Title : Shadow of You
Author : Azumi Aozora
Main Cast : Jang Hyun Mi (OC), Kris (EXO-M)
Support Cast : Jang Hyun Seung (Beast), Kai (EXO-K), Suho (EXO-K), Tao (EXO-M), Sehun (EXO-K)
Genre : romance, AU, family, angst, action, tragedy
Rating : PG+17
Length : Oneshot
Summary : Jang Hyun Mi merasa muak dengan hidupnya. Kalau bisa memilih, ia tidak ingin terlahir dalam sebuah keluarga mafia dan pembunuh bayaran. Kalau bisa memilih, ia ingin hidup normal layaknya gadis seusianya, tanpa harus memikirkan tempat persembunyian kelompoknya dari kejaran polisi, tanpa harus mengobati luka-luka mengerikan setiap malam. Apa yang akan Hyun Mi lakukan ketika suatu hari datang seseorang yang menawarkan “kehidupan normal” baginya? Kehidupan yang selama ini selalu ia mimpikan.
![poster-shadow-of-you1]()
Quotes From The Casts :
“Hal apa yang paling kuinginkan di dunia ini? Memutar waktu. Mengembalikan masa lalu yang hilang. Waktu-waktu yang tidak pernah kusadari sangat berharga bagiku. Kenangan-kenangan buram tentang dirinya yang kini menggerogoti akal sehatku. Seandainya mati termasuk ke dalam daftar yang bisa kupilih, maka aku akan memilihnya. Tapi bagaimana aku bisa bersikap egois dengan memilih mati, sementara orang itu….dan juga kakakku … menginginkan aku tetap hidup?” – Jang Hyun Mi –
“Ini adalah hidup normal bagiku, Hyun Mi. Aku tidak akan mengekangmu seperti yang ayah kita lakukan. Pergilah, Jang Hyun Mi. Satu pesanku…., hiduplah dengan bahagia.” – Jang Hyun Seung –
“Aku akan memberikan semua yang terbaik untukmu, Hyun Mi. Apapun yang kau inginkan. Kumohon, izinkan aku mencintaimu. Mungkin memang bukan sekarang, tapi suatu hari nanti…. Kau juga pasti akan balas mencintaiku. Menikahlah denganku, Jang Hyun Mi.” – Suho –
“Nuna, kau sungguh-sungguh akan menikah dengan pria itu dan pergi meninggalkan kami?” – Kai, Tao, Sehun –
“Kau….tidak perlu merasa takut, Hyun Mi~ya. Aku akan selalu menjagamu. Kau ingat? Aku adalah bayanganmu. Kau tidak selalu bisa melihatku, tapi aku selalu bisa melihatmu. Berbahagialah, Hyun Mi, dimanapun kau berada.” – Kris –
========= And The Story Begins…………………..
Bagi orang lain, mungkin mendengar suara tembakan peluru di sore hari yang cerah seperti sekarang ini sangatlah aneh dan menakutkan, tapi tidak halnya bagiku. Sejak kecil aku sudah terbiasa mendengar suara pistol yang ditembakkan, bahkan melihat secara langsung berbagai jenis senjata api yang ditembakkan langsung kepada orang-orang di sekitarku, termasuk ayah dan ibuku.
Ayah dan ibuku meninggal ketika umurku 11 tahun, ditembak mati tepat dihadapan mataku oleh seorang pengkhianat dari klan mafia yang ayahku pimpin. Aku tidak tahu mengapa saat itu si pembunuh tidak ikut menembak kepalaku juga. Kenapa dia membiarkanku hidup? Seharusnya saat itu ia membiarkanku mati, agar aku terbebas dari lingkaran kehidupan yang memuakkan ini.
Berlari, bersembunyi, berlari, bersembunyi. Itulah yang kulakukan setiap hari. Aku dan kelompokku tidak bisa tinggal di satu tempat tertentu dalam jangka waktu yang lama. Setelah misi kami selesai di tempat tersebut, kami akan pindah untuk menghindari kecurigaan polisi. Kami akan tinggal di tempat baru. Aku tidak pernah menyebut tempat tinggal kami sebagai “rumah”, se-bagus dan se-mewah apapun tempat tinggal sementara kami tersebut. Aku punya kriteria khusus tentang bagaimana seharusnya sebuah tempat tinggal bisa disebut “rumah”.
Doooooor….Doooooorrrr…..Doooorrrrrr….
Suara tembakkan itu terdengar lagi. Berbagai teriakkan panik menggema dari dalam sebuah restoran China tempat terjadinya penembakkan. Dari kejauhan aku bisa melihat sekelompok pria ber-jas hitam menyarungkan pistol mereka dan segera berlari masuk ke dalam sedan hitam sebelum polisi datang.
“Yah! Jang Hyun Mi! Apa yang kau lakukan di sini? Kau kabur dari pengawasan Kai ya?!” tiba-tiba saja sebuah motor sport merah berhenti tepat di hadapanku. Si pengendara motor membuka helm-nya, memperlihatkan rambutnya yang berwarna pirang.
Aku mengernyitkan keningku. “Kau mengecat rambutmu, Kris? Kapan? Tadi pagi rambutmu masih berwarna cokelat.”
Pria tinggi berjaket kulit hitam itu berdecak tak sabar. “Ayo naik!” Kris menunjuk jok belakang dengan menggunakan kepalanya.
Mataku masih tertuju pada restoran China di sebrang sana. Para pengunjung berhamburan keluar dengan wajah syok dan ketakutan. Jeritan dan isak tangis terdengar memilukan dari istri dan keluarga si pemilik restoran.
“Kakakku menolak menangani kasus ini kan?” gumamku. Aku ingat, 3 minggu lalu ada seorang pengusaha restoran dari Osaka yang datang dan meminta kakakku untuk membunuh pemilik restoran China ini, tapi kakakku menolaknya.
Kris menyeringai. “Tentu saja. Bayarannya terlalu rendah. Sepertinya orang itu jadi meminta bantuan mafia amatir. Cih! Apa gunanya naik mobil mewah bila otak mereka lebih kecil dari otak udang! Aku berani bertaruh, kurang dari 2 minggu polisi akan bisa melacak jejak mereka.”
Aku segera naik ke jok belakang. Kris menyerahkan helm yang sebelumnya ia kenakan padaku. “Kenapa kau bisa tahu aku ada di sini?”
Kris mendengus. “Kau lupa? Aku kan bayanganmu.”
Aku tertawa pelan sambil memukul-mukul punggung Kris. “Ayo! Aku tidak ingin si bawel Sehun dan Tao merengek menyebalkan karena aku telat memasak makan malam untuk mereka.”
Kris mengangkat bahu. “Tidak usah khawatir. Mereka sudah makan pizza.”
“Mwo?”
“Hyun Seung hyung sudah pulang. Besok….kita akan pindah ke Seoul.” Nada suara Kris berubah kaku.
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya. “Apakah…Oppa-ku baik-baik saja?”
Kris menolehkan kepalanya padaku lalu menyeringai lebar. “Dia pernah mengalami yang lebih buruk dari ini. Jadi kurasa…..sekarang dia oke.” Kris menstarter motor sport-nya, lalu segera tancap gas dengan kecepatan maksimal, membelah jalanan Chiba yang akan segera kami tinggalkan esok hari.
************
“Ah…ah….ah.., sakit, sakit!” Hyun Seung meringis seperti seorang anak kecil ketika aku mengobati luka-lukanya yang cukup parah.
Aku menatap kakak sematawayangku itu dengan tatapan tajam. “Kau mau aku mengobatimu seperti ini?” Aku menekankan kapas antiseptik itu dengan keras ke lengan kiri Hyun Seung.
“YAH!” Bentak Hyun Seung. Matanya membelalak lebar mengerikan, seolah sewaktu-waktu kedua bola matanya bisa keluar dari dalam rongganya.
Aku tertawa. Hyun Seung ikut tertawa. “Mianhae, Hyun Mi~ya. Aku selalu memintamu mengobati luka-lukaku seperti ini.” kata Hyun Seung dengan nada cuek seolah luka-lukanya ini hanyalah luka lecet biasa.
Aku hanya terdiam dan terus mengobati luka sayatannya yang cukup dalam dan parah, kali ini dengan lebih gentle.
Aku membuka perban penuh darah yang membelit bahu kanan Hyun Seung. Sepertinya Hyun Seung membalut perban itu sendiri dengan asal. Pandangan mataku mengeras saat aku melihat sebuah lubang menganga di bawah bahu kanannya. Darah kering melekat di kulitnya yang putih.
Hyun Seung terkekeh. “Kemarin malam aku mencabut pelurunya sendiri….”
Hyun Seung langsung memejamkan matanya sambil menggigit bibir menahan sakit ketika aku membersihkan lukanya. Selama beberapa menit kami hanya terdiam. Aku sudah ahli mengobati berbagai jenis luka. Sejak aku kecil, ibuku sudah mengajariku. Dulu aku terbiasa mengobati ayahku, kakakku, bahkan anak-anak buah ayahku bila mereka terluka.
Sejak orangtua kami meninggal, hanya Hyun Seung lah yang kumiliki. Berbeda dengan ayah kami, Hyun Seung tidak memiliki banyak anak buah. Hyun Seung menerapkan konsep yang berbeda dengan ayah kami. Bagi Hyun Seung, kesetiaan anak-anak buahnya tidak bisa dibeli dengan uang. Dia meninggalkan puluhan anak buah ayahku begitu saja, dan hanya membawa Kris-Kai-Tao-Sehun, empat bocah laki-laki yang sudah tinggal bersama kami semenjak mereka bayi. Hyun Seung memulai kehidupan baru kami 9 tahun yang lalu di Busan. Mulai saat itu kami sering berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, ke kota lain, bahkan ke negara lain.
Sudah selama 2 tahun ini kami berada di Jepang, berpindah-pindah dari satu distrik ke distrik lain. Selama 9 tahun Hyun Seung menjadi kepala keluarga sekaligus pemimpin kelompok kami, tidak pernah sekalipun polisi mencurigai kami. Hyun Seung memang sangat ahli, seperti ayah kami. Dia menguasai banyak ilmu beladiri dan teknik menembak. Dia lebih berani dari ayah kami. Dia lebih cerdik dari ayah kami. Dia lebih berhati-hati terhadap orang lain dan tidak mudah mempercayai siapapun untuk menjadi anak buahnya. Itulah sebabnya sejak dulu dia hanya memiliki 4 anak buah. Tapi satu kelemahan Hyun Seung…., dia berhati lembut.
