Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Nobody’s Home (Chapter 1)

$
0
0

PicsArt_1437367645031

“Nobody’s Home”

Cast (main):ByunBaekhyun, Park Chanyeol

Anothercast: Do Kyungsoo, Kim Jongin, Lu Han

Rated T

Genre: Angst/drama

Length: Chaptered/threeshots. [4,4k words for chapt1]

Warning: Character’sdeath, BL/slight/

CreatedBy: Aitalee

Chapter 1

“Seseorang dengan senyum yang indah berkata padaku, bahwa jika kau membuat seribu burung kertas, maka hal yang kau harapkan akan terkabul.”

.

Angin musim panas berhembus pelan, menembus dinding tipis apartemen dengan cat putih yang mulai memudar. Hembusannya menerbangkan beberapadedaunan kering yang sudah terlalu rapuh untuk menggantung di ranting. Kilauan bintang malam setia mengiringi sang rembulan agar cahayanya bersinar lebih indah. Sesekali terdengar deru suara mesin kendaraan bercampur dengan suara lolongan anjing liar yang menggema di sudut-sudut pemukiman.

Seorang pria sedang meringkuk di balik selimutnya, berusaha membarikade dirinya dari belaian angin malam yang berusaha menggapai kulitnya. Di eratkan selimut usang itu di atas tubuhnya, dia terus saja mengubah posisi tidurnya agar keseluruhan tubuhnya tertutupi selimut. Namun usahanya sia-sia, dingin masih bisa menyentuh kulitnya.

Park Chanyeol namanya. Sedari tadi ia terus saja berkelahi dengan hawa dingin. Dinding apartemennya yang tipis enggan membantunya. Padahal sudah masuk musim panas, namun angin malam yang bertiup masih saja terasa dingin.

Chanyeol menyingkap selimutnya, ia duduk di tepi ranjang lalu berdiri, berjalan menuju sweater yang ia gantung di balik pintu, meraihnya lalu memakai baju tersebut. Kala ia ingin kembali tidur, ekor matanya menangkap jendela apartemennya yang belum tertutup sempurna. Rupanya hal itu yang membuat udara di apartemen miliknya begitu dingin. Saat ia hendak menutup jendela, matanya menangkap cahaya dari ruangan sebelah, jendelanya dibiarkan terbuka lebar oleh si pemilik dan lampunya pun masih dinyalakan.

Rupanya tetangga baru, pikir Chanyeol sejenak. Kamar di sebelah apartermennya rupanya sudah diisi.

Lalu ia menutup jendelanya, maniknya bergerak melirik jam. Chanyeol sedikit menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas jarum jam menunjuk angka berapa, karena lampu kamarnya sudah dimatikan dan dirinya hanya mengandalkan sinar dari lampu tidur mungil di meja yang sinarnya hanya menjangkau tak lebih dari setengah ruangan.

Jam 2 am.

Orang macam apa yang sanggup terjaga sampai jam dua pagi, apalagi ini hari ini sudah masuk hari Senin dan besok pastinya adalah waktu yang sibuk.

Ah, peduli apa.

Chanyeol pun kembali berbaring di kasurnya lalu menutup dirinya dengan selimut. Sembari menggosok-gosok kedua telapak tangannya, ia memejamkan mata sambil perlahan mengatur nafasnya.

*

Kebanyakan waktunya ia habiskan untuk bekerja sekedar mencari sesuap nasi, dari hari Senin sampai Sabtu, waktu liburnya hanya pada hari Minggu. Chanyeol memiliki dua pekerjaan—,itu sebelum ia mencari pekerjaan lagi. Dari jam setengah sembilan pagi sampai jam dua siang, ia bekerja sebagai kasir di sebuah toko buku. Sedangkan dari jam tiga sampai sembilan malam, ia bekerja sebagai pelayan di restoran cepat saji. Tak ada yang menarik dari hidupnya, Chanyeol hanyalah seorang laki-laki biasa dengan pekerjaan rendah, dengan tubuh tinggi dan wajah yang terbilang tampan.

Kau tahu? Terlalu banyak melihat deretan buku dan antusiasme pembaca di toko buku tempatnya bekerja, kadang membuat Chanyeol sedikit termotivasi untuk menulis sebuah karya, ya walau motivasi itu sering kali datang dan pergi begitu saja.

***

“Dua meter yang memisahkan dunia kita yang berbeda, membuat lubang keheningan yang terbentang di bawah kaki-kaki kita.”

Shift bekerjanya di toko buku sudah berakhir. Seharusnya setelah ini Chanyeol kembali bekerja, namun restoran tempatnya bekerja tutup sementara untuk satu Minggu. Itu artinya keuangannya untuk bulan depan terancam karena gaji yang dipotong karena libur. Tapi,Chanyeol terlalu malas untuk mencari pekerjaan yang lain dan ia lebih memilih menghabiskan waktu luangnya selama seminggu ini untuk mencoba menulis sebuah naskah novel di apartemen kecilnya.

