Quantcast
Channel: EXO Fanfiction
Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Stupid And Crazy

$
0
0

Stupid And Crazy

Author : monicanr || Cast : Kim Jongin & Yoon Naeun (OC) || Genre : Romance, Fluff, Comedy || Length : Oneshot || Rating : Teen.

Summary : Jika menurut Yoon Naeun, Kim Jongin adalah orang paling bodoh, maka Yoon Naeun adalah gadis tersinting yang pernah Kim Jongin temui.

***

            Yoon Na Eun menutup telinga rapat-rapat saat mendengar suara pertengkaran ayah dan ibunya dilantai bawah. Ia sudah terbiasa namun saat ini ia sedang mengerjakan tugas sekolahnya dan itu sangat menganggu konsentrasinya. Naeun menutup bukunya dengan keras saat idenya sudah benar-benar buntu untuk menulis puisi sebagai tugas sekolahnya, dan semua ini gara-gara pertengkaran kedua orang tuanya yang hanya mempermasalahkan hal yang sangat sepele.

Udara malam yang dingin menembus melalui celah kecil jendela dikamar Naeun yang tertutup. Ia lalu berjalan kearah balkon kamarnya yang langsung menghadap indahnya kota Seoul dimalam hari. Naeun menengok kearah kanan rumahnya, sebuah rumah yang sama besar dengan rumahnya tampak begitu sepi.

“Kim Jongin!” Teriak Naeun mencondongkan tubuhnya untuk menatap balkon rumah sebelah—lebih tepatnya kearah kamar yang tertutup oleh tirai berwarna krem. “Hei, Kim Jongin!”

Masih belum ada respon apapun, sementara Naeun yakin lelaki itu ada dirumahnya karena melihat motor besar lelaki itu terparkir didepan garasi rumahnya. Orang bodoh mana selain Kim Jongin yang membiarkan motornya berada diluar sedangkan pintu garasi tebuka lebar untuk motor besarnya. Ya, hanya dia yang seperti itu.

“Kim Jongin, keluar kau!” Teriak Naeun semakin keras. Lalu ia tersenyum saat melihat pintu kamar itu terbuka dan menampakan sosok Jongin yang mengenakan training olah raga dan kaus tanpa lengan berwarna putih menguap begitu lebar dengan penampilan yang sangat berantakan.

Jongin mengacak rambutnya frustasi saat matanya menangkap sosok Naeun yang sedang tersenyum jahil dibalkon kamarnya. Jongin mendengus lalu berjalan kearah balkon kamar paling ujung. “Aku sedang tidur, sinting!”

Naeun semakin tersenyum lebar. Sinting dan bodoh. Dua-duanya memang sama. Kim Jongin si bodoh yang tak pernah memasukan motornya kedalam garasi atau Kim Jongin yang selalu mendapat peringkat terendah di kelas. Dan Yoon Na Eun si sinting yang selalu berteriak di balkon saat malam hari atau Naeun yang melempar batu berisi kertas tentang keluh kesahnya ke balkon rumah Jongin.

“Ini baru jam delapan malam, bodoh!” Ujar Naeun sambil menjulurkan lidahnya kemudian tertawa melihat ekspresi wajah Jongin yang benar-benar terlihat bodoh—walau, yeah ia terlihat sangat keren saat seperti itu, apalagi dengan kulitnya yang sedikit kecokelatan, membuatnya tampak… eumm seksi, yeah seksi.

“Jam delapan itu sudah malam, sinting! Lihat, langit sudah gelap dan itu artinya waktu untuk tidur.” Jongin mengusap rambutnya sambil mengusap lebar-lebar tanpa menutupnya membuat Naeun mendengus menatapnya.

“Kau tidur dari jam berapa?” Tanya Naeun masih menatap Jongin yang menyandarkan tubuhnya pada dinding luar kamarnya sambil melipat tangan di dada masih sesekali menguap lebar.

“Jam lima sore.” Sahut Jongin pendek sambil mencoba tertidur. Berharap ia bisa memiliki kekuatan untuk tidur sambil berbicara dengan gadis sinting yang berdiri depan balkon kamarnya itu.

“Bagus!” Ujar Naeun sambil tertawa lebar. “Aku rasa waktu tidurmu tadi cukup untuk menemaniku mengoborol malam ini.”

