

“Ahra ah, kau sudah tau kemana kita akan pergi?” Ahra mengangguk dan menatap Chanyeol. “Ya, Chanyeol memberitauku semuanya.”

“Tentu aku memberitaumu.” Chanyeol melirik Ahra sekilas lalu mengelus puncak kepala Ahra lembut sebelum berkonsentrasi lagi untuk menyetir.

Rayeon hanya bisa tersenyum kecil menatap mereka. Ia tidak boleh merasakan apapun, ia mengenal Ahra jelas dan sekilaspun ia tau, Ahra menyukainya..

Ahra menyukai Chanyeol dan itu adalah alasan jelas mengapa ia harus menutup pintu hatinya.

Perjalanan memakan waktu 20 menit sebelum mereka akhirnya sampai di rumah besar keluarga Chanyeol. Chanyeol keluar mobil dan mempersilahkan Ahra keluar layaknya tuan putri namun Rayeon membuka pintunya sendiri. Jujur saja, Rayeon gadis yang mandiri. Dia tidak memerlukan perlakuan konyol seperti itu.

“Selamat datang tuan muda.” Sambutan hangat diberikan saat Chanyeol memasuki ruangan dengan menggandeng tangan Ahra.

“Selamat siang Tuan dan nyonya Park.” Sapa Rayeon lalu tersenyum sopan lalu di ikuti Ahra. Chanyeol tersenyum dan menyapa orang tuanya seraya duduk di ruang tamu.

Rayeon dan Ahra saling memandang dan duduk lalu tersenyum kepada orang tua Chanyeol.

“Jadi yang mana Ahra dan yang mana Rayeon?” Rayeon memperkenalkan diri dan memberitau Ahra disebelahnya.

“Aku mengingat nama kalian dan aku ingat Chanyeol dulu sangat senang bermain dengan salah satu dari kalian. Kalau tidak salah Chanyeol suka bermain dengan Rayeon kan?” Rayeon menatap tak mengerti. Mereka dulu bermain bersama?

“Ya, Rayeon yang lebih tua kan?” Ahra dengan cepat menggeleng dan mengatakan bahwa dia adalah kakaknya namun faktanya, Rayeon lebih tua darinya.

“Rayeon ah, bisakah kita bicara sebentar?” Chanyeol menatap bingung Rayeon yang tidak percaya dengan perkataan Ahra.

Rayeon dan Ahra saling meminta ijin untuk pergi ke belakang dan berbicara sebentar.

“Eonni, aku menyukai Chanyeol dan Chanyeol pernah bilang bahwa ia akan dijodohkan dengan salah satu dari kita. Dia bilang dia akan dijodohkan dengan yang lebih tua.” Bisik Ahra dengan wajah memelas. Ahra sangat menyukai Chanyeol, itu seperti.. cinta pada pandangan pertama baginya.

“Ayolah.. kumohon..” Rayeon menghela nafas berat lalu menatap Ahra dan tersenyum. “Ya, baiklah.”

Ahra dan Rayeon kembali duduk dengan tenang lalu tersenyum. Bedanya senyum Ahra mengembang dan senyum Rayeon terlihat dipaksa.

“Jadi, Ahra yang lebih tua?” Tanya Tuan Park sekali lagi.

“Ya.” Jawab Ahra bersemangat dengan senyum cerah. Rayeon mengangguk lalu tersenyum kecil.

“Benarkah?” Tanya Chanyeol menatap Rayeon tidak percaya.

Rayeon tak menjawab namun tersenyum.

Senyum yang dipaksakan.
TBC..

.

.

.

Hai guys, makasih yang ud like dan comment ya!🙂 author tau ini bikin bingung tapi yasudah ini sudah lebih jelas hehe. Jangan lupa like dan commentnya ya.🙂


December Vibes: Falling for You – Suho

$
0
0

p1b4bsqa862nei913hn6fo1e559

FALLING FOR YOU

A story by Aerinim

Suho (Junmyeon) & Hojung (OC) // 697 words

*

“I’ve been waiting a whole year for this day.
I feel like I’ve been frozen,
I will muster up courage and approach you today”

*

Jika orang-orang berhenti sejenak untuk mengabadikan momen salju pertama yang baru saja turun, Junmyeon malah berlari dengan cepat tanpa menghiraukan salju. Yang dipikirannya sekarang hanyalah gadis yang ia sukai, yaitu seniornya yang bernama Hojung.

Musim dingin tahun lalu, Junmyeon bertemu Hojung untuk pertama kalinya. Semenjak itu keduanya sering bertemu dan Junmyeon pun mulai menyukai gadis itu. Selama beberapa bulan ia mendekati Hojung dan ia pun berhasil, mereka bahkan sudah berbicara secara informil. Meski begitu, Junmyeon belum memberitahu perasaannya kepada Hojung.

Sejak dulu, Junmyeon selalu ingin menyatakan perasaannya kepada gadis yang ia sukai saat salju pertama turun. Masalahnya di tahun ini, salju pertama di bulan Desember turun saat ia tidak sedang bersama Hojung.

Junmyeon berlari masuk ke dalam perpustakaan kampus untuk mencari Hojung di setiap sudut, namun ia tidak melihat gadis itu. Kemudian ia berlari ke dalam gedung fakultas tempat Hojung biasa belajar dan mencari di setiap kelas, hasilnya nihil.

Karena telah lama berlari, napas Junmyeon pun terengah-engah dan ia memutuskan untuk berjalan ke mini market terdekat untuk duduk dan membeli kopi. Ia bisa saja pergi ke kafe untuk membeli kopi, namun saat itu ia tidak membawa uang banyak.

Setelah membayar kopinya, Junmyeon duduk di kursi yang menghadap ke jalanan. Ia meneguk kopinya sambil melihat salju yang turun. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia mengambil ponselnya dari dalam saku dan membaca pesan masuk yang ternyata dari Hojung.

Ia menghela napas berat karena kebodohannya yaitu ia sama sekali lupa dengan keberadaan ponsel dan seharusnya ia bisa menelepon Hojung tanpa harus merasa lelah.

Hojung mengirimi pesan singkat yang membuat Junmyeon tersenyum;

Salju pertama! ^o^

Pikiran Junmyeon pun mendorong jarinya untuk memencet logo telepon. Namun saat jarinya sudah sangat dekat dengan layar ponselnya, jarinya menjadi kaku. Ia ragu-ragu untuk menelepon Hojung.

Tiba-tiba Hojung meneleponnya, membuatnya terkejut dan nyaris menjatuhkan ponselnya. Ia mengambil napas beberapa kali sebelum akhirnya ia mengangkat.

“Nuna!”

“Junmyeon-ah! Kau dimana?”

“Kenapa, nuna?” Junmyeon balik bertanya.

“Aku sedang di luar dan salju tiba-tiba turun. Entah mengapa aku ingin jalan-jalan tapi tidak ada teman.”

“Oh,” kata Junmyeon lalu tertawa kecil. “Aku di mini market dekat kampus.”

Tawa Hojung bisa terdengar di seberang telepon. “Haruskah aku kesana?”

“Jangan, nuna! Kau dimana?” tanya Junmyeon sambil beranjak dari kursinya. Ia membuang sampahnya dan berjalan keluar mini market.

“Aku di depan perpustakaan kampus.”

“Apa? Tapi aku tidak melihatmu tadi!”

“Apa?”

Menyadari kesalahannya, Junmyeon langsung memukul-mukul pelan bibirnya. “Nuna, aku sedang jalan kesana.”

“Aku akan menunggumu di dalam.”

Junmyeon pun langsung berlari menuju perpustakaan. Ia tidak mau Hojung menunggu sendirian terlalu lama disana.

Tak lama kemudian, Junmyeon sudah sampai di depan perpustakaan dan langsung masuk ke dalam tanpa ragu-ragu. Ia melihat Hojung sedang duduk di salah satu kursi. Ia pun menepuk pundak Hojung pelan dan gadis itu menoleh kearahnya lalu tersenyum. Keduanya pun berjalan berdampingan keluar perpustakaan.

“Dingin sekali,” kata Hojung saat mereka berada di luar.

Sambil berjalan, Junmyeon menatap Hojung yang sedang menggosokan kedua tangannya. Entah mengapa, tiba-tiba tangannya meraih tangan kiri Hojung dan menggenggam tangan tersebut. Hojung hanya terdiam sambil menatap tangannya yang dibalut tangan hangat Junmyeon.

“M-maaf,” ucap Junmyeon sambil melepas tangan Hojung dari genggamannya. Wajahnya pun memerah.

Hojung tertawa kecil lalu tangan kirinya meraih tangan kanan Junmyeon. “Begini jauh lebih baik.”

Junmyeon tersenyum. Tanpa ragu-ragu Hojung pun membuat tangan kanannya ikut ke dalam genggaman, otomatis membuat tubuhnya menepel dengan tubuh Junmyeon. Mereka terdiam beberapa menit sampai akhirnya Junmyeon memecah keheningan.

“Nuna,” panggil Junmyeon.

“Hm?”

“Aku menyukaimu.”

Hojung terdiam beberapa saat lalu ia pun tersenyum. Bukannya menjawab, Hojung malah mendaratkan ciuman di pipi Junmyeon yang memerah. Hal itu membuat Junmyeon tersenyum.

“Wajahmu merah sekali,” canda Hojung. Kemudian ia mendekatkan bibirnya ke telinga Junmyeon untuk membisikan sesuatu. “Aku juga sudah lama menyukaimu. Bukan, aku mencintaimu.”

Junmyeon tersenyum senang. Ia merasa satu tahun ia menunggu tidak terbuang sia-sia.

“Mau minum kopi?” tanya Hojung saat ia melihat kafe di dekat mereka.

“Aku tidak punya uang…” jawab Junmyeon malu. Ia merasa tidak enak karena ia berpikiran bahwa laki-laki yang seharusnya membayar semua jika bersama seorang gadis.

Hojung tertawa. “Aku akan mentraktirmu! Dan kita harus merayakan hari pertama kita bersama.”

Hari pertama, ucap Junmyeon dalam hati lalu tersenyum malu. Ia menoleh ke Hojung dan mengangguk. Sementara itu Hojung yang sangat bersemangat langsung berlari ke kafe sambil menarik tangan Junmyeon.

*

the end.

author’s note: i have to admit that this is so cliché but i’m a master at cliché stories so yeah xD


[Author Tetap] Miracle (Two shoot-One)

$
0
0

Cast: Park Chanyeol, Oh Saeyeon (OC)

Genre: Romace, fantasy

Rate: PG-13

Disc: ff ini hanya karangan dan tidak aa copy paste atau plagiat dari karya lain! Tolong tidak mengcopas atau plagiat karya ini!

.

.

.

Apa kalian percaya dengan keajaiban? aku percaya karena aku memilikinya. Dirinya adalah keajaiban terindahku. Namun, sekarang semuanya menjadi suram setelah dirinya meninggalkanku. Sekarang setelah semuanya hilang, bisakah aku kembali? aku akan melakukan apapun untuk kembali.. kumohon..

.

.

Salju yang putih turun membuat banyak orang dijalan kegirangan. Lagu-lagu natal terputar dengan ceria, para pasangan saling menatap dan bergandeng tangan, seperti Chanyeol dan Saeyeon. Tangan mereka saling bertaut dengan senyum menghias wajah.

“Chan, aku mau makan itu.”

Chanyeol menatap ke arah yang ditunjuk oleh Saeyeon. Ia tersenyum lalu berkata, “Baiklah, ayo kita ke sana.”

Chanyeol membelikan Tteokbokki lalu menyuapi Saeyeon yang tersenyum senang atas perlakuan Chanyeol padanya. “Oppa, ini sangat enak! cobalah!” Chanyeol tersenyum dan memakan Tteokbokki disuapi oleh Saeyeon. Mereka tersenyum dan lanjut berjalan di jalanan Kota Seoul yang padat.

Pohon natal di Seoul Plaza sangatlah besar dan indah, tinggi menculang dan ramai untuk difoto. Chanyeol mengusulkan untuk berfoto di sana untuk dipost di Instagramnya. Chanyeol sangat menyayangi Saeyeon dan bagina Saeyeon sangatlah berharga.

“Saeyeon ah, ayo kita berfoto! Pohon natal ini sangatlah cantik!” Saeyeon menatap Chanyeol dengan tatapan bercanda yang dibuat seakan dirinya kesal. “Apa hanya pohon itu yang cantik?” Chanyeol yang mendengarnya langsung tertawa dan mengelus puncak kepala Saeyeon.

“Kau lebih cantik!”

Saeyeon tertawa mendengar gombalan Chanyeol lalu berjinjit dan memegang bahu Chanyeol. “Aku mencintaimu.” Bisiknya dengan pelan walau ia tidak bisa meraih telinga Chanyeol yang sangat tinggi.

Chanyeol tertawa mendengarnya lalu menambahkan, “Aku juga mencintaimu.” Mereka saling menatap dan tersenyum sebelum Chanyeol menunduk dan mencium bibir Saeyeon lembut dan dalam. Sesaat mereka saling menatap lagi lalu tersenyum. Saeyeon memeluk Chanyeol seakan Chanyeol adalah dunianya, tidak ada lagi yang ia inginkan selain Chanyeol berada di sisinya.

“Ayo kita berfoto!” Chanyeol mengarahkan ponselnya dan mereka mendekatkan wajah dengan 1 sama lain. “1, 2, 3.” Sebuah foto dengan Chanyeol serat Saeyeon terambil. Latar belakang foto itu sungguh menakjubkan dengan pohon natal besar, indah dan bercahaya.

Malam semakin dingin dan ramai, salju turun dengan indahnya menghiasi jalan dengan lampu yang berwarna warni. Langkah Chanyeol dan Saeyeon terhenti di perempatan. Saeyeon menatap Chanyeol yang kedinginan.

“Tunggu di sini oke?” Saeyeon berlari menyebrang jalan dan membeli minuman. Chanyeol yang bingung hanya diam dan menunggu, tangannya sangat kedinginan dan wajahnya sangat dingin. Udara malam itu emang tidak main-main.

Chanyeol sudah menunggu 20 menit dan semakin lama jalan itu semakin sepi. Matanya mencari-cari dimana Saeyeon berada. Kecemasan mulai melanda saat perasaannya semakin buruk. Chanyeol menatap kesekeliling dan menemukan Saeyeon yang baru keluar dari cafe dengan 2 kopi di tangannya. “Chanyeol!” Teriak Saeyeon dengan memperlihatkan 2 kopi di tangannya.

Chanyeol tersenyum melihat Saeyeon yang berlari menghampirinya saat melihat lampu berubah warna lalu semuanya kalut. Kopi yang tumpah hingga wajah Saeyeon yang memiliki beberapa luka dan kepalanya yang berdarah, semua itu sangat jelas bagi Chanyeol hingga ia berlari dan memeluk Saeyeon yang tergeletak tak berdaya.

Suara sirene terdengar nyaring dengan Saeyeon yang dilarikan ke rumah sakit namun semuanya telah terlambat, Saeyeon koma untuk sekarang namun tak ada yang bisa ia lakukan. Chanyeol seharusnya menghentikan Saeyeon.. seharusnya ia yang berlari ke arahnya.. seharusnya ia yang membeli kopi.. seharusnya dirinya.. bukan Saeyeon..

***

Chanyeol duduk dan menatap kosong pintu kamar Saeyeon. Dirinya bahkan tidak dapat masuk ke dalam sana, tepatnya tidak sanggup. Ia terlalu sedih melihat Saeyeon yang terbaring sedangkan dirinya tidak dapat melakukan apapun.

Seorang perempuan cantik dengan badan yang bagus melewati Chanyeol dan tanpa sengaja terjatuh ke dalam pelukannya.

“Maaf, aku tidak sengaja.” Ujar perempuan itu lalu mengangkat dirinya dari pelukan Chanyeol. “Tidak apa-apa.”

“Aku akan mentraktirmu bagaimana?” Chanyeol menggeleng lemah tanpa melihat perempuan itu. “Maaf, sebaiknya kau pergi. Kau sepertinya terburu-buru.” Perempuan itu menggeleng dan tersenyum.

“Tidak, kita bisa makan sekarang.” Chanyeol menatap perempuan itu tanpa ada ketertarikan sedikitpun. Walaupun gadis itu lebih cantik dan berbadan sexy, Chanyeol masih mencintai Saeyeon.

“Baiklah.. sebenarnya apa yang kau lakukan?”

“Aku menunggu wanitaku untuk sembuh. Aku.. aku sangat bersalah padanya.. seharusnya aku yang berada di ruangan itu.” Chanyeol menunduk dan menutup wajahnya dengan telapaknya. Ia sangat frustasi sekarang.

“Aku akan membantumu.” Perempuan itu berbisik lalu tersenyum. “Tapi itu semua tergantung pada bagaimana kau mengubahnya.”

Chanyeol terlihat bingung dan membuka matanya namun perempuan itu sudah menghilang. Chanyeol bahkan tidak bisa berfikir jernih sekarang.

***

“Bangun.” Mata Chanyeol terbuka, Chanyeol menatap kesekeliling. Lilin terlihat dimana-mana, ruangan besar dengan seorang laki-laki menatapnya dan tersenyum.

“Aku akan membantumu.” Chanyeol terdiam sejenak lalu menatap laki-laki dihadapannya bingung. “Siapa kau?” Laki-laki itu tersenyum lalu berjalan mendekati Chanyeol. “Aku Kim Jongin, harapanmu. Harapan bahwa kau bisa mengubah semua yang telah terjadi. Harapan untuk mengubah kondisi Saeyeon”

Chanyeol menatapnya dan menggenggam tangannya. “Bagaimana kau tau Saeyeon?! Bagaimana bisa kau bisa membantunya? Tolong.. aku membutuhkan Saeyeon! Kumohon.. aku akan melakukan apapun..”

“Bangun dan segalanya akan terulang, 3 kesempatan. Jangan sia-siakan.” Seakan berdengung suara itu terdengar nyata saat Chanyeol membuka matanya.

Cahaya mengisi ruang mata Chanyeol. Orang-orang berlalu lalang dan udara malam itu menusuk tulang, persis seperti malam itu.

“Oppa! Ayo berfoto, ada apa denganmu?” Chanyeol menatap Saeyeon seakan tidak percaya. Saeyeon sedang koma selama 1 minggu terakhir. Tidak mungkin, bagaimana bisa Saeyeon berada dihadapannya, pikir Chanyeol.

“Sae.. aku mencintaimu.” Saeyeon tak mengerti dengan Chanyeol yang tiba-tiba memeluknya dengan erat. “Ada apa denganmu?” Saeyeon tertawa melihat Chanyeol yang kegirangan dan mata yang basah seakan baru bertemu dengannya sejak lama.

Chanyeol melepas pelukannya dan menatap Saeyeon dalam-dalam. “Jangan pernah meninggalkanku.. kumohon..” Saeyeon semakin bingung dan menatap Chanyeol aneh. “Apa kau sakit? Ada apa sebenarnya?” Chanyeol menggeleng dan tersenyum. “Aku tidak sakit, aku sangat sehat dengan melihatmu sekarang.” Chanyeol kembali memeluk Saeyeon erat seakan ia tidak akan melepaskannya.

Mereka berjalan melewati persimpangan dimana Saeyeon mengalami kecelakaan. Chanyeol menarik Saeyeon mendekat namun Saeyeon berhenti berjalan. “Oppa, kau kedinginan, tunggu disini! Aku akan membelikanmu sesuatu.” Chanyeol menarik Saeyeon mendekat. “Tidak!” Chanyeol nyaris histeris mendengar Saeyeon yang ingin pergi.

“Jangan kemana-mana! Kau di sini saja sudah menghangatkan diriku.” Ujar Chanyeol mendekatkan Saeyeon ke dekapannya. Mereka berpelukan hingga Chanyeol tanpa sengaja terdorong. Tangan Chanyeol terlepas seraya seorang laki-laki menabraknya dengan kencang lalu kembali berlari dengan banyak orang yang mengejarnya.

Chanyeol menatap Saeyeon yang terjatuh dan terduduk di aspal, “Saeyeon!” Teriak Chanyeol yang berlari mendekati Saeyeon yang berdiri namun semuanya sama. Chanyeol menyaksikannya untuk ke 2 kalinya. Saeyeon tersungkur di aspal dengan kepala yang berdarah seperti saat itu. Semua terulang kembali.

Seorang laki-laki menariknya dan segalanya gelap kembali.