Ia memutuskan untuk langsung pulang ke apartemennya guna mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

Sebuah gedung apartemen dengan enam lantai, sepuluh kamar untuk tiap lantai. Gedungnya sudah tua termakan waktu, karena itu harga satu kamar apartemen ini terbilang murah. Hal seperti ini yang cocok untuk seorang dengan pekerjaan tak menentu seperti Chanyeol.

Dengandindingbercat merah bata dan pohon Tabebuya putih di halamannya, cukup membuat suasana rindang. Apalagi ada taman kecil yang sengaja dibuat oleh pemilik apartemen di sampingnya. Maklum, si pemilik adalah seorang wanita paruh baya sebatang kara yang senang dengan suasana rindang. Si pemilik bahkan seringkali membawakan beberapa makanan ataupun minuman untuk orang-orang yang tinggal di sini. Berkumpul di lantai paling dasar sembari menyalakan api unggun diwarnai gelak tawa kecil.

Saat ia berjalan menaiki tangga, bahunya menubruk seseorang. Atau, lebih tepatnya seseorang menabrak bahunya, dengan sengaja, sepertinya. Chanyeol berjengit, kepalanya menoleh kepada si pelaku. Ternyata hanya seorang remaja yang masih memakai seragam SMA. Ia memaki, anak SMA berhenti dan menatap dirinya sejenak.

Berpisah di antara enam anak tangga, dua meter yang memisahkan mereka, hanyutnya keheningan seiring berjalannya waktu. Dua pasang manik itu saling mencoba menusuk pupil mata tanpa adanya sepatah kata keluar dari bibir keduanya. Kecanggungan yang diliputi keheningan yang membentang di antara kaki-kaki mereka membuat waktu seolah melambat, udara terasa berat dan hendak menimpa mereka. Lalu, yang lebih muda akhirnya berpaling dan melanjutkan menapaki turun tangga, membuat Chanyeol terdiam sejenak sebelum akhirnya beberapa kata makian keluar dari mulutnya.

“Cih, dasar bocah sialan. Apa dia tidak diajari sopan santun terhadap orang lain?” ia mendengus kesal, namun kakinya terus menapaki tangga.

Namun saat dirinya berjalan di koridor, matanya menangkap sebuah kamar dengan pintu yang terbuka lebar. Karena penasaran, Chanyeol mendekati kamar itu yang kebetulan berada di samping kamar miliknya.

Ah, gelap sekali. 

Nampaknya, si pemilik kamar ini tidak membiarkan satu pun celah untuk cahaya terbuka, termasuk ventilasi. Jendela berikut ventilasi di kamar ini ditutup rapat oleh lembaran kertas berwarna hitam.

Chanyeolberdecih, meraih gagang pintu itu dan menutupnya lalu ia lanjut berjalan menuju apartemennya yang terletak tepat berada di sebelah.

Saat Chanyeol sedang merogoh saku jaketnya untuk mencari kunci kamarnya, ekor matanya menangkap seseorang yang sedang menatapnya. Ia menoleh, rupanya anak SMA yang tadi, sedang berdiri di depan pintu kamar apartemen yang baru saja ia tutup. Chanyeol bisa menebak dengan jelas bahwa orang ini merupakan penghuni baru kamar sebelah yang sebelumnya kosong.

Lalu, dengan rasa bangga, ia berkata, “jika kau bertanya-tanya siapa yang menutupnya, itu aku. Lain kali jangan tinggalkan kamarmu dengan pintu terbuka. Tidak usah bilang terima kasih, aku orang yang baik.”

Dia mengacuhkan Chanyeol, dan lebih memilih untuk memasuki kamar apartemennya. Lalu, beberapa detik kemudian, anak itu keluar lagi membawa kantung plastik hitam kecil di tangan kanannya. Menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan suara bedebum.

Chanyeol makin kesal dibuatnya, ia membuka pintu apartemennya dengan kasar lalu menutupnya lagi tak kalah keras dari sebelumnya.

Apartemen sederhana dengan hanya tiga ruangan, kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Catnya putih dan dindingnya polos tak dihiasi apapun. Suasana sunyi yang meluluhkan. Hanya suara kicauan burung di luar jendela yang hinggap di dahan pohon Tabebuya yang meraih daun telinganya.Chanyeol membuka jaketnya, melemparnya asal lalu merenggangkan badannya yang memang lelah.

Ia berjalan menuju meja di sebelah ranjangnya, menyalakan laptop yang ada di atasnya, lalu jari-jemarinya mulai menari di atas keyboard.