“Hah?” Tanya Jongin refleks sambil menatap Naeun sambil berkacak pinggang. “Dasar sinting! Jika kau butuh teman bicara bicara saja pada “Talking Tom” yang ada di tablet bodohmu itu!”

“Hei, bodoh, aku serius!” Teriak Naeun murka sambil menatap Jongin dengan tatapan yang seolah dapat membuat Jongin mati hanya dengan ditatap olehnya.

“Aku juga serius. Dasar sinting!” Ujar Jongin sambil hendak masuk ke kamarnya. Sebelum ia berhasil masuk ke kamarnya ia mendengar suara yang begitu memekakan telinga. Ia berbalik dengan cepat saat mendengar suara tangisan Naeun yang sangat ia kenal.

Ayah dan Ibu Naeun sedang berebut untuk membawa Naeun kebalik tubuh mereka membuat Naeun yang ada dibelakang tubuh ibunya hanya bisa menangis dan tampak frustasi. Jongin masih berdiri didepan pintu kamarnya yang terbuka sambil terdiam. Menjadi penonton dalam sebuah drama yang pasti akan mendapat rating yang sangat tinggi.

“Naeun akan ikut denganku!” Ujar Ibu Naeun sambil berusaha menyembunyikan Naeun dibalik tubuh kurusnya. Membuat Naeun hanya mampu memeluk tubuhnya sendiri sambil menangis.

“Tidak, kau tidak punya uang untuk membesarkannya. Biarkan ia ikut denganku.” Ujar Ayah Naeun sambil berusaha merebut Naeun sementara Naeun jatuh merosot didinding kamarnya. Naeun menoleh menatap Jongin yang masih mematung menatapnya.

“Jongin, bantu aku!” Ujar Naeun lirih yang mungkin sama sekali tidak dapat didengar oleh Jongin. Naeun hanya berharap angin mampu menyampaikan pesannya pada Jongin.

“Tapi kau tidak punya kasih sayang untuk membesarkannya.” Ujar Ibu Naeun sambil masih berusaha menyembunyikan Naeun. Ayah Naeun menampar Ibu Naeun dengan cukup keras membuat Ibu Naeun dan Naeun berteriak disaat yang bersamaan. Naeun menjerit sambil berusaha melepaskan tangannya yang sedang ditarik dengan paksa oleh Ayahnya sementara Ibunya jatuh terduduk sambil menangis.

“Aku tidak mau ikut Ayah!” Ujar Naeun masih sambil menangis. Jongin yang melihat itu semua merasa jika ia harus melakukan sesuatu, tapi ia masih tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Rasa kantuknya menguap entah kenapa saat melihat Naeun tersiksa seperti itu.

Jongin masuk kedalam kamarnya dan langsung menuju lantai bawah mengabaikan panggilan Ayah dan Ibunya yang sedang bersantai dilantai bawah. Ia langsung berlari kerumah Naeun dan ia berhadapan langsung dengan Ayah Naeun saat berada dipelataran rumah Naeun. Ayah Naeun menatapnya tajam sementara Jongin hampir kehilangan kata-katanya.

“Jongin!” Jongin bisa mendengar suara lemah Naeun memanggilnya lirih. Jongin melirik kesamping dan ia bisa melihat Naeun yang masih menangis dalam genggaman tangan Ayahnya.

“Kau siapa?” Tanya Ayah Naeun dingin, semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Naeun membuat gadis itu meringis kesakitan masih sambil menangis.

“A—aku Kim Jongin. Teman Naeun.” Ujar Jongin. Untuk pertama kali mengakui dirinya sebagai teman dari Naeun dalam perjalanan hidupnya. “Tolong lepaskan Naeun! Ia kesakitan.”

“Kau tidak mengerti apa-apa, bocah!” Desis Ayah Naeun sambil berusaha melewati Jongin namun tubuh kurus pemuda itu langsung menahannya membuat Ayah Naeun menatapnya marah dan hendak melayangkan pukulannya pada Jongin jika saja Jongin tidak menunjukan wajah menantangnnya.

“Pukul saja, aku tidak takut.” Tantang Jongin membuat kepalan tangan Ayah Naeun menguap sambil mendengus kesal kearah Jongin. Naeun masih diam sambil menangis dibalik tubuh besar Ayahnya. “Lepaskan Naeun, bagaimana kau bisa membesarkan Naeun jika kau menyiksanya seperti ini.”