“Kalau saja anak perempuan kecil orang itu tidak terluka, aku tidak akan tertembak seperti ini. Kupikir orang itu sudah mati, ternyata dia hanya pura-pura. Aku terlalu ceroboh.” Kata Hyun Seung, memecah kesunyian diantara kami. Aku sudah menduganya. Hati Hyun Seung terlalu lemah. Dia pasti tertembak oleh orang itu saat dia hendak menyelamatkan anak perempuan orang itu! Harusnya dia tidak perlu memedulikan anak itu!
Aku membalutkan perban di bahu Hyun Seung dengan hati-hati setelah mengobati lukanya. “Kau bisa saja mati kehabisan darah, atau terinfeksi.” Gumamku dengan gigi bergemeletuk. Mataku tiba-tiba saja terasa panas. Air mata mendesak ingin keluar, tapi aku menahannya sekuat tenaga.
Aku tidak membenci Hyun Seung. Aku tidak membenci ayah dan ibu kami. Aku hanya membenci….kehidupan kami. Bisa saja aku kehilangan Hyun Seung dalam sekejap mata begitu saja seperti saat aku kehilangan ayah dan ibu kami tepat di hadapan mataku 9 tahun yang lalu.
Meskipun aku berpura-pura tegar, cuek, dan keras, tapi hatiku selalu merasa takut. Setiap detik aku menggantungkan hidup kami di atas tangan takdir. Setiap detik aku berusaha tidak memikirkan apakah Hyun Seung akan selamat, apakah Hyun Seung akan segera pulang tanpa kekurangan apapun? Bagaimana kalau tangannya putus? Bagaimana kalau dia kehilangan penglihatannya? Bagaimana kalau peluru menembus jantungnya? Bagaimana kalau paru-paru dan ginjal-nya tidak berfungsi lagi karena racun yang diberikan oleh musuhnya? Dan masih banyak lagi ribuan kekhawatiran lainnya yang selalu kupikirkan setiap kali Hyun Seung pergi untuk melaksanakan “misi”-nya.
Hyun Seung selalu melakukan misi-misi berbahaya seorang diri. Dia tidak pernah memberikan tugas yang terlalu berbahaya pada Kris, Kai, Tao, dan Sehun. Aku mengerti, Hyun Seung tidak ingin nyawa mereka terancam. Bagi Hyun Seung, Kris-Kai-Tao-Sehun sudah seperti adik kandung sendiri, bukan hanya “anak buah” ataupun “saudara” mafia. Ia hanya memerintahkan mereka melakukan misi-misi ringan dan sedang. Misi-misi berat, pastilah selalu Hyun Seung yang mengerjakannya. Tak heran bila selalu dirinyalah yang pulang dalam keadaan luka parah seperti sekarang ini.
Setelah selesai mengobati semua luka di tubuh Hyun Seung, aku membantu Hyun Seung memakai kemeja putih-nya perlahan, berhati-hati agar tidak mengenai lukanya. Sering sekali aku merasa muak dengan kehidupanku. Tapi aku tahu, aku tidak mungkin meninggalkan kakakku dan sahabat-sahabatku. Terkadang aku berharap Hyun Seung akan memilih jalan hidup lain. Jalan hidup yang lebih mudah dan aman. Kehidupan normal. Kehidupan di mana aku tidak perlu menggantungkan nyawa kakakku di dalam sebuah “keberuntungan”. Kehidupan di mana aku bisa tertidur pulas setiap malam tanpa perlu memikirkan akan pindah ke mana esok hari, atau lusa, atau bulan depan.
“Gomawo, Hyun Mi~ya…” Hyun Seung tersenyum sambil mengacak-acak rambut panjangku dengan tangan kiri-nya. “Bisa tolong ambilkan rokok-ku?”
Aku membelakkan mataku dan menatap kakakku itu dengan tajam. “Tidak boleh merokok sampai semua lukamu sembuh, Oppa!”
Hyun Seung mengerang. Aku menghela nafas panjang. “Mau aku buatkan sup jagung?” tanyaku. Sup jagung adalah salah satu makanan kesukaan Hyun Seung. Dulu, ibu kami akan memasak sup jagung setiap kali Hyun Seung merasa lelah sehabis berlatih beladiri bersama ayah kami.
Wajah Hyun Seung langsung berubah cerah. Ia mengangguk sambil nyengir lebar. “Hmmm.”
“Kau istirahat saja, Oppa. Jangan banyak bergerak.” Aku membaringkan tubuh kakakku di tempat tidurnya dengan hati-hati, lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal.
Ketika aku membuka pintu kamar, aku terlonjak kaget mendapati Kris sudah berdiri di sana. Kris melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Aku mendorong Kris agar menjauh dari kamar.
“Hyung….”
“Biarkan Oppa tidur.”
Kris mengangguk. Aku berjalan menuju dapur untuk memasak sup jagung. Kris mengikutiku. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya menusuk punggungku. “Gwencaha?” tanyanya.
“Hyun Seung Oppa baik-baik saja.” kataku.
Kris meletakkan kedua tangannya yang besar dan hangat di pundakku, membalikkan tubuhku jadi menghadapnya, dan membungkukkan badannya sambil menatapku lekat-lekat. “Apakah kau baik-baik saja?” tanyanya sekali lagi.
Selama beberapa saat aku hanya terdiam. Seolah terhipnotis, tersedot masuk ke dalam kedua bola mata cokelat karamel Kris yang jernih dan damai.
Menenangkan. Satu kata itulah yang paling pantas mendeskripsikan seperti apa Kris bagiku. Sejak dulu, Kris lah satu-satunya tempat aku “membuang” semua rasa khawatirku yang berlebihan. Kris lah yang menampung segala keluh kesahku. Kris lah yang membuatku yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa esok hari matahari masih akan tetap terbit di ufuk timur dan bersinar seperti biasanya dan tidak akan ada yang berubah dalam hidup kami, bahwa kakakku akan baik-baik saja, bahwa kami semua akan terus hidup sampai 100 tahun yang akan datang tanpa kekurangan apapun.
Kehidupan normal. Itulah yang paling kuinginkan. Tidak bisakah kami hidup secara normal? Perlukah nyawa dipertaruhkan hanya demi setumpuk dollar?
Kris tersenyum hangat. “Aku akan membantumu menyiapkan jagung.”
Mau tak mau aku ikut tersenyum. “Hmm.” Aku mengangguk.
Kehidupan normal…, mungkin aku tidak akan pernah bisa memilikinya. Besok kami akan pindah ke Korea, ke Seoul, kota kelahiran kami. Meski Hyun Seung tidak mengatakan apa alasan kami pindah ke sana, aku sudah tahu. Pasti ada suatu misi penting di sana. Selama 9 tahun ini sebisa mungkin kami selalu menghindari tinggal di Seoul, kota mimpi buruk bagiku. Kami tinggal di mana saja selain Seoul. Kami bahkan lebih sering tinggal di luar negeri daripada di Korea. Di Jepang, China, Thailand, Inggris, Meksiko, Perancis, Jerman, Belanda, Turki, dll. Sebisa mungkin kami menghindari kembali tinggal di Korea, apalagi di Seoul. Jadi, kali ini pasti ada satu misi yang benar-benar penting.
************
Seoul sudah banyak berubah. Sembilan tahun lalu, seingatku…. Seoul tidaklah se-padat saat ini, tidak se-ramai saat ini, tidak se-elegan saat ini, tidak se-gemerlap saat ini. Tapi tetap saja bagiku Seoul hanyalah mimpi buruk. Tempat di mana aku kehilangan orangtuaku. Tempat di mana untuk pertama kalinya aku menyaksikan pembunuhan secara langsung tepat di hadapan mataku. Tempat di mana aku menyadari bahwa hidupku berbeda dengan gadis se-usiaku lainnya.
Aku kuat, aku pintar, aku tidak kekurangan materi apapun, tapi aku tidak mungkin bisa berjalan-jalan dengan bebas di luar sana, di mall, di bisokop, di restoran, di taman bermain. Kris adalah “penjaga minimal” yang kakakku syaratkan bagiku bila aku hendak bepergian. Aku tahu musuh mengintai kami di mana-mana. Orang-orang yang ingin balas dendam, atau orang-orang yang ingin agar Hyun Seung masuk ke dalam geng mafia mereka, atau orang-orang yang menginginkan harta warisan orangtua kami.
Selama di perjalanan, tidak ada satupun yang mengajakku bicara. Mereka mengerti saat ini aku sedang tidak ingin mengatakan apapun. Bahkan si bawel Sehun dan Tao pun hanya terdiam dan menatapku dengan cemas.
Kami tiba di sebuah apartemen mewah di pusat kota. Ada 4 kamar tidur. Tao, Sehun, dan Kai langsung berebut kamar.
“Yah! Kamar yang di sana untuk Hyun Mi!” seru Hyun Seung kesal sambil berlari mengejar ketiga pembuat onar.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Kris membantuku mengangkat koper dan membereskan barang-barang. Aku masih bisa mendengar teriakan kakakku, Tao, Kai, dan Sehun. Kali ini mereka ribut memutuskan akan memesan apa untuk makan malam.
“Pizza. Pizza. Pizza! Aku mau pizza, hyuuung!” rengek Tao sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Chicken! Tentu saja harus chicken, hyung!” Kai menampakkan aegyo pada kakakku, lalu langsung menatap Tao dengan kesal sambil berkacak pinggang.
“Bibimbap, tteokpoki, ramyun, kimbab, kimchee, samgyupsal…” cerocos Sehun. “Aduh!”
“YAH!” Kakakku memukul kepala ketiga pembuat onar itu sambil berlari mengejar mereka.
Aku dan Kris hanya tertawa melihat tingkah konyol mereka. Sungguh, aku menyukai saat-saat kami seperti ini. Saat-saat dimana aku melihat kakakku, Kris, Kai, Tao, dan Sehun sebagai orang “normal”, berbicara normal tanpa perlu membahas misi. Berpakaian normal, tanpa perlu menyembunyikan pistol dan pisau tajam di balik pakaian mereka. Tertawa normal, tanpa perlu mengkhawatirkan siapa yang belum pulang dari misi ke tempat tinggal kami dengan selamat.
Rupanya Kris menyadari desahan nafas panjangku sejak tadi. “Mau jalan-jalan?” tanyanya.
Sebelum aku sempat menjawab, Kris sudah bertanya pada kakakku. “Hyung, mobilnya ada di basement? Aku dan Hyun Mi akan membeli makanan.”
Kakakku melemparkan kunci mobil yang langsung ditangkap oleh Kris dengan mudah. Melalui “jaringan”-nya, kakakku sudah menyiapkan segala kebutuhan kami, termasuk apartemen ini dan mobil untuk kami pakai selama kami berada di sini.
“Pizza!”
“Chicken!”
“Tteokpoki!”