Jemarinya agak pegal, Chanyeol berhenti sejenak lalu melirik ke sudut ruangan, itu Matilda, gitarnya. Ah, tiba-tiba ia teringat akan lagu yang sedang ia buat. Chanyeol menggelengkan kepalanya, kali ini ia harus serius akan naskahnya. Mungkin lusa ia akan melanjutkan menulis lagu, itu pun kalau suasana hatinya sedang baik seperti satu bulan yang lalu saat ia masih gencar menulis lagu.

Kepalanya kembali menoleh pada layar yang masih menyala terang. Hanya beberapa halaman dan satu deret judul yang sengaja di format dengan huruf lebih besar dan tebal. Chanyeol tersenyum sejenak setelah membaca hasil karyanya dari minggu-minggu yang lalu. Jemari-jemari panjangnya dengan gesit menekan keyboardlaptop miliknya, melanjutkan roman picisan karyanya.

Suara gesekan antara ujung jari jemari dan keyboard membunyikan melodi asal yang acak, sesekali diselingi suara Chanyeol yang menguap dan suara decitan bangku yang bergesek dengan lantai. Binar keantusiasan akan apa yang akan ia ketikkan terlihat di bola matanya, sesekali bibirnya membentuk senyum kepuasan setelah ia membaca ulang paragraf-paragraf yang ia tulis. Chanyeol memang orang yang pandai menghibur dirinya sendiri.

Dua jam kemudian, Chanyeol sudah terlelap beralaskan kedua lengannya yang terlipat di atas meja dengan laptop yang masih menyala. Dengkuran halusnya berdesir bercampur dengan udara, membias bersama nafasnya di ruangan ini.  Langit biru cerah, perlahan berganti dengan warna Jingga dari membiasnya cahaya matahari sore dengan atmosfer bumi.

Pukul sebelas malam, Chanyeol mendengar sayup-sayup suara dentuman musik yang mengusik tidurnya. Merasa terganggu akan suara berisik yang menyapa telinganya, Chanyeol akhirnya menyerah dan membuka matanya. Ia jengkel lalu beranjak bangun dari tidurnya untuk mencari sumber suara.

Sambil merenggangkan badannya yang agak sakit karena posisi tidurnya yang tidak benar, ia mengusap kedua matanya dengan tangan. Saat matanya sedang beradaptasi, dinding di sebelahnya sedikit bergetar. Dan suara berisik itu makin menjadi. Jari jemarinya meraba dinding, mencari tombol lampu untuk mendapatkan kamar yang terang.

Saat cahaya lampu memenuhi ruangan, Chanyeol berjalan ke dinding yang bergetar itu lalu memukul-mukul dinding dengan tangannya sambil berteriak meminta agar suara musik yang berisik itu segera dimatikan.

Suara musik rock itu perlahan mengecil, namun dua detik kemudian kembali keras seperti sebelumnya. Chanyeol makin kesal dan ia kembali berteriak diselipi makian yang keluar begitu saja dari bibirnya. Dan, beberapa detik kemudian musiknya mati. Namun berganti dengan suara tawa yang sengaja dikeraskan. Lalu, suara musik kembali di keraskan.

Chanyeol pun naik pitam, hilang sudah rasa kantuknya. Ia pun bergegas keluar untuk meluapkan amarahnya kepada orang sialan di sebelah kamarnya yang sudah mengusik tidurnya.

“Buka pintumu!” teriak Chanyeol sambil menggedor pintu kayu di hadapannya tanpa ampun, suaranya menggema di koridor yang lenggang dengan lampu yang berkedip-kedip, menciptakan suasana mencekam layaknya sepatahscene di film horror.

Tidak ada yang menyahut, hanya suara musik yang terdengar.

Sekali lagi ia berteriak agar orang di dalam membuka pintu sialan ini. Namun, lagi-lagi hanya suara musik yang terdengar, kali ini makin keras. Beruntung orang-orang yang menempati lantai ini rata-rata bekerja malam hari, dalam kata lain, hanya dia yang terganggu dengan tetangga baru yang merepotkan di sini.

Chanyeol mulai tak sabar, tidak mau diperlakukan tak sopan oleh orang baru. Namun, saat Chanyeol memasang ancang-ancang untuk mendobrak pintu, pintu kayu itu terbuka menampakkan seorang remaja laki-laki yang masih memakai seragam SMA dengan wajah kusut dan rambut cokelat terang yang acak-acakkan.

“Apa?” bocah itu menyalak, wajahnya menampakkan ekspresi dingin. Sudut bibirnya terluka, menyisakan sedikit darah yang sudah mengering, di pipi kanannya terlukis luka lebam keunguan.