“Sudah kubilang kau tidak tahu apapun. Dasar bocah!” Umpatan dan berbagai macam sumpah serapah yang dilontarkan Ayah Naeun tidak membuat Jongin gentar ia justru mengulurkan tangannya dan berharap Naeun akan menyambut uluran tangannya, tapi itu semua gagal saat tangan Ayah Naeun menyingkirkan tangan Jongin dengan sekali sentakan yang sangat keras membuat Jongin meringis kesakitan.

Ayah Naeun melepaskan genggaman tangannya ditangan Naeun dan langsung memukuli Jongin dengan membabi buta dan Jongin sama sekali tidak bisa membalas selain membiarkan tubuh kurusnya yang sudah tersungkruk itu meringkuk sambil berusaha melindungi kepalanya dari tendangan Ayah Naeun.

Naeun menangis tapi ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun untuk meminta pertolongan. Ia hanya berdoa dalam hati berharap keajaiban tuhan dan semuanya doanya benar-benar terkabul.

Suara sirine mobil polisi membuat Ayah Naeun menghentikan serangannya pada tubuh Jongin yang sudah benar-benar lemas dengan luka lebam disekujur tubuhnya dan darah yang keluar dari mulutnya. Polisi membuka pagar rumahnya yang tidak tertutup meminta semua orang yang ada disana untuk mengangkat tangannya. Naeun tidak menurut dan ia langsung berjalan kearah Jongin yang benar-benar tidak berdaya dan menatapnya dengan mata yang sayu.

“Tuan Yoon Sanghee, Anda ditangkap atas tuduhan penipuan terhadap JY Group.” Ujar salah seorang polisi sambil menodongkan pistol sementara seorang polisi lainnya memborgol tangan Ayah Naeun. Ayah Naeun tidak berkutik sementara Naeun masih tampak memegangi wajah Jongin yang babak belur.

“Jongin!”

Ayah dan Ibu Jongin berlari kearah anaknya yang terbaring lemah diatas tanah dengan luka lebam disekujur tubuhnya. Ibu Jongin bahkan sudah mulai menangis sambil menarik ujung kemeja Ayah Jongin.

“Ada apa ini?” Tanyanya sambil sesenggukan dan menatap Naeun meminta penjelasan sementara Naeun hanya mampu menggeleng lemah tak mampu mengucap sepatah katapun. “Katakan padaku, apa yang terjadi?” Tanya Ibu Jongin hampir membentak sementara Ayah Jongin mencoba keras untuk menenangkan istrinya.

“Apakah ia baik-baik saja?” Tanya seorang polisi yang berjalan mendekat membuat Ayah Jongin berdiri dan menatap anaknya dengan tatapan sayu. “Ya, aku rasa ia tidak baik-baik saja. Ambulance akan tiba sebentar lagi.”

Ayah Jongin mengangguk lalu ia bertanya apa yang terjadi setelah mendengar kegaduhan diluar sana dan saat melihat keluar ia langsung terkejut melihat anaknya yang jatuh terkapar dengan sekujur luka ditubuhnya. Ibu Jongin mendongak lalu ia memeluk Ayah Jongin dengan tidak tenang masih menangis.

“Naeun…” Naeun menoleh dan menatap Ibunya yang menatapnya dengan mata yang berair ia lalu terduduk dan memeluk Naeun yang masih terduduk lemas. “Maafkan ibu, Nak.”

Semua drama menyedihkan itu terhenti saat suara ambulance datang dan tubuh Jongin yang tak sadarkan diri ditandu lalu masuk kedalam ambulance bersama Ayah dan Ibunya. Dan tepat sebelum pintu ambulance, Ayah Jongin menatap Naeun dan menahan pintu ambulance yang hendak tertutup.

“Aku rasa gadis itu juga harus ikut dengan kami.” Ujar Ayah Jongin pada salah satu tim medis yang lalu membiarkan pintu ambulance kembali terbuka dan Naeun masuk lalu duduk disamping Ayah Jongin menatap tubuh kurus Jongin yang sedang diberikan pertolongan pertama oleh tim medis.

***

            “Lukanya tidak terlalu parah, tapi hidungnya bengkok sehingga ia harus di operasi untuk memperbaiki struktur tulangnya agar tidak menganggu sistem pernapasannya.” Ujar dokter panjang lebar setelah Jongin masuk kedalam ruang rawat inap.