Mata Chanyeol terbuka dan menampakan laki-laki itu yang masih terduduk di sofa dengan wajah yang masih tersenyum kecil. “Jadi.. gagal ya?” Tanya laki-laki itu dengan santai. Chanyeol menatap marah dan menghampiri laki-laki itu.

“Apa yang kau lakukan?! Bagaimana bisa Saeyeon tetap kecelakaan?! Aku sudah memeluknya! Tapi, kenapa?..” Chanyeol melepas kerah baju laki-laki itu.

“Tenanglah, kau masih memiliki 2 kesempatan.” Chanyeol terdiam dan berfikir sejenak. “Bagaimana caranya aku kembali?” Tanya Chanyeol mulai tenang. Chanyeol menatap Jongin berharap yang dibalas helaan nafas.

“Tutup matamu dan bukalah, kali ini jangan sampai gagal.” Chanyeol tersenyum dan menutup mata lalu membukanya dengan perlahan dan penuh harapan.

Sinar lampu membuat Chanyeol menutup mengedipkan matanya dengan cepat. Suara ramai terdengar membuat Chanyeol menatap ke sekeliling. Sekarang dirinya berada diperempatan jalan. Saeyeon tidak ada dimana-mana dan itu membuatnya bingung dan cemas setengah mati. Matanya mencari sosok Saeyeon hingga dirinya ingat.

Waktu itu Saeyeon keluar dari cafe dengan 2 kopi lalu dirinya tertabrak saat bertemu dengan Chanyeol dan berlari kearahnya. Kali ini Chanyeol berfikir keras dan mencoba sekuat tenaga agar Saeyeon tidak menyebrang dari sana. Keadaan mulai sepi setelah dirinya menyadari situasi. Chanyeol berlari untuk menyebrang dan membuat  Saeyeon yang baru keluar tersenyum ke arahnya. Chanyeol lega kali ini Saeyeon tidak berlari ke arahnya.

Maka ddari itu, Chanyeol yang berlari ke arah Saeyeon namun keadaan menjadi di luar kendali. Sebuah mobil menabraknya dengan cepat dan kencang. Mata Chanyeol menangkap sosok Saeyeon yang menjerit dan menangis serta kopi yang tumpah dan Saeyeon yang berlari memeluknya. Ini semua masih sama namun mereka bertukar tempat. Chanyeol tidak akan membuat Saeyeon merasakan apa yang ia rasakan saat Saeyeon koma. Tidak, itu terlalu menyakitkan.

Jadi, kali ini juga gagal? lalu bagaimana? Ini gila..

Ini semua seperti mimpi buruk yang terulang, tidak bisakah aku memperbaiki keadaan? -Chanyeol.

TBC..

.

.

.

Penasaran last chance Chanyeol gimana? Like dan comment biar lanjutannya cepet dipost🙂


This Love – Chapter 2

$
0
0

​​ir-req-this-love-21

This Love Chapter 2

©2016 HyeKim’s Fanfiction Story

Starring With : Luhan as Luhan || Hyerim (OC) as Kim Hyerim

Genre : AU, Romance, slight!Sad, a bit Comedy || Lenght : Chapter || Rating : PG-15

Poster By : IRISH @ Poster Channel

Summary :

Ketika 2 pasukan tentara dari negara berbeda disatukan dalam lika-liku hubungan cinta. Keduanya dipertemukan namun jarak yang memisahkan serta restu dari orang tua pun menjadi penghalang. Hanya sepenggal kisah antara Luhan, salah satu pasukan khusus dari China dan Hyerim, seorang dokter tentara dari Korea Selatan. Bagaimana kelanjutan kisah keduanya?

Note :

FF ini terinspirasi dari kisah cinta Yoon Myeong Ju dan Seo Dae Young dari drama korea populer descendant of the sun serta lirik dari soundtrack drama tersebut. Namun dari segi cerita yang ada sudah diubah oleh saya sendiri. Bila ada adegan yang dicetak miring/italic itu menandakan sebuah kilas balik/flashback.

Disclaimer :

This is just work of fiction, the cast(s) are belong to their parents, agency, and God. The same of plot, character, location are just accidentally. This is not meaning for aggravate one of character. I just owner of the plot. If you don’t like it, don’t read/bash. Read this fiction, leave your comment/like. Don’t be plagiat and copy-paste without permission.

HAPPY READING

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║


I don’t wanna lose you

Be without you anymore

No matter what i think, I still don’t know

How can I live without you

I love you, deep inside my heart

Don’t let me cry

[Mad Clown ft. Kim Nayoung – Once Again (ost.Descendant of The Sun)]


Uhuk… uhuk…” Jieun tersedak kacangnya dan kemudian tangannya terangkat untuk memukul-mukul dadanya, sementara Hyerim hanya menatapnya tanpa dosa padahal wanita tersebut sampai tersedak karena perkataannya. “Ya! Kamu ini jangan gila! Mana mungkin kamu bisa ke Urk juga!” pekik Jieun sambil menatap Hyerim tak percaya sementara yang ditatap hanya melipat tangan diatas perut dan mengedikan bahu.

“Siapa yang tahu…” ujar Hyerim membuat Jieun geleng-geleng akan tingkahnya. “Asal kamu tahu, Letnan Oh Jieun. Korea Selatan juga mengirimkan pasukan PBB ke Urk. Ayahku ah tidak maksudku, Komandan Kim sudah menerima laporan dari Kapten tim alpha.” Hyerim mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas meja dengan raut penuh rencana.

“Jadi kamu akan…” Jieun menggantungkan kalimatnya dengan binar mata penasaran pada Hyerim. Gadis tersebut menatapnya balik dan mengangguk.

“Jadi aku akan ikut ke sana sebagai dokter, bagaimanapun caranya. Dan Kapten Choi bisa kujadikan tameng menghadapi ayahku.” senyum cerah akan idenya tersebut tercetak jelas diparas Hyerim membuat Jieun berdecak-decak.

“Kamu ini benar-benar, ckckck…” decak Jieun sambil geleng-geleng, “Kapten Choi dijadikan kambing hitam,”

“Intinya, tunggu keberangkatanku ke Urk!” seru Hyerim semangat dan kemudian dirinya berdiri dari duduk manisnya serta melepaskan jas dokternya, menyisakan seragam loreng dengan name tag Kim Hyerim kebanggaannya. Detik berlalu, Hyerim melangkahkan kaki keluar ruangannya meninggalkan Jieun yang terus menatapi punggungnya dengan tatapan salut.

“Dirinya benar-benar mencintai lelaki itu,” gumam Jieun kemudian memasukan satu kacang kembali kemulutnya.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

Rasanya perjalanan dari China ke Urk hanya seperempat jam. Tak terasa Luhan yang berangkat subuh tadi sudah sampai di negara tersebut pada sore hari waktu setempat. Urk adalah negara pesisir dengan jalanan bergunung-gunung, serta warganya merupakan campuran antara ras Kaukasia dan Arab, banyak sekali beragam bangunan kuno bergaya neo-klasik dan gothik. Bisa dibilang negara yang sangat indah. Mobil militer yang membawa pasukan tim delta tersebut berhenti setelah sampai di camp militer. Luhan berserta yang lainnya turun sambil membawa tas punggung dan barang yang lainnya untuk dibawa ke barak.

Huh, panas sekali di sini,” keluhan Yixing terdengar sambil menatap mentari yang beberapa waktu kedepan akan tenggelam.

Dan keluhan Sersan Mayor tersebut disambut prajurit lain yang sudah menggerakan tangan mengipasi diri yang sudah keluar peluh keringat. Dalam hati Luhan menyetujui betapa panasnya negara ini yang bahkan salju turunpun 100 tahun sekali.

“Ayo semua menuju barak!” seruan riang Jackson terdengar, kemudian suara langkah kaki para pasukan tersebut terdengar berisik menuju barak.

Sesampainya di barak, pasukan tersebut menyebar menuju tempat tidur yang akan mereka pilih dan sesekali terjadi perdebatan kecil. Luhan hanya tersenyum tipis dan geleng-geleng kepala, dirinya pun sudah mendapatkan tempat tidur tepat di tengah-tengah. Dibukalah oleh Luhan lemari besi miliknya dan dimulailah penataan barang miliknya di lemari tersebut.

“Kapten Lu,” tiba-tiba sebuah suara menyapa telinga Luhan yang sedang memasukan barang terakhirnya ke lemari, sekon mendatang Luhan menoleh ke arah anggotanya tersebut.

“Ada apa?” tanya Luhan yang lalu menutup lemarinya.

Si Anggotapun menyodorkan surat kepada Luhan yang kemudian menerimanya dengan alis menyatu bingung diiringi fokus penuh pada surat tersebut. “Surat tersebut datang dari Seoul dan sepertinya sudah dikirim dari kemarin malam dengan perangko kilat.” lapor Si Prajurit.

Seketika Luhan menegang mendengar kata Seoul. Kepalanya pun terangkat, lalu Luhan pun mengulum senyum walau kentara kaku kepada anggotanya tersebut yang masih berdiri tegap di depannya. “Terimakasih,” ujar Luhan.

“Ya, Kapten. Hormat.” balas Si Prajurit diakhiri tangan terangkat untuk hormat, kemudian mengundurkan diri dari sana.

Sepeninggalan anggotanya, Luhan memandangi surat beramplop putih tersebut dan dibalik-balikan olehnya. Setelah merasa bisa mengontrol diri, Luhan menghembuskan napas dan membuka amplop tersebut serta menarik isinya keluar. Dirinya pun membuka perlahan lipatan demi lipatan kertas tersebut, hingga netranya pun disuguhkan deretan hanggul yang Hyerim torehkan dengan rapi dan kemudian dibaca olehnya seksama.

‘Untuk Luhanku yang sudah berada di Urk.

Hallo Kapten. Kamu sekarang sudah sah menjadi kaptenkan? Ahahaha, selamat atas naiknya pangkatmu itu. Pasti kamu terkejutkan dengan suratku yang langsung datang di hari pertamamu di Urk? Ya memang aku sengaja mengirimkannya langsung malam ini sebelum subuhnya kamu berangkat dengan perangko kilat pula. 

Ketika kamu membaca ini, kuharap keadaanmu sehat-sehat saja dan tidak mendadak sakit karena syok mendapatkan surat dariku. Meskipun jarak diantara kita makin terkikis, kuharap rasa cinta ini masih sama. Naegen yeongwonhangeoryo,  ajik geudae soksanghan mame nal jugeum miwohado gwaenchanhayo amu pyohyeondo piryo eopjyo (kau akan selamanya ada untukku, tidak mengapa bila hatimu masih merasa jengkel dan sedikit membenciku)

Haru tto haru na saragadaga (hari demi hari aku menjalani hidupku), aku pun semakin merindukanmu. Aku merasa menyesal dulu tidak megenggammu erat hingga kita berpisah dengan tembok pertentangan serta jarak seperti ini. Dan maafkan aku yang masih setia megenggammu padahal dirimu jelas menyentakku pergi.

Siganeul doedollimyeon…. (jika waktu kembali) akankah kita bisa bersatu lagi? Akankah kita sekarang bisa tersenyum lebar karena terus bersama? Mianhae, neol himdeulge haettgo (Maafkan aku, aku membuatmu lelah)

Aku harap ini surat pertama dan terakhirku untuk menyapamu dalam jarak yang jauh seperti sekarang. Aku ingin bersama denganmu bagaimanapun caranya. Bila memang tembok penghalang karena seragam kita, restu ayahku dan juga jarak yang ada tidak bisa diruntuhkan. Setidaknya percayalah pada Tuhan yang bisa menyatukan kita. Kuharap diriNya mempertemukan kita adalah untuk disatukan. Sekali lagi maaf bila cintaku membebanimu serta membuatmu lelah.

Eonjega uliga dashi hamkke hal geosirago midgo, yuilhan sarangeun nareul haengbokhage mandeulsu. (percayalah suatu hari kita bisa bersama lagi, hanya cintamu yang bisa membuatku bahagia)

Yeongwonhi neorul saengil igasumman pumgo sara galkkoya, nan neol saranghae jeosonghabnida (Aku akan hidup selamanya denganmu dihatiku, maaf jika aku mencintaimu)

Saraenghae, johahae, bogoshipoeo. Imal hatjima, arrachi? (Aku mencintaimu, aku menyukaimu, aku merindukanmu. Jangan lupakan perkataanku ini, oke?)

With love,

Kekasih atau mungkin mantan kekasihmu, Kim Hyerim’

Luhan pun mulai melipat kembali surat tersebut ketika selesai membacanya. Bayang-bayang sosok Hyerim yang duduk di hadapan meja belajarnya dengan balutan dress putih selutut dan sedang menuliskan surat ini, terbayang-bayang oleh Luhan sedaritadi dirinya membaca surat tersebut. Hyerim meminta maaf karena dirinya mencintai Luhan membuat rahang pria itu mengeras sekarang. Malahan Luhan lah yang merasa bersalah membuat Hyerim mencintainya dan begitupun sebaliknya yaitu membuat dirinya jatuh cinta pada Hyerim. Dicekal erat oleh Luhan kertas tersebut disertai pandangan matanya yang sayu. Keberuntungannya adalah di barak hanya tersisa dirinya, maka tak akan ada yang menanyakan perihal Luhan yang mendadak mental breakdown seperti sekarang.

“Maaf telah membuatmu jatuh cinta padaku,” gumam Luhan sambil menatap dalam kertas surat dari Hyerim yang sudah setengah lusuh karena diremas olehnya.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

“Aduh, ke camp militer sebelah mana ya?” gumaman terlontar dari bibir ranum milik Wu Lian yang sedang mengelilingi tempat dirinya bersinggah selama menjadi relawan.

Lian memiliki janji untuk bertemu Yixing maupun Luhan setelah dirinya sampai di Urk. Karena para relawan berangkat 2 jam setelah para pasukan khusus. Tempat mereka bertiga singgahpun tidak berjauhan. Diedarkan oleh Lian pandangannya ke sana-ke mari hingga fokus matanya untuk berjalan tak terkendalikan. Sampai finalnya adalah gadis Wu tersebut menabrak badan kekar seseorang.

“Ahhh… I’m sorry, sir. I’m so…” ketika kepalanya terangkat, iris Lian langsung disuguhi perawakan lelaki berseragam militer Korea Selatan─dirinya tahu karena jelas dibahu lengan baju lelaki tersebut tertera tulisan ‘Republic of Korea’.

Lelaki yang sukses membuat Lian ternganga hanya melempar senyum karena sedang berteleponan melalui ponselnya, “Kamu memang gila,” ujar Si Lelaki pada ponselnya kemudian dirinya menurunkan sedikit ponselnya dan berujar, “Maaf,” dan hal tersebut tertuju pada Lian yang masih setia bengong akan pesona Choi Minho─namanya tersebut tertera jelas diname tag seragamnya.

Minho pun berlalu dengan kepala menunduk. Lian menggerakan kepalanya mengikuti arah Minho pergi dan terus memperhatikan punggung lelaki itu. Kepalanya tergerak bergantian memiring ke kanan dan ke kiri, layaknya orang mabuk cinta melihat Sang Pujaan Hati.

“Lian, kenapa kamu bisa masuk ke camp Korea Selatan?” suara lain menyentil indra Lian yang tak lain suara tersebut milik Hwang Meilin. “Wu kenapa denganmu?” tanya Meilin sambil menoel-noel rekannya tersebut. Lian tak berkutik selain tubuhnya yang bergoyang karena disentuh Meilin.

“Ternyata benar ya, lelaki Korea itu pesonanya sangat-sangat membius. Song Joongki, Lee Jongsuk, Hyunbin. Mereka semua tampan termasuk lelaki Korea biasa. Ya ampun! Beruntung sekali camp negara kita dekat camp  militer Korea Selatan. Aahhh, aku bahagia,” ujar Lian dengan nada antusias dan fokus mata terarah ke tempat Minho terakhir menghilang. Tangan Lian terangkat megenggam tangan Meilin dan menggoyang-goyangkannya membuat rekannya itu menatapnya ngeri.

“Dia salah minum obat atau bagaimana?” gumam Meilin dengan raut ngeri yang masih terpatri jelas. Lian yang sibuk mengedarkan pandangan mencari Minho, tentu tidak mendengar gumamam gadis Hwang tersebut.

Sementara di sisi lain, Choi Minho tampak masih beradu argumen dengan orang yang bertelepon dengannya. Disenderkan oleh Minho punggungnya ke tembok bangunan kantin dan tangan yang tidak memegang ponsel dibiarkan olehnya dimasukan ke saku celana. Wajahnya kelewat frustasi menangani letnan kepala batu yang pernah ia jumpai yang sejak lahir diberi nama Kim Hyerim.

“Ayolah, Kapten Choi Minho. Bilang pada ayahku kamu dan aku memutuskan untuk lebih dekat makanya ingin bersama-sama bekerja di Urk. Ayahku pasti mau mendengarkan menantu kesayangannya ini.” Hyerim tetap bersikukuh membuat Minho memejamkan mata sejenak dan menghela napas.

“Asal kamu tahu, pasti ayahmu mengetahui adanya pasukan PBB China di sini. Bahkan camp militer kita bersebelahan karena tidak ada tempat lagi. Sangat-sangat dekat asal kamu tahu,” Minho pun sama tetap bersikukuh.

“KAPTEN JAHAT! SUNGGUH JAHAT! JAHAT! JAHAT! KATANYA AKAN MEMBANTU PERCINTAANKU! TAPI APA?! JAHATTTT!” strategi kedua Hyerim terpakai dengan membombardir telinga Minho oleh teriakan dahysatnya yang sukses membuat Kapten Choi tersebut menjauhkan ponselnya dari telinganya dan memasang raut tersiksa sebelum menempelkan kembali ponselnya.

“Ya, ya. Aku memang akan membantu percintaanmu karena aku tidak mau dijodohkan olehmu. Tapi bila begini, ayahmu malah curiga,” Minho memberikan pengertian dan tanpa sepengetahuannya, Hyerim sudah cemberut di sebrang sana.

“Makanya berusaha atau aku akan nekad! Selesai!”

‘Pip!’

Minho mendesah frustasi sambil menatapi layar ponselnya geram, tak percaya bahwa Hyerim melebihi kepala batu. Dirinya mengantongi ponselnya di saku celananya. Kemudian Minho melipat tangan didepan dada seraya berpikir untuk membuat ayah Hyerim mempercayai alasan putrinya yang murni ke Urk karena adanya Minho. Karena Minho tahu betul watak Hyerim yang nekad dan tahu-tahu besok gadis itu sudah ada di Urk serta menyapanya riang. Namun seketika perhatiannya bunyar lantaran teringat wanita yang ia tabrak tadi, yang memasang ekspresi bengong saat melihatnya.

“Siapa kira-kira wanita tadi?” gumam Minho yang kemudian tersenyum lebar mengingat Si Wanita.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

Luhan tersenyum lebar memperhatikan para anggotanya berlari pagi dengan bagian tubuh atasnya terekspos. Ditangan kanan Luhan terdapat sebuah batu kerikil yang ia lempar-tangkap untuk menemani rasa bosannya mengawasi para anggotanya yang bangga menyerukan lagu militer.

“Wolf menuju deer boss, wolf menuju deer boss,

Suara dari walkie talkie milik Luhan terdengar, membuat Si Kapten yang sedang bersender di pagar terperanjat dan melempar kerikilnya untuk mengambil alat tersebut yang terus menyerukan kode namanya dipanggil, “Ya di sini, over,” sahut Luhan sambil menjauhkan sedikit walkie talkie dari mulutnya untuk mendengar sahutan dari wolf yang tak lain kode panggilan Yixing.

“Ada paket untukmu dan bisa diambil di kantin, over,”

Mendengar ada paket untuknya membuat Luhan mengerutkan kening bingung, karena tak mungkin ibunya mengirim paket tanpa memberitahu terlebih dahulu. “Aku akan ke sana,” jawab Luhan dan mesampirkan walkie talkienya diikat pinggang khusus militernya. “Perhatian, pasukan!” Luhan pun berseru lantang membuat para anggotanya berhenti berlari dan berbaris di hadapan Luhan.

“Ya, siap Kapten.”

Para anggotanya menyahut setelah berbaris rapi dan istirahat di tempat, “Pemanasannya sudah cukup. Kalian boleh bubar sekarang. Bubar jalan!” perintah Luhan.