“Kau lagi rupanya. Kau ini anak SMA tapi tidak punya sopan santun, matikan musik bodohmu, itu mengganggu!” Chanyeol bersedekap, memasang wajah cuek, walaupunsebenarnya ia sedikit ingin tahu mengapa siswa SMA di hadapannya ini terlihat seperti habis berkelahi. Lalu, ia pun bertanya, “dan, apa kau habis berkelahi?”

Remaja itu menutup pintunya sambil memutar kedua bola matanya, namun sebelum pintu itu tertutup sempurna, Chanyeol berhasil menahan pintunya.

“Jaga sikapmu, bocah.”

Mereka saling bertatapan dengan pandangan datar sebelum akhirnya yang lebih muda malas untuk balas menatap dan membiarkan pintunya terbuka lebar. Ia malah berjalan acuh mengabaikan Chanyeol yang masih memegang gagang pintu dengan amarah yang ditahan sebisanya.

Awalnya Chanyeol hendak memukul anak SMA ini, namun melihat kondisi kamar ini yang acak-acakan serta penampilan anak ini sudah acak-acakan pula, Chanyeol mengurungkan niatnya. Matanya bergerak kesana-kemari menyapu seluruh ruangan yang terasa lembab dan dingin.

Hanya ada satu matras dengan selimut kusut tergeletak di lantai dan sebuah nakas kecil dengan beberapa kaleng soda di atasnya serta sebuah player musik berwarna hitam tergeletak di atas matras. Di dinding, terpasang tiga poster bergambar sebuah girlband ternama dengan posisi miring dan salah satu posternya robek dari atas sampai tengah. Di lantai, berserakan beberapa buku, kertas, tas gendong, kaus kaki, tiga cup ramen kosong, serta burung kertas. Satu yang menarik perhatiannya adalah banyaknya burung kertas yang berserakan di lantai.

“Sudah kumatikan, berhenti melihat kamarku dan pergilah selagi pintu masih terbuka lebar. Jika kau lupa di mana letak pintunya, silahkan berbalik dan kau akan melihat pintu terbuka lebar.”

.

Terhitung hari ketiga semenjak Chanyeol mendapatkan tetangga baru seorang bocah SMA yang selalu saja memutar musik keras-keras di malam hari, dan sudah dua kali Chanyeol rela pergi dari kamarnya hanya untuk berteriak kepada anak itu. Dan ini hampir tengah malam, ia belum mendengar suara bising dari sebelah kamarnya, cukup mengherankan mengingat apa yang terjadi setiap malam dua hari terakhir ini. Ketika ia hendak tidur, Chanyeol mendengar suara samar-samar dari balik dinding. Ketika ia menajamkan pendengarannya, ia yakin bahwa itu adalah suara isakan tangis.

Hal ini sungguh seperti adegan di film horror. Namun ia menepis opini itu ketika otaknya mengingat seorang anak SMA yang tinggal di sebelah apartemennya. Bernama, ByunBaekhyun. Ia makin penasaran akan bocah ini.

Sore tadi. Adaorang asing yang memperkenalkan dirinya sebagaiKyungsoo, mengetuk pintu apartemennya saat ia hendak meraih gitarnya, Matilda. Dengan tas kecil beserta koper berukuran sedang yang ia bawa, Kyungsoo meminta Chanyeol untuk memberikan itu semua kepada tetangga di sebelah rumahnya. Karena saat Kyungsoo sendiri yang mengetuk pintu apartemen di sebelah, ia ditolak mentah-mentah oleh sang empunya padahal Kyungsoo adalah temannya sendiri.

Jadi, Chanyeolmengiyakan. Bahkan ia mau-mau saja saat Kyungsoo meminjam ponselnya, saling bertukar nomor telepon untuk hal-hal yang mungkin tidak diinginkan terjadi.

Chanyeol menghela nafas, setiap denting jarum jam membuat waktu melambat seakan ini adalah detik-detik terakhir dunia. Sebelum dirinya gila akan kebosanan yang menggerogoti harinya, Chanyeol akhirnya meraih tas kecil yang tadi dititipkan padanya. Membukanya setelah menggumamkan beberapa kata maaf berkali-kali. Dan berakhir dengan mengernyitkan dahi karena yang ia dapatkan adalah sebuah map berisi ijazah serta surat-surat resminya. Dan, matanya pun membaca deretan huruf-huruf yang tercetak di sana.

Satu hal yang menarik dari hal ini adalah akhirnya ia bisa mengetahui nama anak SMA di sebelah apartemennya. Dia, ByunBaekhyun. Baru lulus.

.

Hari lain yang biasa, dengan awan yang bergerumul menutupi sang surya di pagi hari, dan kemudian pada siang harinya, gerombolan awan tersebut tertiup angin menghilang dari langit kota Seoul. Menyebabkan teriknya cahaya matahari menghantam bumi. Kumpulan anak kecil sedang tertawa di taman kota, didampingi dari jauh oleh orang tua mereka yang tersenyum simpul melihat kelakuan anak-anak mereka.