Ibu Jongin menatap Ayah Jongin yang duduk terdiam sambil mengusap pelipisnya. Ayah Jongin lalu berdiri dan mengangguk pada dokter yang tampak masih sangat muda. “Lakukan yang terbaik untuk Anakku, aku akan melakukan apapun untuknya.”

“Operasi akan berlangsung sekitar dua hari kedepan setelah administrasi dan surat persetujuan telah selesai diurus oleh pihak keluarga.” Ujar Dokter yang diketahui bernama Kim Joon Myeon, dokter itu lalu menunduk dan mohon pamit meninggalkan orang tua Jongin dan Naeun yang hanya mampu menunduk.

“Maafkan aku.” Gumam Naeun lirih sementara air matanya terus mengalir. Ibu Jongin menatapnya iba ia lalu duduk disamping Naeun dan memeluk bahu gadis itu dengan lembut dan memberikan usapan kasih sayang.

“Aku juga minta maaf karena membentakmu, anak manis. Kau teman sekolah Jongin, kan?” Tanya Ibu Jongin yang mulai luluh dan membiarkan naluri keibuannya lebih menguasai dirinya, mengabaikan kenyataan jika Ayah Naeun yang telah membuat Jongin seperti ini.

Naeun mengangguk lalu ia menarik nafas dalam-dalam untuk menceritakan apa yang terjadi. “Ayahku kembali memukul Ibu dan rumahku benar-benar kacau saat itu, aku diam di balkon dan membangunkan Jongin untuk menemaniku mengobrol. Dan tiba-tiba Ibu dan Ayah naik ke balkon kamarku dan mulai bertengkar lagi memperebutkan hak asuh diriku dan Jongin ingin menolongku namun Ayahku justru memukulinya.”

Ibu Jongin kembali mengusap bahu Naeun yang bergetar hebat. Membiarkan tangis Naeun memenuhi lorong rumah sakit yang sepi karena sudah mulai malam.

“Ayo kita masuk, Jongin sudah sadarkan diri.” Ujar Ayah Jongin membuat Ibu Jongin kembali menatap Naeun dan mengangguk sambil membantu Naeun yang masih lemas bangkit dari duduknya lalu masuk kedalam ruang rawat inap Jongin.

“Ayah, Ibu…” Jongin berhenti berbicara saat melihat Ibunya merangkul seorang gadis yang sangat ia kenal. “Si gadis sinting.”

Naeun tersenyum mendengar Jongin kembali memanggilnya dengan panggilan—yang menurut orang lain sangat menijijikan. “Dasar bodoh!”

Jongin menunjukan ekspresi wajahnya yang kesal namun ia segera meringis mendapati luka di wajahnya yang benar-benar parah. Ia lalu mengusap ujung bibirnya yang sudah berhenti mengeluarkan darah. “Ah, Ibu, lihatlah anakmu yang tampan ini menjadi seperti ini karena si bodoh itu.”

Naeun menguructkan bibirnya kesal lalu meninju bahu Jongin dengan pelan namun Jongin berteriak menyakitkan sambil memegangi bahunya yang baru saja dipukul oleh Naeun. “Kau sangat cengeng, bodoh!”

“Yang penting aku tidak sinting.” Balas Jongin tidak terima ia lalu menatap Ayah dan Ibunya yang menatapnya dengan bingung. “Oh, Ibu, kenapa kau hanya berdiri disana? Penyakit tulangmu bisa kambuh jika terus berdiri.”

“Jangan mencoba menjadi pahlawan kesiangan, Jongin!” Ujar Ayahnya lalu menarik kursi disamping ranjang Jongin sambil menatap luka ditubuh Jongin yang benar-benar terlihat menyakitkan.

“Aku tidak seperti itu, Ayah. Aku mencoba menjadi Superman yang menyelamatkan gadisnya.” Bantah Jongin tidak terima sementara Ayahnya hanya mendelik dengan kesal. Bosan mendengar bantahan anak tunggalnya yang terkadang tidak masuk akal.

“Seorang Superman tidak akan kalah seperti itu, Jongin. Setidaknya Ibu sudah menonton film Superman lebih dari lima kali.” Ujar Ibunya sambil berdiri disamping Ayah Jongin dan menatap anaknya sedikit kasihan. Jagoannya terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit, yeah walaupun alasan lelaki itu benar-benar membuatnya merasa bangga pada anaknya.

“Tadi itu…” Jongin berpikir sejenak lalu ia tersenyum lebar membuat ia kembali meringis kesakitan. “Ya, Superman Jongin masih mengantuk sehingga ia tidak bisa mengeluarkan semua kekuatannya untuk menyelamatkan gadisnya.”

“Kau mengelak saja terus.” Ujar Ayah Jongin sambil tersenyum bangga pada anaknya. “Lebih baik kau menjadi Peter Pan saja yang sibuk mengurusi peri-peri imutnya.”

“Oh, aku tidak suka cerita yang tidak realistis seperti itu.” Komentar Jongin sambil menatap Naeun yang hanya diam menatapnya.

“Tapi Superman juga tidak realistis, Jongin.” Sergah Naeun sambil tertawa kecil membuat Jongin menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

“Ah, baiklah.” Gumamnya menyerah. “Tapi setidaknya ia adalah pria sejati yang ada dikehidupan nyata dan mempengaruhi pemuda tampan bernama Jongin.”

Semua orang yang ada diruangan itu hanya mendengus, bosan mendengar kata-kata Jongin yang terlampau berlebihan. Meskipun itu merupakan sebuah candaan yang sangat biasa dilontarkan Jongin namun sekarang suasannya berbeda lelaki itu luka parah dan ia masih mampu menjadi dirinya sendiri—Jongin si percaya diri dan bodoh!

“Jongin, ini sudah malam. Tidurlah!” Ujar ibu Jongin sambil menarik selimut sampai dagu Jongin tapi lelaki itu hanya memandangi ibunya tanpa mencoba untuk menutup matanya. “Ayah dan Ibu akan pergi ke ruang administrasi, Naeun akan menemanimu sebentar selagi menunggu urusan kami selesai.”

Jongin menatap Naeun yang juga sedang memandangnya. Mata mereka beradu tapi Jongin langsung mengalihkan pandangannya karena merasakan debaran yang berlebihan di jantungnya. Sama persis dengan apa yang dirasakan Naeun saat ini.

“Maafkan aku, Jongin.” Ujar Naeun tiba-tiba membuat Jongin langsung menoleh kearah Naeun. Jongin mendengus membuat giginya terasa sedikit ngilu dan ia harus meringis sebentar sebelum rasa sakit itu menghilang.

“Hei, kenapa kau menjadi melankolis seperti sekarang ini?” Tanya Jongin sambil mencoba tertidur menyamping menghadap Naeun walaupun ia harus merasakan sakit disekujur tubuhnya. “Aku lebih menyukai Yoon Na Eun yang sinting.”

“Jongin, aku serius.” Ujar Naeun dengan ekspresi wajah yang memang benar-benar serius sama halnya jika Naeun sedang memperhatikan guru didepan kelas—berbanding terbalik dengan Jongin yang justru tidur nyenyak diatas tumpukan buku sumber.

“Aku juga serius, Naeun!” Ujar Jongin, mengabaikan kenyataan jika ia sangat jarang memanggil Naeun dengan namanya. Menurutnya kata “sinting” itu sangat menggambarkan sosok Naeun yang ia kenal dan ia menyukai semua hal itu.

“Ya, maksudku atas nama ayahku aku minta maaf.” Ujar Naeun walaupun ia sempat kehilangan kata-katanya untuk beberapa saat. Ia menatap lantai keramik dibawahnya tanpa minat. “Kau terluka seperti ini karena ayahku.”

“Oh, ayolah, kau tidak berhak melakukan itu. Mungkin jika aku sudah sembuh aku akan pergi ke penjara untuk menjenguk ayahmu dan memintanya untuk meminta maaf. Itu adil, kan?”

“Itu ide yang buruk, Jongin!” Gumam Naeun walaupun nada suaranya penuh tekanan. “Kau memang selalu memberikan ide yang buruk dalam segala hal.”

“Ya, karena aku bodoh.” Ujar Jongin acuh sambil mencoba memejamkan matanya sementara Naeun mengangkat wajahnya menatap wajah penuh luka milik Jongin yang terpahat sempurna. Bodoh. Kim Jongin bukan bodoh, hanya saja ia terlalu kekanak-kanakan. Ya, Kim Jongin kekanak-kanakan sehingga ia tampak bodoh.

***

            Naeun membuka matanya perlahan saat merasakan sinar matahari mulai menembus matanya. Ia meregangkan sedikit tubuhnya menyadari jika ia tertidur dalam keadaan duduk diatas tempat tidur Jongin. Ia menatap Jongin yang masih tertidur lelap dengan dengkuran halus dan menggumamkan sesuatu yang sangat tidak jelas.

“Oh, Naeun, kau sudah bangun?”

Naeun menoleh kearah pintu dan melihat Ibu Jongin masuk kedalam ruang rawat Jongin dengan menenteng sebuah kotak makan berwarna biru—yang Naeun kenal sebagai tempat makan milik Jongin saat masih sekolah dasar.

“Maafkan aku, semalam aku melihatmu sudah tertidur jadi aku tidak ingin membangunkanmu.” Ujar Ibu Jongin sambil meletakan kotak makan itu di meja yang berada disudut ruangan dekat vas bunga matahari yang mulai layu.

“Tidak apa-apa, Bi. Seharusnya aku yang merasa sangat bersalah karena telah membuat Jongin seperti ini.” Ujar Naeun sambil mencoba tersenyum tipis, Ibu Jongin balas tersenyum lalu ia menyibakkan tirai ruang rawat Jongin. Membuat Jongin menggeliat pelan dibalik selimut yang mentupi tubuhnya hingga sebatas dada.

“Operasi akan berlangsung besok, sebelum operasi Jongin butuh sedikit penyegaran jadi sebaiknya kau mengajaknya berkeliling rumah sakit ini.” Ujar Ibu Jongin sambil melangkah ke ranjang Jongin dan menyentuhkan telapak tangannya di dahi Jongin. “Demamnya sudah turun, semalam ia sedikit demam.”

Naeun bangkit dari duduknya lalu berjalan kearah kamar mandi yang ada di ruang rawat Jongin untuk membersihkan diri. Ia membiarkan dinginnya air membasahi tubuhnya, membiarkan ia merasakan sedikit tenang ditengah masalah yang menimpanya.

“Naeun!” Panggil Ibu Jongin membuat Naeun mematikan kran lalu menggumam. “Aku tidak pergi ke rumahmu untuk membawa baju ganti, jadi untuk sementara kau memakai baju Jongin saja, ya?”

“Ya, Bi. Terima kasih.” Ujar Naeun kembali menyalakan kran.

***

            Naeun mengabaikan pandangan aneh orang-orang yang menatapnya bingung karena ia mengenakan rok berwarna pink—rok yang ia pakai kemarin—dan baju kebesaran berwarna putih dengan tulisan yang benar-benar aneh. BOY WHO CRIED WOLF. Baju milik Jongin yang sering digunakan lelaki itu untuk bermain sepak bola sepulang sekolah.

“Kau cocok sekali dengan baju itu.” Komentar Jongin yang duduk tenang diatas kursi roda sementara Naeun harus mendorongnya kemanapun Jongin ingin pergi. Sepertinya Jongin harus tertawa lebar karena Naeun akan selalu menuruti apapun kemauannya. “Coba kau mengenakan celana jeans milikku, itu akan jauh lebih cocok daripada rok itu.”

“Jongin!” Ujar Naeun geram, ia mulai kehilangan kesabaran karena sedari tadi Jongin selalu mengejeknya. “Orang-orang bisa mengataiku gila dengan pakaian seperti itu.”

“Hei, bukankah kau itu sinting?” Tanya Jongin menelengkan kepalanya untuk menatap Naeun yang sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Jongin. “Style seperti itu sangat cocok untuk orang sinting sepertimu.”

“Dasar, bodoh! Jika kau terus mengejekku aku akan mendorongmu kuat-kuat kesana.” Ujar Naeun sambil menunjuk kolam ikan di taman rumah sakit yang membuat alis Jongin mengernyit.

“Itu saja?” Tanya Jongin seolah menantang membuat Naeun hampir kehilangan kesabarannya dan akan mendorong kursi roda itu kuat-kuat jika saja Jongin tidak menatap kearahnya dengan senyum yang sangat manis. Membuat Naeun sesak nafas. “Sama sekali tidak menantang.”

“Kau itu sedang sakit, Jongin. Jangan membuat masalah.”

“Hei, aku tidak sedang membuat masalah.”  Ujar Jongin tidak terima lalu sebuah ide terlintas begitu saja dibenaknya. “Naeun, aku ada satu permintaan padamu.”

“Apa lagi?” Ujar Naeun dengan sebal lalu ia mendekat kearah Jongin dengan sedikit membungkukan tubuhnya, tepat dihadapan Jongin untuk mendengar permintaan lelaki itu.

Mata Naeun membulat sempurna saat tiba-tiba Jongin mencium pipinya—sangat cepat—lalu Jongin tersenyum lebar sambil sedikit tertawa melihat Naeun yang tampak begitu bodoh dengan mata yang melebar. “Itu permintaanku.”

“Jo—Jongin,” Naeun menggumam pelan sambil menyentuh pipinya yang terasa memanas dan memerah. “Apa yang kau lakukan?”

Jongin tertawa melihat ekspresi bodoh yang ditunjukan Naeun ia lalu menyondongkan tubuhnya kearah Naeun yang masih membungkuk didepannya. “Itu tanda terima kasihku untukmu.”

“Te—terima kasih?” Tanya Naeun dengan tangan yang terangkat untuk kembali menyentuh pipinya tapi Jongin langsung menahannya.

“Hei, itu bekas ciuman lelaki tampan bernama Kim Jongin. Jangan pernah menghapusnya.” Ujar Jongin kembali tertawa dan membuat Naeun mendenguskan pelan. “Dan akan jauh lebih baik jika kau tidak mencuci wajah untuk mempertahankan bekas ciuman itu. Atau jika kau menghapusnya, aku akan selalu mencium pipimu supaya bekasnya tidak pernah hilang.”

“Ini tidak lucu, bodoh!” Komentar Naeun sambil mendengus kesal walaupun seulas senyum tipis tersungging dibibirnya. Debaran jantungnya memompa lebih cepat dan nafasnya terdengar sedeikit memburu. Jangan bertindak bodoh didepan Kim Jongin, atau kau akan menjadi bahan olokan untuk selamanya.

            ­“Aku tidak melucu, Naeun.” Ujar Jongin menegaskan. Ia lalu menoleh kearah Naeun yang sedang mencoba mengalihkan pandangannya. Menahan debaran jantung, lebih tepatnya. “Aku menyayangimu.”

“Apa?” Tanya Naeun merasa telinganya tiba-tiba tersumbat kapas sehingga ia tidak bisa mendengar suara apapun. Ya, iya mendengarnya samar-samar. Tertutupi oleh suara debaran jantungnya.

“Dasar sinting!” Ujar Jongin sambil terkekeh. “Aku menyanyangimu, Yoon Na Eun. Si gadis sinting.”

“Jongin, jangan bercanda!”

“Hei, apakah wajahku terlalu jenaka untuk mengatakan sesuatu yang serius?” Ujar Jongin sambil mendengus sebal.

Terkadang gadis sinting seperti Naeun bisa tampak sangat bodoh saat mendengar Jongin mengatakan jika lelaki itu menyanyanginya. Dan Jongin yang bodoh bisa sinting karena mencintai gadis seperti Naeun.

Naeun tertawa lalu memeluk Jongin tiba-tiba membuat Jongin kembali merasakan ­sakit yang luar biasa disekujur tubuhnya.

“Hei, ini menyakitkan, bodoh!” Jongin berusaha melepaskan pelukan Naeun dan gadis itu hanya tersenyum lebar. “Kau tak hanya sinting tapi juga bodoh.”

Naeun hanya tersenyum, sama sekali tidak berniat untuk membalas ejekan Jongin ia lalu mengusap rambut Jongin—sikap yang seharusnya dilakukan lelaki pada wanita yang dicintainya. “Aku juga menyayangimu, bodoh!”

Jongin tersenyum bangga sambil menatap Naeun. “Aku sudah tahu.”

“Dasar bodoh, sinting, dan terlalu percaya diri.” Cibir Naeun sambil tak bisa berhenti untuk tersenyum. Oh, mungkin untuk pertama kalinya Naeun mengikrarkan diri jika ia juga sinting. Ya, karena mencintai lelaki itu membuatnya sinting!

“Tapi kau menyanyangiku, kan?”

END



Viewing all articles
Browse latest Browse all 4828

Trending Articles