“Siap!” balas para anggota dengan badan kekar tersebut lalu melakukan penghormatan sebelum balik kanan dan bubar jalan.

Setelah itu, Luhan menggeret langkah menuju kantin masih dengan pemikiran siapa gerangan pengirim paketnya itu. Sangking larut dan penasarannya, tak terasa Luhan sudah sampai di kantin. Tanpa babibu lagi, Luhan mengiring tubuhnya masuk ke dalam dan langsung menghampiri Yixing yang sedang berdiri di depan meja panjang yang terdapat di kantin sambil memperhatikan satu kotak panjang dengan tatapan penasaran.

“Oh kapten. Hormat,” ujar Yixing yang langsung menegapkan badannya dan melakukan penghormatan.

Luhan berdecak dan geleng-geleng, “Tak usah seperti itu bila kita berdua. Aneh sekali dirimu,” decak Luhan membuat Yixing menyengir tidak jelas.

Luhan pun makin mendekat ke meja dan memperhatikan kotak paket tersebut, dapat dilihat Yixing memperhatikan dari samping dengan raut penasaran. Mulai dibolak-baliklah oleh Luhan kotak tersebut hingga ditemukan tulisan spidol berwarna merah yang bertajuk; ‘From: Hyerim, to: Luhan’. Seketika Luhan meremas pelan ujung kotak tersebut ketika mengetahui siapa gerangan pengirimnya. Yixing hanya menampilkan raut antusias dan terkejut yang tercampur diiringi mulut terbuka lebar.

“Kamu sudah tahu ini darinya?” tanya Luhan tanpa menatap Yixing yang langsung menggeleng.

“Aku penasaran namun tak baik mengotak-atik paket orang lain,” jawab Yixing dan Luhan tak menanggapinya serta pandangannya pun terjatuh pada kotak tersebut.

Pertama, Luhan menghela napasnya untuk mengontrol diri kembali. Kedua, tangannya pun mulai bergerak menjelajahi kotak tersebut untuk dibuka dan Yixing yang di sebelahnya pun makin antusias. Lalu terlihatlah beberapa barang yang membuat Yixing maupun Luhan mengernyit bingung. Namun hal tersebut bersifat sementara bagi Luhan yang langsung mengerti maksud banyaknya barang-barang tersebut.

“Ini untuk Sersan Wang, ini untuk Sersan Wu, dan juga ini untuk Jackson, lalu Sersan Han.” Luhan bergumam sambil mengeluarkan barang tersebut yang Hyerim berikan untuk beberapa anggotanya yang gadis itu ketahui melalui Yixing yang suka cerita apapun semasa keduanya sekolah di Korea.

“Buatku? Mana buatku?” tanya Yixing semangat sambil menununjuk-nunjuk dirinya dengan telunjuk. Luhan tersenyum miring dan memberikan Yixing kotak paket yang sudah cacat tersebut membuat ekspresi Yixing berubah tak percaya dan menggerutu, “Aih yang benar saja Hyerim. Padahal setiap hari bahkan waktu, aku mengirim line padanya tentang kegiatan, kabar, bahkan apa yang sedang kamu lakukan.”

Dan Luhan hanya tertawa tanpa suara melihat Yixing berdumel kesal dengan bibir bergerak-gerak lucu. Lalu intensi Luhan tersita oleh surat yang ia dapat dari paket tersebut, dibacalah oleh Luhan deretan tulisan tangan Hyerim itu. “Eh tunggu, kamu juga orang yang Hyerim sayangi malah tidak dapat apapun,” gumam Yixing sambil satu tangannya berkacak pinggang dan menatap Luhan dengan kepala sedikit miring ke kanan karena bingung.

Luhan yang sedaritadi layaknya patung lantaran membaca surat dari Hyerim, menurunkan perlahan tangannya dan menengok kepada Yixing yang masih setia memiringkan kepala menatapnya dengan tanda tanya, “Kamu masih bisa Korea bukan? Bacalah,” suruh Luhan sambil memberikan surat tersebut pada Yixing yang langsung menariknya untuk dibaca karena penasaran.

“Sudahkan menerima paketnya? Iya, ini hadiah untuk anggotamu dan termasuk Yixing yang diberi kotaknya saja, ahahaha…” Yixing membaca baris pertama dan wajahnya langsung ditekuk dan begitupula bibirnya. “Dasar sialan kau Kim Hyerim!” umpat Yixing membuat Luhan tersenyum menahan tawa, kemudian lelaki Zhang tersebut kembali membaca, “Kamu pasti bingung karena tidak dapat hadiah, ya? Hadiahmu akan segera datang!” Yixing menautkan alis bingung sambil menatapi emot wajah tersipu yang Hyerim gambar dipenutup surat. “Maksudnya hadiahmu dikirim susulan begitu agar terasa khusus?” dilayangkan pertanyaan oleh Yixing sambil menatap Luhan.

“Isi otakmu udang, ya?” kata Luhan dengan tatapan datar membuat Yixing memasang raut tak terima, “Hyerim akan datang, kesimpulannya begitu,” ucap Luhan dan langsung buang muka dari Yixing. Air wajahnya terlihat kosong tanpa ada kesenangan ataupun kesedihan. Raut Yixing sudah terpatri dengan air wajah terkejut.

“Bagaimana…mungkin?” kata Yixing sedikit tersendat sambil melirik kembali isi surat Hyerim yang mengarah pada gadis jelita tersebut akan ke Urk.

“Dia gadis ternekad dan terberani yang pernah aku temui,” sahut Luhan masih dengan air wajah blank miliknya.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

“Tanggal 19 Maret 2016. Letnan Kim Hyerim diperintahkan bertugas di Urk. Laporan selesai, hormat.” Hyerim melapor dengan wajah sumringah dan senyum tercetak jelas dicurva bibirnya, akhir laporannya tak jauh berbeda dengan tangan terangkat untuk hormat meskipun melapor pada ayahnya sendiri.

Sang Ayah tampak memperhatikan wajah Sang Putri yang sedang istirahat di tempat, sangat dalam. Sebelum akhirnya berucap, “Kamu yakin akan ke Urk?”

“Ya, siap. Saya yakin,” jawab Hyerim sambil menggerakan tangan untuk bersikap tegap kemudian kembali istirahat di tempat.

Komandan pun menghela napas sesaat dan mengangguk, “Baiklah, jaga kesehatan dan kembalilah dengan selamat. Jangan melakukan hal yang nekad. Komandan batalion dan Kapten Choi terus mengawasimu.” begitulah pesan Kim Jaehyun pada Hyerim sebagai atasan serta ayah.

Hyerim ingin sekali tersenyum lebar namun sebisa mungkin ditahannya, dirinya menggerakan tangan untuk bersikap tegap dan menjawab, “Siap, Komandan.” kemudian tangannya pun terangkat untuk hormat dan dibalas oleh Sang Ayah.

“Luhan, aku datang,” gumam Hyerim dalam hati.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

Tunggu sebentar lagi aku turun

Luhan memandangi ponselnya sambil tersenyum dan memasukannya ke saku celananya. Pandangannya pun terangkat menatap appartement di depannya. Hingga sosok Hyerim dengan coat warna coklatnya muncul, gadis itu langsung keluar appartement dengan berlari kemudian memeluk tubuh Luhan yang tersenyum menyambut pelukannya.

“Kita kencan ke mana sekarang?” tanya Hyerim sambil melonggarkan pelukannya dan menatap Luhan.

“Tidak ke mana-mana,” jawab Luhan membuat Hyerim memasang raut tak percaya.

“Yang benar saja. Kukira ke Sungai Han. Ya sudah, aku tidak mau pergi denganmu!” Hyerim menjauhkan diri dari Luhan dan melangkah pergi dengan raut kesal. Luhan yang melihatnya tersenyum geli menatapi punggung Hyerim, lalu dirinya berlari menuju gadisnya dan merangkul bahunya. “Apa?” tanya Hyerim ketus sambil menatap Luhan jengkel.

“Tentu kita ke Sungai Han, ayo

“Hujan!” potong Hyerim karena rintik hujan mulai membasahi bumi. Keduanya menatap langit dengan raut kecewa dan kesal.

“Karena bila saling memakai jas melindungi satu sama lain terlalu sering. Bagaimana bila kita basah-basahan menuju Sungai Han. Tentara tidak peduli mau hujan ataupun tidak.” Luhan berkata sambil melirik Hyerim dengan senyumannya. Gadisnya itu balas tersenyum dan mengangguk. Keduanya saling memeluk pinggang satu sama lain dan berjalan bersama walau hujan mengguyur tubuh keduanya yang saling berdempetan menghiraukan tetesan air hujan.

.

.

.

Luhan termenung di tempat tidurnya dengan posisi menyamping. Kenangannya dengan Hyerim terlintas begitu saja dalam benaknya. Senyum tipis terukir diwajahnya yang kemudian tangannya bergerak untuk ia timpa di bawah kepalanya seakan menjadi bantal. Bayangan Hyerim terus terngiang dikepalanya.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

“Kajja uri heojija (ayo kita putus).” Luhan melontarkan kata tersebut dengan pandangan kosong sementara Hyerim sudah menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Nongdamhajima (jangan bercanda),” ujar Hyerim sambil memukul bahu Luhan dengan tangan kanannya. Namun lelaki itu hanya bergeming dengan raut kosongnya sementara air mata Hyerim sudah menetes. “Jangan permainkan aku begini! Kenapa kamu jahat sekali?!” isak Hyerim sambil terus memukul bahu Luhan.

“Maaf. Kita memang tidak seharusnya jatuh cinta ataupun bersama. Seragam kita…” Luhan menggantungkan kalimatnya karena tak sanggup berucap.

“Seragam hanya seragam! Beda lagi dengan cinta! Kenapa kamu begini? Harusnya dari awal kamu tidak membuatku menginginkanmu, harusnya kamu tidak jatuh cinta juga padaku, harusnya…” isak tangis dan pukulan pelan Hyerim dibahu Luhan terhenti ketika lelaki itu menarik tangan kanannya yang memukulnya hingga tubuh Hyerim tertarik ke arah Luhan, dan langsung saja Luhan mencium bibir Hyerim ketika gadisnya itu masih setia menintikan air matanya.

.

.

.

Hyerim yang sedang tertidur dengan posisi menyamping, mengigit bibir bawahnya keras menahan tangis bahkan serpainya ia remas kuat karena mengingat sepenggal kenangan yang menyakitkan dalam hidupnya. Subuh nanti dirinya akan berangkat ke tempat di mana Luhan berpijak saat ini. Namun kenangan menyakitkan keduanya malah hadir sebelum Hyerim menjelajahi bunga tidurnya. Air matanya pun perlahan turun dipipinya.

║ ♫ ║ ♪ ║ ♫ ║ ♪ ║

Pagi di kota Urk kembali menyapa Luhan. Seperti biasanya, Luhan memantau para anggotanya yang sedang melakukan lari pagi sambil memamerkan lekuk tubuh sempurna mereka. Hingga netra Luhan menangkap Lian serta Meilin yang memperhatikan anggotanya dari balik pagar. Luhan terkekeh sebentar melihat tampang takjub kedua gadis tersebut sebelum akhirnya menghampiri keduanya.

“Pemandangan indah dipagi hari bukan?” ujar Luhan membuat Lian meliriknya sekilas masih dengan tampang takjubnya.

“Badan mereka semua sempurna,” gumam Meilin membuat Luhan terkekeh tanpa suara.

“Iya, iya. Beda sekali dengan kaptennya,” sahut Lian dan sahutannya ini  membuat Luhan memandangnya jengkel.

“Heh! Aku ini punya badan yang lebih bagus dari mereka semua tahu!” seru Luhan sambil menatap tajam Lian serta berkacak pinggang di hadapan gadis Wu tersebut.

Pandangan Lian untuk melihat para anggota Luhan pun terhalangi, dirinya pun mengibas-ngibaskan tangan agar Luhan menyingkir sambil berjinjit dan mendongakan kepala agar objek yang ia tuju tertangkap ujung matanya. Luhan pun malas menyingkir apalagi dirinya diabaikan oleh Lian membuat Luhan mencibir dengan kesalnya. Tahu-tahu datanglah sosok Yixing yang berlari dan terengah menuju Luhan.

“Kapten!” seruan Yixing terdengar diakhiri pula aksi larinya sambil memegang lutut dan napas terengah.

Luhan menatapnya heran dan bertanya, “Ada apa?”

Yixing mengatur napas sejenak dan menegakan tubuhnya walau tak sepenuhnya tegak. Satu tangannya memegang pinggangnya lantaran pegal. Ternyata intensi Lian dan Meilin juga tertuju pada Yixing lantaran aksinya tersebut.

“Hyerim… datang….” kata Yixing dengan napas putus-putus.

Mendengar hal tersebut membuat seluruh organ Luhan serasa kaku. Sementara Lian membuka mulut lebar dan antusias akan Hyerim yang ada di tempat yang sama dengan Luhan, di sebelahnya, Meilin tampak menatapnya heran. Seketika Luhan mengangkat kepalanya menuju objek di belakang Lian yang mana sedikit terlihat pemandangan camp Korea Selatan. Ya, di sana, tepat di deretan tenda yang berjajar rapi. Dan di dekat salah satu tenda berdirilah sosok Kim Hyerim yang memakai setelan seragamnya dengan jas dokter. Rambut gadis jelita yang telah menyita perhatian Luhan itu, tertiup angin dan membiarkan rambut tersebut berkibar serta sebagiannya menutupi wajah jelitanya. Hingga angin pun berhenti diiringi rambut Hyerim yang perlahan berhenti berkibar, detik itu juga wajah Sang Gadis terlihat jelas. Iris mata yang Luhan selalu kagumi itu bersibobrok dengan iris mata miliknya. Luhan dan Hyerim hanya saling pandang dengan jarak yang ada.

─To Be Continued─


CHAPTER 3 BISA DIBACA DI SINI (klik.)

Atau bisa kunjungi http://www.hyekim16world.wordpress.com

-Luhan’s Future Wendy, HyeKim-


Dirty Breath [Chapter 2]

$
0
0

dirty-breath

DIRTY BREATH

a story by Alkindi, staring by Oh Sehun & Khanza Kim, AU Drama, Romance, Sad, Crime, Marriage life and PG-17 rated.

Previous : INTRO | CHAPTER 1

Semua pengunjung rumah sakit Kanghee dikagetkan dengan kedatangan seseorang pagi ini. Pasalnya mereka datang dengan rombongan mobil dan para pria dengan pakaian serba hitam. Mereka langsung masuk ke dalam bersamaan. Hal itu pun menjadi perhatian bagi pengunjung dan penghuni rumah sakit Kanghee.

“Bisa aku bertemu dengan Khanza Kim ?” Tanya salah seorang pria, yang terlihat seperti pimpinan pria berbaju hitam tersebut.

Sementara pegawai rumah sakit yang bertugas enggan menjawab. Ia seperti sangat ketakutan dan berkeringat. Tatapan orang itu juga semakin membuat nyalinya ciut. Pria itu akhirnya menunduk, membuat pria yang bertanya tadi semakin muak.

Hey ! Aku bicara padamu, apakah kau tuli ?” Teriaknya sambil menggebrak meja.

“Bagaimana bisa Rumah Sakit sebesar ini memperkerjakan orang tuli sepertimu. Kau tidak pantas menjadi pegawai, kau pantasnya jadi penghuni atau pasien di sini.” Maki pria itu semakin menjadi. Sementara pria di belakangnya tertawa melecehkan.
Tiba-tiba seseorang datang dari arah lain.

“Khanza tak ada di sini.” Ucap pria itu yang tak lain adalah salah satu dokter di Kanghee, Byun Baekhyun.

“Apa maksudmu ?”

“Ya, dia melarikan diri kemarin malam.”

Baekhyun tahu siapa pria itu, pasti adalah suruhan Seung Wook. Apapun itu Baekhyun tak perduli, yang jelas untuk saat ini dirinya merasa terendahkan karena pria itu menarik keras kerah seragam dokternya.

“Jangan main-main dengan kami, Psikiater Byun. Aku tahu pasti kau yang menyembunyikan Khanza.” Pria itu semakin mengeraskan tarikanya di kerah Baekhyun, hampir membuat Baekhyun tercekik dan kehabisan nafas.

“Geledah seluruh kota !” Teriak pria itu setelah melepaskan kerah Baekhyun.

Kau dimana Khanza ? Semoga kau tidak tertangkap. Lari-lari semampu kau bisa, jika kau ingin tetap hidup. Batin Baekhyun dalam hati setelah menatap kepergian pria suruhan Seung Wook.

Sehun, pria berusia 27 tahun yang menjadi pengusaha muda sukses di Korea. Bisnisnya di bidang real estate terus merambah sukses sampai ke manca negara. Ditambah lagi Sehun yang notabenya adalah putra sulung presiden Korea. Jadi mustahil bila semua orang tak mengenalnya.

Ketenaran dan kesuksesanya membuat ia masuk dalam daftar pengusaha muda tersukses di dunia, versi majah forbes. Mungkin orang-orang bertanya, kenapa Sehun tak menjelajahi dunia politik seperti ayahnya. Jawabanya adalah, politik penuh dengan pertumpahan darah.

Untuk itu Sehun memilih untuk membuat usahanya sendiri, yang berbeda dengan keluarganya yang lebih banyak berkecimpung di dunia politik.

Sehun menjatuhkan dirinya di kursi kerjanya, membuka dua kancing teratasnya, dan melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya sudah dimulai. Semua itu terhenti karena Sehun terus manghadiri meering dengan client client dari dalam dan luar negara. Laki-laki itu tampak kelelahan, tapi tetap tak mengurangi kadar ketampananya. Apalagi kalau mata elang itu menggunakan kacamata.

Sehun tak mennyadari, pintu sudah diketuk beberapa kali dan menampilkan seorang gadis yang sekarang sudah berdiri di depanya. Callesa—sekretaris pribadinya, sekarang sudah terduduk di sofa.

“Kenapa kau memanggilku ? ” Tanyanya pada Sehun.

Sementara pria itu tak langsung menjawab, ia malah terfokus pada berkas-berkas di meja yang dirasanya lebih penting dibandingkan Callesa. Gadis itu pun menggeram kesal karena tak di anggap oleh Sehun. Omong-omong Callesa dan Sehun sudah lama saling mengenal. Mereka sudah saling mengenal saat mereka masih duduk di bangku SMA, maka jangan salahkan bila sikap Callesa yang terlihat santai pada atasannya itu.

“Ya sudah, aku pergi saja.” Ungkap Callesa. Tapi Sehun terlebih dulu mengeluarkan suara.

“Tunggu.” Ucapnya dingin.

“Apa kau sedang memohon padaku sekarang ?” Tanya Callesa.

“Ya, karena aku sangat butuh bantuanmu.” Ucap pria itu masih dingin tak berperasaan. Namun Callesa dapat dilihat dari mata pria itu, kalau sekarang ia sedang serius.

“Baiklah.”

“Jadi, bisakah kau menghandle pekerjaanku hari ini ? Kau hanya melanjutkan pekerjaan yang sudah kumulai dan menemui beberapa client yang sudah dijadwalkan. Hanya rapat kecil.”

“Tidak mau. Aku tidak bisa.”

“Please ?”

“Memangnya kau mau kemana ?”

“Ada urusan mendesak. Tolong aku, ya ?

Callesa mendengus kesal, teman prianya itu selalu saja begitu. Memanggil jika ada keperluan saja. Ia tak heran dengan sikap Sehun yang seperti ini, karena Callesa sudah terbiasa jadi korban Sehun bila pria itu ada urusan mendesak atau jika pria itu sedang malas bekerja. Wajah bisa dikatakan cool dan terlihat bijaksana, tapi tak bisa di pungkiri kalau pria seperti Sehun suka meminta bantuan orang lain, atau lebih tepatnya menyerahkanya.

“Sudah lama menunggu ?” Sehun menarik saru kursinya. Ia sekarang ada di cafe dekat perusahaanya yang cukup ramai hari ini.

“Lumayan.” Jawab gadis di depanya seadanya. Setelah itu, mereka memilih untuk berdiam diri, tak ada pembicaraan, gadis itu terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sehun tak tahu harus berbicara apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk menelusuri seluruh penjuru cafe. Memang sangat ramai sekali, membuat Sehun semakin gugup saja. Setelah itu pandangan Sehun beralih pada gadis di depanya yang hingga sekarang masih asyik memainkan ponselnya.