Chanyeol mengagumi saat ia melihat seorang Ibu atau Ayah dengan sabar mengurus anaknya yang rewel. Ia tersenyum, sesekali tersenyum dan melambai pada anak kecil yang melihatnya saat ia melewati taman kota. Rupanya libur kerja untuk satu Minggu bukanlah hal yang buruk. Masih hari keempat dan ia masih memiliki tiga hari lagi untuk libur dari pekerjaan keduanya.

Saat Chanyeol sampai di apartemennya dan akan menghempaskan tubuhnya di ranjangnya, ia teringat akan barang titipan yang dititipkan padanya kemarin. Ia sempat merutuki dirinya sendiri karena lupa tidak menyerahkan barang-barang itu kemarin.

Setelah mengambil semua barang titipan di apartemennya, kini Chanyeol sudah berada di pintu apartemen itu lagi. Dengan tenang ia mengetuk pintu kayu tersebut namun tidak ada jawaban, dan saat tangannya meraih gagang pintu, seseorang berbicara dari balik punggungnya.

“Hei, sedang apa kau?” Chanyeol berbalik, mendapati seseorang yang tinggal di apartemen yang pintunya ia buka tanpa izin sedang menatapnya tajam.

“Byun….Baekhyun?”

Baekhyun menautkan alisnya tak senang. Dirinya heran bagaimana manusia tinggi ini bisa tahu namanya, karena bahkan saat kemarin-kemarin mereka berbicara atau lebih tepatnya saling berteriak satu sama lain, mereka tidak menyebut nama sama sekali. “Bagaimana bisa kau tahu namaku?”

Well, kenalkan, aku Park Chanyeol tetangga—“

“Aku tidak suka basa-basi.”

Chanyeol berdecak, memasang ekspresi tersinggung karena perkenalan formalnya di potong oleh kata-kata ketus dari bibir si pendek. “Kau tahu, tetangga tidak seharusnya begini. Aku baik-baik datang padamu untuk memberikan titipan.”

“Dari?” Baekhyun menaikkan sebelah alisnya, tangannya terulur begitu saja untuk mengusap luka yang terasa gatal di ujung bibirnya.

Chanyeol terdiam sejenak untuk mengingat sebuah nama. Nama satu-satunya orang yang mengetuk pintu apartemennya kemarin, setelah mendapatkan apa yang ia gali dari ingatannya, dia tersenyum. “Seseorang bernama Kyungseo,”

“Kyungsoo maksudmu?”

“Ah, iya.” Balasnya kikuk.

Kemudian, hening menjeda percakapan mereka untuk tiga puluh detik. Selama itu, denting jarum jam seakan melambat dan melamban. Namun, sebelum mereka tertelan keheningan abadi, Chanyeol berdehem, membebaskan mereka dari belenggu kecanggungan yang begitu mengerikan.

“Maaf, tidak usah.” Ekspresi Baekhyun berubah, ia menggerakkan tangan kanannya untuk menyingkirkan Chanyeol dari depan pintunya.

Chanyeol menyingkir dari depan pintu, membiarkan Baekhyun masuk ke apartemennya. Kemudian, tanpa sungkan, ia melangkahkan kakinya ke dalam. Mendapatkan tatapan galak dari sang empunya, tapi dia hanya mengangkat bahu tak peduli.

“Kenapa kau masuk?”

“Hanya untuk memberikan titipan, itu saja dan jika kau menerimanya, aku akan pergi.” Chanyeol melepaskan gagang koper yang sedari tadi ia genggam, kemudian ditaruhnya tas beserta amplop di atas koper itu. “Aku sudah bilang iya padanya, jadi aku harus menepatinya.”

“Baiklah, bisakah kau keluar?” Baekhyun memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan amarahnya, tangannya kirinya terjulur menunjuk pintu di belakang Chanyeol.

“Apa kau tidak mengundang tetanggamu masuk untuk sekedar duduk dan minum kopi?” Chanyeol berjalan mendekat, namun telapak kali besarnya tanpa sengaja menginjak burung kertas yang dibuat dari potongan kertas koran. Ia mendapat tatapan galak dari pembuatnya.

“Maaf, aku tidak punya sopan santun untuk hal seperti itu. Jadi keluarlah.” Nada bicaranya terdengar datar, lagi-lagi Chanyeol bisa melihat luka di sudut bibir Baekhyun, di pipi kanannya juga terdapat goresan luka yang sepertinya masih baru.

Chanyeol mengalah, ia berjalan ke luar lalu menutup pintu sebagai sopan santun.