Tao, Kai, dan Sehun berbicara bersamaan. Kris menatap mereka dengan tajam. “Kami akan membeli apa yang kami inginkan. Kalau kalian tidak mau, tidak usah makan!” Kris menyeringai.
“Yaaaah…, hyung! Licik sekali!”
“Aku mau pizzaaaaa….”
“Hyuuuuuung….”
“Ck…ck…ck…, cepat bereskan baju kalian di lemari!” perintah Hyun Seung pada ketiga pembuat onar.
“Hati-hati.” Hyun Seung menepuk-nepuk pundak Kris dan menatapnya dengan intens selama beberapa detik, lalu memelukku dengan sangat erat sambil membelai kepalaku. Selalu seperti ini, setiap kali aku pergi keluar dari tempat tinggal kami, Hyun Seung selalu bersikap seolah ini adalah pertemuan terakhirku dengannya. Seolah aku akan memasuki medan perang. Padahal dia sendiri sering sekali pergi untuk melakukan misi-misi berbahaya, dan bahkan aku tidak tahu kapan dia akan pulang dan apakah dia akan tetap hidup!
************
Seandainya aku bukanlah aku yang sekarang, maka pasti sore hari yang indah di musim gugur ini akan terasa membahagiakan. Semilir angin lembut yang membawa kedamaian, genggaman tangan Kris yang hangat di jemariku, suara klakson mobil yang memekakan telinga, papan-papan billboard yang menampakkan idola-idola yang tersenyum menawan. Semua hal normal itu akan membuatku bahagia.
Mungkin… harusnya aku merasa bahagia. Tapi pada kenyataannya, aku terus memikirkan berbagai macam hal yang membuat kebahagiaan itu memudar. Kenapa harus Seoul? Kenapa tiba-tiba? Apakah ada hubungannya dengan pengkhianat itu? Si pembunuh keji yang telah membuatku menjadi yatim piatu dan membuat Hyun Seung Oppa menjadi kepala keluarga di saat umurnya masih sangat muda? Ataukah ada alasan lain? Apakah berbahaya?
Tentu saja berbahaya. Tidak ada misi yang tidak berbahaya. Jangan bodoh, Jang Hyun Mi!
Selama berbelanja di mall, tak pernah sekalipun Kris melepaskan genggaman tangannya dariku. Tak pernah sekalipun dia melepaskan pandangannya dariku, mengawasiku, menjagaku. Dia bahkan menatap beberapa orang pria dengan tatapan dingin dan mengerikan ketika pria-pria itu hanya menatapku sekilas.
Tapi bukan inilah yang kuinginkan dari Kris. Sering sekali aku berharap diantara tatapan tajam tapi lembutnya untukku itu, Kris menatapku dengan berbeda, dengan pandangan yang hanya ia berikan untukku, seperti bagaimana cara Adam menatap Hawa.
Aku berharap, jemari Kris yang panjang dan hangat bertaut di jemariku, menuntunku, menjagaku, bukan karena ia harus melakukannya. Bukan karena ia harus menjagaku karena aku adalah adik Hyun Seung, bukan pula karena aku adalah anak dari pria yang telah menyelamatkan hidup Kris saat Kris masih balita. Tapi karena itu adalah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Karena itu adalah hal paling alami untuk dilakukan. Karena di sinilah tempatnya, di antara jemariku, berada di sampingku, melengkapiku.
Mungkin aku terlalu banyak mengkhayal. Mungkin hanya akulah yang menginginkan semua itu, tapi Kris tidak. Selama 20 tahun, Kris selalu ada di sampingku seperti ini, tapi hanya sebagai penjagaku, tidak lebih.
Meskipun sikapnya terkadang membuatku bingung. Meskipun terkadang ia bersikap bukan layaknya sebagai seorang pengawal, meski terkadang aku merasa ia juga sepertinya merasakan perasaan yang sama denganku, tapi hubungan kami selalu platonik.
Mungkin dia memang tidak menginginkanku seperti aku menginginkannya. Mungkin dia memang tidak mencintaiku seperti caraku mencintainya. Mungkin sejak dulu dia memang hanya memandangku sebagai seorang adik.
Aku menghela nafas panjang lagi, entah untuk yang keberapa kalinya. Kris mengeratkan genggaman tangannya di jemariku. “Kau kedinginan?” tanyanya dengan nada cemas. Aku hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun. Kuharap dia mencemaskanku bukan karena tanggung jawab yang ia pikul sebagai penjagaku. Kuharap ia sungguh-sungguh mencemaskanku. Aku menggeleng.
Kris merangkulkan sebelah lengannya di pundakku. “Kau ingin makan apa?”
“Pizza, chicken, tteokpoki.”
“Yah! Itu semua kan hanya pesanan para pembuat onar.”
Aku mengangkat bahu. “Kita beli itu saja. Aku tidak bernafsu makan.” Aku berjalan dengan cepat ke restoran pizza dan memesan 3 buah loyang besar pizza untuk dibawa pulang.
“Mau pesan cream soup?” tanya Kris ketika kami duduk menunggu pesanan pizza kami.
Aku menggeleng pelan sambil menatap ke arah lain selain mata Kris. Beberapa meja dari kami, terlihat 4 orang remaja se-usia kami yang makan sambil mengetik sesuatu di laptop, membahas mengenai dosen dan tugas-tugas kuliah. Dua meja di samping kiriku, sepasang kekasih terlihat mengobrol dengan intens sambil saling menyuapkan ice cream. Tiga meja di belakang Kris, serombongan eksekutif muda tampak bersemangat membahas pekerjaan mereka di kantor hari ini.
Aku mendesah. Seperti apakah kehidupan kami bila kami memilih jalan lain? Seperti apa rasanya menjalani setiap hari tanpa perlu mencemaskan akan kehilangan nyawa kakakku dan sahabat-sahabatku setiap kali mereka pergi untuk menjalankan misi?
“Kris, seandainya kita tidak terlahir seperti sekarang ini, kau ingin menjadi apa? Dokter? Pengacara? Professor? Pengusaha?” tanyaku.
Kris menatapku bingung karena pertanyaanku yang tiba-tiba itu. Aku balas menatapnya, menunggu jawaban. Tapi Kris hanya terus menatapku dalam diam, seolah ia kini tengah berdebat dengan dirinya sendiri untuk menyuarakan pikirannya atau tidak.
“Aku….tidak tahu.” Ujar Kris singkat dengan husky voice-nya yang khas. Dia masih menatapku lekat-lekat. “Kurasa…, aku akan tetap bersamamu. Menjagamu seperti ini.”
Aku mendengus. Menjadi pengawalku? Hanya itukah yang kau inginkan, Kris? Aku memalingkan mataku, menatap keluar melalui kaca besar di samping kananku, menatap orang-orang yang berlalu lalang sambil membawa kantung-kantung plastik belanjaan, tertawa-tawa, mengobrol, seolah tidak mencemaskan apapun.
Kuharap hidup kami normal. Kuharap aku tidak bertemu Kris dengan cara seperti ini. Kuharap Kris tidak memiliki hutang budi pada ayahku dan keluargaku. Kuharap kami hanyalah orang asing yang tidak saling mengenal pada awalnya, lalu kemudian bertemu karena takdir, dan dia selalu berada di sampingku untuk menjagaku karena dia mencintaiku, bukan karena itu adalah kewajibannya sebagai penjagaku.
Kurasa…… aku memang terlalu banyak berkhayal.
*****************
Sudah satu minggu kami tinggal di Seoul. Hyun Seung sering sekali pulang sangat larut, menjelang fajar. Begitupula dengan Kris dan Kai. Sehun dan Tao akan pergi saat hari masih terang dan pulang sebelum matahari terbenam. Sementara aku, seperti biasa terkurung di rumah, memasak, membuat syal untuk kakakku dan sahabat-sahabatku, menggambar di buku sketsa-ku. Sama seperti kakakku, aku juga sudah menganggap mereka sebagai saudaraku sendiri. Kecuali Kris tentu saja. Aku menginginkannya lebih dari seorang saudara.
Biasanya ketika semua orang pergi melakukan misi atau hanya sekedar memata-matai target mereka, setidaknya Tao akan tinggal di rumah menemaniku dan baru pergi ketika Sehun pulang sekolah. Sehun masih sekolah, dan sebentar lagi dia akan lulus. Kakakku selalu mengutamakan pendidikan kami, meskipun ia sendiri berhenti sekolah ketika SMP.
Tapi hari ini semua orang harus pergi. Kakakku belum pulang sejak dua hari yang lalu. Kris meyakinkanku bahwa kakakku baik-baik saja, meski aku sendiri tidak yakin, tapi aku berusaha untuk mempercayainya. Tao tidak bisa menjagaku di apartemen sampai Sehun pulang. Dia harus melakukan tugas yang berbeda dari Kai dan Kris.
“Aku bisa tinggal sendiri!” tegasku pada Kris.
Kris menggeleng. “Tidak.” Katanya dengan tegas.
“Aku bisa bolos sekolah, hyung! Hehehe.” Sehun mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil nyengir lebar, mendapat kesempatan untuk kabur dari sekolah yang sangat tidak disukainya. Kakakku akan marah besar bila tahu Sehun tidak sekolah.
Kris menatap Sehun dan aku bergantian. “Kau ikut Sehun ke sekolah. Sehun, jaga Hyun Mi.”
“Apa?” aku tak percaya Kris menyuruhku pergi ke sekolah bersama Sehun! Lalu apa? Menunggu Sehun selesai sekolah dengan duduk di taman atau di lapang, di mana Sehun masih bisa mengawasiku dari dalam kelasnya? Demi Tuhan! Aku bukan anak kecil yang harus mengikuti kakaknya pergi ke sekolah dan menunggu sampai kakaknya pulang.
“Jangan konyol, Kris!” dengusku.
Tapi Kris mengabaikanku. Dia berlari melesat ke kamarku, lalu keluar sambil membawa mantel biru-ku, syal, dan sarung tangan. Aku menepis tangannya dengan kasar saat dia berusaha memakaikan mantel dan syal ke tubuhku. Aku meraih mantel, syal, dan sarung tangan itu darinya, lalu segera menggandeng lengan Sehun. “Ayo.” Kataku dengan nada dingin. Aku menyeret Sehun keluar dari apartemen lalu membanting pintu dengan keras di hadapan wajah Kris.
“Nuna, kau tahu kan Kris hyung memang berlebihan, tapi semua ini demi keselamatanmu.” Kata Sehun ketika kami berjalan menuju halte bus.
Aku mendengus keras. “Aku menguasai judo dan karate. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Sehun tidak membalas kata-kataku. Dia hanya terus berjalan sambil terus menatapku dari samping.