Gadis itu berpenampilan elegant, menggunakan span dan kemeja bunga-bunga, mengikuti trend yang ada. Tidak heran jika gadis itu selalu menarik setiap kali Sehun melihatnya. Dan gadis itulah kelemahan Sehun, ia bisa menjadi sangat gugup karena gadis itu.

Long time no see. Bagaimana perjalananmu ke Korea ?”

“Baik—” Jawab gadis itu. Memandang Sehun sebentar, lalu melanjutkan untuk berkutat dengan ponsel di tanganya. Setelah itu tidak ada topik pembicaraan lagi.

“Kenapa menyuruhku ke sini ?” Si gadis akhirnya membuka suara.

“Ya, aku ingin bicara padamu. Ayahku, kau tau lah ? Dia terus mendesakku agar cepat menikah. Sehun terlihat gugup setengah mati. Jari telunjuknya ia ketuk-ketukkan di meja, dan otaknya sedang berfikir keras. Memilih kata yang akan diungkapkan, dan yang pantas diungkapkan.

“So ?”

Sehun sedikit tegang, ia berhenti sejenak. Menetrakan kerja jantungnya untuk mengungkapkan kalimat berikutnya. Sesedikit matanya menelisik sekitar, berharap tak ada yang mengetahui dan mempermalukanya nanti. Pria itu menarik nafasnya dalam.

“Jadi, will you marry me ?” Ucap Sehun akhirnya,

Sambil mengeluarkan kotak kecil merah yang begitu terbuka menampakkan cincin berlian yang cantik dan berkilauan. Orang-orang di sekitarnya juga melihat mereka dengan iri. Pria setampan Sehun melamar gadis di depan umum. Tak heran jika diantara mereka terus memandangi Sehun dan gadis itu. Sehun gugup bukan main. Apa yang harus Sehun lakukan untuk menunggu jawaban sang gadis.

Gadis itu tak langsung menjawab, ia malah bangkit dan menarik tangan Sehun keluar dari Sana. Begitu sampai, gadis langsung menarik kerah Sehun, mencium bibirnya, membuat Sehun tersentak. Apakah artinya, ya ? Tanyanya dalam hati. Seakan ingin bertanya tentang hal itu, tapi nyatanya mulut mereka belum berhenti bertaut mesra. Sehun juga semakin memperdalam ciuman nya tatkala tangan selembut sutera itu dikalungkan di leher kekar Sehun.

Shit

Batin Sehun serasa ingin menghabisi gadis itu sekarang juga. Bahkan tangan gadis itu sudah meraba-raba paha Sehun sekarang. Lama mereka bertaut, akhirnya gadis itu melepaskan ciumanya secara sepihak dengan ekspresinya yang gemas.

“Sudah ingat sekarang ?” Tanya gadis itu. Sehun mengeryitkan dahi. Ia tak mengerti maksud dari gadis itu.

We just Friend Sex, no more.” Lanjut gadis itu.

Sehun terdiam, tepatnya tak tahu harus berbuat apa. Mereka memang sering bercinta sebelumnya. Dan selama ini Sehun menganggap bahwa mereka adalah partner yang sebenarnya, bukan partner in crime. Tapi ternyata gadis itu tidak.

“Jadi hubungi aku jika kau ingin bermain denganku. Ah, coba pikirkan, jika aku menikah denganmu, maka aku tidak akan bisa mendapatkan uang lagi. Aku tidak bisa melayani pelangganku yang sudah membayarku mahal-mahal. Oh Sehun, aku sebenarnya juga mencintaimu, tapi kau tahu lah, di dunia yang seperti ini siapa yang tidak butuh uang ?”

“Aku bisa memberimu semua itu. Kumohon, jadilah dirimu yang dulu. Kita mulai lagi dari awal.” Sehun menggenggam tangan gadis itu.

Bullshit, aku mau masuk ke perangkap yang sama. Dan jangan usik tentang hidupku, ini hidupku bukan hidupmu. Lagipula masih banyak wanita di dunia ini yang bisa kau mainkan, punk !” Tegas gadis itu, setelahnya ia pergi meninggalkan Sehun yang masih mematung di tempatnya.

Sehun masih terdiam, kedua tanganya bahkan mengepal sekarang. Ia tersadar, selama ini ia sudah menyimpan perasaan yang salah pada gadis jalang yang telah lama membodohinya. Sehun menatap kepergian gadis itu yang mulai menyetop taxi di depanya. Sehun sakit, tubuhnya seakan ingin terhuyung kebelakang.

Apakah begini rasanya ditolak ? Tanya pria itu dalam hati.

Hari sudah menjelang malam. Jalanan kota di Seoul malah semakin ramai. Kendaraan-kendaraan yang berbeda melaju di jalan raya. Sementara di sisi lain jalan itu, Baekhyun tak henti-hentinya menyusuri jalanan di kota Seoul, berharap jika ia menemukan Khanza. Tapi nihil, hingga sekarang Khanza tak kunjung ia temukan. Sampai sekarang anak buah Seung Wook masih berusaha melacak keberadaan Khanza. Baekhyun juga tak mau kalah, ia juga menyewa seseorang untuk menemukan dan menyelamatkan gadis yang ia cintai itu.

Sampai di tengah-tengah kota, tepatnya saat ia berhenti melajukan mobilnya di depan Bar. Baekhyun menemukan pemandangan tak asing di matanya. Bukankah itu Suzy ? Tanya Baekhyun dalam hati. Ia pun segera keluar dari mobilnya ketika mengetahui keadaan Suzy benar-benar sangat tidak baik.

“Sedang apa kau di sini ?” Tanya Baekhyun menginterupsi. Ia menatap iba gadisnya yang terlihat sangat berantakan itu.

Sementara hingga saat inu Suzy tak menghiraukan keberadaan Baekhyun, malah salah satu tanganya mencoba untuk meraih botol bir yang masih tersisa setengah itu. Baekhyun mendesah kesal. Suzy selalu saja begini, tak ada bedanya dengan sahabatnya Sehun. Omong-omong, Sehun dan Suzy adalah teman lama Baekhyun.

“Ikut aku.” Baekhyun menarik lengan Suzy

“Lepaskan. Siapa kau ? Berani-beraninya menyentuhku !” Maki gadis itu tak terima.

“Apa kau gila ? Aku kan suamimu !”

“Suami ?—” Suzy tertawa meremehkan.

“—aku seorang janda asal kau tahu !” Lanjutnya.

Baekhyun tak membalas lagi ucapan Suzy, tak ada gunanya bicara dengan orang yang dalam keadaan setengah sadar, ia pun langsung menggendong tubuh istrinya itu di punggungnya. Membaringkan Suzy di jok mobilnya, membenarkan salt belt gadis itu, dan kembali lagi ke Bar untul mengambil ponsel Suzy yang ketinggalan.

“Boss !” Suara seorang pria menghentikan langkahnya. Dan pria itu adalah orang suruhan Baekhyun untuk mencari Khanza.

“Ada apa ?”

“Apakah gadis itu masih menggunakan pakaian rumah sakit saat kabur ?” Tanya pria itu.

“Benar. Bagaimana ? Kau menemukanya?” Tanya Baekhyun antusias.

“Gadis itu tertabrak mobil saat dia di perempatan gang, aku mengetahuinya dari penduduk sekitar. Setelah itu ada seorang pria yang mengaku sebagai suaminya, dan membawa gadis itu pergi.” Ucap pria itu, sebelah alis Baekhyun terangkat.

“Kau tahu siapa pria itu ?” Tanya Baekhyun, sementara pria di depanya hanya menggelengkan kepala.

“Lanjutkan pencarian. Aku akan membawa istriku pulang.” Ungkap Baekhyun, setelah itu mereka berpisah.

“Kemana Oppa ?” Tanya Hayoung begitu menyadari di ruang kerja Sehun hanya terdapat Callesa, asisten Sehun.

“Entahlah, dia sudah pergi sejak siang tadi .” Ungkap Callesa sambil membolak-balikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja.

“Dia tidak memberitahumu kalau dia akan pergi kemana ? ”

“Memangnya Sehun pernah melakukan itu ? Dia datang dan pergi sesukanya dan tak memperdulikan keberadaanku sebagai asistennya.” Ungkap Callesa, gadis berwajah blesteran itu menghentikan pekerjaanya sejenak dan menghampiri Hayoung yang masih berdiri mematung di ambang pintu.

“Memangnya ada apa ?” Tanya Callesa.

“Itu, ayah mencari Oppa. Ayah sudah berkali-kali menghubungi Oppa, tapi sampai sekarang tak ada balasan.” Jawab Hayoung sambil mengerucutkan bibirnya.

“Kau tahu Mansion terpencil yang di beli Sehun beberapa bulan lalu?” Tanya Callesa sambil membisikannya di telinga Hayoung. Sementara Hayoung hanya menggelengkan kepala sebagai balasan.

“Dua hari terakhir Sehun sering mendatangi tempat itu, aku tak tahu kenapa. Bahkan sesekali Sehun tidur di sana.” Lanjut Callesa, Hayoung semakin tak mengerti.

“Kenapa Oppa di sana ? Tidak aku tidak mau kesana. Tempatnya sangat sulit di jangkau. Di daerah dekat tempat itu juga banyak preman dan penjahat.”

“Bagaimana aku bisa tahu ? Iya, lebih baik jangan kesana. Nanti Sehun juga akan kembali sebentar lagi. Tunggulah dan duduk di kursi.” Callesa mempersilahkan.

Khanza berusaha membuka matanya walau berat, dirinya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Sangat berat sekali untuk sekedar membuka sebelah mata, apalagi dua. Ditambah lagi kepalanya yang terasa pusing bukan main, kepala Khanza terasa seperti memakai helm yang berukuran sangat sempit.

Ia dapat mencium aroma ruangan yang di tempatinya sekarang, dan gadis itu dapat memastikan kalau dirinya tidak sedang di rumah sakit. Kenapa Khanza bisa mengetahuinya ? Karena gadis itu di besarkan di rumah sakit Jiwa, dan sering juga keluar masuk rumah sakit umum karena ulah hatersnya di rumah sakit Jiwa.

Mata gadis itu sudah terbuka sempurna sekarang, ia menatap sekeliling ruangan yang sangat besar dengan replika Europa itu. Sampai akhirnya sepasang matanya tak sengaja menangkap sosok pria sedang terduduk di sofa yang tak jauh dari tempat tidurnya. Khanza pun menutup paksa matanya.

“Jangan pura-pura tidur.” Suara bariton pria itu masuk ke pendengaran Khanza dan menggema di seluruh ruangan berplafon itu. Mendengar itu, Khanza semakin mengatupkan matanya.

“Sampai kapan kau akan melakukan itu.” Suara pria itu terdengar sekali lagi, diiringi suara langkah pantofel yang mendekat. Sepeetinya pria itu sudah berada di sampingnya, bisa dirasakan Khanza dari aroma parfum milik pria itu. Mau tak mau Khanza membuka matanya.

Bingo.

Itu adalah pria yang di kejar-kejar oleh Khanza, dan pria yang kemarin terakhir kali dilihatnya sebelum semuanya menjadi gelap. Pria itu, batin Khanza. Sehun menatap tajam Khanza, sementara gadis itu malah membuang tatapan kearah lain.

“Kau bisa duduk ? ” tanya Sehun dingin. Khanza hanya menggeleng sebagai balasan.

“Jangan berbohong, kuminta kau duduk sekarang juga.” Perintah Sehun dengan suara bariton yang menggema, membuat nyali Khanza ciut untuk tak menuruti kemauan pria itu.

“A-aku tidak bisa.” Ucap Khanza saat berusaha mendudukan dirinya. Sehun hanya menonton Khanza dan tak berniat untuk menolongnya. Sehun tahu, gadis itu pasti sedang beralibi sekarang.

Khanza masih berusaha mendudukan dirinya, sampai Sehun tersadar jika gadis itu mulai memucat dan berkeringat. Tak lama setelahnya, keluar darah dari perban di kepalanya. Dan Khanza pun terhuyung ke samping ranjang. Hampir terjatuh, untung Sehun sudah menangkapnya. Ternyata gadis itu tidak bercanda, batin Sehun sambil menelfon seseorang dengan ponselnya.

“Jahitan di kepalanya belum kering, dan dia tidak boleh banyak bergerak .” Ucap dokter pribadi Sehun setelah memeriksa keadaan Khanza dan mengganti perbanya.

“Apa ada orang lain di tempat ini, selain kau dan gadis ini ?” Tanya dokter pribadi Sehun.

“Tidak. Memangnya kenapa ?”

“Bukan apa-apa, hanya saja harus ada orang yang bisa mengganti perban gadis itu setiap hari. Lantas kenapa anda tidak menyewa pembantu atau suster saja untuk membantu gadis ini ?”

“Jangan. Tidak usah. Aku saja yang menggantikannya. Ini tempat privasiku.” Jelas Sehun sambil sesedikit berusaha menarik senyum.

“B-baiklah, sepertinya gadis itu spesial ya ? Kalau begitu, aku pamit pergi.” Ucap Dokter pribadi Sehun sebelum pergi melangkahkan kakinya meniggalkan ruangan itu.

“Tunggu.” Ucap Sehun, membuat langkah kaki sang dokter terhenti.

“Kenapa ?”

“Kuharap kau tidak memberitahukan apapun tentang gadis ini pada orang lain. Aku sangat mempercayaimu.”

“Baiklah.” Ungkap dokter itu sambil menarik senyum simpul, Sehun sedikit lega.

Sehun berbalik menatap Khanza yang masih menutup mata. Sehun menatap Khanza iba, pasalnya gadis itu sangat lemah dan terdapat banyak sekali memar ditubuhnya.

“Apa yang kau lakukan ?” Tanya Sehun begitu sadar Khanza tengah berusaha mendudukan dirinya.

“K-kau memintaku du—”

“Dasar bodoh.” Sehun memotong ucapan Khanza. Pria itu melangkah kearah Khanza, mendudukan dirinya di sisi ranjang dan menidurkan kembali tubuh gadis itu.

“Kau tidak boleh bergerak, bodoh !” Ucap dingin pria itu. Khanza hanya menunduk dan tidak berani menatap Sehun.

“Memangnya kau itu siapa ? Kenapa aku harus peduli, dan membawamu kesini ?” Lanjut pria itu masih dingin.

Seperti biasa, gadis itu membisu. Atau lebih tepatnya tidak berani membalas Sehun. “Kau punya waktu tiga hari, setelah itu kau harus meninggalkan tempat ini.” Sehun menghilang dari balik pintu setelah itu.

Bagaimanapun juga Khanza harus berterima kasih pada Sehun, karena kalau tidak ada Sehun mungkin ia akan mati di tangan ayahnya sendiri. Yah, walaupun pada akhirnya ia harus di usir, tapi tetap saja, setidaknya Khanza masih memiliki harapan untuk hidup dan menunda kematianya.

“Kau mencariku ?” Tanya Sehun begitu sudah memasuki ruang kerja ayahnya.

“Ya.”

“Ada apa ? ”

“Kau harus menikah. Atau ayah tidak akan memberikan harta kekayaan ayah padamu.” Ancam ayah Sehun.

“Aku tidak membutuhkan itu semua. Kenapa kau terus mengusikku tentang hal itu ? Aku sudah dewasa, aku bisa mengurus hidupku sendiri. Tentang caraku bertahan hidup sampai sekarang, dan caraku mencari pendamping hidup, aku bisa melakukanya sendiri. Jadi kumohon kau untuk diam, dan beri aku waktu.” Ungkap Sehun, setelahnya ia pergi meninggalkan ruangan ayahnya dan membanting keras pintunya.

Saat kaki Sehun sedang menuruti anak tangga, ia tak sengaja bersimpangan dengan salah satu perdana menteri, Seung Wook. Untuk apa pria itu datang kemari ? Tanya Sehun dalam hati. Ingin sekali rasanya Sehun mencari tahu apa yanng sedang dilakukan Seung Wook di rumahnya. Tapi sayangnya hal itu tidak menarik lagi bagi Sehun, mungkin ia terlalu berfikir negatif tentang Seung Wook dan kehadiranya. Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana cara Sehun mendapatkan pendamping hidupnya.

Jika sedang stress dan tertekan seperti ini, Sehun tak perlu berfikir dua kali untuk mencari tempat pelampiasanya. Ia pun menelfon seseorang di seberang sana dan berlalu meninggalkan rumah keluarganya. Sehun butuh hiburan saat ini, biarkan pria itu bebas walau hanya sebentar.

“Cukup, kau sudah keterlaluan.” Baekhyun menahan tangan Suzy yang hendak melemparkan barang-barang lain kearahnya. Gadis itu sudah melemperkan beberapa vas bunga dan gelas-gelas yang ada di rumah mereka. Baekhyun tak mengerti jalan fikiran gadis itu. Padahal semuanya bisa diselesaikan dengan baik baik.

“AKU BENCI PADAMU BAEKHYUN ! SIALAN ! ENYAH DARI HIDUPKU.” Teriak Suzy sambil meraih vas bunga lain di tanganya hendak melemparkanya ke arah Baekhyun.

“Sudah. Kumohon berhenti, aku bisa jelaskan semuanya. ” ungkap Baekhyun sambil menahan kedua tangan Suzy. Sementara gadis itu tak bisa lagi menahan isak tangisnya. Baekhyun pun menarik gadis itu dalam pelukanya, mencoba untuk sedikit menenangkan .

“Sudah berapa lama ?” Tanya Suzy. Mereka sekarang sudah terduduk bersama di tempat tidur mereka. Baekhyun mencoba menjelaskan saat Suzy sudah lebih tenang, tidak seperti tadi.

“Sebelum aku menikah denganmu. Dia adalah pasienku sejak lama.” Jelas Baekhyun terus terang. Ia bisa melihat Suzy yang terlihat menyeka sendiri air matanya.

“Maafkan aku.” Ungkap pria itu, ia benar-benar merasa bersalah dengan Suzy. Apalagi kalau orang tua mereka sampai tahu masalah keretakkan hubungan mereka ini.

“Tidak masalah. Cinta bukanlah sebuah kesalahan.” Ungkap Suzy, Baekhyun tak menyangka akan jawaban dewasa gadis itu, sekarang dirinya jadi makin bersalah lagi.

“Tapi tolong ceraikan aku.” Baekhyun tersentak, tentu saja. Perkataan Suzy satu ini sungguh membuat detak jantungnya berhenti. Cerai ? Tak pernah sekalipun terfikir di benak Baekhyun.

Jarum pendek jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, Khanza lelah jika seharian harus berbaring di ranjang tanpa melakukan apa-apa. Ia pun akhirnya bangkit dari tempat tidur untuk sekedar berjalan-jalan mengelilingi Mansion yang sangat luas itu. Tak ada siapapun di dalam Mansion itu kecuali Khanza sendiri.
Ia berjalan di sekitar balkon, setelah itu memandang pemandangan di sekitar Mansion. Terlihat sebuat taman kecil dan Khanza baru sadar jika Mansion ini di kelilingi hutan. Akhirnya Khanza memutuskan untuk keluar dari ruangan yang sekarang ia tempati. Berjalan mencoba mencari letak dapur. Karena gadis itu sangat haus sekarang.

Ruangan yang gelap gulita membuat Khanza sangat kesulitan untuk menggapai dapur di Mansion itu. Untuk ukuran normal, Mansion ini terbilang sangat besar. Tanganya meraba-raba dinding, mencari saklar untuk menghidupkan lampu. Tapi hingga sekarang Khanza tak menemukanya. Ia bahkan tak menyadari kalau tubuhnya menabrak meja dan menjatuhkan vas yang ukuranya sangat besar.

Khanza pusing. Tubuhnya seakan ingin melayang kemana-mana. Suara pecahan Vas itu mengigatkanya pada kejadian lama. Ia pun teringat saat terakhir kalli ia bangun dari tidur karena mendengar pecahan vas, dan setelahmya ia menemukan ibunya tergeletak lemas di lantai. Khanza merasa sangat sesak, merasakan seakan-akan kejadian itu terulang kembali.

Tubuhnya telah limbuh di lantai. Tangan gadis itu memegangi kepalanya yang sangat pusing. Sementara tubuhnya bergetar hebat, dan ingatan lama itu terus tergiang di kepalanya.
“Tidak, mom !” Teriaknya sambil menangis tersedu-sedu. Rasanya sama persis ketika ia menangis di samping tubuh ibunya yang tak lagi bernyawa, ini seperti De Javu .