Baekhyun menghela nafasnya berat. Ia berjalan menuju barang-barang dari Kyungsoo. Pertama ia meraih amplop putih yang diselipkan di salah satu kantung tas lalu membukanya. Ia mendapati beberapa lembar uang won. Lalu meraih tas hitam kecil itu dan membukanya, di sana ada sebuah map, Baekhyun membukanya dan ia tersenyum miris.

Baekhyun menghela nafas lalu meraih koper kecil dan membukanya, mendapati isi kopernya adalah beberapa baju miliknya, ia menundukkan wajahnya. Baekhyun meringis, lalu meraih secarik kertas yang tertempel di luar koper itu lalu membacanya.

Jaga kesehatanmu baik-baik.

Dia tersenyum tipis. Namun, tetap, dalam hatinya, Baekhyun bertekad tidak akan kembali menoleh pada masa lalunya.

Saat Baekhyun hendak merebahkan tubuhnya di matras, seseorang mengetuk pintunya. Ia segera menghampiri pintu karena suara yang memanggilnya dari luar merupakan suara pemilik apartemen yang sudah tua. Setidaknya dia masih punya rasa hormat kepada orang tua.

.

Suasana hangat bak teh di pagi hari memenuhi ruangan dengan suka citanya, lima belas orang dengan usia berbeda sedang bercengkrama sesekali bergurau. Hari ini, sebagaimana kebiasaan Nenek Sachi, si pemilik apartemen, setiap sebulan sekali setidaknya beberapa penghuni apartemen kuno miliknya harus berkumpul untuk mencicipi hidangan yang ia buat. Nenek Sachi merupakan wanita keturunan Jepang yang menikah dengan orang Korea, sayangnya suaminya telah meninggal terlebih dahulu.

Ia senang memasak hidangan dari negeri asalnya, lalu membagikannya ke orang lain untuk bersama merasakan kebahagiaan dari hatinya. Dan kali ini ia memasak Nabe dengan berapa hidangan kecil ditemani teh hijau yang wajib ada di setiap acara seperti ini.

Kebanyakan penghuni apartemen ini adalah pekerja kantoran, jadi saat ini, hanya sebagian dari penghuni apartemen yang hadir, karena yang lain, masih mempunyai shift bekerja.

Adalah Kim Jongin dan LuHan, yang sedang tertawa senang bersama Chanyeol. Berbagi cerita konyol yang mereka alami beberapa hari belakangan. Chanyeol sangat senang saat ada orang yang bicara padanya, terlebih lagi itu adalah Jongin dan Luhan temannya—yang notabenenya merupakan pekerja kantoran yang sibuk dan sering lembur, ia melepaskan tawanya dengan bebas saat Jongin bercerita, berkali-kali memukul punggung Luhan yang ada di sampingnya.

Saat Chanyeol menjeda tawanya untuk menghirup udara, ia menangkap sosok Baekhyun dari balik kaca di sisi dinding dengan ekor matanya, sedang duduk di kursi yang ada di luar dan kebetulan dekat dengan jendela. “Hei, kau tahu anak SMA yang menghuni kamar di sampingku?”

Jongin yang hendak meneguk teh hijau miliknya, berhenti sejenak untuk meresponChanyeol dengan gelengan kepala, di sampingnya terdapat Luhan yang juga menggelengkan kepalanya dengan mulut yang penuh dengan kue kering yang sedang ia kunyah.

“Anak SMA itu menyebalkan sekali, dan hampir setiap hari ia menyetel musik hardrock dengan kencang-kencang. Alhasil, aku selalu terganggu saat akan tidur.” Chanyeol menoleh sebentar pada sosok Baekhyun yang masih setia duduk sendiri di sana. Karena penasaran, Luhan dan Jongin mengikuti arah pandang Chanyeol.

“Aku tidak tahu ada SMA dekat sini. Mengapa anak itu menghuni apartemen ini?” Luhan menimbang-nimbang lalu menatap Chanyeol yang hanya mengangkat bahunya acuh.

“Mungkin saja ia kabur.” Perkataan Jongin barusan membuat Luhan dan Chanyeol menoleh pada sumber suara, mereka menatap Jongin dengan binar wajah penuh tanya. Jongin pun menghela nafas dan mulai berbicara spekulasi-spekulasi akan apa yang terjadi dengan anak SMA yang pindah ke apartemen yang bahkan tidak dekat sekalipun dengan gedung SMA manapun.

“Ah, aku baru ingat dia sudah lulus. Kemarin temannya menitipkan barang-barangnya padaku.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Chanyeol mengambil gelas teh hijau miliknya lalu menyesap sedikit.

Karena tidak mendapatkan kalimat lanjutan dari Chanyeol, Luhan bicara, “hei, sepertinya cerita ini akan menarik. Coba ceritakan pada kami.”