Sekolah Sehun tidak jauh dari apartemen kami. Naik bus 15 menit, kami sudah sampai di depan gedung sekolah vintage bertingkat yang terlihat eksklusif. Aku masih tidak mengerti mengapa kakakku selalu memasukkan kami ke sekolah-sekolah elite padahal kami sering berpindah-pindah tempat tinggal.
Mungkin baru sekarang aku menyesali keputusanku mengapa dulu aku menolak tawaran kakakku untuk melanjutkan kuliah. Dulu aku menolaknya karena syarat yang diajukan kakakku terlalu berlebihan. Kris harus ikut kuliah di jurusan apapun yang kupilih dan mengikutiku sepanjang hari. Sangat berlebihan! Aku tidak mau Kris mengorbankan waktunya untuk mengikutiku dan melakukan hal-hal yang tidak ia inginkan hanya demi syarat konyol yang diajukan oleh kakakku bila aku memutuskan untuk kuliah.
“Nuna, kau tunggulah di kedai ramyun ini. Aku bisa melihatmu dari dalam kelasku di sana.” Sehun menunjuk sebuah ruangan di lantai 4. Di sebrang gerbang sekolah terdapat sebuah kedai ramyun yang baru saja buka. Aku hanya mengangguk singkat. Sehun tersenyum lalu memelukku sekilas sebelum pergi menyebrang jalan dan masuk melewati gerbang sekolah.
Aku masuk ke dalam kedai ramyun dengan langkah gontai. “Selamat datang….” Seru pelayan dengan ramah dan bersemangat. Aku duduk di kursi paling ujung. Pelayan menyerahkan buku menu, tapi selama 2 jam ke depan aku sama sekali tidak menyentuh buku itu. Pandanganku kosong. Aku mulai merasa bosan.
“Maaf Nona, apakah sekarang Anda sudah mau pesan?” tanya pelayan ketika aku sudah berada di kedai selama 3 jam tapi belum memesan apapun. Aku menggelengkan kepalaku, bangkit berdiri, lalu menyerahkan beberapa lembar won pada pelayan yang hanya menatapku dengan heran sekaligus takjub tersebut. Mungkin dia berpikir aku orang stress yang menghabiskan waktu dan uangku hanya untuk duduk di kedai ramyun ini tanpa memesan apapun.
Aku menatap langit. Mendung. Awan-awan gelap berarak, membawa aroma hujan yang akan turun sebentar lagi. Masih 4 jam lagi sampai Sehun pulang sekolah. Aku menatap gedung sekolah Sehun yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yakin Sehun bisa melihatku. Aku mengeluarkan ponselku dari dalam saku mantel dan mulai mengetik message untuk Sehun.
Aku akan membeli bubble tea. Tidak jauh dari sini banyak berbagai restoran dan kedai bubble tea yang enak kan? Aku akan menunggumu di sana dan membelikanmu choco bubble tea yang sangat kau suka. ^^.
Aku menunggu balasan Sehun. Kurang dari 1 menit, sudah ada balasan : Oke, aku mau 4 cup! Hehehe. Hati-hati ya Nuna. Aku mempercayaimu. Langsung telepon aku kalau ada apa-apa. ~^^
Aku melambaikan tanganku, meski aku tidak bisa melihat Sehun, tapi mungkin Sehun bisa melihatku dari dalam kelasnya di lantai 4.
Aku berjalan sambil merapatkan syal di sekeliling leherku. Angin musim gugur di Seoul terasa jauh lebih dingin dibandingkan di Chiba. Kiri dan kananku dipenuhi pertokoan dan gedung perkantoran. Saat di bus tadi, aku melihat sebuah kedai bubble tea tak jauh dari sekolah Sehun.
Mudah saja bagiku untuk “kabur” sesaat dari penjagaan Sehun, Tao, dan Kai. Sehun lemah terhadap bubble tea. Tao lemah terhadap shopping. Sementara Kai lemah terhadap makanan apapun yang berbahan dasar ayam. Sangat mudah membujuk mereka untuk melepaskan penjagaan mereka sejenak saja, agar aku bisa berjalan-jalan sendiri, menikmati kebebasanku.
Aku tidak pernah mengira, dari sekian milyar detik yang telah kuhabiskan untuk berandai-andai bagaimana rasanya memiliki kehidupan normal, hal itu akan diawali semenjak hari ini.
Aku tidak tahu mengapa saat ini takdir menginginkan agar kami bertemu. Aku percaya ada 2 alasan mengapa kita ditakdirkan untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang itu tentu saja akan berpengaruh dalam hidup kita, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, kita bertemu dengan seseorang karena memang sudah ditakdirkan demikian, hanya saja…..entah apa pengaruhnya orang itu dalam hidup kita. Apa peran orang itu dalam hidup kita. Apakah dia akan membawa kebaikan bagi kita, ataukah keburukan?
Hujan tiba-tiba saja mengguyur bumi dengan deras dan tanpa ampun, tak peduli bahwa banyak sekali saat ini orang yang tidak membawa payung atau tidak memiliki tempat berteduh. Aku berlari ke depan sebuah bangunan bergambar anjing dan kucing. Ikut berteduh di sana. Bangunan dengan plang bertuliskan Dokter Hewan tersebut tutup. Gantungan “closed” terpampang di pintu kacanya.
Aku menggosok-gosok lengan mantelku yang basah dan mengibas-ngibaskan rambutku agar cepat kering. Uap putih mengepul saat aku menghembuskan nafas dari mulutku. Aku menggosok-gosok lenganku lebih cepat, berusaha mengusir rasa dingin. Aku memandang sekelilingku. Hanya ada bangunan-bangunan perkantoran di sini. Seharusnya hujan turun saat aku sudah tiba di deretan rumah makan agar aku tidak berdiri kedinginan di luar seperti ini!
Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Seorang pria ber-jas putih keluar sambil memeluk seekor kucing Persia putih yang ia lindungi dengan jas-nya. Pria itu berlari dan berhenti di depanku, tampak terkejut melihatku.
Rupanya pria itu bekerja di klinik hewan ini. Mungkin saja dia pemilik klinik, atau dokter hewan, atau resepsionist. Aku tidak peduli. Aku terus menatap langit abu-abu ketika pria itu memasukkan kunci dan membuka pintu klinik lebar-lebar. “Kau mau menunggu di dalam? Di luar sangat dingin.” Pria ber-jas putih yang memeluk kucing tersebut tersenyum ramah padaku. Matanya memancarkan kebaikan. Sepertinya dia bukan orang jahat. “Namaku Kim Jun Myeon, tapi aku biasa dipanggil Suho. Aku pemilik klinik ini dan sekaligus salah satu dokter hewan di sini. Seharusnya hari ini klinik libur, tapi Snowy sakit dan di rumahku obat untuknya habis.” Pria itu mengelus-elus kucingnya dengan penuh sayang.
Aku tidak tahu apa yang membuatku mempercayai pria bernama Suho itu dengan mudah. Mungkin karena sorot matanya yang ramah, senyumnya yang menenangkan, atau aroma persahabatan yang ia tawarkan.
Hari itu aku tidak tahu bahwa pria itu akan berpengaruh besar dalam kehidupanku di masa yang akan datang. Mungkin saja takdir memang menginginkan kami bertemu, tapi mempercayainya mungkin hanyalah kebodohanku.
***************
Dua minggu telah berlalu sejak aku bertemu dengan Suho. Tidak ada yang berubah banyak dalam hidupku, kecuali fakta bahwa saat ini ada seseorang selain kakakku dan sahabat-sahabatku yang memperhatikanku.
Aku tidak pernah mengira Suho akan datang ke apartemenku dengan berani untuk menemui kakakku dan sahabat-sahabatku, memperkenalkan dirinya, menceritakan tentang dirinya, latar belakangnya, cita-cita dan impiannya, dan apa yang ia pikirkan tentangku secara langsung kepada kakak kandungku sendiri!
Selama dua minggu aku mengenalnya, aku sudah cukup tahu banyak hal tentangnya, dan dia pun ternyata bisa dengan mudah membuatku mempercayainya untuk bercerita banyak hal tentangku.
Suho memiliki kehidupan yang ia cintai, memiliki banyak teman, sekolah di sekolah dan kampus impiannya, menjadi dokter hewan seperti yang selalu ia cita-citakan. Tapi dia tidak memiliki keluarga yang ia cintai ataupun yang mencintainya. Ayah dan ibunya sudah bercerai semenjak ia sekolah dasar. Ayahnya menikah lagi dengan seorang model dan kini tinggal di Prague. Sementara ibunya menikah lagi dengan seorang pengusaha elektronik dan kini tinggal di Hongkong.
Sungguh ironis. Aku mencintai keluargaku dan dikelilingi oleh keluarga dan sahabat yang mencintaiku, tapi aku membenci hidupku. Kurasa…Tuhan memang cukup adil.
Aku sangat terkejut, ketika di minggu ke-4 setelah aku mengenal Suho, Suho meminta izin kakakku agar ia bisa mengencaniku. Kakakku, sudah bisa dibayangkan, bukanlah orang yang mudah mempercayai orang lain. Tapi anehnya, Suho sanggup membuat dinding keraguan dan kecurigaan kakakku terhadapnya mengikis sedikit demi sedikit.
Entah sejak kapan kakakku menjadi akrab dengan Suho. Entah sejak kapan Suho mulai terbiasa datang ke apartemen kami, makan bersama kami, dan pulang larut malam setelah bertanding kartu bersama kakakku dan Kai bila mereka sedang ada di apartemen.
Suho tahu siapa kami. Bagaimana kehidupan kami. Bagaimana keras dan dinginnya kehidupan kami. Bagaimana mengerikannya keluarga kami. Tapi ia tetap berada di sini bersama kami. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa kakakku luluh padanya. Biasanya, orang-orang akan ketakutan begitu mengetahui identitas kami yang sebenarnya. Tidak akan ada orang normal yang mau makan di meja yang sama dengan seorang pembunuh bayaran, mafia, orang-orang yang hidup dalam bayangan gelap.
Aku tahu kakakku menyelidiki Suho dengan detail, dan aku juga tahu dia tidak menemukan kecacatan apapun dalam diri Suho. Suho orang baik-baik. Dia bukan mata-mata, bukan musuh, bukan orang yang mau membalas dendam, bukan orang yang ada kaitannya dengan orang-orang di masa lalu kami, bukan orang yang mengejar harta kami.
Suho hanyalah seorang dokter hewan baik hati yang menawarkan masa depan untukku. Kehidupan normal untukku.