“Mom !” Teriak gadis itu.

Ia jadi mengingat lagi cerita ibunya tentang seorang peri yang memiliki dua sayap. Salah satu sayapnya menunjukkan ibunya, dan satunya lagi menunjukkan ayahnya. Jika Khanza diibaratkan menjadi peri itu, maka ia telah kehilangam salah satu sayapnya. Dan ia masih memiliki satu sayap yang tersisa, sayap yang sangat terluka dan rapuh.

Semuanya berlangsung sangat cepat, Khanza tak menyadari jika lampu di Mansion itu telah menyala sempurna. Semuanya sudah terang, tapi gadis itu terlampaui hilang dari kesadaranya. Untuk terakhir kalinya, Ia hanya bisa melihat samar-samar seorang pria yang berlari dan menangkup erat tubuhnya. Setelah itu semuanya menjadi gelap. Dan Khanza akan memulai mimpi buruknya lagi sekarang.

tbc.

A/N : Jangan jadi Silent reader, karena aku juga bisa jadi silent author saat kamu minta Password Fanfiction yang kugembok nanti. Dan malasih ya untuk yang selalu ninggalin jejak ❤ aku udah buat listnya kok, nanti biar mudah kalau dapat password :’v sampai jumpa di chapter selanjutnya !



MISS [SERIES]

$
0
0

Miss
Erlinapark (@erlinabatari) | 
Park Chanyeol (EXO) – Kim Minjung (OC) | Fantasi, Romance | PG 15+

selamat membaca

Sebuah ruangan yang terkesan bersih juga putih. Minjung tersadar dari komanya yang sudah berjalan hampir 2 minggu lamanya. Matanya terbuka secara pelan dan mengerjapkan matanya karena cahaya yang perlahan masuk ke matanya, dengan cepat ibunya memanggil dokter yang merawat Minjung. Minjung terkejud dengan keberadaannya saat ini, dan dirinya yang terkejut dengan selang yang ada ditangannya, juga dengan bau rumah sakit yang begitu khas.

Sesaat kemudian dokter datang bersama dengan ibunya dan mulai memeriksa keadaan Minjung. Ibu Minjung hanya berharap yang terbaik untuk keadaan Minjung kedepannya.

“Ibu tidak perlu khawatir tentang keadaan anak Anda. Dia sudah sepenuhnya sembuh dan kembali dari masa komanya.” Ucap sang dokter senang pada ibu Minjung. “Dia masih pucat besok lusa Minjung sudah boleh pulang” lanjut dokter. “Kalau begitu aku pergi dulu” saut sang dokter dengan wajah tersenyum senang dan mohon pamit untuk keluar dari ruangan Minjung.

Ibu Minjung pun menghampiri Minjung yang masih berada dikasur. “Aku bahagia kau kembali dari masa komamu. Tuhan sudah mengabulkan doaku” ucap sang ibu dengan meneteskan airmata. “Aku bahkan hampir putus asa Minjung-a. Terima kasih untuk kembali sadar” tangan lebut sang ibu menyentuh telapak tangan Minjung.

Minjung yang kala itu hanya bisa tersenyum dan berkata pendek. “Tidak usah menangis untuk ku ibu”

“Aku tidak bisa hidup jika kau tidak ada di dunia ini Minjung.”

“Aku sudah kembali jangan ibu menangis. Dan ibu tidak perlu lagi menangis, oeh”

Seuluas senyum yang ibunya berikan untuknya membuatnya senang dan merasa teduh hanya dengan senyuman yang ibunya berikan hanya untuknya.

Siang pun berubah menjadi malam yang sunyi. Rumah sakit memang terlihat sepi dan hanya ada suara tv yang sedang Minjung setel untuk menemani kesepian yang ada di kamarnya bersama dengan sang ibu.

Minjung berada dikursi roda yang tadinya didorong oleh ibunya, tapi Minjung menyuruh ibunya untuk tidur. Minjung tidak bisa tidur malam ini. Apa mungkin dia sudah tertidur selama 2 minggu lamanya? Mungkin saja.

Minjung beralih memandang kaca jendela yang ada di kamarnya. Langit malam dan cahaya bintang yang bersinar dengan terang. Minjung bahkan masih ingat dihari dimana dia bertemu dengan sosok lelaki tampan yang membuat hidupnya kembali cerah. Minjung bahkan melihat lengan kirinya yang berbekas luka. Dimana darah mengalir cukup deras kala itu dan hampir membuat darahnya habis. Tetapi Minjung malah tersenyum mengingat itu semua.

SRAK

Minjung yang kala itu tersenyum berubah menjadi terkejut dengan suara yang timbul dari arah depannya. Seluruh tubuh Minjung bahkan merinding dengan suara menyeramkan tersebut.

DRAP.

Seseorang dengan tepat melompat kearahnya. Minjung membualatkan mata dengan sosok yang tiba-tiba muncul dihadapannya tersebut. Rambut hitam legam, kulit putih pucat dan mata tajamnya yang membuat Minjung terpesona.

Lelaki tersebut juga tidak kalah terkejutnya dengan keadaan Minjung saat ini yang sudah duduk dikursiroda. Lelaki tersebut tidak bisa mengekspesikan perasaannya. Bahagia sudah melihat Minjung sadar dari komanya dan Sedih melihat kelakukan bejadnya pada beberapa hari yang lalu.

“Kau…..sudah sadar?”  suara lekaki tersebut terdengar canggung.

Sedangkan Minjung hanya terdiam dan tetap menatap sosok lelaki yang datang dari arah jendela. Tapi, sesaat kemudian dirinya sadar dan mulai bertanya. “Apa kau kemari setiap malam untuk melihatku?” tutur Minjung yang masih menatap lelaki tersebut.

Tapi lelaki tersebut hanya mengangguk sebagai jawabnya. Lelaki itu tampak binggung ingin menjawab seperti apa.

“Jadi kau mengkhawatirkan ku?”

Hanya mengangguk.

“Apa kau seperti ini karena ulahmu atau keinginmu? Bersuaralah dan jangan hanya mengangguk” tegas Minjung.

Cukup lama lelaki itu terdiam dan hanya menunduk menyesal. “Aku tidak bisa membiarkan ini semua terjadi padamu Minjung. Aku khawatir padamu dan semua ini keinginan bejadku yang aku lakukan sehingga kau seperti ini dan aku menyesal sudah melakukannya”

Dengan pelan tangan Minjung terjulur dan memegang pipi pucat milik pria tersebut. “Tidak Chan, semua ini bukan salahmu juga bukan salahku”

Pria itu memiliki nama lengkap Park Chanyeol. Minjung sudah mengetahui siapa sebenarnya pria yang dia sukai. Minjung juga sempat terkejut dengan kenyataan yang ada di dunia ini tentang dirinya. Bagaimana bisa dia menyukai bahkan mencintai seseorang yang berlatar berbeda jauh dengan dirinya.

“Jika saja aku bisa mengontrol diriku. Mungkin kau tidak akan seperti ini Minjung-a” segah Chanyeol pada Minjung yang masih optimis ini adalah kesalahannya. “Seharusnya aku menunggu ambulan untuk menangani lukamu, tapi aroma tubuhmu membuatku mengalihkan semuanya”

“Bukankah kau memang menyukai semua yang ada pada diriku” saut Minjung pelan. Melihat kearah ibunya yang masih terlelap tidur, dan Chanyeol juga menyadari itu sedari dia berada dihadapan Minjung.

“Aku bahkan sudah melihat semuanya” tunduk malu Chanyeol saat menjawab.

Minjung dengan cepat menyengir kecil. “Kau selalu bisa membuatku tersenyum”

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Chanyeol yang seharusnya dilontarkan saat pertama bertemu dengan Minjung.

“Aku sudah baik-baik saja sekarang dan lusa aku diperbolehkan pulang” balas Minjung dengan sangat senangnya. “Ini seperti baru pertama kali aku bertemu denganmu dan itu cukup membuatku sangat-sangat senang” tangannya masih menggenggam pipi pucat Chanyeol.

“Minjung?” panggil Chanyeol terdengar serius.

“Hmm?” jawab Minjung masih mengagumi wajah Chanyeol dengan memegang wajah pucat nan tampannya itu

“Maafkan aku”

“Tidak perlu kau mengucapkan kata maaf untuk kali ini. Karna aku tidak perlu permintaan maafmu-” tutur Minjung menahan ucapannya, yang mungkin membuat Chanyeol begitu terkejut dan tidak menyangka Minjung berkata seperti itu padanya. Chanyeol lantas melepaskan tangan Minjung yang menempel pada kedua pipi pucatnya. Menatap heran atas ucapan Minjung.

“Kau memang tidak perlu minta maaf. Tapi sebagai gantinya temanani aku untuk malam ini, aku begitu merindukanmu” lanjut Minjung dan itu membuat Chanyeol yang kala itu menautkan alisnya berubah menjadi tersenyum penuh dengan terpaan sinar bulan saat mendengar penuturan Minjung.

“Kau selalu tampan saat tersenyum”

.

.

.

.

END

-_

Haii, aku yakin kalian pasti gak ada yang begitu kenal sama aku. soalnya disini aku jarang banget post, udh kelas 12 juga, jadi minta izin di admin buat hiatus. tapi sekarang lagi liburan jadi ada waktu buat nulis dan sebagainya.

kalo ada yang pengan kenal sama aku, dateng aja ke wp ku, atau kenalan disini juga boleh kok, hehehee ^^

https://linabatari.wordpress.com/


[Author Tetap] Unexpected Love – Part 1

$
0
0

1482318500099

Unexpected Love

Story by: blank.

Park Chanyeol, Oh Sehun, OC, and others | chaptered | school life, romance | general

Chae Yoon terbangun tepat pukul 7 pagi. Alarmmerah jambu yang sejak 5 tahun lalu bertengger di atas nakasnya berdering, mengeluarkan suara cempreng yang membuat netra Chae Yoon mengerjap cepat.

Chae Yoon duduk, meregangkan otot-ototnya yangkaku, lantas menguap lebar. Ia meraih ponselnya yang terletak persis di samping alarm, mengeceknya barang sebentar, sebelum bibirnya naik membentuk lengkungan manis.

Ia bergumam, lantas dengan semangat menarik handuk putih di kursi kayu.

_

Chae Yoon siap 45 menit sebelum ia berangkat ke kampus. Dengan gesit dan senyum lebar, ia langkahkan kaki jenjangnya kearah dapur, mencari bahan-bahan untuk memasak, dan mulai membuat bekal makan siang.

Tangannya gesit memotong beberapa bawang, cabai, dan sayuran. Lantas mencucinya sampai bersih, dan memasukkannya ke kuali besar. Ia tersenyum, membayangkan seseorang yang sejak tadi hinggap di otaknya.

Tepat 15 menit lagi dan ia akan terlambat, bekalmakan siang itu telah siap. Ia tersenyum untuk yang kesekian kali, mengusap peluh di dahi, dan berjalan cepat keluar rumah.

“Sarapan dulu, Sayang.” Seorang wanita dengan rambut yang mulai memutih disana-sini, dengan pakaian santai seperti biasanya, tersenyum menatap Chae Yoon yang hendak berangkat ke kampusnya.

Chae Yoon tersenyum, menggeleng. “Tidak, Ibu. Aku harus bergegas. Besok saja aku sarapannya. Janji.” Lantas beranjak mencium pipi wanita itu.

“Nanti bisa ayah antar, Chae Yoon. Sarapan saja dulu.” Laki-laki paruh baya yang sekarang tetap terlihat gagah dengan setelan rapih yang melekat dibalik tubuh berototnya berucap sambil melipat koran paginya, diam saja saat Chae Yoon mencium pipinya, lantas meraih kopi di atas meja.

“Aku telat, Ayah.” Chae Yoon tersenyum lagi, kali ini langsung belari keluar rumah.

“Hati-hati!”

Chae Yoon mengangguk, tidak menoleh. “Oke!”

_

Chae Yoon berlari kecil saat orang yang ia rindu terlihat diujung sana, dengan mantel tebal dan syal hitam–pemberiannya tahun lalu.

Orang itu tersenyum menatap Chae Yoon. “Tumben kamu telat. Bangun siang, ya?”

Chae Yoon nyengir. “Maaf, Oppa.”

Laki-laki yang dipanggil ‘Oppa‘ itu rersenyum, mengacak pelan rambut Chae Yoon, lantas melirik kotak makan yang gadis itu bawa.

“Kamu bawa apa hari ini?”

“Aku bawa sup pedas.”

Laki-laki itu tersenyum lebar. “Ayo makan, aku sungguh lapar.”

Alis Chae yoon berkerut. “Oppa belum sarapan?”

Laki-laki itu tersenyum, menggeleng. “Aku baru selesai bekerja. Kamu juga belum makan, kan?”

_

“Astaga! Dia tampan sekali!”

“Ya Tuhan, siapa dia? Mahasiswa baru, ya?”

Chae Yoon mengernyit bingung. Kenapa semua orang–maksudnya perempuan–berteriak aneh seperti itu?

“Permisi,” pria jangkung dengan kacamata hitam yang bertengger manis di hidungnya yang mancung, menyapa Chae Yoon. Laki-laki itu harus sedikit menunduk untuk menyesuaikan ukuran tubuhnya dengan gadis itu. “Apa kamu tahu dimana letak gedung fakultas bisnis? Aku kesulitan mencarinya.”

Bisnis? Itu sama saja sepertinya.

Chae Yoon mengangguk. Jelas ia tahu gedung itu, bahkan jumlah ventilasi di gedung itu saja ia hapal.

Laki-laki itu mengangguk, tersenyum puas. “Bisa antar aku kesana?”

Chae Yoon diam sebentar. Ya ampun, sekarang ia tahu kenapa banyak gadis yang berteriak tentang laki-laki ini; senyumnya benar-benar tampan.

_

“Bekal makanmu?” Gadis cantik dengan rambut sebahu itu bertanya, membuat pergerakan menyuap laki-laki itu terhenti.

“Iya. Kau mau? Belum sarapan, kan?”

Gadis itu tersenyum senang. “Terimakasih.” Lalu duduk berdampingan disamping laki-laki yang sekarang sudah melanjutkan suapannya.

Mereka berdua diam menyantap sarapan yang tadi pagi dibuat Chae Yoon. Menikmati udara dingin di taman kampus yang luas, dan mendengarkan beberapa orang yang bergosip tentang dosen mereka yang belum menikah padahal sudah berumur 40 lebih.

Canggung sekali. Aku tidak suka.

Gadis itu merapikan rambutnya, menyisirnya pelan dan meletakkannya ke belakang telinga, ia sedang sibuk memikirkan cara apa agar suasananya tidak canggung seperti ini.

Tapi saat ia masih sibuk memikirkannya, jantungnya terpaksa memompa lebih cepat karena laki-laki itu dengan cepat mengikat rambutnya dengan ikat rambut hitam baru.

Gadis itu tertegun, untuk sejenak merasakan tangan itu lembut menyisir rambutnya, membiarkan jantungnya memompa darah lebih cepat dari biasanya, dan bibirnya yang diam-diam tersenyum senang.

“Aku tahu kalau ikat rambutmu putus, dan kamu tidak sempat membelinya karena bekerja,” laki-laki itu berkata pelan sambil terus merapikan rambut gadis itu. “Jadi aku membelinya. Karena aku sempat.”

Rasa senang itu hilang setengahnya, gadis itu tersenyum kecut. Buat apa ia berharap lebih? Ini hanya ikat rambut. Dan laki-laki itu membelinya karena ia sempat. Bukan karena hal lain.

Jangan bodoh, Son Minsoo.

_

Chae Yoon meregangkan otot-otonya yang mulai kaku. Sialan, kenapa ia harus mendata semua orang yang mengikuti kegiatan ini? Apa untungnya bagi dia? Dan apa urusannya?

Lagi pula ini sudah jam 6 sore. Sebentar lagi langit mulai gelap dan dingin. Ia tidak membawa jaket tebal, dan ia tak kuat dingin.

“Coklat panas?” Suara bariton yang tadi siang ia dengar kembali mengalun lembut di dalam telinganya. Ia mendongak, menatap laki-laki jangkung yang sekarang sedang tersenyum sambil menjulurkan tangannya yang memegang cangkir putih dengan mulut sedikit terbuka.

“Eh? Kenapa kamu disini?”

“Aku ikut kegiatan musik.”

Chae Yoon diam sebentar, lantas mengangguk. Menerima coklat panas dari laki-laki itu dan meminumnya sedikit.

“Park Chanyeol.”

Chae Yoon kembali menoleh pada laki-lakiitu–yang sudah menatapnya lekat sejak tadi–dengan alis sedikit terangkat. Apa maksudnya?

Laki-laki itu kembali tersenyum. “Namaku Park Chanyeol. Kamu?”

“O–oh,” Chae Yoon tersenyum canggung, menggenggam erat cangkirnya. “Song Chae Yoon.”

Chanyeol tersenyum, masih menatap Chae Yoon, ia tenggak sedikit coklat panasnya.

_

Bagaimana kuliahmu? Aku sedang bekerja di kafe Paman Kim.

Chae Yoon tersenyum saat ponselnya mendapat pesan dari seseorang yang ia temui tadi pagi. Sedetik kemudian, jarinya lincah mengetuk balasan.

Aku lagi di bus. Oppa sudah makan?

Hari ini sangat melelahkan. Tapi aku bertemu laki-laki tampan :3

Tak lama, balasan datang lagi, dari orang yang sama.

Aku sudah makan tadi.

Hei, jangan bilang kamu sudah suka pada pandangan pertama.

Sama saja denganku, sama-sama lelah :p

Chae Yoon kembali tersenyum, selalu menyenangkan mengobrol dengannya.

Aku tidak menyukainya seperti itu! Jangan salah paham😦

Yaaah, padahal aku belum makan :3

Semangat Oppa Sehun-ku sayang :* peluk cium dari bus :p

Chae Yoon cekikikan sendiri membaca tulisannya di layar ponsel. Itu sangat memalukan.

Ponsel gadis itu berbunyi lagi. Dengan semangat, ia rogoh tasnya, mengeluarkan ponselnya dengan senyum merekah, dan membaca pesannya.

Bukan. Bukan dari Oppa-nya.

Ini aku. Park Chanyeol.

Aku dapat nomormu dari temanmu.

Chae Yoon bingung sendiri hendak membalas apa. Tapi ia tetap mengetik balasan untuk Chanyeol.

Ah, iya. Tidak apa-apa.

Chae Yoon menggaruk sedikit tengkuknya yang tidak gatal. Ini canggung sekali.

_

“Aku pulang~” Chae Yoon melangkah masuk setelah sepasang sepatunya tergeletak rapih di atas rak sepatu.

Ayah dan ibunya sedang duduk di atas kursi, menghadap meja makan yang dipenuhi banyak makanan lezat, sambil mengobrol.

“Kenapa kalian belum makan?” Chae Yoon melirik jam tangannya. “Ini sudah jam 8 malam.”

Ibu Chae Yoon tersenyum, menarik lengan gadis itu. “Kami menunggu kamu yang sangat sibuk dengan kampusmu,” lalu mendudukkan Chae Yoon di kursi, bersebrangan dengan tempat duduk ibu dan ayahnya. “Ayo makan.”

Chae Yoon mengangguk, mulai menyantap makan malamnya.

Mereka menyantap makan malam itu dengan penuh obrolan ringan yang menyenangkan, sesekali ayahnya membuat lelucon lucu yang membuat Chae yoon dan ibunya tergelak, lantas melanjutkan makan malamnya.

“Song Chae Yoon.” Ayah berucap serius di sela obrolan mereka, memandang lekat kearah gadis itu.

Chae Yoon mendongak. “Kenapa, Ayah?”

“Kamu sudah punya pacar?”

Chae Yoon terbatuk, makanannya hampir saja keluar semua, ibunya yang melihat itu, langsung mengambilkan segelas air putih, menyerahkannya pada Chae Yoon yang masih menepuk pelan dadanya yang sakit.

“Kamu harusnya bertanya pelan-pelan saja.” Ibu melotot, tangannya masih mengusap punggung Chae Yoon.

Ayah mengangkat bahunya. “Maaf.”

“Ehm,” ibu tersenyum saat Chae Yoon sudah baikan. “Begini, Chae Yoon-ah.