Dan begitulah malam ini berlalu hingga jarum jam menunjuk angka dua belas bersamaan bagi mereka bertiga. Menduga-duga tentang seorang remaja yang baru saja lulus SMA pindah di sebelah apartemennya bersama Luhan dan Jongin. Pikirannya pun melayang membayangkan beberapa adegan di film yang menyebabkan si tokoh utama kabur dari rumah.

Saat jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dinihari, Chanyeol segera menghapus semua bayangannya akan anak SMA itu—Baekhyun. Lampu kamar yang biasanya ia matikan, pun diabaikan karena ia terlalu malas beranjak dari ranjang. Seiring dengan detik jarum jam yang kian menggema, Chanyeol akhirnya jatuh ke alam mimpinya, mengistirahatkan seluruh indera tubuhnya sebagaimana seharusnya.

_**_

“Kau bertanya tentang hal yang membuat benteng ini rapuh, maafkan aku telah berteriak dan maafkan aku sudah merusak pertemuan ini yang seharusnya membuat kita lebih cepat bertaut.”

.

Pertemuan mereka selanjutnya adalah saat Chanyeol sedang menuruni tangga untuk membeli beberapa keperluan di toko terdekat. Lagi-lagi, Baekhyun menabraknya dengan kasar, kali ini dari belakang dan ia tidak memaki melainkan memperhatikan gerak-gerik Baekhyun yang menuruni tangga dengan ceroboh.

Saat Baekhyun hendak menapaki anak tangga selanjutnya, ia oleng hingga terjatuh menubruk dinding tangga lalu berakhir dengan dirinya yang jatuh telentang di dasar tangga, untung saja ini lantai dasar. Chanyeol panik, ia mempercepat langkahnya untuk menggapai Baekhyun. Saat mengguncangkan tubuh lelaki yang lebih muda, Chanyeol mencium bau alkohol bercampur dengan bau anyir darah. Segera ia menduga Baekhyun adalah sumber dari itu.

“Kau minum!” Chanyeol membentak, dan saat ia melihat telapak tangan Baekhyun yang terluka mengeluarkan darah, ia tercekat. Baekhyun hanya membalas dengan gumaman tidak jelas.

Chanyeol yang sudah terlibat dengan urusan ini, mengurungkan niatnya untuk pergi. Dengan kesusahan, ia memapah tubuh Baekhyun yang setengah sadar sambil terus memaki. Entah karena apa, mungkin karena lift yang rusak sehingga ia harus menaiki tangga hingga ke lantai lima.

Dibukanya untuk kesekian kali pintu Cokelat itu tanpa izin sang pemilik. Chanyeol di sambut dengan ruangan gelap dengan bau alkohol yang bercampur dengan udara. Ia mendengus lalu satu tangannya bergerak meraba dinding, mencari sakelar lampu lalu menyalakannya. Segera ia membaringkan Baekhyun di matras tipis itu.

Chanyeol berkata ia akan mengambil kotak P3K di kamarnya yang hanya dibalas dengan erangan kesakitan Baekhyun akan tangannya. Sebelum ia keluar dari kamar ini, Chanyeol mengambil botol minuman yang baru habis seperempatnya. Berencana untuk menyingkirkan botol beserta isinya itu jauh-jauh.

“Mana minumanku?” itulah pertanyaan yang menyambut Chanyeol saat ia kembali menapaki kamar ini. Baekhyunsedang duduk di tepi matras dengan wajah tak karuan.

Chanyeol membentak lagi, ia menyuruh Baekhyun untuk diam saat ia akan mengobati luka di tangannya. Sambil terus berceramah tentang tidak baiknya minuman beralkohol untuk manusia, jemari panjangnya dengan cekatan membersihkan luka Baekhyun dan mencabut sekeping kaca yang terselip di antara lukanya.

Saat dirinya berhenti bicara dan hanya suara nafas mereka yang terdengar. Chanyeol diam-diam memperhatikan bagaimana rapuh dan rampingnya kedua telapak tangan serta jemari Baekhyun saat ia pegang. Sangat kurus dan lembut layaknya jemari seorang wanita. Dirinya segera membalut tangan rapuh itu dengan perban putih, gerakannya sangat hati-hati seperti merawat seorang bayi. Balutan perban putih perlahan memerah di tengah karena sedikit darah yang merembes.

Chanyeol membereskan peralatannya saat ia sudah selesai. Kemudian, hening menangkap mereka. Sungguh tak nyaman dan membuatmu ingin membanting dirimu sendiri.

“Masih pusing?” suara yang berat sedalam palung itu menggema di antara permukaan dinding.

“Bisakah kau keluar? Aku ingin istirahat.” Baekhyun merebahkan tubuhnya di matras, matanya ia tutup dengan lengannya karena lampu yang begitu silau.