“Aku akan memberikan semua yang terbaik untukmu, Hyun Mi. Apapun yang kau inginkan. Kumohon, izinkan aku mencintaimu. Mungkin memang bukan sekarang, tapi suatu hari nanti…. Kau juga pasti akan balas mencintaiku. Menikahlah denganku, Jang Hyun Mi.”
Semenjak Suho mengatakan kalimat tersebut, aku selalu terjaga dari tidurku setiap malam. Terbangun dari mimpi-mimpi aneh, dimana dalam mimpi tersebut aku berlari dan terus berlari dalam ruangan gelap dan berliku, dalam sebuah labirin yang tak berujung.
Suho menawarkan kehidupan normal bagiku. Masa depanku bersamanya. Aku bisa membayangkan….di masa depan nanti….aku akan ikut mengurus hewan-hewan di kliniknya, karena aku juga suka hewan, terutama anjing. Aku akan memasak makanan untuk Suho. Kami akan jalan-jalan di akhir pekan tanpa perlu mencemaskan musuh ataupun mata-mata yang mengintai. Setiap malam aku akan tidur dengan nyenyak dalam dekapannya tanpa perlu khawatir akan ada yang datang tengah malam atau menjelang fajar dengan tubuh dan wajah penuh luka tusukan atau luka tembakkan yang harus ku-obati. Kami akan tinggal di sebuah rumah yang sederhana namun nyaman. Kami akan menetap di sana dalam waktu yang sangat lama, tidak perlu berpindah-pindah kota apalagi negara hanya untuk menghindari kecurigaan polisi.
Tapi dalam bayanganku, orang yang mendekapku setiap malam, yang berjalan bersamaku setiap akhir pekan bukanlah Suho melainkan Kris. Aku menginginkan kehidupan seperti itu bersama Kris, bukan dengan Suho. Suho memang menawarkan masa depan yang menjanjikan untukku, tapi aku tidak pernah menginginkannya ada di dalam masa depanku seperti itu. Kris-lah yang seharusnya berada di posisi itu.
Tapi seperti sudah kukatakan sebelumnya. Mungkin hanya akulah yang berpikir demikian. Mungkin hanya akulah yang menginginkan Kris berada di dalam masa depanku, sementara mungkin saja jauh di dalam lubuk hatinya, Kris sangat menginginkanku agar segera pergi jauh darinya. Agar ia terbebas dari tugasnya sebagai penjagaku, agar ia mendapatkan kehidupannya yang bebas tanpa aku harus membebaninya seperti yang selama 20 tahun ini kulakukan.
Kris tidak pernah membahas Suho. Setiap kali Suho datang ke apartemen kami pun, Kris hanya akan mengabaikannya. Ia bukan orang yang mudah akrab dengan orang lain. Ia juga tidak mudah dibuat terpesona dan dibujuk. Tidak seperti Kai, Tao, dan Sehun. Sudah bisa ditebak hal-hal apa saja yang sanggup membuat ketiga pembuat onar itu merasa senang. Setiap kali Suho datang, ketiga orang itu akan meminta oleh-oleh. Aku sempat merasa sangat kesal karena Tao memanfaatkan Suho untuk membelikannya tas-tas Gucci favoritnya.
Sekarang sudah hampir tiga bulan kami tinggal di Seoul. Biasanya, paling lama kami akan tinggal di tempat yang sama selama 4 atau 5 bulan. Aku menduga, misi yang dilakukan oleh kakakku saat ini sangatlah berat. Aku tahu, bila aku menerima tawaran Suho, maka aku akan meninggalkan kakakku dan sahabat-sahabatku ini. Aku akan keluar dari kehidupan mereka. Tapi bila aku pergi…siapa yang akan mengobati mereka bila mereka terluka? Siapa yang akan memasak makanan untuk mereka? Tapi bila aku tidak ada…., maka tugas mereka akan menjadi lebih ringan. Mereka bisa pergi kapanpun. Mereka tidak perlu menjagaku dan mengkhawatirkanku.
Semalam aku berbicara panjang lebar dengan kakakku. Aku masih belum memberikan jawaban pada Suho, dan kakakku bertanya apa jawaban yang akan kuberikan pada Suho. Apa yang kuinginkan. Aku menjawab, “Aku ingin hidup normal, Oppa. Bersamamu. Bersama Kris, Kai, Tao dan Sehun. Aku ingin kita memiliki pekerjaan normal, hidup dengan biasa. Meskipun tidak akan ada lemari-lemari penuh tumpukkan dollar di dalamnya, meski kita harus tinggal di tempat yang kecil. Aku hanya ingin hidup normal. Aku tidak ingin lagi melihatmu pulang dengan tubuh penuh luka, Oppa.”
Selama sekian menit, Hyun Seung hanya menatapku. Berbagai emosi berkelebat di matanya yang gelap. Emosi terakhir yang terlintas di matanya adalah rasa takut. Perlahan aku mengulurkan tanganku dan membelai rambut abu-abunya yang kini sudah memanjang. Tanganku bergerak ke pelipisnya, ke wajahnya. Menelusuri bekas luka di sepanjang dahinya, menyentuh kedua pipinya yang tirus, kurus. Aku merindukan sosok Oppa-ku yang terlihat chubby dan menggemaskan. Aku kehilangan sorot matanya yang memancarkan keceriaan semenjak keceriaan itu direnggut dari kami 9 tahun yang lalu.
“Oppa, tidakkah kau ingin hidup dengan normal?” bisikku.
Hyun Seung memalingkan wajahnya, berdiri, meraih rokok di meja, menyalakan pemantik api. Kepulan asap putih mulai memenuhi kamarku. Hyun Seung bersandar di jendela, menatap keluar dengan sorot mata penuh pertimbangan. Aku mendekatinya dan meletakkan sebelah tanganku di pundaknya.
Hyun Seung menoleh dan menatapku dalam-dalam. “Ini adalah hidup normal bagiku, Hyun Mi. Aku tidak akan mengekangmu seperti yang ayah kita lakukan. Jangan mengkhawatirkanku ataupun yang lain. Suho orang yang baik. Aku sudah menyelidiki secara detail tentangnya. Mungkin dia hanya satu dari sejuta orang di dunia ini yang bisa menerima semua hal tentang keluarga kita. Pergilah, Jang Hyun Mi. Satu pesanku…., hiduplah dengan bahagia.”
Meskipun kakakku sudah memberiku izin, tapi aku belum memutuskan apapun. Kris belum mengatakan apapun tentang hal ini. Karena itulah, sore ini, ketika semua orang sedang pergi melakukan misi, aku mendekati Kris yang sedang duduk di sofa sambil melukis di buku sketsa-nya. Kris sama sepertiku, suka melukis. Dulu kami sering memperlihatkan lukisan kami dan saling mengomentari lukisan kami. Tapi entah sejak kapan, Kris tidak mau lagi menunjukkan lukisan-lukisannya padaku.
Aku duduk di samping Kris sambil terus mengamati sosoknya dari samping. Kris sama sekali tidak terpengaruh dengan kehadiranku. Dahinya berkerut dalam-dalam, tangannya lincah menggambar entah apa di sketsa-nya.
Aku ingin tahu apa pendapat Kris tentang lamaran Suho. Haruskah aku menerimanya? Aku sangat ingin Kris memberitahuku agar aku menolak Suho, agar aku selalu ada di samping Kris selamanya. Tapi apa yang sebenarnya Kris inginkan? Tidakkah dia merasakan sedikit saja perasaan cemburu di hatinya? Tidak pernahkah sedetikpun selama 20 tahun kami hidup bersama, ia merasakan perasaan spesial untukku? Apakah aku hanya benar-benar dianggap saudara olehnya?
Aku menyandarkan kepalaku di bahu Kris. Tubuh Kris menegang selama sesaat, lalu rileks kembali. Aku memejamkan mataku, merasakan dan mendengarkan debaran jantung kami yang se-irama. Mengapa detak jantung kami bisa seirama sementara perasaan kami tidak? Selama 20 tahun ini, aku sudah merasa sering menunjukkan tanda-tanda pada Kris bahwa aku mencintainya lebih daripada sahabat dan saudara. Tapi selama 20 tahun ini Kris tidak pernah menanggapiku. Sudah kubilang, hubungan kami platonik. Lalu mengapa jantungnya berdebar keras seperti ini? Lalu mengapa aku selalu mendapat firasat bahwa Kris juga mencintaiku seperti aku mencintainya, meskipun ia tidak pernah mengatakannya?
Tapi terkadang aku sadar, mungkin semua itu hanyalah imajinasiku. Bila Kris mencintaiku, ia tidak akan mengabaikanku. Ia tidak akan membiarkanku berlari ke pelukan pria lain. Ia akan menahanku dan memohonku untuk tetap tinggal di sisinya.
Tapi apa yang Kris lakukan sekarang ketika ia tahu ada pria lain yang menginginkan aku menjadi istrinya? Kris hanya terdiam. Tidak peduli. Seolah tidak penting apakah aku akan tetap tinggal di sini bersamanya ataukah pindah bersama pria lain dan pergi jauh, menghilang dari hadapan Kris selamanya.
“Kuharap aku bisa membaca pikiran.” Gumamku pelan.
Kris berhenti melukis. Ia meletakkan buku dan pensilnya di meja, lalu menoleh menatapku. Aku membuka mataku dan menatap kedua bola mata cokelat karamel Kris yang jernih dan menenangkan. Aku bisa merasakan nafasnya yang segar di wajahku. Aku bisa mencium aroma tubuhnya yang membuat perasaanku damai.
Detik ini juga, aku berharap Kris merengkuhku ke dalam pelukannya dan berbisik di telingaku bahwa ia sangat mencintaiku dan ia ingin aku tetap tinggal bersamanya. Tapi semua itu hanyalah khayalanku.
Kris tersenyum. “Kau terlalu banyak menonton film fantasy ya?”
Aku memukul lengannya. Hancur sudah moment romantis yang tadi sempat kubayangkan di dalam kepalaku. Aku menghela nafas panjang berkali-kali. Mungkin inilah jawaban Kris. Tapi…, bisakah ini disebut sebagai jawaban? Aku belum pernah bertanya padanya. Aku juga belum pernah memberitahunya bahwa aku mencintainya.
Kris menyalakan TV. Tangannya sibuk memencet remote, mencari-cari acara yang bagus. Ini adalah kesempatan terakhirku. Aku sudah membangun dan mengumpulkan keberanian di dalam hatiku untuk mengatakan hal ini. Aku harus mengatakannya!
Aku merebut remote TV di tangan Kris dan memencet tombol off. Kris menatapku dengan bingung. Aku terus menatapnya dengan tegar. “Kris, apakah aku harus menikah dengan Suho?”
Pandangan mata Kris mengeras, lalu sedetik kemudian kedua mata karamel itu melembut. “Kau merasa ragu dan takut apakah Suho adalah orang yang tepat untukmu?”
Aku menggeleng dengan sedih. Kris tidak mengerti! Dia selamanya tidak pernah mengerti!
Kris meraih kedua tanganku dan menggenggamnya. “Kau….tidak perlu merasa takut, Hyun Mi~ya. Aku akan selalu menjagamu. Kau ingat? Aku adalah bayanganmu. Kau tidak selalu bisa melihatku, tapi aku selalu bisa melihatmu. Berbahagialah, Hyun Mi, dimanapun kau berada. Ikutilah apa kata hatimu, aku akan selalu mendukungmu. Aku akan selalu menjadi bayanganmu.”
Dadaku terasa sesak dan berat. Aku memejamkan mataku dan memerintahkan kantung air mataku untuk bertahan sebentar lagi. Aku tidak ingin menangis di hadapan Kris!
“Aku tidak ingin kau hanya menjadi bayanganku, Kris. Jangan mengikutiku lagi, berdirilah di sampingku sebagai Kris, bukan sebagai bayanganku. Jangan melindungiku lagi hanya karena kau harus melindungiku, tapi karena kau menginginkannya. Berhentilah menjadi bayanganku, Wu Yi Fan!”
Aku gagal. Air mataku mengkhianatiku. Air mataku mengalir dengan deras di pipiku.
“Hyun Mi~ya….” Kris mengulurkan tangannya tapi aku menepisnya.
“Apakah kau idiot? Apakah kau tidak bisa mengerti semua perhatian yang kuberikan padamu selama ini? Hanya padamu, Kris! Apakah kau buta? Haruskah aku mengatakannya secara langsung?”
“Hyun Mi~ya….jangan…” Kris memohon sambil menggelengkan kepalanya lemah. Ia menatapku seolah-olah ia sangat tersiksa.
Aku menyeringai. “Kau merasa terbebani? Itukah alasannya? Baik! Aku akan pergi, Wu Yi Fan! Aku akan menikah dengan Suho, meskipun seumur hidupku aku hanya mencintaimu!” jeritku sambil berurai air mata. Aku segera bangkit dan berlari ke kamarku, mengunci pintu lalu berbaring menelungkup di tempat tidur sambil menangis.
Biarlah, yang penting aku sudah mengatakannya. Sekarang aku mengerti bagaimana perasaan Kris padaku. Dia bahkan tidak ingin mendengar kata-kata “Aku mencintaimu, Kris.”, padahal selama ini dia tahu perasaanku padanya. Mungkin memang benar, aku hanyalah beban baginya. Mungkin selamanya dia memang hanya ingin menjadi bayanganku. Dia tidaklah nyata. Dia hanya mengikutiku, tapi tidak ingin bersamaku. Menjagaku, tapi bukan karena keinginannya, hanya karena ia memang ditakdirkan untuk menjadi bayanganku.
***************
“Nuna, kau sungguh-sungguh akan menikah dengan pria itu dan pergi meninggalkan kami?” Kai, Tao, dan Sehun bertanya kompak. Wajah mereka terlihat sedih. Hari Sabtu siang ini, aku sengaja mengajak mereka jalan-jalan dan makan bersama di tempat-tempat makan favorit mereka.
Sudah 5 hari Kris tidak pulang. Hyun Seung Oppa baru saja pergi lagi 1 jam yang lalu setelah mengantar kami berempat ke mall untuk shopping dan makan.
Aku mengaduk-aduk ice cream-ku dengan lesu, lalu mengangkat wajahku dan pura-pura tersenyum senang pada mereka bertiga. “Hmm.” Aku mengangguk.
Mata Tao dan Sehun berkaca-kaca. Aku tertawa. “Yah! Jangan menangis! Wajah seram kalian tidak cocok untuk menangis di tempat umum seperti ini!”
“Hiks…” Tao benar-benar terisak. Kai menepuk-nepuk pundak Tao, tapi Tao malah menangis semakin keras. Kini Sehun juga jadi ikut-ikutan menangis sambil menjilati ice cream choco vanilla-nya.
Aku membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku, merasa malu ketika orang-orang melihat ke arah kami.
“Aku tidak akan cepat-cepat pergi, Tao~yah, Sehun~nie. Akan ada pertunangan, persiapan pesta, dan lain-lain…..” aku mencoba menenangkan kedua pembuat onar itu. Kai nyengir lebar padaku. Syukurlah karena setidaknya ada satu orang pembuat onar yang berpikiran dewasa sekarang ini.
“Hiks…tapi….tapi….nuna tidak akan ikut pindah bersama kami kan? Nuna akan tinggal bersama Suho hyung setelah pertunangan kan? Hiks….” Tao menghapus air mata dengan punggung tangannya.
Aku menggeleng. “Aku tidak akan pergi. Aku baru akan pergi setelah…, menikah.” Aku menggigit bibirku. Kata-kata itu terasa asing di lidahku. Aku tidak percaya, aku akan menikah dengan pria yang tidak kucintai!
Jang Hyun Mi! Sadarlah! Aku memaki diriku sendiri dalam hatiku.
Menikah dengan pria yang mencintaimu lebih baik daripada menikah dengan pria yang kau cintai tapi tidak mencintaimu. Setidaknya…, hidupmu akan terjamin. Masa depanmu akan membahagiakan. Kau akan memiliki kehidupan normal seperti yang selama ini kau mimpikan.
Aku terus menasehati diriku sendiri dalam hati. Aku memakan ice cream banana oreo-ku dengan asal. Sama sekali tidak bisa merasakan kelezatannya, karena pikiranku kini tengah melayang, lebih tepatnya ke seorang sosok bernama Kris, yang kini entah berada di mana. Kenapa misi-nya kali ini begitu lama? Apakah dia sengaja tidak pulang untuk menghindariku?
*************
Kris baru pulang ke apartemen di hari ke-9 sejak aku menyatakan perasaanku padanya. Saat aku dan Sehun sedang membuat pudding, tiba-tiba saja Kris masuk dan tanpa mengatakan apapun ia langsung mengunci kamarnya.
“Aish! Kenapa dia mengunci kamar?” tukas Sehun kesal. “Yah! Hyung! Keluarkan ponselku!” Sehun menggedor-gedor kamarnya dan kamar Kris. Tao sekamar dengan Kai. Sementara kakakku dan aku punya kamar sendiri-sendiri.
Kris membuka pintu, menyerahkan ponsel Sehun, lalu kembali mengunci pintu kamarnya. Sehun terus mengomel sambil melihat ponselnya.
“Sehun~nie…” Aku mencolek lengannya. “Kris…, baik-baik saja? Dia tidak terluka?”
Sehun mengangguk. “Dia baik-baik saja, tapi sepertinya dia sedang bad mood! Nuna, bagaimana kalau pudding-nya pakai topping ice cream? Hehehe. Aku akan beli ice cream-nya!” Sehun menatapku dengan mata berbinar-binar.
Aku tertawa pelan lalu memberinya uang. “Jangan hanya membeli ice cream cokelat! Beli rasa lain juga. Strawberry, vanilla, greentea, taro, cappuccino….”
“Neeeee…. Neeeeee…..” Sehun menjulurkan lidahnya lalu segera berlari melesat keluar dari apartemen. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap childish-nya. Di masa depan nanti, aku pasti akan merindukannya. Hhhh….,
Aku menatap pintu kamar Kris yang menutup selama beberapa detik, lalu mulai kembali fokus membuat pudding.
Ting tong…ting tong…..
Aku mengernyitkan keningku. Siapa yang membunyikan bel? Jangan-jangan Tao! Mungkin dia mau menjahiliku dan membuatku kesal.
Aku melihat lewat interkom. Tidak ada siapa-siapa. Tapi bel terus berbunyi. Jadi pasti orang yang membunyikan bel sedang berjongkok. Tak salah lagi! Pasti Tao! Beberapa hari lalu dia juga melakukan hal ini padaku. Membuatku kesal setengah mati!
Aku ingin mengabaikannya, tapi suara bel itu sangat berisik. Kris tiba-tiba saja keluar dari dalam kamarnya dan berjalan menuju pintu depan, mendekatiku. “Siapa?” tanyanya.
Aku mendengus. “Tao! Beberapa hari lalu dia juga melakukan ini. Dia berjongkok di bawah sana, jadi tidak terlihat.”
Kris menahan tanganku yang hendak membuka kunci. “Kau yakin?” tanyanya cemas.
Aku mengangguk, lalu membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa. “Tao?” panggilku.
Aku terkesiap ketika tiba-tiba saja sebuah senapan panjang sudah terarah ke dahiku. Seorang pria ber-jas hitam menyeringai mengerikan. Aku ingat siapa pria ini! Bagaimana mungkin aku akan melupakan wajah pembunuh kedua orangtuaku!
Semuanya terjadi dengan sangat cepat, tepat ketika Kris hendak mengeluarkan pistol di balik kemeja-nya, pria ber-jas hitam itu mengarahkan senapan-nya ke dada Kris. Suara tembakkan dan erangan kesakitan menyadarkan lamunanku akan kejadian 9 tahun silam.
Tubuh Kris ambruk ke lantai. Darah mengalir deras membasahi lantai marmer di sekitar kami.
“KRIS! KRIS!” Aku membungkuk dan merengkuh kepala Kris ke atas pangkuanku. Kris terbatuk-batuk sambil mengerang, kemudian ia tak sadarkan diri. “Kris, bertahanlah!”
“HAHAHAHA….HAHAHAHA….” si penembak tertawa terbahak-bahak. Senapan panjangnya masih terarah ke kepalaku. Aku tidak peduli! Aku harus menyelamatkan Kris. Aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan ponsel. Aku harus menelepon ambulans! Ada telepon dari Suho, dalam sekejap mata si pembunuh menendang ponsel itu dari tanganku, membuat tanganku berdenyut sakit. Sepertinya tulang-tulang jariku patah.
Aku mendongak dan menatap si pengkhianat yang dulu merupakan salah satu orang kepercayaan ayahku tersebut. Si pembunuh yang membuatku menjadi yatim piatu.
“Kenapa kau datang kemari? Kau mau membunuhku? Kenapa kau tidak membunuhku saja 9 tahun yang lalu? Kenapa harus sekarang?” tanyaku dengan berani. Aku terus menekan luka tembak di dada Kris dengan tanganku, berusaha menghentikkan pendarahannya.
Pria psikopat itu malah tertawa semakin keras. Raut wajahnya terlihat mengerikan seperti iblis. “Dulu aku membiarkanmu hidup karena aku kasihan padamu, Nona kecil. Kau ingat? Kau pernah memberikan roti untukku saat umurmu masih 5 tahun, saat ayahmu menghukumku dan membuatku kelaparan. Saat itu kupikir….aah…, anak ini pernah sekali memberiku makan saat aku mau mati, maka aku akan membiarkannya hidup. Tapi sekarang….” Pria itu membungkukkan wajahnya dan menatapku dengan bengis.
“Kau mengusik kehidupanku, Nona kecil. Untuk apa kau mendekati anak tiriku? Kau menikahinya untuk balas dendam padaku? Untuk membunuhku?” Pria itu meludah ke lantai di sampingku. Ujung senapannya kini melekat di keningku.
“Apa maksudmu? Suho adalah anak tirimu?”
“Cih! Jangan pura-pura bodoh! Aku memang mengganti nama dan semua indentitas lamaku. Aku tidak menyangka kau bisa menemukanku dan merencanakan balas dendam melalui anak tiriku! Aku langsung terbang kemari dari Hongkong minggu lalu begitu anak sial itu memberitahuku tentang rencana pertunangan kalian. Aku mengawasimu dan anak buah bodohmu itu, siapa namanya? Toa? Tao? Aku mengikuti trik konyolnya, dan lihatlah aku sekarang! Hahahaha. Kurasa si pirang akan segera mati.”
“Keparat!” umpatku dengan penuh kebencian. Si pembunuh hanya tertawa-tawa seperti orang sinting.
“Apa kata-kata terakhirmu, nona manis?”
Aku menatap mata pembunuh itu dengan berani. “Kuharap kau menderita sepanjang hidupmu, tidak bisa mati tapi juga tidak bisa hidup. Kuharap kau membusuk di neraka jahanam!”
“HAHAHAHA….HAHAHAHA…HAHAHAHA…. kata-kata perpisahan yang benar-benar mengesankan! Kau benar-benar anak ayahmu. Sok pemberani! Tapi kau akan berakhir sama dengan ayah dan ibumu yang bodoh…..” si pembunuh mengelus-elus senapannya dengan penuh rasa sayang, membuatku jijik.
Suara pintu yang didobrak. Letusan senjata api yang bertubi-tubi. Suara jeritan si pembunuh. Pukulan yang meremukan tulang. Makian kasar kakakku kepada si pembunuh. Semua itu terjadi dalam sekejap mata.
Aku tidak terlalu mempedulikan sekitarku, karena sekarang Kris hampir mati. Dengan tangan bergetar yang penuh darah, aku meraih ponselku dan menghubungi ambulans, tapi sebelum nada sambung terdengar, beberapa petugas rumah sakit sudah datang dan menggotong Kris pergi dengan menggunakan tandu. Aku mengikutinya sambil berurai air mata. Hal terakhir yang kulihat sebelum aku meninggalkan apartemen adalah tubuh kaku si pembunuh yang terbaring di lantai, dipenuhi genangan darah.
Ternyata kakakku, Kai, Tao, dan Sehun lah yang menghabisi si pembunuh. Suho yang menghubungi ambulans.
Aku berjongkok di samping Kris. Para perawat memasangkan berbagai alat dan slang ke tubuh Kris yang terbaring kaku di ranjang ambulans.
Kakakku menepuk-nepuk pundakku. Mencoba menenangkanku. Tao dan Sehun mencoba terlihat tegar dengan tidak meneteskan air mata sepertiku. Kai masih tinggal di apartemen untuk membereskan kekacauan.
“Apakah kau membunuhnya, Oppa?” bisikku.
Hyun Seung menggeleng. “Aku akan membiarkannya menderita. Kematian terlalu membahagiakan baginya. Aku sudah meminta Kai untuk mengurus bajingan itu ke kantor polisi dan rumah sakit jiwa!”
Aku mengangguk pelan. Selama sisa perjalanan menuju rumah sakit, hanya satu do’a-ku : semoga Kris baik-baik saja.
***************
12 jam….24 jam…. 36 jam… aku tidak tahu berapa lama lagi aku harus menunggu Kris terbangun setelah operasi. Tidak sedetikpun aku meninggalkan Kris. Do’a-ku terus kuucapkan berulang kali di setiap helaan nafasku.
Kakakku, Tao, Sehun, dan Kai bergantian menemaniku. Mereka memaksaku makan dan tidur, tapi kedua hal itu bukanlah prioritasku saat ini. Aku akan tertidur di samping Kris sambil menggenggam tangannya bila aku mengantuk. Aku tidak akan pergi dari sisinya!
“Hyun Mi~ya.., makanlah sedikit saja.” bujuk kakakku. Aku hanya terdiam dan terus memandangi wajah Kris yang damai. Kakakku menghela nafas berat.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Suho berdiri di ambang pintu sambil menatap kami dengan ragu. Aku menatapnya dengan penuh rasa benci. Aku tahu, tidak seharusnya aku membencinya. Bukan salah Suho. Dia tidak tahu kalau ayah tirinya adalah pembunuh orangtuaku. Dia bahkan tidak memberitahu ayah tirinya itu tentang rencana pertunangan kami karena baginya ayah tirinya hanyalah orang asing, bukan siapa-siapa. Tapi Suho memberitahu ibunya yang berada di Hongkong.
Karena aku bertemu dengan Suho, karena aku mengenalnya…..semua ini terjadi! Apakah ini kesalahan takdir? Ataukah kesalahanku karena dengan bodohnya berpikir kehidupan normal di luar sana lebih membahagiakan dari kehidupan yang telah kumiliki? Se-begitu serakahnya-kah diriku sampai-sampai menginginkan kehidupan lain bersama orang lain, padahal aku telah memiliki orang-orang yang mencintaiku dan selalu ada untukku meskipun aku membenci hidupku!
Air mataku mulai berjatuhan lagi. “Pergi!” seruku dengan lantang pada Suho. “Pergi! Aku tidak mau melihat wajahmu lagi!” jeritku sambil melemparkan apel ke arah Suho. Kakakku menghentikanku dan membawa Suho keluar. Aku membenamkan wajahku di sisi ranjang Kris. Semua ini salahku. Bukan salah Suho. Tapi aku tidak mungkin bisa melihatnya lagi seperti dulu. Melihatnya hanya membuatku mengingat betapa mengerikan dan menjijikannya diriku.
*************
Di hari ke 7 Kris tidak sadarkan diri…..
Tao dan Kai mengupas kiwi lalu memotongnya tipis-tipis dan meletakkannya di piring kecil. “Kris Ge…., kau tidak pernah mau aku memanggilmu Gege…, kenapa kau selalu ingin aku memanggilmu hyung? Aku tahu kau membenci tempat kelahiran kita. Hiks…hiks….” Tao mulai meracau sambil tetap mengupas kiwi. Kai tidak mengatakan apapun, tapi dia mengusap air mata yang menetes di sudut matanya dengan singkat, seolah malu karena ketahuan menangis olehku.
Aku hanya menatap Tao dan Kai tanpa ekspresi. Aku mendengarkan racauan Tao, tapi pikiranku tidak benar-benar terfokus padanya. Entah kenapa ketika melihat buah kiwi, tiba-tiba saja aku mengingat sebuah kenangan buram tentang aku dan Kris di masa lalu……
*Flashback 13 tahun yang lalu*
“Yeay! Kau membelikanku kiwi! Huwaaahhh……thank you Kris Kriissssss!!!!” Aku melompat-lompat senang sambil memeluk Kris yang jauh lebih tinggi dariku, padahal kami se-umur tapi pertumbuhan tinggi Kris benar-benar sangat cepat!
Kris hanya tertawa, lalu tanpa kuduga dia memakan kiwi-kiwi itu.
Aku membelalakkan mataku. “Bukannya kau benci kiwi? Kenapa kau memakannya? YAH! Kau bilang….kau bisa keracunan kalau kau makan kiwi! Muntahkan!” Aku berjinjit dan menepuk-nepuk tengkuk Kris.
Kris hanya menyeringai lebar dengan seringaian khas-nya. “Siapa bilang aku akan keracunan? Aku hanya tidak suka.” Kris mengangkat bahunya cuek. “Tapi sekarang aku jadi sangat menyukainya karena kau.”
“Mwo? Kau menyukai semua makanan yang kusuka?”
Kris mengangguk. “Hmm..”
Aku memicingkan mataku. “Kenapa? Agar kau bisa merebut semua makanan kesukaanku?” Aku berkacak pinggang.
“Because I love you?” Kris nyengir lebar dengan wajah jahil. Kris terbahak-bahak lalu langsung berlari sambil membawa kiwi-kiwiku sebelum aku sempat menendang kakinya.
*End of Flashback*
Mataku memanas karena tiba-tiba saja ingatan buram itu menyeruak ke dalam benakku. Ternyata selama ini aku memang melupakan banyak hal. Masa lalu yang kuingat hanyalah masa-masa menyedihkan, padahal dulu juga banyak sekali kejadian membahagiakan yang kualami bersama orangtuaku, kakakku, dan Kris. Seharusnya aku juga mengingat masa-masa membahagiakan itu. Seharusnya aku mensyukuri hidupku.
Sore hari, ketika giliran Hyun Seung yang menemaniku, dokter datang dan memeriksa kondisi Kris.
“Kapan dia akan sadar?” tanyaku pada dokter.
Bukannya menjawab pertanyaanku, dokter itu malah menatap kakakku agak lama. Aku menatap mereka bergantian. Bingung. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
“Ada apa, Oppa?” desakku. Jantungku berdebar lebih keras, menanti jawaban.
Hyun Seung menatap dokter, lalu mengangguk singkat. Ia duduk di samping ranjang Kris sambil membenamkan wajahnya di antara kedua lengan.
Dokter menatapku dengan tenang. “Jang Hyun Mi ssi, sebenarnya…. Wu Yi Fan ssi bukan tidak sadarkan diri akibat peluru itu.”
Aku mengernyitkan keningku tak mengerti. “Maksud Anda, Dok?”
“Peluru itu tidak mengenai jantungnya. Dia akan baik-baik saja seandainya dia tidak mengalami gagal jantung.”
“MWO?”
“Sejak kecil, Wu Yi Fan ssi mengalami penyakit gagal jantung. Aku sudah membaca riwayat medis yang diberikan Jang Hyun Seung ssi. Sepertinya kali ini penyakitnya kambuh dan semakin parah. Kami akan melakukan operasi jantung bila ia sadar nanti. Bila tidak….” Dokter menghela nafas.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. “Tidak! Tidak mungkin! Oppa! Semua ini bohong kan? Kris? Gagal jantung? Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?!” Jeritku sambil berurai air mata. “Itukah sebabnya kau selalu memberikan tugas yang ringan pada Kris? Itukah sebabnya kau hanya memberinya tugas untuk menjagaku dan mengikutiku?”
Hyun Seung menatapku dengan sedih, lalu menggeleng. “Karena dia menginginkannya.”
“Mwo?”
“Karena Kris ingin aku menyembunyikan penyakitnya darimu dan dari semua orang. Dia menjagamu bukan karena dia tidak bisa melakukan pekerjaan berat, bukan karena aku memerintahnya, tapi karena dia ingin! Karena Kris sangat mencintaimu, Hyun Mi~ya. Si idiot ini terlalu mencintaimu sampai-sampai dia memintaku menyuruhmu dan memaksamu untuk menerima lamaran Suho! Karena dia tidak bisa bersamamu untuk waktu yang lama. Tapi lihatlah si bodoh ini sekarang….terbaring seperti ini…, seharusnya aku tidak mengabulkan permintaannya kan…” Hyun Seung menangis untuk yang pertama kali dalam hidupnya. Ketika orangtua kami meninggal, Hyun Seung sangat tegar dan sama sekali tidak menangis. Atau mungkin saja dia menangis secara diam-diam.
Mungkin selama ini Hyun Seung selalu menangis tanpa sepengetahuanku. Mungkin kakakku yang sok tegar itu mengira aku akan menganggap air mata sebagai tanda kelemahan. Dasar bodoh!
Aku mendekati Hyun Seung dan memeluknya. Hyun Seung menangis semakin keras sambil memeluk pinggangku. Aku membelai-belai kepalanya sambil menggigit bibir bawahku, menahan tangis. Kini giliran akulah yang harus tegar. Demi Hyun Seung. Demi Kai-Tao-Sehun. Dan demi Kris.
“Aku mencintaimu, Kris. Kumohon….bangunlah….” bisikku pada sosok Kris yang terbaring tak bergerak.
Biiiiiiiiiiiipppppp………
Nafasku tertahan, dan jantungku berhenti berdetak ketika monitor menampakkan garis hijau lurus dengan bunyi yang membuat sekujur tubuhku mati rasa.
“KRIS! KRIIIIIIIIIIISSSSSSSS!!!!!!!!!”
Kilatan jubah-jubah putih dokter dan perawat. Suara biiip yang mengerikan. Alat pacu jantung. Semuanya terasa buram….terasa begitu jauh…..
Kegelapan menelanku ke dalam lubang tak berujung. Apa gunanya aku hidup bila kini Kris telah pergi?
Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku mengakui….kisah Romeo dan Juliet tidaklah konyol. Dulu aku selalu menertawakan betapa bodohnya Romeo karena memilih bunuh diri ketika dia mengira Juliet benar-benar mati.
Sekarang Kris benar-benar telah meninggal. Aku juga ingin mati.
*************
Tiga bulan kemudian, @Kanada……
Butiran salju membuat semua benda diluar sana terlihat putih. Aku duduk di depan jendela kamarku sambil menatap ke jalanan, ke pepohonan, orang-orang yang berlalu lalang, kucing tetangga yang lewat di depan rumah kami. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di sini.
Setiap hari aku hanya duduk di kursi ini sambil menatap jendela. Melihat langit berubah warna dari gelap menjadi kuning lembut – kuning terang – jingga keemasan – kelabu – dan akhirnya gelap lagi. Kadang penuh bintang, tapi lebih sering hanya menampakkan kegelapan yang kelam. Terus berulang seperti itu setiap hari, setiap minggu, setiap bulan.
Sudah lama kakakku menyerah menyuruhku makan dan berbaring di tempat tidur. Aku tidak peduli punggungku terasa sakit, atau kaki dan tanganku terasa kaku. Rasa sakit adalah pengingat bahwa aku masih hidup, bahwa semua ini adalah kenyataan. Bahwa orang itu telah pergi jauh dariku.
Bahkan sekarang menyebut namanya pun terasa terlalu menyakitkan bagiku. Tapi otakku terus memutar berbagai kenangan tentang orang itu, membuatku semakin menderita.
Sakit fisik yang kurasakan, rasa lapar dan haus yang menyiksaku, semua itu tidak ada artinya dibanding rasa sakit di hatiku yang membuatku mati rasa.
Hatiku telah mati. Setidaknya aku perlu merasakan rasa sakit lain untuk menepis halusinasi yang menghantuiku.
Hal apa yang paling kuinginkan di dunia ini? Memutar waktu. Mengembalikan masa lalu yang hilang. Waktu-waktu yang tidak pernah kusadari sangat berharga bagiku. Kenangan-kenangan buram tentang dirinya yang kini menggerogoti akal sehatku. Seandainya mati termasuk ke dalam daftar yang bisa kupilih, maka aku akan memilihnya. Tapi bagaimana aku bisa bersikap egois dengan memilih mati, sementara orang itu…. dan juga kakakku … menginginkan aku tetap hidup?
Sejak 3 bulan yang lalu, aku terus memeluk sebuah koper kecil milik Kris yang berisi puluhan buku sketsa penuh dengan lukisan-lukisan wajahku. Penuh dengan berbagai kalimat yang tidak sempat Kris ucapkan secara langsung padaku.
Aku menyeringai. “Kau sangat egois, Kris!”
Untuk yang pertama kalinya dalam 3 bulan terakhir ini, aku menyebut namanya.
“Kau sangat egois, Kris! Tunggulah! Tak lama lagi aku akan menemuimu dan menendangmu sampai kau tidak bisa berjalan lagi. Kau sangat egois! Bagaimana mungkin bayangan pergi lebih dulu dariku? Kalau bayanganku pergi…, lalu aku ini apa? Hantu?” Air mataku bercucuran tanpa bisa kucegah.
Dengan susah payah aku berdiri dari kursi yang telah kududuki selama 3 bulan ini, berpegangan ke teralis jendela, membuka jendela lebar-lebar, membiarkan angin musim dingin membelai wajahku. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Aku merindukan berjalan di luar dengan kedua kakiku.
Aku menatap langit kelabu. Serpihan salju masih terus turun dan membuat tumpukkan putih di mana-mana.
Aku menatap awan yang berarak pelan, membayangkan seraut wajah terbentuk di sana, dengan alis mata tebal bertaut, dengan dahi berkerut dalam, dengan bibir mengerucut, dengan hidung dan dagu yang mendongak angkuh.
“Hey, Kris! Kau bilang…. aku tidak selalu bisa melihatmu, tapi kau selalu bisa melihatku, karena kau adalah bayanganku. Jangan egois! Aku juga bisa melihatmu. Di sini…..” Aku menepuk-nepuk dadaku yang terasa sangat sesak.
“Aku melihatmu di sini, idiot!” jeritku. Air mataku tidak berhenti mengalir. Aku heran, berapa banyak cadangan air di mataku sampai-sampai air ini tak ada habisnya?!
“Aku akan menjalani hidupku dengan baik! Jangan khawatir! Kau tidak perlu datang ke dalam mimpiku setiap malam, bodoh! Membuatku semakin merindukanmu….”
Aku menghapus air mataku, lalu tersenyum menatap langit. “Kai, Tao, Sehun…. Kau pasti terkejut karena sekarang mereka menjadi koki. Bayangkan! Ketiga pembuat onar itu sekarang tidak hanya bisa makan saja, tapi mereka bisa memasak makanan yang sangat lezat.”
Aku terisak. “Hyun Seung Oppa…., kau tahu dia menamai restorannya dengan nama apa? Dragon. Sangat konyol, bukan?! Dia tahu kau sangat suka naga. Dasar aneh!”
Aku tertawa meskipun hatiku terasa sakit. “Sekarang…, giliranku keluar dari kamar sempit ini kan? Tenang saja, Pabo! Aku akan hidup dengan baik. Karena itu….kau juga….teruslah tersenyum di sana dan mengawasiku. Ingatlah janjimu untuk selalu menjagaku.”
Aku terus memaksa sudut-sudut mulutku untuk membentuk seulas senyuman. “Woaaahh…, aku sangat keren ya, bayanganku berada jauh di sana, sementara aku ada di sini.”
Pertahanan diriku hancur. Aku tidak bisa lagi berpura-pura tersenyum. Aku menangis dengan keras. Biar sajalah. Hari ini saja.
Besok…lusa…dan seterusnya…, aku akan berusaha untuk tersenyum lagi. Untuk tegar lagi. Demi Kris. Demi bayanganku yang selalu mengawasiku di atas sana.
Aku meletakkan koper berisi ratusan lembar lukisan wajahku itu di atas meja. Aku tidak punya foto. Jadi bila aku ingin melihat seperti apa wajahku sejak kecil sampai sekarang…, aku akan melihat lukisan-lukisan Kris ini.
Lalu bila aku merindukannya, aku akan membaca tulisan-tulisan tangannya yang acak-acakkan di samping lukisan.
Aku meraih buku sketsa paling atas, lalu membuka halaman paling akhir. Kurasa aku memang sudah merindukannya.
Kau tahu mengapa aku menyebut diriku sebagai bayanganmu, Jang Hyun Mi?
Bayangan….., selamanya tidak akan pernah berubah menjadi manusia yang membentuknya, ataupun menjadi orang lain. Bayangan selamanya hanyalah sebuah ilusi semu. Bayangan akan selalu mengikutimu kemanapun kau pergi. Bayangan akan selalu mendukungmu, tak peduli sebanyak apapun orang yang menjatuhkanmu dan membencimu, bayangan akan selalu berada bersamamu. Saat kau tertawa, bayangan akan ikut tertawa. Saat kau menangis, bayangan akan ikut menangis, bahkan mungkin menangis lebih keras dari yang kau sadari. Kau tidak bisa melihatnya, karena ia hanyalah sebuah benda semu.
Saat bayangan pergi…, ia tidak benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi sejenak karena sang mentari tidak lagi menyinarimu.
Kau tahu kapan bayangan akan menemuimu lagi?
Aku akan menemuimu di saat kau tersenyum secerah mentari. Di saat kau menghadapi dunia ini dengan berani dan percaya diri, layaknya sang mentari yang dengan mudahnya menyingkirkan awan-awan gelap setelah hujan reda.
Aku takut, Hyun Mi~ya. Aku bukan takut mati. Aku takut….kau tidak akan tersenyum lagi.
Kalau kau tidak tersenyum, aku tidak akan menemuimu.
Kalau kau tidak bahagia, aku akan menghantui tidurmu dengan mimpi-mimpi buruk tentangku setiap malam.
Kau ingin aku tersenyum? Kau ingin aku bahagia? Kau tersenyumlah lebih dulu, Jang Hyun Mi. Maka aku pun akan tersenyum dan merasa jauh lebih bahagia darimu.
Seoul, 2014
Kris
===== The End =====