“Ayahmu sudah berjanji pada sahabat seperjuangannya dulu.”

“Berjanji apa?”

“Bahwa jika mereka mempunya anak seumuran, berbeda jenis kelamin, mereka akan menjodohkannya. Untuk mempererat persahabat ayahmu dan menjalin kerjasama keluarga.

“Dan untungnya, ibu yakin kamu belum punya pacar. Jadi, kamu mau, kan, kami jodohkan?”

Gila.

TBC

terimakasih untuk dukungannya🙂 like and comment kutunggu selalu loh!


If We Love Again: Desire of Heart

$
0
0

if-we-love-again-req-1

Poster By: Kyoung @ Poster Channel

Twelveblossom (twelveblossom.wordpress.com) | Oh Sehun, Jung Nara, Park  Chanyeol, and Olivia Kim | PG 15 | Romance, Friemdship, and Hurt/Comfort | Line: @nyc8880l

“Now, I know that a deep love brings sad ending.” ―If We Love Again, Chen feat Chanyeol

-oOo-

“Apa kau ingin menikahiku, Oh Sehun? Aku adalah Jung Nara, satu-satunya pewaris Jung Taekwang. Kita memang berkencan, tapi kau tidak pernah berpikir untuk menikahi pria sepertimu. Pernikahanku harus menjadi hal yang paling membahagiakan bagiku. Aku akan menikahi pemuda yang memiliki segalanya seperti diriku. Pria yang kunikahi nanti harus lebih baik dari dirimu. Sementara dirimu hanya pecundang dalam hidupku.” Itulah yang kuucapkan padanya, empat tahun lalu.

Bagi Jung Nara kehidupan ialah sebuah sandiwara di mana dirinya sebagai tokoh utama. Nara yang dulu berperan sebagai nona besar yang mewarisi segalanya, namun Nara yang sekarang tak lebih dari gadis penuh penyesalan atas kehidupannya. Alur cerita ini semakin mempermainkannya saat dia bertemu dengan kenangannya. Kehidupan dalam masa lalu yang sempat ia tolak, justru berjalan lebih menyenangkan daripada perkiraannya dulu.

Siapa yang mengira bahwa kekasih yang dulu dicampakannya kini justru memiliki segalanya?

Siapa yang mengira bahwa Jung Nara yang dulu memiliki segalanya kini justru menjadi pencundang?

Jung Nara yang biasa tak mengacuhkan orang lain, saat ini malah mengiba di hadapan mantan kekasihnya yang dulu sempat dia hina. Masih lekat diingatan Nara, empat tahun lalu bagaimana caranya menampar pemuda itu dan bagaimana bibirnya mengucapkan segala kalimat yang menyakitkan. Sekarang, semua berbalik padanya.

“Tolong selamatkan perusahaan keluargaku, Oh Sehun. Aku akan melakukan apapun yang kau inginkan,” ucap Nara pada pria di hadapannya.

Pemuda yang menjadi pusat atensi Nara itu menyeringai. Ia duduk dengan angkuh di balik meja. Netra tajam Sehun memindai gadis yang tengah berhadapan dengan dirinya di ruang kerjanya. Paras Sehun tampak sangat puas menyadari kemenangannya. Perjuangannya selama empat tahun ini tak berakhir sia-sia. “Apapun? Tapi aku telah memiliki segalanya, Jung Nara. Kekayaan, kedudukan, dan kehormatan.” Sehun menautkan alis. “Tawaranmu tidak menarik,” lanjut pemuda bersurai hitam itu.

Nara membalas pandangan manik Sehun. Tangannya mengepal, dia berusaha menahan emosi sebab pertaruhan kali ini, bukan hanya mengenai dirinya tetapi juga keluarganya. “Aku akan menikah denganmu,” timpal Nara, tanpa keraguan.

Sehun tertawa mengejek. Ia beranjak dari kursi kekuasaannya, kemudian berjalan menuju si gadis. “Apa kau ingin menikah denganku, Jung Nara? Kau itu hanya pecundang dalam hidupku.” Sehun berujar, dia menirukan cara Nara menolaknya dulu. “Satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah membuatmu menderita,” ungkap Sehun, jarinya membelai paras gadis yang memakai kemeja dan rok kain bewarna abu-abu itu.

“Kau tahu, Oh Sehun. Ada satu cara untuk membuat seorang gadis menjadi sangat menderita. Dia terikat, namun tidak dicintai. Dia tak diinginkan oleh pasangannya, tapi tak dapat melarikan diri,” jelas Nara, suaranya berduka.

“Kau enggan berubah Jung Nara. Kau tetap menjadi gadis yang tamak. Kau kira aku tidak tahu alasan dibalik ucapanmu ini?” tanya Sehun, ekspresinya dingin.

Nara mengayunkan kaki satu langkah, sehingga raganya dapat memangkas jarak dengan tubuh Sehun. “Dengan pernikahan ini, aku bisa menyelamatkan perusahaan keluargaku. Secara tidak langsung, kau memberikan berita bahwa Jung Corporation menjadi bagian dari Oh Corporation dan itu akan menarik investor lagi. Keuntungan yang lain untukmu adalah kau bisa memperluas jaringan perusahaanmu, tanpa harus mengeluarkan uang. Tepat setelah kita menikah, setengah dari sahamku di Jung Corporation juga akan menjadi milikmu,” jelas Nara. Gadis itu tersenyum sekilas. “Penawaranku menjadi sangat menarik, bukan?”

Sehun berdecak, “Gadis bodoh,” ucapnya. “Sayangnya, perusahaan yang dapat kumanfaatkan bukan hanya Jung Corporation. Aku bisa menggunakan perusahaan lain untuk memperluas jaringan. Bidikanmu tidak tepat, aku menolak.” Sehun berkata tajam, dia mulai mengayunkan kaki melewati Nara untuk meninggalkan ruangan itu.

Nara menarik tangan Sehun, sehingga mereka kembali saling berhadapan. “Kenapa kau menolak? Apa kau takut jatuh cinta lagi padaku?” cecar Nara.

“Jatuh cinta lagi padamu,” ulang Sehun. Pemuda itu tertawa. “Aku tidak pernah jatuh cinta padamu Jung Nara. Aku dulu berkencan denganmu karena kau adalah Jung Nara, gadis muda terkaya di Seoul. Kau kira, apalagi yang diinginkan pemuda miskin dan yatim piatu sepertiku, mendekatimu. Jangan terlalu naif, Nara,” imbuh Sehun. Ia menepis tangan Nara, lalu melanjutkan pijakan―meninggalkan si gadis sendirian.

Sehun tidak pernah mencintaiku, benak Nara beberapa kali menduplikat ucapan Sehun. Gadis itu seolah-olah menemui kehampaan setiap kali pikirannya kembali mengingat bagaimana cara Sehun berkata padanya. Seolah, Nara merupakan hal mengerikan yang segera ingin disingkirkan oleh Sehun.

Nara benar-benar kehilangan pijakan saat ini.

“Nara, apa kau baik-baik saja?” tanya sebuah suara yang sangat familiar di gendang telinga si gadis. Park Chanyeol enggan menutupi kecemasannya, ketika melihat gadis itu tiba-tiba memasuki gerai kopinya yang baru buka dan berjalan terseok-seok.

“Dia tidak pernah mencintaiku, Chanyeol. Dia hanya memanfaatkan diriku,” gumam Nara. Ia menerima uluran tangan barista itu. “Dia enggan membuat perjanjian,” jelas Nara, setelah ia duduk di kursi yang berdampingan langsung dengan meja penyajian.

Chanyeol memberikan kopi hangat untuk menenangkan sahabatnya. “Pasti kau belum menjelaskan semuanya pada Sehun, alasanmu dulu memutuskan―”

“―Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi. Aku telah dikenang menjadi gadis arogan yang gila uang. Karakter yang sangat menarik dalam ceritanya, lebih baik begitu,” Nara memandangi cangkirnya. “Aku justru akan terlihat sangat menyedihkan apabila dia mengetahui kebenarannya.”

Chanyeol mengawasi sang gadis yang terlihat kuat. Tak butuh menjadi ahli bagi Chanyeol agar dapat memahami seluruh pedih yang dirasakan sahabatnya. Megenal Nara sedari kecil, cukup memberikan pengetahuan bagi Chanyeol bagaimana si gadis mencoba bersikap baik-baik saja.

“Andai saja aku sanggup membantumu, Nara,” kata Chanyeol.

Nara tersenyum lebih tulus dari sebelumnya. “Dengan ada di dekatku seperti ini, kau sudah sangat membantu, Park Chanyeol,” balas Nara, ia meremas tangan Chanyeol.

Chanyeol menghela napas. Dia beranjak untuk membelai paras rupawan gadis itu. “Keluargaku memiliki pengaruh yang besar untuk membantu perusahaan keluargamu, walaupun aset kami tidak sebesar milik Sehun. Kalau kau ingin, kita dapat―”

“―Menikah? Lalu, aku menjerumuskanmu pada ikatan itu. Kau sahabatku Park Chanyeol, aku ingin kau menemukan wanita terbaik yang kau cintai,” Nara memotong ucapan si pemuda.

Chanyeol membalas dengan dentang tawa kecut. “Itu bukan alasan satu-satunya. Kau masih sangat mencintainya,” vokal pria jangkung itu yang lantas membuat Nara tertegun.

Sudut bibir Nara tertarik ke atas. “Mencintainya terlalu dalam hanya akan membuatku berakhir menyedihkan,” bisiknya mengkahiri perbincangan.

“Kau tidak seharusnya berkata seperti itu padanya,” kata seorang gadis yang dikenal sebagai sekretaris pribadi Oh Sehun. Gadis itu tampak anggun, surai pirangnya tergerai, parasnya mempesona, dan tanpa celah. Ia berjalan menuju Sehun yang sedang duduk di ruang santai apartemen pria itu.

Sehun menerima gelas kristal berisi wine yang disuguhkan si wanita bergaun tidur. “Kau menguping pembicaraan kami, Olivia Kim,” simpul Sehun sembari menarik Liv agar duduk di pangkuannya.

Liv mengalungkan tangan ke leher Sehun. “Hanya penasaran soal cara Oh Sehun si pengusaha cerdas menghadapi mantan kekasihnya,” ejek Olivia Kim.

Sehun melonggarkan dasi. “Lalu, bagaimana hasilnya? Apa aku cukup cakap?” tanya Sehun, jarinya memainkan surai Liv.

“Payah, kau terlihat masih mencintai―”

Argumen Liv terpotong oleh kecupan menuntut dari Sehun. Liv enggan membalas seluruh gerakan pemuda yang menurutnya hanya menggunakan dirinya sebagai pelampiasan.

“Aku sudah melupakannya,” tegas Sehun.

Liv menyeringai. “Saat kau tidur, dirimu sering mengucapkan nama Nara.” Wanita itu mengetuk dagu, menggambarkan bahwa dirinya sedang mengingat-ingat. “Kau berubah menjadi Sehun yang sekarang, bukan untuk membalas dendam pada Nara. Tapi, kau menjadikan dirimu layak bagi Nara. Kau juga mengacaukan perusahaan Keluarga Jung agar gadis itu berlari kepelukanmu,” Liv menyelesaikan kalimatnya, sepasang manik birunya menatap pria yang kini meminum habis wine itu. Liv hanya tersenyum, ketika mengetahui bahwa Sehun sedang salah tingkah.

“Aku memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari pengamatanmu, Liv.” Sehun tersenyum. “Aku hanya ingin tahu, caranya menjadikan diriku miliknya lagi,” imbuh Sehun. Pemuda itu sekali lagi menautkan bibirnya pada kelembaban yang ditawarkan wanita yang beberapa tahun ini menjadi penghiburnya. Apabila tidak ada Liv, bayangan Nara enggan sirna dari benaknya.

Sehun ingin sekali mengenyahkan Jung Nara dalam hidupnya, akan tetapi ia tak mampu sebab … mencintainya adalah cara Sehun untuk bertahan hidup.

-oOo-

a/n:

Part selanjutnya klik If We Love Again: Still Remember You.

Cerita mereka yang lain daat dibaca di Track List. Terima kasih sudah membaca ya^^.


Nightmare [Part XII] #Depent

$
0
0

EXO’s Sehun & OC’s Mikyung

Angs | Sad | Life | Mature | Psychology (little) | Romance | Married Life

[Rated Can Change Anytime!]

Disclaimer! The original results my imagination. NOT FOR PLAGIARISM OR COPY PASTE!!!

  Mungkin, tanpa disadari oleh siapapun jika kini mereka saling bergantungan dan membutuhkan satu sama lain. Bagaikan sebuah terikatan suci yang berjanji atas nama Tuhan.

©2016.billhun94


Satu bulan berlalu, tidak banyak perubahan yang terjadi; semuanya masih sama dengan keadaan yang kekal. Tak terkecuali perasaan yang kadang kala Sehun rasakan. Seperti halnya dalam drama romansa picisan yang tersaji di drama maupun film, Sehun pikir itu adalah sebagai umpamaan. Memikirkannya membuat satu tarikan di sudut bibir Sehun. Untuk sekali lagi, pria itu meneguk koktailnya dalam sekali tenggak. Berharap tetesan terakhir datang, namun tidak kunjung datang juga.

Dude!”

Seruan seorang pria menyadarkan Sehun dari lamunannya. Ia menoleh kearah pria berambut merah itu, lalu memilih mengabaikannya.

Wajah tenang Chanyeol menyapa Sehun. Ia berkata dengan penekanan, “Aku sudah mendengarnya dari Soojung. Se-mu-a-nya.”

Sehun menyeringai, mulut Jung Soojung memang tidak bisa dipercaya. “Lalu?”

Chanyeol terlihat geram dengan tingkah sang sahabat, “Dan kau masih tidak ingin melakukannya?! Dasar idiot!” Sungutnya kesal.

“Kau sama saja dengan Soojung,” timpal Sehun kelewat santai.

Chanyeol memalingkan wajah, ia sedang berusaha untuk tidak mendaratkan kepalan tangannya di wajah Sehun. “Benar apa yang dikatakan Soojung. Kau sudah berubah, Sehun-ah.” Setelah itu ia melenggang pergi meninggalkan kelab yang Sehun datangi.

Sedangkan yang menjadi pemeran utama hanya menatap kosong gelas koktail yang berada dalam genggamannya. Ia meremas gelas tersebut, lalu menggeram frustasi. Kenapa jalan hidupnya harus seperti ini? Apa ini memang menjadi takdir abadinya? Ia ingin merasa bahagia sebentar saja. Apa itu sangat sulit?

“Butuh hiburan?”

Seseorang bertanya pada Sehun, entah siapa itu. Sehun terlalu malas untuk memastikan.

“Tidak perlu. Aku punya yang lebih menarik di rumah.”

-oOo-

Mikyung sedang menonton televisi ketika pukul menunjukkan jam setengah satu dini hari. Acara lawakan, namun sama sekali tidak membuatnya tertawa. Terlalu klise, pikirnya.

Di ruang tamu yang sangat luas ini, Mikyung berdiam diri dengan duduk di sofa dan melipat kakinya lalu bersender pada kepala sofa. Posisi seperti itu dulu sering ia terapkan ketika masih di Australia. Ngomong-ngomong tentang negara tersebut, Mikyung jadi merindukan kedua orangtuanya yang menetap di sana. Ingin rasanya ia mengajak mereka kemari. Apa Sehun akan mengizinkannya?

BRAK

Suara pintu yang dibuka secara paksa mengalihkan perhatian Mikyung. Derap langkah semakin mendekati rungunya, dan sosok Sehun muncul dari dalam cahaya remang yang tercipta. Mikyung sontak mengernyit, dan bau alkohol datang dari tubuh Sehun.

“Sehun-ssi?” Panggil Mikyung.

Sehun samar-samar dapat mendengar suara Mikyung karena kesadarannya belum sepenuhnya hilang. Ia sudah terbiasa dengan alkohol dan itu tidak membuatnya kepayang serta lemah terhadap minuman beralkohol dengan kadar yang tinggi.

“Kau sangat cantik malam ini, sayang.” Rancau Sehun, lalu mendudukan diri di samping Mikyung yang beringsut menjauh.

“Kau pasti habis minum,” tebak Mikyung. Tidak tahu alasannya, Sehun akhir-akhir ini sering sekali pulang ke rumah dengan keadaan mabuk.

“Hm, kau benar, sayang.”

Bisakah Sehun menghentikan panggilan ‘sayang’ untuk Mikyung? Karena, sungguh. Mikyung sekarang bisa merasakan jika pipinya kini sudah memanas.

“Bersihkan dirimu dan istirahatlah,” perintah Mikyung acuh dan kembali pada acara televisi yang sedang ditontonnya.

Sehun tampak enggan menyahuti perintah Mikyung. Tanpa sebab, ia menarik Mikyung kedalam pelukannya dan menyisakan keterkejutan bagi wanita itu. Dengan rakus, Sehun menghirup feronom yang menyeruak dari sela-sela helaian rambut Mikyung yang terasa sangat lembut.

“Biarkan seperti ini, sebentar saja.” Kata Sehun tenang sembari menutup matanya.

Mikyung sendiri hanya mampu membatu di tempatnya, ini terlalu mengejutkan dan membuat degupan jantungnya tidak terkendali (lagi). Untuk sebulan berlalu cepat, Mikyung sudah mendapatkan ingatannya sebagian—terutama untuk Sehun—walaupun belum sepenuhnya tapi mampu membuat ia senang. Dan hubungan yang terjalin diantaranya dengan Sehun juga sudah terjalin layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan untuk berhubungan intim, Sehun dan Mikyung sudah pernah melakukannya beberapa kali.

Mikyung membalas pelukan Sehun dengan penuh perhitungan. Memang masih kaku, namun Mikyung mampu untuk mengimbanginya. Ia menaruh kepalanya di bahu Sehun, menghirup pinus yang menyeruak keluar. Menenangkan.

“Sebenarnya ada apa?” Tanya Mikyung yang penasaran.

Sehun tidak menjawab, ia pun melepas pelukannya dan menatap Mikyung dalam. Sebelum berakhir sapuan lembut di bibir wanita itu. Tanpa bosan, Sehun terus melumat material lembut itu dengan penuh kasih sayang yang muncul ketika ia bersama Mikyung.

Jika melakukan hal yang intim seperti sekarang, Sehun jadi ingat ketika ia pertama kalinya memberikan hal lebih dari ketimbang ciuman saja. Dan kalian tahu hasilnya seperti apa? Sehun tergeletak mengenaskan di lantai dengan tubuhnya yang kesakitan karena tindakan refleks Mikyung yang membanting dan menjatuhkan tubuhnya dari atas ranjang. Seharusnya Sehun ingat kala itu jika Mikyung pemegang sabung hitam Taekwondo.

Entah bagaimana bisa terjadi begitu cepat, Sehun sudah membawa tubuh Mikyung ke kamarnya dan menjatuhkan wanita itu di atas ranjangnya tanpa melepas ciuman mereka.

Suara decapan yang tercipta semakin membuat panas suasana. Sehun sudah berada di atas tubuh Mikyung dengan setengah telanjang, lalu menanggalkan pakaian Mikyung sampai menyisakan pakaian dalam saja.

Desahan pertama keluar dari mulut Mikyung kala Sehun bermain di leher putih nan jenjangnya; membuat tanda kepemilikan pria itu. Tubuh Mikyung juga ikut memberikan reaksi dengan melengkuk keatas saat Sehun bermain di area sensitifnya dengan tangan nakalnya.

Sehun selalu bisa membuat Mikyung ketagihan dengan setiap sentuhan pria itu di tubuhnya. Dalam sekejap, Mikyung bahkan sudah mencapai puncak kenikmatannya.

Saling mengagumi tubuh masing-masing, Mikyung tidak bisa mengelak kalau tubuh Sehun kelewat seksi dengan kulit putih pucatnya serta tubuh kekarnya membuat Mikyung ingin selalu menjadi milik pria itu. Begitupun sebaliknya, Sehun seakan menemukan kenikmatan lebih daripada wanita yang selama ini ia tiduri dengan Mikyung. Dan itu tidak bisa menghentikan Sehun untuk terus menikmatinya.

Mungkin tanpa disadari oleh siapapun jika kini mereka saling bergantungan dan membutuhkan satu sama lain. Bagaikan sebuah terikatan suci yang berjanji atas nama Tuhan.

-oOo-

Di sebuah cafè yang letaknya tidak jauh dari kawasan komplek perumahan Sehun, Soojung membuat janji dengan Mikyung siangnya. Wanita itu tampak gusar memandangi bahu jalan dan berharap Mikyung segera datang.

Bunyi yang tercipta dari pintu cafè membuat Soojung menoleh, mendapati Mikyung kini sedang berjalan kearahnya ditemani seorang bodyguard yang ia rasa disewa oleh Sehun untuk melindungi wanita itu.

Mikyung duduk di hadapan Soojung, menelisik kearah wanita itu sebelum akhirnya menatap netra cokelat sang lawan. “Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanyanya to the point.

Soojung memasang senyum tipis, “Tidak ingin memesan minuman terlebih dulu?” Ia bertanya seperti itu hanya untuk sekadar basa-basi.

Dengan wajah datarnya, Mikyung menggeleng lalu melanjutkan, “Sehun tidak mengizinkanku untuk berlama-lama di luar.”

Soojung yang mendengar penuturan Mikyung hanya mampu menyeringai. Bukankah disini Mikyung jelas telah menyudutkannya? Wanita ini berbahaya di satu sisi, ia yakin jika Sehun menyadarinya.

“Apa kau memiliki tujuan tertentu?” Tanya Soojung, kali ini serius.

Mikyung yang menyadari keberadaan bodyguard yang mengikutinya tadi langsung memberi isyarat agar dia sedikit menjauh dari tempatnya dengan menggunakan isyarat mata. Lalu, Mikyung beralih kembali pada Soojung yang menatapnya menggunakan sorot merendahkan.

“Aku tidak tahu maksudmu, tapi aku bisa menangkap sesuatu di sini. Apa kau sedang berusaha untuk menjauhkanku dari Sehun?”

Mikyung ingat betul bagaimana pertemuan pertama kalinya ia dengan Soojung ketika berada di kantor Sehun. Wanita itu menyudutkannya, bahkan untuk pertemuan pertama mereka. Dan, Soojung seakan menutupi sesuatu yang melarangnya untuk mengetahui yang sebenarnya.

“Kau salah, aku tidak sejahat itu, Mikyung-ssi.” Ralat Soojung, intonasi suaranya masih tenang. “Well, sejujurnya aku menginginkan itu terjadi. Tapi, kau tahu bukan jika kini Sehun telah jatuh sepenuhnya padamu? Aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang,” sambung Soojung dengan mengedikkan bahunya.

Mikyung menarik ujung bibirnya, “Kalau kutebak, kau masih menyukainya, bukan?”

Soojung tertawa ringan, “Benar. Aku tidak menyangka kau pintar dalam hal menebak omong kosong seperti ini.”

“Intinya?”

Soojung menegakkan badan, Mikyung adalah tipe orang yang sulit untuk diajak berbasa-basi; setidaknya itu adalah yang ia ketahui sejak pertemuan pertama mereka. “Aku ingin meminta tolong padamu,” ujarnya.

“Tolong?” Tanya Mikyung yang heran.

“Aku tahu ini terdengar konyol; atau mungkin tidak? Tapi yang jelas kau harus mau… Jika kau tidak ingin kehilangan Sehun.”

-oOo-

“Kemana Mikyung?”

Pertanyaan Sehun sontak membuat beberapa pelayan menatap pria itu dengan takut. Namun, Jieun memberanikan diri untuk menjawab, “Nona Mikyung sedang pergi keluar, Presdir.”

Sehun terlihat terkejut. Oh tentu saja, ketika ia terbangun dari tidurnya, ia tidak menemukan Mikyung di manapun. Berpikir jika wanita itu sedang membersihkan diri, tapi tidak ketika menemukan fakta kalau Mikyung pergi… tanpa seizinnya.

“Siapa yang mengizinkannya?” Tanya Sehun, tajam.

Jieun menunduk, “Nona Mikyung bilang jika Anda sudah mengizinkannya untuk pergi,” jawabnya.

Sehun menghela napasnya kasar, kemudian kembali ke dalam kamar. Di kamar, pria Oh itu membersihkan tubuhnya. Ini akhir pekan, jadi ia bisa menikmati sedikit waktu untuk berlama-lama berendam di bath up. Fakta bahwa Mikyung pergi bersama salah satu bawahannya sedikit menenangkan hatinya. Setidaknya Sehun tidak harus takut untuk kehilangan wanita itu untuk kedua kali.

Setelah selesai membersihkan diri, Sehun sudah rapi dengan style casual-nya yang berpaduan sweater rajut berwarna biru dan celana bahan putih melekat di tubuh atletisnya. Mau pakaian apapun yang dikenakan Sehun, pria itu tetap terlihat tampan.

Sehun sedikit terkejut ketika mendapati Kim Jongin sedang duduk di ruang tamunya. Sehun lantas menghampiri saudara tirinya itu. Hubungan di antara mereka berdua kurang baik mengingat bagaimana Sehun sangat membenci ibu Jongin yang berstatus sebagai ibu tirinya.

Suara dehaman Sehun berhasil membuyarkan lamunan Jongin. Jongin tersentak mendapati Sehun sudah duduk di sofa yang berada di hadapannya.

“Mau apa kau ke sini?” Sehun bertanya dingin. Ia rasa hari minggunya rusak sudah. Jujur, melihat tampak Jongin membuatnya ingat dengan istri muda almarhum sang ayah.

Jongin sedikit melirik Sehun sekilas, “Rumahmu bagus juga,” komentarnya dan tidak menjawab pertanyaan Sehun.

“Apa itu penting? Jangan berbicara omong kosong, Kim Jongin. Cepat katakan apa masalahmu sampai repot-repot datang ke sini?”

Jongin sedikit menarik ujung bibirnya, seharusnya ia tahu kalau Sehun bukan orang yang suka diajak untuk sekadar berbasa-basi. Lantas, ia membuka suara dan menyuarakan keinginannya. “Sederhana. Cabut laporanmu.”

Laporan yang dimaksud oleh Jongin adalah laporan tentang adiknya; Kim Taehyun, yang saat ini sedang mendekam di penjara. Dan, yang membuat laporan itu adalah Sehun. Isinya sama seperti apa yang terjadi beberapa waktu lalu; tentang sebuah ‘penyerangan’ yang terjadi lusa di kelab langganan Sehun.

Dalam kalangan aparat kepolisian, Sehun adalah orang yang bisa dianggap penting karena Tuan Oh memiliki koneksi lebar di dalam sektor kepolisian Seoul. Ditambah lagi, Sehun adalah anak kandung dan Kim Taeyong maupun Kim Jongin bukanlah anak kandung dari Tuan Oh. Itu membuat mereka tidak bisa berkutik apapun ketika hukum mencatat nama mereka.

“Kenapa aku harus melakukannya?” Tanya Sehun dengan nada menantang.

Jongin mendengus, “Ibuku sedang sakit karena Taeyong yang terus membuat masalah,” jawabnya.

Sehun tertawa, “Itu bukan urusanku,” balasnya.

“Aku… mohon, tolong kami satu kali ini saja,” pinta Jongin. Ia rela harus merendahkan harga dirinya di depan Sehun demi kesembuhan ibunya yang sedang sakit karena terus memikirkan Taeyong.

“Aku sudah muak dengan kalian. Silakan pergi dari sini,” ujar Sehun, lalu beranjak dari duduknya.

“Oh Sehun….”

Sehun menghentikan langkah ketika Jongin memanggil namanya.

“Aku akan melakukan apapun yang kau mau jika kau mencabut laporanmu.”

-oOo-

Mikyung menghentikan langkah saat melihat mobil yang tampak asing terparkir di halaman. Ia pikir itu adalah tamu Sehun. Namun, ternyata seseorang yang ia kenal. Tanpa sadar, Mikyung tersenyum tertahan dan melangkah masuk ke dalam rumah dengan riang. Rasa kalut yang menyambanginya tadi kini hilang sejenak.

“Aku akan melakukan apapun yang kau mau jika kau mencabut tuntutanmu.”

Mikyung reflek menghentikan ayunan kakinya. Dan, tampaknya Sehun menyadari kehadirannya karena pria itu membalikkan badan.

“Kita bisa membicarakan ini lain waktu,” ucap Sehun akhirnya. Jongin terlihat kecewa.

“Baiklah,” balas Jongin lesu. Pria itu hendak melangkah keluar rumah mewah Sehun. Langkahnya sontak berhenti saat melihat sosok wanita di hadapannya kini.

Mikyung mengernyit, pertanyaan tentang hubungan Sehun dan Jongin mengisi pikirannya.

“Psikiater Kim?” Panggil Mikyung, setelah itu ia membungkuk memberi salam. “Lama tidak bertemu,” lanjutnya.

“Shin Mikyung?” Jongin tampak tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Sosok wanita cantik yang pernah menarik perhatiannya dan juga sosok wanita yang menjadi mantan pasiennya. Renggang waktu yang lama membuat Jongin sedikit lupa siapa sosok wanita itu. “Iya, sudah lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”

“Baik,” jawab Mikyung sambil tersenyum.

Jongin ingat, Sehun menikahi Mikyung hanya untuk mengincar warisan dari keluarganya. Dan, Mikyung juga sempat dikabarkan menghilang sehingga Sehun harus rela menunda memiliki hak penuh atas warisan tersebut. Itu sudah 3 tahun yang lalu, Jongin agaknya lupa.

“Aku berniat untuk pulang. Mungkin lain kali kita bisa berbincang-bincang,” seloroh Jongin. Lantas berlalu meninggalkan ruang tamu.

Setelah peninggalan Jongin, Sehun yang masih setia di tepatnya membuka suara. “Kalian tampak dekat,” komentarnya.

“Tentu saja. Aku sudah mengenalnya selama dua tahun. Dia orang yang baik,” Mikyung memberikan pujian di jawabannya dan Sehun terlihat tidak suka.

“Terserah kau saja,” timpal Sehun sebelum berlalu ke meja makan.

-oOo-

Setelah sarapan, Sehun memilih untuk ke perpustakaan yang berada di lantai dua dan Mikyung memilih untuk termenung di taman belakang.

Ini sangat sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi, tapi inilah kenyataanya. Sehun begitu berharga dalam hidupnya, Mikyung bahkan baru menyadari itu beberapa jam yang lalu.

Rumah yang kini menjadi naungan Mikyung terlihat sangat sepi. Selalu seperti itu hampir setiap hari walaupun diisi oleh para pelayan dan bawahan Sehun yang lain. Bagaimana jika rumah ini hanya ditinggali oleh Mikyung seorang? Membayangkannya saja sudah membuatnya segan.

“Nona, Presdir memanggil Anda.”

Mikyung menoleh dan menemukan salah satu pelayan wanita yang sedang tersenyum ke arahnya. “Di mana?”

“Di perpustakaan, Nona.”

Mikyung lantas menuruti apa yang pelayan tadi katakan. Rumah ini terlalu luas hanya untuk diisi oleh Sehun seorang. Biasanya pria karir seperti Sehun lebih memilih untuk tinggal di apartemen daripada menghabiskan uang untuk membangun rumah. Sehun jenis pria yang unik, setidaknya itu menurut Mikyung.

Deretan buku-buku menyambut iris Mikyung sewaktu masuk ke dalam perpustakaan pribadi milik Sehun ini. Setahunya, dulu ia dilarang untuk masuk ke sini. Mungkin salah satu area pribadi pria itu.

Seorang pria sedang duduk di kursi dekat jendela dengan kacamata bacanya, yang tidak lain pria itu adalah Sehun. Lagi. Perkataan Soojung datang. Tapi, sepertinya ini bukan waktu yang cocok untuk membahasnya.

“Ada apa kau memanggilku?” Tanya Mikyung.

Sehun sedikit tersentak sewaktu mendapati Mikyung sudah berdiri di hadapannya. Ia melepas kacamata baca yang bertengger manis di hidungnya.

“Aku punya hadiah untukmu,” ujar Sehun. Lalu mengeluarkan dua kertas berbentuk persegi panjang dari laci meja dan memberikannya pada Mikyung.

Eh, tunggu! Satu lagi, mikyung sudah pernah bilang seberapa autentiknya seorang Oh Sehun, belum? Beribu-ribu kata sepertinya tidak akan pernah cocok untuk mendeskripsikan sosok Sehun yang bagai dewa Andoni dari mitologi Yunani yang terkenal karena ketampanannya. Sering kali Mikyung yang dulunya acuh tak acuh pada pria menjadi tergila-gila karena sosok Sehun.

Mikyung membaca dengan cermat kertas yang ternyata sebuah tiket pesawat itu, “Spanyol? Kita akan ke Spanyol?”

-oOo-

To Be Continue

TINGGALKAN JEJAK SETELAH MEMBACA!!!

#Thanks


Nightmare [Part XIII] #Love

$
0
0

Poster by : Alkindi (https://dirtykindi.wordpress.com/)

EXO’s Sehun & OC’s Mikyung

Angs | Sad | Life | Mature | Psychology (little) | Romance | Married Life

[Rated Can Change Anytime!]

Disclaimer! The original results my imagination. NOT FOR PLAGIARISM OR COPY PASTE!!!

  “Walaupun aku berusaha untuk tidak mencintai, tapi aku tidak bisa menahan rasa cinta itu. Seberapa besar rasa kecewaku nanti, aku tidak bisa berhenti untuk mencintai. Bagiku, cinta mengatasi segala sesuatu yang orang lain tidak tahu.” 

©2016.billhun94


Mikyung tak tahu kapan terakhir kalinya ia merasa sebahagia ini. Senyum lebar itu bahkan selalu terpasang di bibirnya. Langkahnya juga menderap ceria. Apalagi ketika Sehun tidak mau melepaskan genggaman tangan mereka sejak penerbangan dimulai. Lengkap sudah kebahagiaannya.

Hanya ada satu pemandangan menarik bagi Mikyung saat ini. Yaitu wajah terlelap Sehun yang terus menarik perhatian Mikyung. Sambil sesekali memainkan anak rambut Sehun, Mikyung terkikik geli sewaktu wajah pria itu merengut; merasa terganggu.

Kali ini adalah hidung mancung Sehun yang menjadi sasarannya. Baru saja Mikyung akan menarik batang hidup Sehun, tangan pria itu keburu menahannya. Sehun juga membuka mata dan membuat Mikyung terkejut.

“Kau ini usil sekali,” gerutu Sehun sembari melepaskan tangan Mikyung.

Mikyung mengerucutkan bibirnya, “Aku bosan.”

Tanpa disangka-sangka, Sehun mengecup singkat permukaan bibir Mikyung dan meninggalkan rasa terkejut pada si wanita.

“Tidurlah. Perjalanan kita masih panjang,” ujar Sehun seraya menutup kedua matanya kembali.

Mikyung memberengut mendapati reaksi Sehun. Ia kira pria itu akan menemaninya dan tidak membiarkannya kebosanan seperti ini.

“Menyebalkan!”

-oOo-

Negara dengan ibukota Madrid itu menjadi salah satu negara yang paling banyak menyita perhatian para turis dari sekian negara Eropa yang lain. Negara dengan perekonomian kapitalis yang menempati urutan ke-14 di dunia tersebut menyimpan banyak sekali sejarah di dalamnya. Dan itulah yang menjadi daya tarik turis.

Bandar Udara Internasional Barajas Madrid adalah bandara yang paling penting di Spanyol. Pintu bandara ini tersedia bagi para turis domestik maupun international.

Sehun dan Mikyung beserta sekertaris dan bawahan Sehun lainnya baru saja menginjakkan kaki di bandara yang bertempat di Madrid itu. Udara dinginnya malam menyambut mereka.

Seorang pria berjas hitam menghampiri Sehun dan membungkuk. Lalu memperkenalkan dirinya sebagai jemputan Sehun yang telah diperintahkan oleh atasannya.

“Kau percaya padanya?” Tanya Mikyung ketika ia dan Sehun sudah berada di dalam mobil. Hanya ada mereka berdua dan seorang supir.

Sehun melirik Mikyung, “Aku mengenal mereka,” jawabnya.

“Tapi, bagaimana kalau ternyata mereka ingin menculik kita?” Mikyung mengerjap lucu saat Sehun menatapnya dengan tatapan seakan tidak percaya.

“Berhenti menonton drama-drama bodoh itu,” saran Sehun.

Mikyung mengerucutkan bibirnya, “Aku ‘kan hanya menduga-duga,” elaknya.

Sehun mengendus. Ia rasa sifat asli seorang Shin Mikyung telah kembali. Ya, ia rasa.

-oOo-

Rumah yang tampak dibangun pada tahun 80-an itu berhasil membuat Mikyung terpana, bahkan si wanita tak berhenti berdecak kagum. Rumah itu memiliki arsitektur yang luar biasa mengagumkan dan sangat detail pada setiap sudutnya. Perjalanan yang panjang dari Madrid kini terbayar sudah. Mikyung tidak menyesal membiarkan bokongnya panas karena terlalu lama duduk di kursi mobil.

Sehun yang melihat kelakuan sang istri hanya bisa menggelengkan kepala. Lantas ia bergegas memasuki rumah milik keluarganya itu. Keluarga Oh sudah mematenkan rumah ini sejak puluhan tahun lalu. Dan Sehun rasa rumah ini sudah sangat jarang sekali dikunjungi sanak saudaranya.

“Selamat malam, Tuan muda.” Sapa kepala pelayan pada Sehun sopan dan Sehun membalasnya dengan anggukan.

Merasa ada yang kurang, Sehun menghentikan langkahnya lalu berbalik badan. Benar. Ia melupakan Mikyung yang masih setia berdiri di depan rumah sambil terus berdecak kagum. Wanita ini benar-benar.

“Apa kau tidak ingin masuk?” Sehun bertanya dengan suara beratnya.

Mikyung tersadar, “Ya? Oh, tentu saja!” Timpalnya seraya berjalan kearah Sehun.

Interior khas eropa kuno menyambut Mikyung dan ia lagi-lagi tidak bisa menutupi rasa kagumnya. Rumah ini seperti sebuah kerajaan. Apalagi tempatnya yang terpencil dan memiliki banyak taman dengan hamparan bunga serta rumput hijau. Ah ya, jangan lupakan air mancur di dekat pintu masuk.

“Memangnya rumah ini punya siapa?” Tanya Mikyung, mengikuti jejak Sehun menuju ke kamar utama di lantai dua.

Sehun merebahkan tubuhnya di ranjang sembari menutup kedua mata. Tubuhnya butuh istirahat.

“Rumah keluargaku,” jawab Sehun tanpa memperdulikan Mikyung.

Wanita Shin itu sedang sibuk menelaah kamar utama, sampai tidak menyadari jika kini Sehun sudah terlelap. Mikyung tersenyum mendapati wajah polos Sehun. Sebelum ia berniat mengambil barang-barang milik mereka yang berada di lantai satu, Mikyung mengecup kening Sehun sekilas sebelum berlari terbirit-birit ke arah pintu, karena takut jika Sehun akan terbangun.

-oOo-

“Hari ini kita akan kemana? Aku dengar di Spanyol banyak tempat-tempat bagus,” Mikyung menghampiri Sehun yang sedang berada di ruang baca.

“Tetap di sini,” balas Sehun dengan sikap tidak pedulinya.

Mikyung murung, padahal ia sudah menyiapkan serangkaian acara kalau-kalau Sehun mengajaknya untuk berjalan-jalan di Negara ini.

“Bukankah kita ke sini untuk liburan?” Seloroh Mikyung yang kesal.

Sehun tetap tidak mengalihkan perhatiannya dari buku yang ia baca. “Aku tidak berkata demikian.”

“Oh Sehun!” Bentak Mikyung. Pria itu tidak ada berubahnya sama sekali.

Hembusan napas Sehun terdengar, ia mendengus kecil lalu menghadap Mikyung yang sedang memberengut ke arahnya. Wanita ini sedang marah rupanya.

“Kenapa kau meninggikan suaramu seperti itu?” Tanya Sehun datar dengan tatapan mengintimidasi.

Mikyung kalab, “A-aku tidak meninggikan suaraku,” elaknya. Kenapa jadi ia yang merasa takut di sini?

Sehun beranjak, ia meninggalkan Mikyung sendirian di ruang baca.

Mikyung menatap punggung Sehun dengan pandangan seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

-oOo-

Selalu sendirian. Percuma di sini ia bersama Sehun jika pada akhirnya hanya tak diindahkan. Tidak ada acara membujuk seperti yang Mikyung harapkan sebelumnya dari Sehun.

Lihatlah sikap tak acuh pria itu! Mikyung ingin sekali menimpukinya dengan betonan batu sungai sekarang juga.

Gara-gara aksi merajuk Mikyung ini, ia sampai melewatkan jam makan siangnya karena ketiduran. Mikyung menguap lebar dan mendapati matahari sudah tenggelam setengah. Ia terlonjak, tidak disangka jika dirinya akan tidur sampai senja datang.

Pintu kamar terbuka dan mendapati Sehun sedang berjalan ke arah lemari pakaian. Pergerakan Sehun tidak luput sedikitpun dari Mikyung.

Pria Oh itu hanya ingin mengambil pakaian. Mikyung tegaskan, ‘PAKAIAN’ dan setelahnya seperti menganggapnya tidak ada.

Mikyung mendengus kesal. Ia benci ketika Sehun mengabaikannya. Ia juga benci ketika Sehun terus mendiaminya seperti ini.

-oOo-

“Presdir, Nona Mikyung belum makan apapun sejak tadi siang.” Sekertaris Sehun memberitahu.

Sehun merapihkan dasi yang bertengger manis di lehernya sebelum menjawab, “Biarkan saja. Dia tidak akan mati hanya karena tidak makan siang.”

Jawaban Sehun sontak membuat sang sekertaris terkejut. Sehun setega itukah?

“Toh, dia habis ini akan makan malam, bukan?” Sehun melarat keterkejutan sekretarisnya.

“Ah, iya.”

Tangan Sehun meraih sebuah bingkisan yang berada tidak jauh darinya lalu membiarkannya pada sang sekertaris, “Tolong berikan ini padanya, dan bilang aku akan menunggu di mobil pukul 7.”

-oOo-

Mikyung sangat lapar saat ini. Jadi, ia memutuskan untuk turun dari lantai dua menuju dapur. Ia tidak bisa berbahasa Spanyol, sedikit sulit untuk berkomunikasi dengan para pelayan rumah.

Yang Mikyung tangkap adalah, ‘Tuan tidak memerintahkan kami untuk membuat makan malam’. Mikyung butuh kesadaran beberapa detik sebelum berdecak tak percaya.

Jadi, Sehun akan membiarkannya mati kelaparan?

Pria itu menyebalkan sekali. Mikyung kesal setengah mati. Ia kira ini adalah liburan yang menyenangkan, tapi nyatanya semua itu hanya ekspresinya saja.

Dari kejauhan, Mikyung dapat melihat sekertaris Sehun yang mendekat kearahnya.

“Di mana Sehun?” Cecar Mikyung ketika sekertaris Sehun sudah sampai di hadapannya.

“Presdir menyuruh saya untuk memberikan ini pada Anda. Dan, Anda diperintahkan untuk menunggu Presdir di mobil yang ada di pelataran jam 7 nanti. Saya permisi dulu.”

Belum sempat Mikyung menanyakan maksud dari bingkisan yang diberikan oleh sekertaris Sehun tadi, pria berumur setengah abad itu sudah melenggang pergi. Menyisakan tanda tanya di benak Mikyung.

-oOo-

Sebuah gaun indah berwarna putih dengan aksen renda yang menambah kesan mewah pada gaun berpotongan selutut itu melekat di tubuh Mikyung. Mikyung menatap kagum pada gaun tersebut. Begitu pas di tubuh mungilnya. Dah, jangan lupakan high heels berwarna putih tulang yang dibungkus bersamaan dengan gaunnya.

“Aku baru menyadari kalau ternyata aku cantik juga,” Mikyung terkikik geli sendiri sembari menatap dirinya di pantulan kaca besar.

Riasan tipis menempel di wajah cantik Mikyung, dan semakin menambahkan kecantikan alami wanita itu.

Mikyung bersiap turun ke bawah untuk menemui Sehun setelah membalut tubuhnya dengan mantel tebal berwarna hitam.

Sehun menyuruh Mikyung untuk menemuinya di pelataran rumah, dan pria itu sudah bersiap diri dengan mobil sport mewahnya. Lagi-lagi, Mikyung dibuat terkagum, sampai lupa bagaimana caranya menutup mulut.

Oh Sehun memang selalu penuh dengan kejutan.

Mikyung tahu jika Sehun memiliki sederet mobil mewah seperti ini di garasinya. Tapi mungkin lebih tepat hanya untuk hiasan saja, karena Mikyung jarang melihat Sehun mengendarainya.

Seorang pelayan menuntut Mikyung untuk memasuki mobil yang telah diisi oleh Sehun yang terduduk manis di kursi kemudi. Setelah memasuki mobil, Mikyung memicingkan matanya kearah Sehun yang sedang bermain dengan ponselnya.

“Jelaskan padaku semua ini,” tuntut Mikyung. Namun, Sehun tidak mengindahkannya.

Mikyung memutar bola matanya, ia pun merampas ponsel Sehun karena kesal. Pria itu sudah cukup membuatnya menahan amarah hari ini.

“Aku sedang bicara denganmu,” tegas Mikyung.

Sehun mengendus, lalu menatap sang istri. Tidakkah Mikyung tahu sudah hampir satu jam ia menunggunya untuk bedandan dan hal-hal yang biasanya wanita lakukan lainnya. Mereka memiliki janji jam 7 malam, namun kini jam sudah tidak menunjukkan jam 7 lagi.

Tanpa membalas perkataan Mikyung, Sehun menyalakan mesin mobilnya sebelum melaju dalam kecepatan ekstra.

Mikyung memberengut, ia lagi-lagi diabaikan. Sebenarnya ada apa dengan pria yang satu ini. Mikyung tidak habis pikir.

“Kau ingin membawaku kemana?” Tanya Mikyung ketus.

Sehun tidak menjawab. Menurutnya sekarang itu sudah tidak penting.

“Aku sedang bicara denganmu. Apa susahnya sih tinggal menjawab saja?!” Mikyung meninggikan nada suaranya karena sudah tak tahan lagi dengan sikap Sehun. Memangnya pria itu patung berjalan?!

Secara mendadak, Sehun mengeremkan mobilnya. Ia memposisikan tubuhnya kearah Mikyung dan sangat terkejut ketika mendapati wanita di sampingnya itu sedang terisak.

“Kau jahat! Kau terus mengabaikanku! Kau tidak tahu ‘kan bagaimana rasanya diabaikan. Aku kira ini akan menjadi liburan yang mengasyikan, tapi itu hanya ekspektasiku. Aku mau pulang saja ke Korea kalau seperti ini terus,” cerocos Mikyung sambil sesekali menarik ingusnya yang ingin keluar. Menjijikan sekali.

Sehun justru merasa gemas dengan wanita itu. Ia mengambil tisu yang berada di dalam dasboard mobil, lalu memberikannya pada Mikyung.

“Kenapa kau malah tersenyum?” Mikyung bertanya ketus saat melihat Sehun justru tersenyum kearahnya.

“Tidak apa-apa,” jawab Sehun. Secepat kilat kembali pada raut datarnya yang tidak manusiawi itu.

Mikyung membersihkan air matanya kasar. Ia sudah tidak peduli lagi dengan riasannya.

Hening sesaat. Sehun sedang menunggu agar Mikyung dapat mengendalikan dirinya lebih dulu sebelum bersuara kembali.

“Maaf karena sudah mendiamimu seharian ini,” ujar Sehun sambil fokus pada kemudinya.

“Kau memang pantas mengucapkan itu,” cibir Mikyung seraya memainkan ponsel Sehun.

“Aku punya kejutan untukmu,” ungkap Sehun akhirnya.

Perkataan Sehun lantas membuat Mikyung berpaling dari ponsel pria itu, “Kau sedang tidak bercanda, kan?”

Sehun menggeleng sebagai jawaban. Mikyung tersenyum mengembang. Lalu beringsut kearah Sehun dan tanpa perintah mengecup pipi Sehun secara kilat. Menyisakan keterkejutan bagi si pria.

“Aku lapar, aku harap kejutan itu adalah sebuah makan malam yang romantis. Oh ya, seperti di drama-drama ada kembang apinya. Hm, apalagi ya? Ah, musik klasik! Pasti itu sempurna sekali.”

Seperti halnya apa yang diinginkan Mikyung tadi, Sehun dapat mengabulkannya hanya dalam semalam.

-oOo-

Mikyung tadinya hanya menuturkan perkataannya secara asal dan tidak berharap semua itu menjadi kenyataan. Namun, apa yang dilihatnya kali ini benar-benar nyata. Makan malam romantis yang ia idamkan.

Sehun menuntun Mikyung yang masih terpukau dengan kejutan yang dirinya berikan untuk duduk di kursi yang sudah disediakan.

Secara mendadak Sehun atas nama perusahaan Ayahnya yang kini digenggam sang paman, menyewa alun-alun kota Madrid, yaitu Plaza Mayor.

Plaza Mayor adalah alun-alun berbentuk persegi panjang yang terletak di pusat kota Madrid, Spanyol. Alun-alun ini merupakan salah satu alun-alun paling terkenal di Madrid dan sangat populer di kalangan wisatawan serta warga lokal.

Walaupun Sehun harus mengeluarkan kocek yang tak sedikit, melihat Mikyung dapat tersenyum senang seperti sudah cukup untuk membayar semuanya.

Permainan sekelompok orkestra yang memainkan lagu-lagu romantis membuat Mikyung terbawa untuk kembali terpukau. Setelah cukup lama menikmati musik sampai tidak menyadari jika hidangan makan malam sudah datang, Mikyung beralih pada Sehun.

“Terima kasih. Padahal aku sama sekali tidak berharap kalau semua yang kuinginkan tadi menjadi kenyataan,” ungkap Mikyung riang.

“Sebelum kau mengatakannya aku sudah menyiapkan semua ini lebih dulu,” balas Sehun sembari menikmati makanannya.

Mikyung tidak menghapus senyum di wajahnya, “Intinya ‘terima kasih’,” tekannya pada Sehun.

Makan malam dengan hidangan steak daging sapi Spanyol yang terkenal dengan kelembutannya sudah selesai. Mikyung merasa sangat puas dengan hidangannya sampai-sampai ingin menambah porsinya, tapi Sehun menghentikan.

“Eh, tapi di sini tidak ada pengunjung lain. Jangan bilang kau menyewa Plaza Mayor hanya untuk makan malam kita?” Mikyung yang baru menyadari keadaan meminta penjelasan dari Sehun.

Sehun memutar bola matanya, jadi wanita ini sedari tadi baru menyadarinya. “Aku memang menyewanya,” tutur Sehun.

“Luar biasa!” Puji Mikyung, “Selain ini apa yang bisa kau lakukan? Oh, bisakah kau menyewa White House untukku. Aku sangat ingin masuk ke dalam sana sejak dulu karena begitu penasaran.” Cecar wanita itu tanpa jeda, membuat Sehun pusing sendiri mendengarnya.

Yang benar saja? White House? Apa wanita itu sudah tidak waras?

White House adalah tempat penting yang dimiliki oleh pemerintahan negara. Jika Sehun menyewanya hanya untuk Mikyung, mau dikata apa ia oleh dunia? Dan tentu saja tidak ada sejarah di Amerika yang menyewa White House hanya untuk keperluan pribadi.

“Jangan konyol, Shin Mikyung,” Sehun putus asa.

Terkadang lebih baik Mikyung kembali menjadi Mikyung ‘si wanita amnesia’ daripada menjadi Mikyung yang dikenal dulu. Sehun menjadi tidak mampu mengendalikan wanita itu.

-oOo-

“Rapatkan mantelmu, di sini sangat dingin,” perintah Sehun ketika Mikyung terus berjalan riang di depannya.

Mikyung tampak tak mengindahkan Sehun sedikitpun karena ia terlalu bersemangat. Dekat Plaza Mayor, ada sebuah parade untuk menyambut musim dingin serta natal, dan Mikyung membujuk Sehun untuk ikut dalam parade yang sangat ramai tersebut.

Sehun hanya dapat mengendus melihat tingkah Mikyung. Wanita itu bahkan terus menerus berbincang dengan anak-anak kecil yang ikut dalam parade. Mereka tertawa bersama, sesekali Mikyung mencubit gemas pipi gembul anak-anak itu.

“Sehun-ah! Cepat kesini!” Seru Mikyung dari tempatnya, Sehun mau tak mau menghampiri wanita itu.

“Ada apa?”

“Lihatlah! Anak kecil ini bilang kau sangat tampan, dan aku sangat cantik. Kita seperti pangeran dan putri dari negeri dongeng,” Mikyung mengakhiri perkataannya dengan tertawa ringan.

Sehun menjungkitkan bibirnya, ia tersenyum manis pada anak kecil yang juga sedang tersenyum padanya. Mereka sangat menggemaskan ketika sedang tersenyum.

Bye, bye~” seru Mikyung pada anak-anak kecil tadi, ia seperti tidak rela meninggalkan mereka. Oleh karena itu, ia bertanya pada Sehun yang berjalan di sampingnya. “Bolehkah aku bersama mereka sebentar lagi. Tidak lama kok,” pintanya.

“Malam semakin larut, kita harus pulang,” balas Sehun cuek. Mikyung pun memberengut.

Memang benar, walau festival belum berakhir dan semakin bertambahnya para pengunjung seiring dengan lautnya malam; udara Madrid sedang tidak bersahabat.

Angin musim dingin berhasil menerbangkan beberapa anak rambut Mikyung, ia merasakan dingin mulai menusuk tulangnya. “Dingin,” gumamnya, Sehun mendengar.

Pria Oh itu menghentikan langkah, ia pun berbalik kearah Mikyung. Tanpa aba-aba menarik tangan wanita itu untuk masuk ke dalam sebuah toko pakaian khusus musim dingin.

Mikyung jelas terkejut, ia menyerngit kearah Sehun. “Kenapa kau membawaku ke sini?”

Sehun tidak menjawab, ia sedang sibuk mencari sesuatu yang tidak Mikyung ketahui apa itu. Dan, Mikyung juga baru tahu kalau Sehun sangat fasih berbahasa Spanyol ketika pria itu berbincang dengan pelayan toko. Mikyung yang tidak mengerti hanya dapat melongo.

Selang 5 menit kemudian, pelayan toko memberikan sepasang sarung tangan dan syal berwarna cokelat pada Mikyung. Sehun menyuruhnya untuk memakai itu, “Pakailah,” perintahnya.

Mikyung menurut, ia memang merasa kedinginan dan menyesal kenapa melupakan syal serta sarung tangannya di rumah kala mengingat jika musim dingin sudah datang.

“Merasa lebih baik?” Tanya Sehun.

“Terima kasih,” balas Mikyung seraya tersenyum manis pada Sehun.

Sehun mengangguk, lalu berjalan ke arah kasir untuk membayar syal dan sarung tangan yang ia berikan pada Mikyung tadi. Sedangkan wanita itu mengekor di belakang.

-oOo-

Pada akhirnya, Sehun memutuskan untuk tidak pulang karena Mikyung terus merengek agar mereka lebih lama di festival. Sehun yang tidak punya pilihan lain karena Mikyung terus mengancam dengan tidak mau ‘tidur’ dengannya jika ia tidak menuruti kemauan wanita itu. Dasar. Jelas, Sehun menurut begitu saja. Berjauhan dengan Mikyung sama saja menyiksa dirinya.

“Aku lelah,” keluh Mikyung sebab sepanjang parade atraksi, ia dan Sehun terus berjalan kaki.

“Siapa suruh tidak mau pulang,” ketus Sehun. Tidak Mikyung saja yang lelah, tapi ia juga lelah.

“Hei! Kau marah ya?” Goda Mikyung begitu melihat wajah masam Sehun.

“Tidak,” elak Sehun.

Mikyung beringsut ke arah Sehun. Ia menyenggol lengan Sehun, pria itu tidak merespon dan tetap pada posisinya. Kalau boleh jujur, Sehun walaupun ketika marah kadang menyeramkan, di sisi lain si pria dapat juga menggemaskan di mata Mikyung.

“Oh ayolah! Kapan lagi kita bisa berlibur berdua seperti ini? Kau selalu sibuk dengan pekerjaanmu, aku bosan berada di rumah terus.”

Sehun tetap diam, tidak melirik sedikit pun pada Mikyung yang sedang mengoceh tentang betapa bosannya berada di rumah. Di lubuk hati, Sehun menjadi merasa bersalah padanya.

“Kita nikmati selagi bisa, oke?” Mikyung mengedap-ngedipkan matanya tepat di depan wajah Sehun.

Sehun yang melihat tingkah imut Mikyung menjadi tidak tahan untuk tersenyum, walaupun sebentar. Ia menjauhkan wajah Mikyung dari wajahnya.

“Kita istirahat sebentar di bangku itu,” ujar Sehun sembari menarik tangan Mikyung untuk duduk di bangku taman yang letaknya tidak jauh dari mereka.

“Sehun?” Panggil Mikyung, Sehun menoleh.

Tidak bermaksud untuk apapun, Mikyung beringsut ke arah Sehun lalu memeluk lengan pria itu.

“Ada apa? Kau kedinginan?” Tanya Sehun.

Mikyung menggeleng, “Apa kau pernah merasakan cinta pertama?” Tanyanya.

Sehun tak langsung menjawab, melainkan berpikir sejenak. Dalam hidupnya, cinta tidak terlalu penting. Selama menginjakkan kaki di sekolah menengah atas, Sehun tidak begitu tertarik dengan yang namanya cinta ketika anak-anak seusianya sibuk mencari kekasih.

“Tidak,” jawab Sehun.

“Kenapa?” Tanya Mikyung.

“Karena aku tidak tertarik.”

Mikyung mengangguk, tipe pria seperti Sehun bukan tipe yang akan mudah untuk jatuh cinta.

“Dulu aku pernah punya cinta pertama. Dan dia juga merebut ciuman pertamaku,” ujar Mikyung. Berhasil menarik perhatian Sehun. “Tapi, setelah 1 tahun sebagai sepasang kekasih, kami putus,” sambungnya.

“Ciuman pertamamu?” Tanya Sehun, sedikit jijik.

“Memangnya kenapa? Lagipula aku tidak menyesal memberikan ciuman pertamaku padanya. Dia lelaki baik dan tampan,” jawab Mikyung.

“Cih, murahan sekali. Apa semudah itu kau jatuh cinta?” Olok Sehun.

Mikyung melirik Sehun tajam, “Kau menghinaku, ya?” Tuduhnya.

Sehun tampak tak acuh, ia menyenderkan tubuhnya di kepala kursi sembari melipatkan kedua tangannya di dada, lalu berkata. “Hal yang paling mudah di dunia ini adalah dikecewakan orang lain. Bahkan setelah menyukai seseorang dari penampilan luarnya, pasti ada saja yang membuat kita kecewa. Begitulah manusia.”

Mikyung mencibir, “Seakan-akan kau sudah sangat sering dikecewakan.”

“Aku memang sering dikewacakan orang lain. Well, tidak ada orang yang bisa mengatasi rasa kecewa. Karena itu, mencintai seseorang dengan tulus adalah hal tersulit.” Terang Sehun.

Semua orang pasti pernah merasa kecewa. Bagaimanapun bentuk dari kecewa itu sendiri.

Mikyung yang dari awal tidak sepemikiran dengan Sehun mengelak, “Menurutku memcintai seseorang itu mudah,” ujarnya. Menarik perhatian Sehun.

“Walaupun aku berusaha untuk tidak mencintai, tapi aku tidak bisa menahan rasa cinta itu. Seberapa besar rasa kecewaku nanti, aku tidak bisa berhenti untuk mencintai. Bagiku, cinta mengatasi segala sesuatu yang orang lain tidak tahu.” Lanjut Mikyung.

Sadarkah Mikyung ketika dirinya mengatakan perkataannya tadi, ia mengisyaratkan sesuatu dari pancaran iris teduhnya pada Sehun yang menatap.

Dada Mikyung berdegup kencang. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Namun, ia rasa ia seperti baru saja mengungkapkan perasaan cintanya pada seseorang.

Sehun tidak melepaskan tatapannya dari Mikyung, “Apa kau mungkin sedang mencintai seseorang saat ini?”

-oOo-

To Be Continue

TINGGALKAN JEJAK SETELAH MEMBACA!!!

#Thanks

Terima kasih banyak buat readers yg udah setia nungguin ff ini:)


Viewing all 4828 articles
Browse latest View live