“Tidak sebelum kau menceritakan apa yang terjadi.” Chanyeol berdiri menatap Baekhyun, ia sedikit berjalan kesana-kemari saat menunggu Baekhyunmerespon.

Dan saat kaki kanannya menapaki lantai untuk ke sekian kalinya, ia memekik kesakitan. Sebuah pecahan kaca menembus kulitnya. Chanyeol memekik kesakitan. Dilihatnya area yang ia injak dan di situ terdapat beberapa pecahan kaca lagi yang berserakan.

“Hati-hati saat berjalan, ada pecahan kaca di lantai.”

“Wow, terima kasih. Itu sangat membantu. Serius.” Chanyeol mengangkat kaki kanannya, lalu mencabut pecahan kaca berukuran sedang itu dari telapak kakinya. Membuat darah menetes dari luka yang menganga.

“Kau mengotori lantaiku.” Matanya menatap datar tetes darah yang perlahan membentuk genangan kecil di lantainya, terlihat kelabu yang terhampar di tatapannya.

“Aku terluka karena kecerobohanmu, setidaknya ucapkan kata-kata khawatir dari bibirmu itu.” Ia berjalan pincang mendekati Baekhyun lalu duduk di sampingnya, membersihkan luka dari pecahan kaca yang ia injak dengan peralatan dari kotak P3K yang ia bawa.

Butuh empat puluh dua menit bagi mereka untuk saling mengobrol ringan tanpa saling berteriak satu sama lain, setelah Chanyeol membersihkan luka di telapak kakinya, pastinya. Layaknya sifat alami dari keduanya serta sifat Chanyeol yang gemar berbicara, mereka bercengkrama walau kebanyakan suara Chanyeol yang memenuhi ruangan ini.

“Untuk apa kau membuat burung kertas?” tangan kanannya meraih sebuah burung kertas berwarna kuning yang tergeletak di lantai dekat kakinya.

“Kau tahu cerita itu? Jika kau membuat seribu burung kertas, maka permohonanmu akan terkabul.” Jawabnya.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya Chanyeol tertawa, mendapatkan tatapan heran dari lawan bicaranya.

“Maaf, maaf. Well, aku baru tahu ada orang yang percaya akan mitos itu. Dan, permohonan konyol macam apa yang kau minta?”

“Entahlah.. aku akan memikirkannya nanti.”

“Wow, kau sangat mengejutkan. Dan, sebelumnya aku sangat penasaran tentang hal ini. Kenapa kau menolak Kyungsoo saat ia datang ke apartemenmu?”

Dan, air wajah Baekhyun berubah kelabu, mata sipitnya tertutup seiring dadanya yang seketika sesak saat mendengar nama Kyungsoo. Karena, hal itu mengingatkannya pada ingatan yang berusaha ia hapus dari memorinya.

Denting jarum jam yang bergerak melingkar mengiringi tiap hembusan nafas kedua insan yang sedang terdiam. Saat Chanyeol merasa ia mengeluarkan kata-kata yang salah, ia memaki dirinya sendiri di dalam hati walau jauh di lubuk hatinya, ia menunggu deretan kata yang akan menjawab rasa penasarannya dari bibir tipis lawan bicaranya.

“Baekhyun?”

“Maaf, sepertinya aku butuh istirahat.”

“Tapi kau belum—“

“Peduli apa kau padaku.”

“Hah?”

“Aku bilang jangan campuri urusanku, silahkan keluar dan biarkan aku sendiri.”

“Tapi ku kira—“

“KAU HANYA ORANG ASING YANG LEWAT DI KEHIDUPANKU YANG PADA AKHIRNYA AKAN MEMBUANGKU.”

Chanyeol membulatkan matanya, terhenyak saat mendengar Baekhyun yang berteriak. Ia berdiri, menggumamkan kata maaf lalu berbalik menuju pintu keluar. Sebelum dirinya benar-benar hilang di balik pintu, ia menoleh pada Baekhyun yang sudah berbaring di matrasnya dengan kedua tangan terlipat menutupi wajahnya.

Ia mulai mengerti, anak ini kesepian dan butuh seseorang di sisinya. Saat Baekhyun berteriak, ia bisa melihat wajah yang lebih muda ikut menjerit dalam ingatan yang menyakitkan. Urat-urat di pelipisnya ikut mengencang, dan terlihat kesedihan di kedua matanya.

“Aku kira kita teman dan bisa berbagi cerita.” Pelan, sangat pelan suara Chanyeol hampir tidak menggapai telinga Baekhyun, namun masih terdengar dalam dan berat.

Ketika semuanya hening dan pintu kayu itu ditutup, Baekhyun berbalik dan meredam teriakannya di bantal.

-1 of 3-

A/N: Cerita ini pernah saya publish di web lain(ffn&AO3). Jika kalian pernah baca disana~ ya itu punya saya.



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles